Chapter 2 : Takdir?

1973 Words
Asiyah mengeliat di atas kasur, dengan bibir meringis memegang perutnya, malam ini ia tidak diizinkan untuk makan, sesuai dengan yang dikatakan Pamannya, karena Asiyah melakukan sedikit kesalahan sehingga ia tidak diberikan sedikitpun makanan. Asiyah beranjak dari kasur, keluar dari kamarnya. Pandangan Asiyah tertuju pada ruang makan yang sudah terkumpul keluarga bahagia disana. Paman, bunda, dan Sabilla, mereka tampak bercengkrama bercanda ria. Asyiah mengembuskan napasnya. Asiyah melirik ke arah pintu Sabbilla yang terletak disamping kamarnya. Apa niatnya ini benar? Ia ingin mencari makanan didalam kamar itu. Konyol memang, tapi hanya kamar itu yang bisa ia masuki tanpa dilihat oleh mereka. Asiyah berjalan pelan kearah pintu, membuka pintu itu dengan sepelan mungkin, lalu menutupnya dengan hati-hati. Pandangannya tertuju pada makanan diatas meja, terletak beberapa snack diatas meja itu. Asiyah berucap syukur dalam hati. Asiyah berjalan kearah meja, lalu mengambil satu snack dan meletakan beberapa lembar uang. Ia memilih duduk di atas sofa, sebagaimana kita makan dan minum seperti Rasulullah ajarkan. Pandangan Asiyah terhenti pada beberapa buku kuliah Sabilla. Sebenarnya sudah beberapa hari ini ia penasaran dengan buku-buku itu. Ia hanya memilih buku Sabilla jika Sabilla akan berangkat kuliah tentu tanpa membukanya. Jika Sabilla tahu ia membuka buku itu, pasti Sabilla akan memarahinya. Asiyah melirik ke arah pintu, semoga saja pintu itu tidak terbuka, sampai ia selesai dan keluar dari kamar ini. Asiyah bangkit, lalu melangkahkan kakinya ke arah meja. Tangannya mengambil salah satu buku yang berjudul Matematika Diskrit, terbit senyum bahagia dibibirnya. Bagaimana yah rasanya jika ia kuliah, pasti akan sangat menyenangkan. Bercanda ria bersama sahabat sampai kelulusan tiba. Dirinya sangat menginginkan itu. Tapi kapan? Ia hanyalah gadis tamatan SMA. Air matanya menetes, kenapa hati ini terasa begitu ingin untuk melanjutkan kuliah? Apa ia memang tidak pantas untuk sekolah lagi? Asiyah mengusap air matanya, ia tidak boleh cengeng, dirinya adalah gadis yang kuat. Asiyah membuka lembaran-lembaran buku itu. Matanya mendelik begitu serius untuk menjawab berbagai soal Matematika, dirinya termasuk gadis pinter, sering sekali dirinya mendapatkan rangking 1 berturut-turut dari SMP sampai dengan SMA. Jika mengingat itu ia kembali rindu kepada Uminya. Beliau dulu sungguh bahagia dengan kejuaraan dirinya. Asiyah saat itu merasa bangga karena telah membahagiakan kedua orangtuanya. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Uminya meninggal karena penyakit yang menyerang tubuh Uminya. Selang beberapa bulan, Abinya mengikuti jejak Uminya, beliau meninggal disaat perjalanan menuju ke sekolahnya, hari dimana ia akan kenaikan kelas. Sungguh dirinya sangat hancur saat itu. Sebelum orang tuanya meninggal, Uminya menitipkan beberapa amanah yang harus ia jaga, salah satunya rumah mereka. "Asiyah apa kau pegang?" Asiyah tersentak mendengar bentakkan itu, tanpa sengaja ia menjatuhkan buku yang digenggamannya. "Oh no, kau membaca buku ku, sudah aku katakan kan, kau tidak boleh membaca buku ku, jadi jangan sok pintar, gadis bodoh!"  Seketika hati Asiyah ngilu mendengar ucapan itu. "Mommy..." Teriak Sabilla dari atas tangga. Bunda Sarah mendengar teriakan itu, seketika panik lalu melangkahkan kakinya ke kamar Sabilla. "Kenapa sayang?" "Gadis bodoh ini, membaca buku ku Mommy!" Sabilla terbelalak, matanya menajam ketika melihat snack yang terbuka di tangan Asiyah. Sabilla merebut makanan itu dari tangan Asiyah dengan kasar. "Kau juga mengambil makananku, dasar pencuri!" "Aku sudah membayarnya," "Pencuri mana ada yang ngaku!" "Liat mommy dia sudah merusak kamarku!" Adunya pada Bunda Sarah. Mata tajam Bunda sarah menatap Asiyah. Asiyah menunduk takut. "Dasar gadis miskin, nggak tau diuntung, cuma numpang tapi berlagak sok ratu!" Dengan kasar Bunda Sarah menarik kerundungnya, Asiyah menjerit kesakitan.  Bunda Sarah menariknya kasar keluar dari kamar Sabilla lalu menyeretnya hingga diempaskan di depan pintu. Asiyah merasa tubuhnya terasa nyeri, dirinya mendadak pusing saat tiang pembatasan itu membentur keningnya. Ia menangis. Sabilla menatapnya dengan senyum miring. "RASAIN LO!" kata Sabilla dengan senyum remehnya. Bunda sarah menutup pintu Sabilla keras, membuat dirinya tersentak. Dengan susah payah dirinya bangun lalu berjalan bertatih ke arah kamarnya, sepertinya kakinya juga keseleo. Asiyah menutup pintu kamarnya pelan, melangkahkan kakinya kearah kasur. Ia terduduk ditepi kasur. Merasa ada sesuatu yang mengalir di kening, membuat Asiyah menyentuh keningnya. Darah? Tangannya meraba-raba laci di samping kasur, mencari P3K. Setelah ketemu. Asiyah mengobati keningnya. Sesekali ringisan keluar dari bibirnya. Allahuakbar Allahuakbar Adzan Isya berkumandang indah, menyambut malam dan mengajak para umat islam untuk beribadah kepada-Nya. Asiyah melangkah menuju kamar mandi, melakukan wudhu sesuai dengan aturan. Setelah selesai, ia membaca doa setelah wudhu. Asiyah melentangkan sajadahnya mengarah ke arah kiblat lalu mengenakan mukenah putihnya. Setelah selesai, Asiyah beristighfar tiga 3 kali, kenapa kita dianjurkan beristighfar 3 kali? Kita dianjurkan membaca bakda shalat, bacaan istighfar [ASTAGHFIRULLAH 3 kali] lalu membaca [ALLAHUMMA ANTAS SALAAM, WA MINKAS SALAAM, TABAAROKTA YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM] (HR. Muslim, no. 591) Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam selesai dari shalatnya (shalat fardhu), beliau beristighfar tiga kali dan mengucapkan: ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ  اللَّهُمَّ أنْتَ السَّلاَمُ ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ ، تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلاَلِ وَالإكْرَامِ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ  Artinya: Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan. Mahasuci Engkau, wahai Tuhan Pemilik Keagungan dan Kemuliaan). ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ  Ada yang bertanya pada Al-Auza’i, salah satu perawi hadis ini, “Bagaimana cara beristighfar?” Al-Auza’i menjawab, “Caranya membaca ‘ASTAGHFIRULLAH … ASTAGHFIRULLAH’ (Aku memohon ampun kepada Allah. Aku memohon ampun kepada Allah). (HR. Muslim, no. 591). ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ  Alasan kenapa kita dianjurkan untuk beristighfar bakda shalat menunjukkan bahwa seorang hamba janganlah tertipu dengan amalannya. Jika hamba merasa tidak takjub pada amalnya sendiri, itu akan membuat amalan tersebut mudah diterima. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ  Keselamatan, rasa aman, dan thuma’ninah seperti yang dibaca dalam dzikir di atas adalah suatu nikmat yang Allah anugerahkan pada mereka yang mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga setelah mengetahui hal ini, kita bisa semangat untuk istiqomah membacanya setiap selesai shalat fardhu. Godoran pintu yang keras, membuat Asiyah terhenti dari dzikir nya. Kakinya berjalan sedikit cepat kearah pintu, lalu membuka pintu. Terlihat Bundanya disana dengan mata yang selalu menatapnya tajam. “Kenapa Bunda?” Bunda Sarah mengabaikan Asiyah, kakinya menerobos masuk ke kamar Asiyah, lalu mengobrak-abrik isi lemari Asiyah. “Bunda hentikan, kenapa baju Asiyah dikeluarin?” “Mana sertifikatnya?” Asiyah mengernyitkan dahinya bingung. “Sertifikat apa Bunda?” “Jangan sok polos kamu, mana sertifikat rumahmu?” Asiyah terbelalak. “Untuk apa Bunda? Itu akses terakhir Asiyah dari Umi.” “Sini Bunda mau pinjam!” Asiyah mengeleng. “Nggak, itu amanah Umi, Asiyah tidak akan memberikannya!” PLAAAKK! Aaakkhhh Asiyah tersungkur ke lantai yang dingin setelah tangan sang Bunda mendarat mulus di pipi putihnya. Asiyah tertunduk dengan rasa nyeri dan perih di pipinya. Gadis itu tidak berani mendongak untuk melihat wajah Bunda Sarah yang memerah marah.  “JANGAN SUKA NGEBANTAH KAMU YA, KAMU ITU CUMA NUMPANG DISINI, CEPAT SERAHKAN SERTIFIKAT ITU!” Asiyah menangis tersedu-sedu. “Nggak! Asiyah tidak akan memberikannya!” Melihat tangan Bunda Sarah yang hendak menamparnya lagi, membuat Asiyah memejamkan matanya kuat. Terdengar helaan nafas kasar dari bibir Bunda Sarah, lalu pintu kamarnya ditutup dengan kasar.  Asiyah menangis memegang pipinya yang masih terasa nyeri. Kenapa Bundanya tiba-tiba meminta sertifikat itu? °°°° Jemari itu terus bernari-nari diatas Keyboard, pemuda tampan itu terlihat sangat sibuk dengan kegiatan saat ini, sehingga TV yang menyala didepannya ia abaikan. Tak jarang pemuda itu memperbaiki posisi kacamata agar pas kembali diposisi hidung mancungnya. “Kak!” Hanya abaikan yang dilakukan pemuda tampan itu, tanpa mengubris sosok lelaki tampan yang berjarak umur lebih muda dengannya.  “Kaaakkkkk,” kesal lelaki itu, meneraiki panggilan itu ditelinga pemuda tampan yang sedari tadi masih saja fokus pada benda petak didepannya. “Apaan sih, Dek?” “Ya Allah, umur segitu masih aja sama benda mati,” Pemuda itu mengeleng tak mengerti, pandangannya masih fokus pada laptopnya. “Ngaco kamu!” “Kak, umur kakak tuh udah cocok cari pendamping, jangan sama Laptop aja pacarannya, nggak bosan apa!” “Kakak kerja, Dek!” kini pandangan pemuda itu teralihkan menatap adiknya yang kini bersekolah SMA. “Ck, Kerja mulu, capek tau, mending seperti Rangga jalan-jalan bebas sama pacar!” Rangga menutup mulutnya keceplosan. Mata tajam pemuda itu menatap Rangga menyelidik.  "Kamu pacaran, Dek?”  Rangga menunduk kepalanya takut. “Ga--,” “Jangan bohong sama kakak, udah berapa kali kakak bilang jangan pacaran, pacaran itu dosa dek, nggak ada dalam Islam, sebagaimana dalam surah Al-Isra' ayat 32, Allah SWT berfirman: وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَاحِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32), kakak bilangi sama Abi!” “Jangan kak, please, Rangga janji akan putusin pacar Rangga!" “Gak, kakak nggak percaya,” Jemari Pemuda itu kembali berkutat pada laptopnya.  “Kakak, jangan yahh, please!” Rangga terus memohon pada pemuda itu, tapi tidak diubris sama sekali. “Apa yang jangan?” Kini Rangga terkejut sekali, ketika matanya menatap mata Abinya yang memandang mereka mengintimidasi. “Gak ada Bi, nih Kakak, Rangga suruh cari pendamping tapi nggak mau,”  Mata tajam pemuda itu menatap Rangga, ia menaikan alisnya. Rangga mengedipkan sebelah matanya, lalu bibirnya seoalah berbicara. 'Jangan bilang sama Abi ya' Terdengar kekehan dari Bara- orangtua mereka. “Haha benar yang dikatakan adik kamu, kapan nih kamu nikah?” Pemuda itu menatap Rangga seolah musuh, kenapa dia yang harus kena sasarannya. “Lagi sibuk Bi, jadi belum dapat,” “Ck apa susah nya sih kak, banyak lho yang ngantri yang mau jadi pasangan kakak, jadi kakak tinggal pilih aja!” “Gak ada yang cocok!” Bara mengeleng tak percaya selalu jawaban itu yang terdengar. “Jawaban kamu selalu seperti itu,” kini Bara menduduki dirinya ditengah kedua anaknya.  Bara mengusap rambut kedua anaknya. “Anak Abi udah pada besar ya!” Hanya senyuman yang mereka tunjukkan. “Ada yang mau Abi bicarakan sama kamu?” kini mata pemuda itu menatap mata Abinya dengan serius. "Nak, kamu ke kamar ya!”  Rangga yang mendengar perintah itu, berlalu pergi menuju kamarnya. Bara menepuk bahunya bangga. “Bagaimana dengan perusahaan yang kamu pimpin di Jerman?” Pemuda itu tersenyum. “Alhamdulillah, lancar Bi, Insyaallah tahun ini akan melakukan proyek baru, dan mendapatkan keuntungan yang banyak,” pemuda itu berucap bangga dengan hasil kerjanya selama ini. Bara tersenyum melihat kesuksesan anaknya. "Abi bangga sama kamu!” “Oh ya, tadi Abi bilang ada yang mau dibicarakan, apa itu Bi?” Pemuda itu sungguh penasaran dengan apa yang akan Abinya katakan. Bara berdehem sejenak. “Umur kamu 28 tahun kan?” Pemuda itu mengangguk membenarkan. “Jadi, Abi harap kamu mau menikahi anak sahabat Abi dan lamarannya akan dilaksanakan nanti malam, sorenya kita akan langsung berangkat ke Aceh!” “Apa!!”  Pemuda itu mendadak bangkit dari duduknya, matanya mendelik tak percaya memandang Abinya. Kenapa ia tidak tahu apa-apa tentang rencana ini? “Bagaimana Abi bisa mengambil keputusan ini tanpa persetujuan Adam!" Dirinya kacau ketika mendengar jika ia akan dijodohkan, sungguh ia tidak mau mengikuti jejak sahabatnya, seumur hidup ia tidak menginginkan itu.  Bagaimana bisa ia menerima ini semua sedangkan dirinya ingin mengkhitbah gadis lain tanpa abinya tahu, rencananya ia ingin memberikan sedikit kejutan untuk keluarganya, tapi apa yang didengarnya sekarang, membuat ia benar-benar tidak terima. “Tapi Adam mencintai gadis lain Bi, dan ingin mengkhitbahnya?”  “Kamu belum melakukannya jadi tidak ada masalah jika perjodohan ini tetap dilanjutkan!” “Adam tidak setuju Bi, Adam tidak akan mau melakukan perjodohan ini,” “Abi tidak perlu persetujuanmu!” Adam mengeleng tak percaya dengan sikap Abinya yang sangat egois. “Adam tetap tidak akan mau!” bantah Adam tetap tak terima. “Kalau kamu tidak mau semua warisan Abi akan Abi serahkan kepada wanita itu, karena perusahaan Abi bisa sesukses ini ada bantuan sahabat Abi, Ayah dari perempuan itu,” Sungguh Adam sangat benci pada wanita itu bahkan dia sendiri belum sedikitpun melihatnya. Adam melangkahkan kakinya pergi, lalu menutup pintu kamarnya keras. “ADAM PRADIPTA,” °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD