Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya
Penyebar Tarekat Syattariyah di Jawa Barat Bagian Pesisir Selatan
Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, yaitu dalam lingkungan tahun 1090 H/1679 M-1096 H/1684 M.
Dalam prosesnya menjadi seorang ulama sufi, Syekh Abdul Muhyi lebih dahulu menempuh jalur syariat. Baru kemudian ia menempuh jalur kesufian melalui seorang ulama besar dan waliyullah, yaitu Syekh Abdul Rauf as-Sinkili, yang merupakan ulama asal Aceh As-Sinkil dekat pantai Laut Aceh.
Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia, ini juga di catat oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang sangat terkenal “Jaringan Ulama Nusantara”. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Syekh Abdul Muhyi mendapat Ijazah Tarekat Syattariyah dari gurunya Syekh Abdul Rauf. Sedangkan Syekh Abdul Rauf mendapat ijazah Tarekat Syattariyah dari gurunya yaitu Syekh Ahmad al-Qusyasyi ketika sedang belajar di Madinah. Sebagai tanda telah selesai berguru kepada Syekh Ahmad Al-Qusyasyi, Syekh Abdul Rauf diberi gelar oleh sang guru sebagai khalifah Syattariyah dan Qadiriyah. Maka tak heran, seperti yang diungkapkan oleh KH. Beben Muhamad Dabbas (Wakil Talqin TQN Suryalaya) bahwa selain menganut Tarekat Syattariyah, Syekh Abdul Muhyi juga penganut Tarekat Qadiriyah, hanya saja yang dibesarkan dan disebarkan adalah Tarekat Syattariyahnya.
Adanya indikasi Syekh Abdul Muhyi sebagai Qadiri, bisa jadi berasal dari gurunya juga, Syekh Abdul Rauf yang mendapat gelar khalifah Syattari dan Qadiri dari gurunya Syekh Ahmad al-Qusyasyi. Namun, sangat tidak mungkin apabila Syekh Abdul Muhyi menganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN), karena TQN sendiri baru disatukan oleh Syekh Khatib Syambas sekitar tahun 1888 M.
Sebagaimana Syekh Abdul Rauf yang mendapat dukungan serta perlindungan dari Kerajaan Aceh saat itu. Bahkan diangkat sebagai mufti oleh Kerajaan Aceh. Hal tersebut pula yang dialami oleh Syekh Abdul Muhyi ketika melakukan Islamisasi di wilayah Kerajaan Sukapura atau Tasikmalaya saat ini. Kala itu, Bupati Sukapura ke III mengangkat Syekh Abdul Muhyi sebagai mufti di lingkungan Kerajaan Sukapura. Dan bahkan putri dari Bupati Sukapura ke III tersebut dipersunting oleh Syekh Abdul Muhyi untuk menjadi istrinya.
Pernah suatu ketika, ulama besar dari Sulawesi, Syekh Yusuf al-Maqassari berusaha lari dari pengejaran Belanda dengan meminta bantuan kepada Syekh Abdul Muhyi untuk bersembunyi di Pamijahan. Selama Syekh Yusuf al-Maqassari berada di wilayah Pamijahan, Syekh Abdul Muhyi memanfaatkan waktu dengan belajar banyak kepadanya. Syekh Abdul Muhyi bertanya banyak hal kepada Syekh Yusuf al-Maqassari, salah satunya tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran mengenai hal mistis. Selain itu, Syekh Abdul Muhyi juga meminta Syekh Yusuf al-Maqassari untuk memberitahu dan menyebutkan sanad-sanad tarekat yang ia terima selama berada di Haramain.
Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang paling terkenal pada zamannya.
Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang sangat dikaguminya.Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan selanjutnya kembali ke Jawa dan berkawin di Ampel.
Setelah selesai perkawinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.
Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu.
Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai karamah, yang dapat mengalahkan b******n-b******n pengamal “ilmu hitam” atau “ilmu sihir”. Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan Jawa Barat.
Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa Barat.
Tujuan Syekh Abdul Muhyi memang mencari gua, namun juga membina para penduduk. Usaha demi usaha beliau lakukan untuk mencari gua yang dituju, tapi tidak kunjung menemukan hasil.
Syekh Abdul Muhyi lalu berpamitan dengan penduduk desa, dan melanjutkan perjalanannya mencari gua. Perjalanan panjang telah ditempuh, hingga tibalah Syekh Abdul Muhyi di Pamengpeuk, Garut Selatan.
Kembali Syekh Abdul Muhyi tidak hanya fokus mencari gua, tapi juga mengajarkan agama Islam. Namun beliau melakukannya dengan hati-hati, karena penduduk setempat saat itu masih memeluk agama nenek moyang.
Satu tahun berlalu, sang ayah pun meninggal dunia. Sembah lebe Warta Kusumah dimakamkan di Kampung Dukuh. Sesaat usai ayahnya dimakamkan, Syekh Abdul Muhyi melanjutkan lagi perjalanan mencari gua ke Batu Wangi hingga Lebaksiu.
Di Lebaksiu, beliau sempat bermukim selama empat tahun. Kala itu Syekh Abdul Muhyi sangat berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragam nenek moyang. Konon, keberhasilan beliau melakukan dakwah Islam karena memiliki kemampuan mengalahkan aliran hitam.
Syekh Abdul Muhyi juga mendirikan masjid di daerah itu yang digunakan untuk memberikan pengajian.
Pada saat bermukin di Cirebon, Syekh Muhyi kedatangan dua remaja yang bakal menjadi Ulama besar diwilayah Cirebon yaitu Kyai Muqoyyim Buntet dan Kyai Musa Wanantara Talun. Saat itu usia kedua Kyai ini sekitar 16 dan 17 tahun, mereka berdua belajar beberapa Ilmu Keagamaan seperti Fiqih, Tarekat, Aqidah, Hadits, dan lainya, sekaligus juga belajar Ilmu Hikmah kepada Sang Guru ini.
Kedua Kyai ini bertemu dengan Syakh Muhyi pada waktu yang berbeda, kalau Kyai Musa Wanantara saat dirinya mendengar kedatangan sang guru ini dari tanah Aceh, kalau Kyai Muqoyyim melalui Srengseng Indramayu saat beliau mencari Ayahandanya yang berada di Kraton Kanoman, merupakan salah seorang Qaddi (Hakim Agama). Pertemuan dua remaja ini dengan Syekh Muhyi memang sangat diketahui oleh dirinya, sehingga beliau memahami bobot dan bebet keluarganya serta kecerdasanya kedepan.
Pada saat belajar kepada sang Syekh ini, keduanya mempunyai pendalaman yang berbeda saat mendalami pelajaran keagamaan. Kyai Muqoyyim lebih menonjol kepada Ilmu Fiqih, Aqidah, dan tarekat sehingga beliau pernah menulis bukunya yang menjelaskan tentang fiqih, peninggalan tulisan beliau berada di Buntet Pesantren. Sedangkan Kyai Musa Wanantara lebih menonjol kepada Ilmu Tarekat dan beberapa Ilmu Hikmah.
Setelah mengajarkan banyak ilmu agama kepada kedua Kyai ini, lantas syekh muhyi melanjutkan perjalananya ke Tasikmalaya dan pada akhirnya menetap di Pamijahan dan membikin tulisan tentang ajaran Martabat Tujuh. Sedangkan kedua muridnya yaitu Kyai Muqoyyim dan Kyai Wanantara mengembangkan ilmunya dengan membikin pesantren di daerahnya masing-masing.
Kyai Muqoyyim setelah perjalanan hidupnya di umur 95 tahun melanjutkan pesantrenya yang pernah di porak porandakan Belanda dengan mendirikan Pesantren Buntet dan mempunyai cucu yang melanjutkan pesantrenya. Dan kedua cicitnya nya yaitu Kyai Sholeh yang mendirikan Pesantren Benda merupakan pesantren Unik di Wilayah perkotaan, dan Pesantren Buntet yang dilanjutkan kepada Kyai Abdul Jamil, keduanya adalah Putera Kyai Muta’ad yang menikahi cucu putrinya Kyai Muqoyyim.
Sedangkan Kyai Musa Maharshishiddiq mengembangkan ilmunya dengan mendirikan Pesantren di daerah wanantara dan dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, dan pesantren yang hingga saat ini masih dipelihara oleh keturunannya adalah Pesantren Maharshishiddiq. Dalam kehidupannya Kyai Musa menikahi tiga wanita. Istri pertama Kyai Musa adalah Nyai Masturinah dan mempunyai empat anak, 1. Kyai Maskiyah, 2. Kyai tangeni, 3. Kyai Nursiyam, 4. Nyai Khodijah dan 5. Nyai Hafal Qur’an (Tidak Mempunyai keturunan). Dari keturunan ini kebawahnya, sekarang berada di wilayah Wanantara kecamatan Talun.
Goa Pemijahan
Setelah empat tahun menetap di Lebaksiu, Syekh Abdul Muhyi akhirnya menemukan gua yang selama ini dicari. Gua tersebut kini dikenal sebagai Gua Safarwadi di daerah Pamijahan, Tasikmalaya.
Keberadaan Goa Pamijahan ini erat kaitannya dengan kisah perjalanan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, ia mendapat perintah dari gurunya, yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh) untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham sebagai sebuah goa khusus . Setelah melalui perjalanan panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya yang telah menguning dan sudah masanya untuk dipanen.
Namun setelah dipanen, hasilnya hanya sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini, ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari goa sudah dekat. Upaya pertama untuk memastikan adanya goa yang dicari berhasil, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT , upaya ini akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata hasilnya sama seperti pada panen pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat goa yang dicarinya.
Gua yang terkenal juga dengan nama Gua Pamijahan ini merupakan warisan dari Syekh Abdul Qadir Jailani yang hidup lebih dari 200 tahun. Di gua inilah Syekh Abdul Qadir Jailani pernah menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat goa yang ciri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya.
Saat itulah tangan Syekh Abdul Muhyi menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan goa yang dicarinya. Setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun ,usia Syech Abdul Muhyi pada waktu itu genap 40 tahun. Goa itu , kini dikenal dengan nama Goa Pamijahan , terletak di kaki bukit Gunung Mujarod .
Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda diartikan sebagai tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam goa tersebut.Goa Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi.
Kala itu, Kerajaan Mataram Islam membuat sebuah mandat dengan melayangkan surat kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan Pamijahan sebagai daerah Pasidkah (yaitu sebuah daerah yang bebas dari pajak dan upeti).
Proses suluk/perjalanan untuk menjadi seorang ulama besar, ia tempuh melalui jalan syariat seperti halnya ulama ulam lain, dengan berguru kepada ulama-ulama besar pada saat itu.
Penemuan dan keberadaan goa ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya.
Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Goa besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’ menjadi salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa .
Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru di masa hidup Syech Abdul Muhyi . Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, Safar yang berarti “jalan” dan Wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali.Namun sekarang Safar Wadi dikenal dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan berziarah berduyun-duyun, bagai ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur , bukan berarti tempat “pemujaan”.
Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah.
Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya.Di samping hamparan batu cadas terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadan, para peziarah membawa botol untuk diisi air dari tempat tersebut.
Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura, Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya.
Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah, setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi, Wali Allah yang tersebut itu.
Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu.
Disingkatkan saja kisahnya, bahwa kita patut mengakui dan menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama Dalem Pamijahan.
Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al Fansuri.
Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di tempat-tempat yang tersebut, melalui bai’ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu.
Larangan Merokok
Peziarah makam karomah Syekh Abdul Muhyi Desa Pamijahan Kecamatan Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya dilarang merokok di sekitar makam.
Adat larangan merokok di sekitar makam karamah Pamijahan, usianya sudah ratusan tahun berlaku sejak datangnya Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. sekitar 1450 M asehi. Namun hingga kini adanya larangan merokok masih kuat tetap dipatuhi oleh seluruh peziarah yang datang.
Hanya saja, para peziarah tidak sedikit pasti bertanya-tanya kenapa merokok di makam karamah Pamijahan dilarang. Selidik punya selidik ada cerita rakyat yang turun-temurun asal-usul dilarang merokok di sekitar makam karamah Pamijahan.
Alkisah ada dua tokoh waliyullah, Syekh Maulana Mansyur dan Syekh Abdul Muhyi, ada dua versi yang berkembang kaitannya dengan larangan merokok di Pamijahan.
Versi pertama menyatakan keduanya akan menuju pulang, setelah melaksanakan ibadah haji dari Mekkah.
Syekh Abdul Muhyi pulang dari Mekkah menuju tempat kampung halamannya melalui perut bumi, sedangkan Syekh Mansyur lewat bantuan angin (di atas laut).
Namun saat diperjalanan Syekh Abdul Muhyi sempat merokok dulu, sehingga keduluan datang di kampung halamannya masing-masing oleh Syekh Mansyur
Kabar Syekh Mansyur tiba duluan didengar oleh Syekh Abdul Muhyi. Dia pun sangat menyesali perbuatannya saat pulang menyusur bumi (warga setempat menyebutnya nerus bumi), sempat merokok dulu.
Versi lain menceritakan, saat itu Syekh Abdul Muhyi akan berangkat ke Mekah melalui perut bumi atau nerus bumi. Di tengah perjalanan, ia sempat merokok dulu. Apa yang terjadi, ternyata Syekh Abdul Muhyi kalah cepat oleh Syekh Maulana Mansyur yang berangkat ke Mekah dengan berjalan di atas laut. Padahal, biasanya datang lebih duluan.
Sejak saat itu, Syekh Abdul Muhyi melarang anak-cucunya untuk merokok. Tidak hanya melarang anak cucunya. Namun hingga sekarang larangan itu berlaku warga setempat dan bagi para peziarah yang datang ke makam karomah Pamijahan. Hingga kini larangan merokok masih dipatuhi oleh para peziarah.
Kasepuhan Pamijahan KH. Endang Ajidin menuturkan untuk yang masih suka merokok, Kanjeng Syekh Abdul Muhyi memberi batas di tiap penjuru. Batas adat dilarang merokok sekarang terpampang jelas untuk peringatan bagi para peziarah di sekitar makam karomah Pamijahan.
Larangan merokok kata Endang, berlaku pula untuk warga setempat yang tinggal atau mukim di sekitar daerah larangan. "Bagi para perokok, silahkan bisa merokok di luar batas-batas itu,” jelas Endang.
Ditandaskan dia larangan itu masih berlaku hingga sekarang. Tidak heran, baik warga maupun peziarah, harus mencari luar batas jika ingin merokok. Ada smoking area.
“Jika ada yang melanggar, silakan tanggung sendiri akibatnya. Tapi kalau tidak disengaja atau tidak tahu, itu tidak apa-apa,” kata dia.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Bantarkalong Asep Saepul Ulum membenarkan hingga sekarang tidak ada yang berani merokok di sekitar larangan yang telah diberikan plang rambu-rambu di hampir di setiap sudut.
"Tidak ada yang berani. Kalau ada peziarah yang merokok, ia langsung diberitahu agar mematikan rokoknya," tutur Asep yang kebetulan tinggal di area larangan merokok.
Wafat
Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M, dan meninggal sekitar tahun 1730 M. Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai empat isteri. Hasil erkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak. Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong.
Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur.
Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan.
Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai karena doa kiyai itu dianggap mustajab.
Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya, menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti mustajab.
Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal berani dalam memerangi musuh Islam. Walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya.
Meskipun sudah wafat ratusan tahun yang lalu, makam Syekh Haji Abdul Muhyi. Makam ini terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, 65 kilometer arah selatan dari pusat kota Tasikmalaya. Makam ulama besar yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tasikmalaya itu ternyata sudah dikenal sejak dulu. N
Menjelang puasa dan bulan Maulud, obyek wisata ziarah ini ramai dikunjungi. Tiap tahun tak kurang dari 500.000 orang berkunjung ke kompleks pemakaman itu.
Konon, sembilan Wali pernah berkumpul di tempat ziarah yang terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya ini.
Karenanya, pada hari-hari besar Islam, terutama bulan Mulud ratusan bus peziarah yang mendatangi makam sembilan Wali selalu menyempatkan ziarah ke Pamijahan.
Masyarakat serta para peziarah yang datang dari luar Tasikmalaya beranggapan tidak afdol ziarah ke sembilan Wali tanpa berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi yang disebut-sebut sebagai Wali kesepuluh.(***) Aji Setiawan
Simpedes BRI 372001029009535
Daftar Pustaka
1. Profil Syekh Abdul Muhyi dan Perjalanan Syiarnya Hingga Sampai di Pamijahan. Dara.id. Redaksi 7 Mei 2022
2. https://jabar.nu.or.id › tokoh › Riwayat Singkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan | NU Online Jabar. 8 Feb 2021
3. Khoirum Millatin. jatman.or.id. Mengenal Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Melalui Sanad Keilmuannya. 28 Feb 2022
4. SM Said. https://daerah.sindonews.com › Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan - SINDOnews. 12 Jun 2016
5. Faizal Amiruddin. Asal Usul Larangan Merokok di Makam Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Tinta Putih. Rabu, 13 April 2022
6. Lu'un Aulia Lisaholith. Wisata Religi Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. Tribunnews. Jumat, 21 Oktober 2022
7. Bintang Irianto. Dua Murid Ternama Syekh Abdul Mukhyi di Cirebon Citrus.id. Rabu, 14/02/2018
-