Dengan langkah gontainya Rosea masuk ke dalam lift, wanita itu tidak dapat menyembunyikan kemurungan di wajahnya karena terintimidasi dengan sikap curiga yang di tunjukan Leonardo kepadanya.
Jika saja Rosea tahu dia akan mengalami hal yang tidak begitu mengenakan seperti ini, mungkin sejak awal dia tidak akan mengajak Prince berbicara.
Genggaman kuat tangan mungil Prince di tangannya menarik lamunan kecil Rosea.
Saat Rosea menatap Prince yang berdiri di sampingnya, mendadak rasa takut dan kesalnya menjadi hilang. Ada sebuah perasaan sedih dan kasihan yang menyentuh hatinya setiap kali melihat mata Prince dan tingkahnya yang kaku penuh kehati-hatiannya.
Prince bersikap hati-hati namun dia haus akan pujian dan pengakuan. Rosea merasakan itu.
Leonardo berdiri di belakang sambil besandar pada dinding lift, sementara Rosea berdiri di depannya bersama Prince yang masih menggenggam erat tangannya.
Perlahan pintu lift tertutup.
Beberapa kali Rosea membuang napasnya dengan kasar sambil mengetuk-ngetuk ujung sandalnya ke lantai, perasaan gelisah tidak nyaman masih bisa dia rasakan karena Rosea tahu bahwa Leonardo yang berada di belakangnya tidak berhenti memperhatikannya.
“Apa Sea selalu sibuk?” pertanyaan Prince berhasil memecahkan keheningan.
Kegelisahan Rosea sedikit teralihkan karena pertanyaan Prince. “Ya, terkadang begitu.”
“Berarti Sea sama seperti Ayah, suka bekerja.”
“Kamu sendiri, kamu sudah sekolah?” Rosea mengalihkan topic pembicaraannya.
“Ya, aku sekolah di taman anak-anak bersama Alex.”
“Kamu suka pelajaran apa?” Tanya Rosea lagi.
Prince menggeleng bingung tidak memahami apa yang di maksudkan Rosea.
“Saat sekolah, setidaknya kamu pasti menyukai salah satu pelajaran yang guru ajarkan kepadamu. Jika kamu menyukainya, mungkin bakatmu juga ada di sana.”
“Aku..” Prince berpikir sejenak. “Aku suka alam.”
“Itu hebat. Jika kamu suka alam, kamu juga pasti akan peduli dengan lingkungan.”
Wajah Prince memerah merasa senang dengan pujian kecil Rosea. Selama di sekolah, Prince sering menghabiskan banyak waktu di taman hutan buatan sekolah untuk melihat satu persatu pohon dan tumbuhan yang berbeda-beda. Prince suka mempelajarinya sambil membawa buku bergambar dari perpustakaan.
Prince tidak bisa melakukannya di rumah karena pengasuhnya akan berpikir apa yang Prince lakukan hanya akan membuat pakaiannya kotor, begitu pula dengan apa yang di pikirkan dengan neneknya.
Ekspresi senang dan tatapan hangat Prince cukup mengejutkan Leonardo yang sejak tadi tidak berhenti memperhatikan interaksi di antara puteranya dengan Rosea. Leonardo terkejut karena baru mengetahui apa yang puteranya sukai. Selama ini Leonardo hanya memberikan barang-barang mainan mewah untuk di mainkan di dalam rumah, namun Leonardo tidak pernah berpikir seperti Rosea, tidak menanyakan apa yang Prince suka dan mendengarkan jawaban dari mulut Prince sendiri.
***
Perjalanan pulang ke rumah Rosea membutuhkan waktu setengah jam, tapi entah mengapa Rosea merasa waktu kali ini berjalan terasa sangat lambat.
Beberapa kali Rosea melihat ke jalanan, dia sudah tidak sabar untuk segera sampai rumah.
Dari sudut matanya, Rosea diam-diam melihat Prince dan Leonardo yang kini tengah duduk di sampingnya.
Kedua laki-laki itu duduk dengan posisi yang sama, satu kaki terangkat menumpang satu kaki lainnya, tubuh mereka berada dalam posisi tegak sempurna seperti seorang tuan muda yang sering kali Rosea lihat hanya di dunia komik saja.
Tanpa sengaja pandangan Rosea bertubrukan dengan Leonardo melalui spion tengah mobil, tatapan mereka saling mengunci. Rosea langsung tersenyum masam karena lagi-lagi Leonardo menatap dirinya dengan penuh penilaian.
Rosea tidak tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Leonardo, apa yang di pikirkan pria itu tentang dirinya, tatapannya yang penuh penilaian sedikit menginjak harga diri Rosea yang sejak awal tidak pernah memiliki niatan apapun mengenal Prince.
“Sea, kamu suka Ice cream?” tanya Prince penasaran.
“Ya, aku suka rasa nanas,” jawabnya terdengar samar.
“Kita bisa makan Ice cream dulu jika kamu mau.”
Rosea segera melihat jam di tangannya dan tersenyum lebar. “Lain kali saja Prince. Jam istirahat kantor sudah hampir habis, kamu harus makan siang sama papah kamu. Kalau telat kembali bekerja nanti papah kamu di marahi atasannya.”
Prince terdiam mencerna semua yang Rosea katakan. Anak itu mengangguk kecil. “Sepertinya benar.”
Adam yang tengah menyetir menutup mulutnya rapat-rapat menahan tawa melihat ekspresi Leonardo yang kini melotot kaget mendengar jawaban Rosea, lebih mengagetkannya lagi Prince tidak tahu bahwa ayahnya sendiri adalah peminpin perusahaan.
Leonardo mengebuh posisi duduknya, pria itu melihat Rosea. “Rumah kamu di mana?”
“Anggrek Hitam Blok C nomer 2003.”
Kening Leonardo sedikit mengerut tidak yakin, beberapa rumah di sana hanya di isi oleh orang-orang yang memiliki cukup banyak uang, bahkan beberapa teman Leonardo yang menjabat sebagai direktur tinggal di sana.
Bagaimana dengan Rosea?
Wanita itu berpenampilan biasa. Tidak ada yang mencolok dan special dari wanita itu, dia hanya memiliki tubuh mungil dan wajah yang cantik.
Keraguan Leonardo menghilang ketika mereka mulai melewati pos penjagaan. Para penjaga rumah menyapa Rosea ketika memberikan kartu akses masuk kepada Adam.
Adam kembali menyetir memasuki komplek perumahan tempat Rosea tinggal, tempat itu tidak di huni banyak rumah karena sebagian besar lahan sudah di miliki seseorang secara pribadi.
“Di sini. Tolong berhenti.” Intruksi Rosea ketika mereka sudah berada di depan rumahnya. Rosea mengambil kotak makanan yang sudah Prince berikan dan dengan terburu-buru Rosea keluar dari mobil.
Rosea berlari mengitari mobil dan berdiri di sisi tempat duduk Leonardo, wanita itu mengetuk pintu kaca memberi isyarat kepada Leonardo untuk berbicara sebentar.
“Kamu tunggu di sini Prince,” titah Leonardo, pria itu segera pergi keluar menemui Rosea.
“Kenapa Sea hanya bicara dengan Ayah tapi tidak kepadaku?” Tanya Prince yang tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
“Mungkin ada yang ingin Sea katakan kepada sesama orang dewasa,” jawab Adam yang diam-diam menyimpan rasa penasarannya juga.
“Apa Sea lebih suka berteman dengan ayah karena mereka sama-sama dewasa?”
“Tidak juga. Sepertinya Sea bukan orang seperti itu,” jawab Adam lagi menenangkan Prince.
***
Rosea membuang napasnya dengan kasar, wanita itu berdiri dengan wajah yang terangkat begitu keberaniannya kembali tekumpul. Kini Leonardo sudah berdiri di hadapannya memperhatikan Rosea yang ingin berbicara kepadanya.
Rosea yang jauh lebih pendek dari Leonardo membuat pria itu bisa melihat lebih jelas wajahnya yang kini berada di bawah terik panas sinar matahari.
“Ada apa?” tanya Leonardo.
“Saya tidak tahu kenapa sejak tadi Anda terus melihat saya dengan penuh kecurigaan, jika Anda khawatir dengan putera Anda, Anda tidak perlu memikirkannya karena saya bukan orang jahat,” jelas Rosea mengeluarkan mengungkapkan kegusarannya yang sejak tadi dia tahan.
Rosea menggaruk pipinya yang tidak gatal, wanita itu tertunduk tengah mengontrol napasnya dan berpikir keras tentang apa yang harus dia katakan selanjutnya. “Om, saya ingin menjelaskan.”
“Jangan panggil saya om. Panggil saya Leo,” koreksi Leonardo memotong ucapan Rosea. Leonardo tidak tahan dengan panggilan Rosea.
“Maaf.”
Ketegangan di bahu Leonardo sedikit menurun “Kamu mau bicara apa lagi?” Tanya Leonardo lagi dengan nada suara yang melembut karena menyadari ada kesalah pahaman di antara mereka.
“Mengenai putera Anda.”
“Katakan saja.”
“Saya berteman dengan putera Anda karena bertemu secara kebetulan kemarin. Kami hanya berkenalan kamarin dan saling bertukar makanan. Tadi kami bertemu lagi secara tidak sengaja. Anda jangan salah paham. Jika Anda terganggu dengan keakraban saya dan putera Anda, saya minta maaf, mulai sekarang saya tidak akan pernah mengganggu putera Anda lagi,” klarifiasi Rosea panjang lebar.
“Sepertinya kamu salah paham,” desah Leonardo terlihat frustasi karena tidak tahu harus menjelaskan isi pikirannya seperti apa kepada Rosea. “Saya tidak keberatan kamu kenal Prince,” lanjut Leonardo lagi meluruskan kesalah pahaman di antara mereka masing-masing.
Rosea membuang napasnya penuh kelegaan, “Baiklah, kalau begitu saya izin pamit kepada putera Anda untuk yang terakhir kalinya. Sampai jumpa.”
“Tunggu,” Leonardo menangkap tangan Rosea dan menahan wanita itu untuk diam sejenak.
“Ada apa?”
“Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada kamu, jika ada waktu boleh kita berbicara?”
Rosea tersenyum lebar namun dia menepis tangan Leonardo agar melepaskan genggamannya. “Tidak, terima kasih,” tolak Rosea tanpa keraguan.
Tanpa menunggu jawaban Leonardo, Rosea segera pergi ke sisi mobil dan tersenyum lebar kepada Prince yang langsung menurun kaca jendela.
“Sea.”
“Prince sampai jumpa. Terima kasih sudah mengantar” Rosea melambaikan tangannya.
Prince ikut tersenyum dan membalas melambaikan tangan. “Sampai jumpa.”
Rosea segera mendorong gerbang rumahnya, kakinya bergerak cepat berlari masuk ke dalam rumah tanpa melihat ke belakang lagi.
Leonardo menarik napasnya dalam-dalam merasakan perasaan mengganjal di hatinya karena masih ada hal yang sebenarnya ingin dia sampaikan kepada wanita itu, sayangnya sejak tadi Rosea terlihat menghindar darinya.
Andaikan ada kesempatan lain waktu, Leonardo mungkin akan langsung akan berbicara terus terang. Leonardo tidak marah jika Rosea dekat dengan Prince, dia hanya penasaran dan ingin tahu apa yang Rosea lakukan hingga bisa membuat Prince terlihat ekspresif dan banyak bicara.
Leonardo memijat tengkuknya dengan kuat, sekali lagi dia melihat ke arah rumah Rosea, dengan cepat Leonardo masuk kembali ke dalam mobil dan duduk di samping puteranya.
“Kamu ingin ke sini lagi?” tanya Leonardo dengan serius.
Mata Prince langsung berbinar senang, “Apakah boleh? Apakah Sea mengizinkannya? Apakah dia tidak keberatan rumahnya di datangi anak kecil?” tanya Prince terlihat berantusias.
“Ayah akan berbicara lagi kepadanya.”