32

1461 Words
Jika ditarik menggunakan garis lurus, titik-titik yang sejauh ini Nino kumpulkan semuanya mengarah pada nama sang Ayah, Abrawan. Namun, itu bisa jadi karena Nino baru menggali dari sisi Damar Yunta, kebenaran yang sesungguhnya adalah nanti setelah ia menggali dari sisi Abawan dan membandingkan keduanya dengan bukti yang ada. Jika boleh jujur, ada momen di mana Nino merasa goyah dan takut untuk meneruskan pencarian fakta ini. Ia berpikir, setelah Abrawan baik hati mengadopsinya sebagai anak, apakah ini balasan yang Nino berikan atas perlindungan, kenyamanan, pendidikan, dan keluarga yang telah Abrawan beri untuknya. Mengapa Nino tak menganggap Damar Yunta sebagai hantu biasa yang konon memang bisa gentayangan, alih-alih menghubung-hubungkannya dengan takdir atau apapun itu. Meski begitu, pada akhirnya Nino tetap melanjutkan rencananya karena toh ia niatkan ini bukan untuk mencari-cari kesalahan Abrawan, melainkan sebaliknya, ia ingin membersihkan nama Abrawan dari segala tuduhan yang mungkin saja hanyalah sebuah kesalahpahaman saja. Kendati telah sembilan puluh persen yakin bahwa Sisca yang ia cari adalah Sisca Kurnia, Nino belum juga tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Ia tak mungkin mendekati Sisca tiba-tiba menanyakan tentang Damar Yunta di saat Sisca sepertinya sengaja menutupi masa lalunya, dalam hal ini pekerjaan yang berhubungan dengan Damar Yunta. Nino saat ini tengah duduk di atas hamparan pasir putih di sebuah pantai yang kebetulan sedang sepi. Ia tak sendiri, ada Cessa yang sedang foto-foto selfie di dekat bibir pantai. Entah mengapa, Nino merasa begitu nyaman ketika telapak tangan dan kakinya merasakan tekstur pasir, merasakan embusan angin dari segala penjuru, serta memandang deburan ombak. Cessa bilang, itu karena Nino telah melakukan ini selama seminggu terdampar di pulau Langka, dan sepertinya memang begitu adanya. Agaknya Cessa telah puas mengambil potret wajahnya sendiri karena dia kini lari-lari kecil ke arahnya lalu duduk di sebelahnya. "Aku masih nggak ngerti kenapa seseorang merasa harus sedikit-sedikit foto," ujar Nino saat Cessa telah duduk bersila di sebelahnya. "Namanya juga mengabadikan momen," jawab Cessa santai, tidak merasa tersindir. "Lagian kan nggak setiap menit dan detik juga, paling-paling di tempat-tempat yang bagus aja." "Nah, itu yang aku bingung. Buat apa, coba? Bukannya fokus dinikmati dengan mata biar jadi kenangan di kepala, malah sibuk foto-foto. Kayak kalau lihat pemandangan matahari terbenam, momennya kan berlangsung cepat sekali. Bukankah lebih baik dinikmati daripada dijadikan background foto?" "Ck," decak Cessa, melirik Nino sebal. "Orang-orang kayak kamu nggak akan ngerti pemikiran orang kayak kami. Kamu nggak ngapa-ngapain aja, orang lain udah tahu siapa kamu. Sedangkan kami butuh melakukan sesuatu buat nunjukin eksistensi, salah satunya di dunia maya. Kamu nggak pasti nggak tahu, jaman sekarang banyak perusahaan-perusahaan memeriksa akun sosial media kandidat sebagai pertimbangan lolo seleksi atau enggak." "Aku tahu," sambar Nino, merujuk pada kalimat terakhir Cesaa. Konon HRD akan menilai karakter kandidat melalui unggahan-unggahannya. Tiba-tiba Nino kemudian menghela napas pendek. "Omongan kamu barusan bikin aku menyadari sesuatu," ujarnya. "Yang mana?" tanya Cessa. "Yang bagian aku nggak perlu melakukan apa-apa, buat orang tahu siapa aku," ulang Nino, lalu tersenyum miris. "Bukankah itu artinya aku orang yang payah? Tanpa Papa, aku bukan siapa-siapa. Ingat saat tadi Sisca Kurnia yang dia bilang waktu ketemu aku, katanya nggak nyangka 'anak Presiden' menghadiri seminarnya." "Heish, nggak begitu," sergah Cessa menyenggol dengan Nino santai. "Lebih banyak orang yang tahu kalau kamu itu murid cerdas yang sering menang olimpiade dan langganan tetap juara kelas, kamu berhasil masuk kampus nomor 1 di Indonesia segampang membalikkan telapak tangan. Mungkin nggak seluruh Negeri, tapi banyak juga orang yang tahu betapa tingginya jiwa sosial kamu. Ingat, kamu hampir mati kemarin karena karena mau ikut program mengajar di pedalaman, kan." Nino tersenyum, beterima kasih dan bersyukur Cessa berusaha membesarkan hatinya, meski kenyataannya kalimat semacam itu tak lagi mempan untuknya. Namun Nino tidak mau memperpanjang demi menghormati usaha Cessa tersebut. Kenyataannya, Nino bisa menonjol berkat previlage yang dimilikinya sebagai pemilik nama belakang Abrawan. Ada satu kejadian yang terlalu memalukan sehingga Nino tidak pernah menceritakannya ke orang lain. Waktu itu itu masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar dan sekolahnya sedang mempersiapkan perwakilan siswa untuk mengikuti olimpiade matematika. Pihak sekolah telah memilih nama-nama siswa, dan nama Nino tidak ada di antaranya. Entah bagaimna, setelah papanya menelepon kepala sekolah, keesokan harinya Nino diberi tahu bahwa dirinya akan mewakili sekolah pada olimpiade tersebut. Lalu tanpa sengaja Nino mendengar obrolan di ruang guru bahwa mereka mencemaskan olimpiade karena menilai Nino tidak layak untuk maju. Sejak kejadian itu hingga dewasa ini, Nino belajar tiga kali lebih keras dari biasanya hanya agar dirinya layak menerima segala previlage ini. "Oh ya, kamu belum cerita tadi bicara apa aja sama Bu Sisca," ujar Nino, sengaja untuk mengalihkan topik. "Eh?" Cessa mengerejap seolah kaget menerima pertanyaannya. "Astaga, loncat jauh banget bahasannya, aku sampai kaget." Cessa memukul lengan Nino sebal. Nino tertawa kecil. "Takut kamu lupa. Mana coba aku lihat fotomu sama dia, tumben belum kamu jadikan stories." "Nggak, nggak mau." Cessa refleks menjauhkan ponselnya defensif saat Nino memberi gestur ingin pinjam. Seolah menyadari kernyit bingung Nino, Cessa lalu menambahkan. "Aku malu. Udah aku bilang aku tegang banget, jadi mukaku di foto itu jelek banget." "Sejak kapan seorang Princessa bisa jelek?" ledek Nino. Cessa mengerucutkan bibir sebal. "Ketawa aja terus," dengus Cessa. "Sebenarnya nggak bicara gimana-gimana lagi cuma tanya dulu dia kerjanya apa, lalu nggak lama kamu datang. Cuma sepintas dari yang aku lihat, Bu Sisca kayaknya orang yang baik." Nino mengangguk-angguk mengerti. "Kadang yang terlihat baik belum tentu baik beneran." "Iya juga, sih," gumam Cessa, disambut elusan sekilas di kepalanya yang seketika membuat sekujur tubuhnya membatu. Diliriknya Nino yang tampak tengah menegadahkan kepala ke atas dengan mata terpejam sambil menhela napas dalam-dalam. Nino sepertinya tak sadar dengan gerakan kecil yang dilakukannya barusan, telah memberi efek luar biasa bagi Cessa. Cessa menelan ludah susah payah, lalu memanggil nama Nino dengan benar. "No." "Hmm?" jawab Nino, bersamaan dengan matanya terbukan dan kepalanya menoleh pada Cessa. Memberi Cessa perhatian penuh. "Menurut kamu, aku ini orangnya kayak gimana?" tanya Cessa. Nino mengeryitkan kening lantaran perubahan topik yang begitu mendadak, lagipula selama mereka saling kenal, baru kali ini Cessa bertanya pendapt Nino tentang dirinya. "Pertanyaan yang aneh, hubungan kita udah nggak cocok buat pertanyaan begitu. Tentu saja di mata aku kamu itu orang yang centil, ceroboh, lucu. Tapi kenapa aku masih nyaman berteman sama kamu, karena kamu orang yang tulus, selalu ada buat aku, dan kamu satu-satunya orang yang mau mendengarkan aku di saat semua orang menganggap aku melantur dan gila." "Jadi bagi kamu, aku ini teman, kan?" "I—iya, kan?" Cessa berusaha tersenyum. Otot-otot wajah Cessa terasa kaku, gadis itu tak tahu betapa jeleknya wajahnya sekarang. "Bagus lah, toh sampai kapan pun juga kita akan jadi teman." "Apanya yang bagus?" "Eh?" Cessa mengerejap pelan, menatap Nino yang tengah menatapnya tajam, menuntut penjelasan dari kata 'bagus' tersebut. "Ya bagus, aku selama ini kadang penasaran. Kamu kan tahu aku cantik, kan, terus di mata kamu aku tulus, ya intinya aku baik makanya kamu nyaman berteman sama aku. Aku khawatir aja, kamu jatuh cinta sama aku gitu—" "Terus kamu sendiri gimana?" sela Nino. "Kamu nggak pernah jatuh cinta sama aku?" Salahkan Cessa karena telah mengangkat topik yang mungkin akan membuat mereka canggung setelah ini, di saat Nino pikir hal ini sampai kapan pun hanya akan tersimpan dalam benak mereka masing-masing lantaran tak ingin merusak apa yang telah terjalin. "Ya enggak, lah," tampik Cessa disertai tawa keras. "Aku ini sadar diri, kali. Ngapain aku cari sakit hati dengan jatuh cinta sama orang yang nggak bisa aku miliki? Gimana pun juga, aku ini cuma anak pesuruh papamu. Bahkan banyak orang mengibaratkan papaku adalah anjing papamu. Mana mungkin anak anjing ini berani mengharap lebih dari anak majikannya? Dijadikan teman saja sudah sangat beruntung," tutur Cessa diselingi tawa-tawa, seperti ingin mengesankan bahwa yang dikatakannya ini bukanlah hal serius. "Gimana kalau majikan itu yang ingin memberi lebih ke anjing kecilnya." "Jangan," jawab Cessa. "Karena kalau majikan terlalu baik, si anjing kecil yang manis bisa saja menggigit majikannya." Nino baru buka mulut ingin menanggapi, tapi urung lantaran bersamaan dengan ponsel Nino berdering. Sebuah telepon masuk dari kontak Roni. Roni memberi tahu bahwa Abrawan kembali dari tugas luar negerinya, dan menyuruh Nino pulang segera agar kapanpun papanya tiba di istana, Nino sudah ada di sana. Nino pun mengiyakan dan mengatakan akan segera kembali ke istana setelah mengantar Cessa pulang. Saat Nino menoleh pada Cessa, dilihatnya gadis itu tengah berdiri dan mengibas-ngibaskan pasir di telapak tangannya. Membuat Nino yang semula ingin melanjutkan percakapan mereka sebelumnya pun mendadak ragu. Mungkin memang lebih baik pembicaraan itu berhenti sampai di situ. Bukan karena Nino setuju bahwa hubungan di antara mereka dapat diibaratkan seperti majikan dan anak anjing seperti kata Cessa, melainkan ia lebih takut merusak apa yang telah ada. Sebab Nino belum punya waktu untuk memikirkan romansa. Mungkin nanti, saat semuanya sudah selesai, Nino akan melanjutkan percakapan yang tadi. Dan, sampai hari itu terjadi, ia harap hubungannya dengan Cessa tetap sebaik dan semenyenangkan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD