33

2786 Words
Suasana meja makan yang jika dilihat terlalu besar untuk hanya ditempati oleh dua orang itu sangat hening, yang terdengar hanya dentingan kecil saat ujung alat makan bersentuhan dengan piring keramik pilihan. Gerakan tangan saat mereka memotong daging sedikit demi sedikit itu begitu halus hingga tidak terdengar bunyi keratan. Pun saat mengunyah, bibir mereka hanya terbuka saat memasukkan makanan lalu mengunyahnya tenang dan diam. Jika kebanyakan orang melakukan itu hanya untuk sesi makan tertentu dengan pakaian bagus, maka beda halnya dengan Nino. Sejak kecil ia terbiasa makan dengan punggung tegak penuh manner bahkan setika baru bangun tidur. Lebih tepatnta, ketika ia makan semeja dengan papanya. "Kamu ngapain aja selama Papa nggak ada?" tanya Abrawan, usai mengelap bibirnya setelah minum air putih, tanda bahwa dia telah selesai makan. Itu berarti juga bahwa makan Nino telah selesai. Ada aturan tak tertulis bahwa Nino boleh mulai makan saat Abrawan sudah mulai, dan harus berhenti setelah Abrawan selesai. Nino meletakkn garpu dan pisaunya secara menyilang di atas piring, lalu meraih air minum dan meneguknya sedikit. "Nggak banyak, paling-paling pergi keluar sama Cessa," jawab Nino tak sepenuhnya bohong. "Baguslah, Papa sempat khawatir kamu akan merasa kesepian karena baru sembuh tapi udah Papa tinggal ke luar negeri. "Papa nggak masalah aku kelihatan lebih sering bareng-bareng sama Cessa?" tanya Nino dengan alis terangkat. "Lho, memangnya sejak kapan Papa mempermasalahkannya? Lebih baik kamu berteman sama Cessa, daripada sama orang-orang nggak jalas," tanya balik Abrawan, seolah lupa dengan sikapnya sebelum-sebelumnya yang secara tersirat mengungkapkan ketidaksukaannya jika Nino kebanyakan bergaul dengan Cessa. Sebagai dalih, Abrawan menyarankan agar Nino lebih babyak bergaul dengan teman yang punya ketertarikan sama dengan apa yang dipelajarinya. Padahal siapapun tahu, barangkali jika Cessa bukan perempuan, Abrawan tidak akan mempermasalahkan kedekatan mereka. Namun, Nino anggap papanya memang telah berubah pikiran. Ia tak mau terlalu ambil pusing, bukankah ini artinya baik? Dengan begini, ia bisa bebas bertemu dengan Cessa, tidak perlu menunggu papanya pergi untuk mengundang Cessa ke istana dan menyuruhnya pulang sebelum papanya tiba. "Oke, Pa, biarpun Cessa kelihatannya kayak nggak bisa serius. Aslinya dia nggak seburuk itu." Abrawan tampak mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti. "Pa, ada yang ingin aku tanyakan," ujar Nino sesaat kemudian. "Apa itu?" sambut Abrawan, menangkup kedua tangan di bawah dagu, menatap Nino penuh perhatian. "Papa sudah sangat lama menjadi pimpinan, apakah Papa pernah gagal menjadi mengemban tanggung jawab seorang pemimpin?" Nino memulai. Nino menanyakan hal yang belum pernah ia tanyalan seumur hidupnya. Selama ini ia menatap papanya kagum dan percaya papanya memang terlahir sebagai pemimpin, namun kini Nino penasaran apakah Abrawan memang merasa sehebat itum Abrawan terdiam sebentar, seperti sedang memikirkan jawabannya. Tepatnta, mungkin mengingat-ingat momen tertentu salam puluhan tahun menjadi pimimpin di lingkup dan level berbeda. "Tentu saja pernah," ungkap Abrawan. "Kamu mungkin selalu melihat Papa menghadapi demo-demo besar dengan santai, padahal sebenarnya jangankan demo yang massanya ribuan, surat terbuka di internet saja selalu Papa cek apa dan mengapa. Tidak ada asap kalau tidak ada api, benar, kan? Itulah kenapa pemimpin harus cerdas, agar kita bisa membedakan mana api yang tidak sengaja kita buat, atau api yang sengaja dibuat-buat untuk mmebakar kita. Paham bedanya?" Nino menganggukkan kepala paham. "Gimana cara Papa bisa membedakannaya?" "Mudah saja. Periksa siapa yang protes itu. Biasanya demo-demo besar, dibalik aktor ada dalang di belakangnya. Kebanyakan motifnya adalah persoalan politis dari oposisi. Lalu kalau protes atau kritik yang disampaikan oleh pribadi tertentu, periksa kredibilitas mereka, apa mereka layak dan punya urgensi langsung terhadap isu yang mereka kritik itu. Kalau ini, kebanyakan dipicu sentimen pribadi. Seperti yang pernah papa bilang, kita nggak mungkin bisa membuat semua orang menyukai dan puas sama kita. Jangan lupa, meski 62 persen rakyat memilih Papa, masih ada 38 suara sebaliknya. Jadi, sangat mungkin ada kebakaran dalam masa kepemimpinan Papa dan itu hal yang sangat wajar." "Lalu bagaimana dengan demo-demo buruh atau guru honorer, apa Papa juga tetap perlu memeriksa apakah sengaja ada yang membakarnya? Maaf harus mengatakan ini, Pa, menurutku buat sebagian daerah, pendapatan mereka sangat tidak bisa mensejahterakan. Terlebih guru-guru honorer yang sudah mengabdi besalan hingga puluhan tahun tapi statusnya tetap saja honorer, padahal pekerjaan mereka bukan pekerjaan mudah dan penting peranannya." "Jangan salah, Nino. Penetapan upah itu sudah ada kalkulasinya, semua dihutung secara cermat dan pemerintah selalu bersaha memberi yang terbaik. Terutama masalah upah buruh ini sangat kompleks karena yang ingin kita puaskan bukan hanya buruh saja tapi juga para investor. Papa akui dan sangat sedih belum bisa mensejahterakan semuanya, tapi kalau seorang pemimpin hanya fokus pada apa yang tidak dia bisa, sama artinya dia tidak bisa melakukan apa-apa. Pemimpin harus memaksimalkan kemampuan, fokus pada tujuan lebih luas, peka terhadap situasi dan potensi. Itulah kenapa pemimpin haruslah seorang visioner, seseorang yang mampu melihat jauh ke depan dan luas lebih dari siapapun," papar Abrawan panjang kebar. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya tentang ini? Apa kamu sudah memantapkan pilihan karir masa depanm?" Nino menggeleng tanda tak tahu. "Belum, aku masih takut menjadi pemimpin yang gagal. Aku rasa, politik kurang cocok buat aku." "Itu mamanya pesimis. Kamu menyerah sebelum berperang, padahal kamu punya persenjataan dan pasukan terbaik. Hilangkan pemikiran semacam itu dari kepalamu, Papa nggak suka." "Apa Papa merasa Papa berhasil menjadi pemimpin?" "Tentu saja Papa berhasil," jawab Abrawan penuh keyakinan, nyaris tanpa berpikir. "Lihat saja, dibanding orang yang tidak sejahtera berapa ratus juta orang yang berhasil Papa sejahterakan hidupnya. Dari yang anak di perkotaan saja nggak bisa sekolah, Papa menggratiskan sekolah gratis sampai SMA, lihat gimana pembangunan infrastruktus. Desa-desa kini jalanannya udah nggak becek kalau hujan dan sudah punya bendungan supaya pertanian mereka nggak bergantung sama air hujan. Ah, Papa terdengar seperti membual menyebut pencapaian Papa cuma biar terlihat keren di mata anaknya. Kamu bisa periksa sendiri, Clevonino, itulah yang akan kita capai kalau kita fokus sama apa yang kita bisa daripada terus fokus ke apa yang tidak bisa kita maksimalkan." Abrawan berbicara sangat banyak dan Nino belum mendapag jawaban yang ia inginkan, sehingga Nino pun bertanya lagi. "Sejujurnya, Pa, aku masih penasaran soal api yang sengaja pihak lain bakar. Apakah ada kebakaran akibat ulah orang sampai sekarang nggak bisa Papa lupakan." Kali ini Abrawan tak langsung menjawab dengan tatapan tak putus menatap wajah Nino, sayangnya Nino kesulitan membaca air muka papanya itu. "Ada, kejadiannya sangat lama. Seseorang berusaha mengaitkan Papa dengan kematian warga akibat bencana alam." Tanpa sadar, kedua tangan Nino saling meremas di atas meja. Inilah jawaban yang ia tunggu-tunggu. "Kapan, Pa? Sepertinya aku belum pernah dengar." "Kamu memang belum lahir, tapi itu sangat menyakiti hati Papa. Di saat Papa berjuang mati-matian membangun daerah, orang luar yang nggak tahu apa-apa menuduh Papa mengkopupsi dana bantuan sehingga terjadi kematian masal karena kelaparan. Tuduhannya nggak main-main, nggak cuma menuduh Papa korupsi, dia melabeli Papa sebagai pembunuh puluhan rakyat yang mempercayai Papa menjadi pemimpin mereka. Padahal faktanya mereka meninggal bukan karena kelaparan, tetapi penyakit endemik yang muncul pasca bencana. Berbulan-bulan Papa jadi bulan-bulanan media dan nggak didesak mundur dari sana sini, tapi Papa tetap bertahan karena Papa merasa nggak salah. Satu-satunya kesalahan Papa adalah tidak bisa memberi bantuan medis lebih, itupun karena tenaga kesehatan saat itu sangat terbatas bahlan di kota-kota besar. Pada akhirnya, kebenaran selalu menang. Yang coba-coba menyalakan api lah yang terbakar." "Apa yang terjadi, Pa?" Adrenalin Nino terpacu, jantungnya berdetak kencang hingga menyakiti dadanya. "Tentu saja dia gagal membuktikan tuduhannya. Sensasi yang dia buat membuat namanya terkenal dan muncul satu per satu orang yang mengaku pernah dibakar juga oleh dia." "Benarkah?" Abrawan mengibaskan tangan enteng. "Sudah lah, kejadiannya sudah berlalu dan Papa nggak mau memikirkannya lagi. Papa sudah tua, habis energi Papa buat memikirkan siapa saja musuh masa lalu. Papa ingin menghabiskan energi Papa untuk sisa masa jabatan yang tinggal sebentar lagi, lalu Papa akan istirahat," jawab Abrawan seolah menutup pembahasan padahal rasa penasaran Nino belum terpuaskan tuntas. Abrawan sengaja mengakhiri mungkin karena itu tentang Damar Yunta, orang yang sebelumnya pernah dia bilang tidak ada. Nino pun memilih tak bertanya lagi, mungkin memang benar bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi. Mengingat jaman itu akses komunikasi dan informasi belum secanggih saat ini. Mungkin Damar saat itu menerima informasi palsu ... atau terburuknya, tuduhan bahwa dia sering memalsukan berita memang benar adanya. "Papa harap, suatu hari nanti, Papa bisa melihat kamu menjadi seorang pemimpin besar yang lebih hebat dari Papa," ungkap Abrawan tampak bersungguh-sungguh. Nino sedikit menunduk seraya tersenyum kecil. "Maksud Papa, menjadi presiden juga seperti Papa?" tanya Nino terus terang. "Menurut kamu sendiri gimana? Seorang anak harus lebih sukses dari ayah mereka, kalau kamu nggak bisa menungguli pencapaian Papa, setidaknya menyamai saja sudah cukup." "Bagaimana kalau aku nggak mau? Menjadi presiden ...," cicit Nino yang serasa seperti uji nyali. Sesaat, Abrawan hanya menatap Nino dan sukses membuat Nino makin berdebar. Hingga kemudian kedua sudut bibir Abrawan melengkung ke atas, membentuk senyuman tipis. "Kalau anak nggak bisa bermanfaat dan membanggakan orangtuanya, apa itu bisa disebut sebagai anak baik?" "Dulu Papa pernah bilang aku nggak harus terjun ke politik." "Benarkah Papa pernah bilang begitu?" Nino mengernyit, ia yakin papanya masih sangat sehat dan ingatannya masih kuat. "Seingat Papa, Papa bilangnya coba dulu semuanya supaya kamu tahu banyak hal. Sebagai orangtua, pastinya Papa berharap memiliki penerus." Memangnya, apa yang bisa Nino harapkan? Keluh Nino di dalam hati. Sejak awal ia telah menduga bahwa ia akan sulit keluar dari bayang-bayang seorang tokoh besar Arman Abrawan. Itulah mengapa ia tidak berani terlalu bermimpi bisa menjadi wartawan, ia takut tak bisa mengendalikan kekecewaan jika tak kesampaian. "Kembalilah ke kamar, Papa masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan," ujar Abrawan sekaligus mengakhiri makan malam mereka. "Pa," tahan Nino sebelum Papanya berdiri dari duduknya, tiba-tiba Nino teringat sesuatu. "Apa Papa kenal baik sama Bu Sisca Kurnia?" tanya Nino. Kedua alis Abrawan terangkat. "Ya, dia salah satu kader loyal Papa. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba tanya tentang dia?" "Ah, nggak apa-apa. Kebetulan aja kemarin aku datang ke seminarnya dan baru tahu kalau dia anggota dewan dari partai Papa. Dia kelihatan kompeten, apa Papa sudah lama kenal sama dia?" "Bisa dibilang cukup lama. Setahu Papa, dia lebih banyak kampanye tentang pelecehan seksual, Papa nggak tahu kalau kamu ternyata tertarik sama topik itu." "Aku habis baca satu buku dan mulai penasaran soal topik itu," dalih Nino. "Oh ya? Buku apa?" "Itu ...," gumam Nino gelagapan, sialan! Kenapa juga papanya harus penasaran sampai sedetil itu. "Jurnal sih, lebih tepatnya, Pa. Mengapa angka kekerasan seksual masih saja tinggi, apakah benar itu akan teratasi kalau sekolah-sekolah mulai memberi edukasi seks." Abrawan kemudian mengangguk-angguk mengerti. "Ya, Sisca dulunya korban pelecehan seksual makanya dia sangat paham tentang topik itu. Kalau kamu mau, lusa kamu bisa ikut Papa ketemu dia buat ngobrol-ngobrol. Dulu dia juga nggak tertarik sama politik, tapi lihat sekarang, dia sangat menikmati kursinya setelah menemukan tujuannya berpolitik. Papa pikir, kamu bisa banyak belajar dari dia kalau politik itu tergantung tujuan pribadinya. Nino menyanggupi ajakan itu, memang kesempatan 'ngobrol' itulah yang dibutuhkannya untuk megulik sedikit demi sedikit informasi tanpa membuat kegaduhan. *** Sejak pembicaraannya dengan sang ayah kemarin, Nino terganggu dengan satu kalimat yaitu 'kalau anak nggak bisa bermanfaat dan membanggakan orangtuanya, apa itu bisa disebut sebagai anak baik?' Mengapa seorang anak harus dibebani dengan tanggung jawab untuk membuat orangtuanya bangga dan mendapatkan manfaat dari anak tersebut? Memangnya, anak itu semacam model investasi? Nino lebih paham dengan konsep berbakti. Seorang anak jika mendapat kasih sayang dan pendidikan baik, dia tidak akan perlu diminta, apalagi ditekan untuk membantu orangtuanya. Mereka akan melakukannya dengan suka rela dan tentunya tanpa ada perasaan 'dipaksa'. Bukankah setiap manusia dilahirkan membawa kebebasan masing-masing? Apa ini tidak berlaku untuk para anak kandung, dan bukan anak adopsi seperti dirinya? Nino harus menuruti apapun kata papanya sebagai ungkapan terima kasih telah mengangkatnya sebagai anak. Jika memang begitu, Nino tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau menyesal telah menyandang nama Abrawan. Meski sejak kecil akrab dengan politik, Nino tidak pernah benar-benar tertarik. Lebih spesifik, menjadi seorang Presiden di masa yang akan datang sehingga dengan begitu nama besar Abrawan akan selalu tercatat dalam buku sejarah bangsa. Nino mengadahkan kepala ke langit malam yang gelap, ia rindu melihat langit berbintang yang menemaninya setiap malam saat masih di pulau. Pemandangan langit yang barangkali tidak mungkin bisa Nino temukan di perkotaan. Jauh di seberang sana, Nino terhubung suara dengan Cessa melalui telepon. Nino bersyukur, percakapan mereka di pantai kemarin tak membuat mereka lantas canggung. "Kalau mau dianggap sebagai salah paham, masuk akal juga, sih, No," tanggap Cessa usai Nino menceritakan penggalan. Percakapannya dengan Abrawan di meja makan kemarin malam. "Enggak-enggak," sela Nino, seakan ingin menghapus pernyataan Cessa barusan. "Itu baru kemungkinan mentah. Seenggaknya sekarang aku tahu dari point of view Papa kayak gimana, penjelasan Papa masuk akal sama kayak yang Pak Kamal bilang juga masuk akal. Kita baru tahu mana yang benar dan mana yang anak-akalan saat nanti ketemu buktinya." "Kamu yakin masih ada bukti bisa ditemukan?" tanya Cessa membuat Nino seketika terdiam lantaran tak menyangka ia akan mendengar kalimat bernada sangsi tersebut dari Cessa. Seolah menyadari ucapannya mungkin menyinggung, Cessa buru-buru menambahkan, "Maaf, aku bukannya mau meragukan kamu dan bikin semangat kamu patah. Hanya saja aku emang ragu masih ada bukti yang tersisa, entah siapa yang salah, pelakunya masti telah membereskan semua itu makanya sampai sekarang kasusnya mengambang. Mengambangnya dalam artian keberadaan Damar nggak pernah diketahui padahal statusnya adalah buronan polisi dengan kejahatan yang melibatkan pejabat-pejabat sebagai korbannya. Bahkan si Bapak yang meninggal itu saja nggak bisa membuktikan papamu bersalah sampai akhir hidupnya. Pasti itu nggak mudah juga buat kamu." "Jadi singkatnya, kamu ingin aku menyerah?" Saat ini hanya itulah kesimpulan yang dapat Nino tangkap dari penjelasan panjang lebar Cessa. Pada intinya, Cessa merasa Nino tidak akan bisa. "Bukan," tampik Cessa, sesuai dugaan Nino. "Aku sejujurnya khawatir kalau kamu hanya fokus ke masalah ini, kamu melupakan urusanmu yang lain atau parahnya kamu bawaannya akan selalu curiga dan amit-amit jadi membenci papamu sendiri atas hal yang belum pasti." Penjelasan lanjutan Cessa memadamkan sedikit bara di d**a Nino yang hampir naik menjadi api. Ucapan Cessa ada benarnya dan sepertinya mulai terjadi, Nino sadari kini setiap kali papanya berkata sesuatu ia akan curiga apa itu bohong. Hingga yang terbaru adalah obrolan mereka kemarin, Nino yang biasanya selalu mampu melihat sisi positif dari tiap ucapan papanya, kemarin yang muncul di benaknya yang buruk-buruk saja. Seperti, mempertanyakan apakah sebenarnya Abrawan mengadopsinya hanya untuk dijadikan boneka penerus ambisinya? Nino menghela napas lemah. "Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?" "Aku mungkin nggak bisa memahami seluruh isi pikiran dan perasaan kamu, seenggaknya dari yang kamu ceritakan, sedikit banyak aku paham. Kalau aku jadi kamu, aku akan menganggap pertemuanku dengan Damar Yunta di pulau itu sebagai pengalaman supranatural. Soal gimana yang salah dan benar, bukankah pengadil tertinggi adalah Tuhan? Katanya nggak ada seekor semut pun bisa lolos dari-Nya." Tiba-tiba Cessa menjeda hanya untuk menghela napas, helaan napas yang terdengar seperti oranh gusar. "Maaf, No, anggap lah aku ini pengecut. Aku cuma nggak mau hidupku yang sudah baik ini hancur. Mungkin ada baiknya aku membiarkan apa yang telah terkubur oleh waktu, tetap terkubur karena mungkin saja apa yang sedang aku gali ini menyangkut kehidupan orang lain." Sesungguhnya, Nino tak paham maksud kalimat terakhir Cessa. Namun ia mengerti jika Cessa maksud keseliruhan ucapannya. Meski begitu, Nino tetap memiliki pandangannya sendiri dan itulah yang akan ia pegang. "Oke, kalau begitu anggap lah aku ini naif dan kolot," balas Nino dengan narasi serupa. "Aku masih merasa pertemuanku dengan Damar Yunta adalah takdir dan bukan sekadar kebetulan biasa. Hanya karena itu terkubur oleh waktu dan terlupakan, nggak menjadikan masalah itu selesai, kan?" tanya Nino retoris. "Ak—" "Kita nggak perlu berdebat masalah ini, Sa," potong Nino. "Terima kasih udah mencemaskan aku, tapi aku nggak bisa berhenti sekarang. Aku akan tetap mencari tahu orang seperti apa orang yang kupanggil Papa selama ini dan menemukan jejak terakhir Damar Yunta dan keluarganya." "Baiklah," desah Cessa. "Kamu cukup tahu, kapan pun kamu butuh aku, aku pasti akan ada buat kamu." Nino tersenyum meski Cessa tidak akan bisa melihatnya. Ada yang beda dari Cessa malam ini, dia tidak banyak bicara seperti biasanya. "Apa ada yang sedang ganggu pikiran kamu, Sa? Malam ini omongan kamu serius sekali," tebak Nino. Biasanya otak Cessa akan berfungsi sebagaimana mestinya saat dia sedang di bawah tekanan atau suasana hatinya kurang baik. "Enggak lah, siapa yang berani-beraninya ganggu pikiran aku?" tampik Cessa dengan suara tak sedatar sebelumnya. "Aku kan bukan kamu, apa-apa dipikirin," lanjut gadis itu setengah menyindir. "Iya juga, sih. Masalah juga kayaknya ogah ganggu kamu, takut nanti kamu cuekin," canda Nino garing, meski begitu kekehan tawa Cessa tetap menyambangi telinganya. "Aku mau balikin omongan kamu. Kamu cukup tahu, kapanpun kamu butuh aku, aku pasti akan selalu ada buat kamu," janji Nino, tanpa tahu jauh di ujung telepon sana, Cessa tersenyum miris dan tak tahu harus merespon apa. Sambil menggigit bibir bawah, Cessa menurunkan ponsel dari telinganya usai percakapannya dengan Nino lewat telepon itu berakhir. Dalam hati, Cessa meminta maaf, dirinya gagal menjadi seorang sahabat yang baik. Namun, ia tidak punya pilihan.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD