Jason memicing saat mendapati mertuanya yang sering sakit-sakitan itu kembali hadir dalam perjudian bersama para bandar di kapal pesiar mini miliknya—atau yang biasa dikenal dengan sebutan Superyacht. Di sana kebetulan sedang ramai, Tuan Herbert dan teman-temannya baru saja melakukan pesta minuman sebagai peresmian kapal pesiar baru yang akan digunakan untuk tujuan rekreasi.
Kapal pesiar E-Herbert kali ini tak kalah mencuri perhatian, pasalnya dilengkapi fasilitas penginapan dan perlengkapan mewah bagaikan hotel berbintang.
"Kali ini kalau kalah mau ngejual siapa lagi, eh?" sindir Jason tidak pandang bulu. Hanya satu yang terlintas dalam benaknya, apa Tuan Dominic tidak kapok dengan perjudian sebelumnya yang hampir membuat dia tertimpa kebangkrutan?
Untung Jason memilih berdamai dengan satu syarat cemerlang yang menguntungkannya dua kali lipat, kalau tidak sudah Jason pastikan keluarga Dominic menggelandang di jalanan.
"Saya hanya menikmati permainan mereka, tidak ikut bergabung. Saya bosan di rumah, sepi tidak ada Alice. Selama di kediaman kamu, dia baik-baik saja, 'kan?"
"Menurut Anda bagaimana dengan mengetahui tingkah Alice yang seperti itu?" Jason bersandar santai pada kursi kebesarannya, ditemani beberapa tumpukan uang seratus ribuan di atas meja. Tentu saja setiap kelompok yang memulai permainan judi, harus memberi komisi pada Jason.
Segala hal yang terjadi di dalam Superyacht itu adalah bisnis yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tidak heran kenapa keluarga Ernest Herbert begitu kaya.
"Nanti saya ingatkan lagi agar dia lebih sopan sama kamu. Saya sudah berusaha memberinya pengertian tentang beberapa hal, tapi sejak dulu Alice memang sedikit keras wataknya. Kalau tidak pelan-pelan, dia akan berontak."
Jason mengangguk saja pada akhirnya. Dia sebenarnya sudah tidak begitu dongkol pada Tuan Dominic, sebab sebelumnya mereka pernah berseteru mengenai harta kepemilikan akibat judi. Kalau Jason liat, mertuanya ini cukup mudah mendengarkan, tidak juga egois seperti pengusaha lain yang telah menjadi saingannya dalam berbisnis.
Bahkan saat Jason menginap di kediaman Dominic, pria itu meminta pada pekerjanya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada Jason—meski nyatanya dia pun tak gilaa dengan rasa hormat orang lain. Jason juga tak sengaja menguping Tuan Dominic menasehati Alice, meminta istri kecilnya agar menurut dan tak banyak membantah.
Tuan Dominic adalah seseorang yang tahu diri, berbeda sekali dengan sikap putri manjanya. Astaga, Jason selalu tersulut jika mengingat kelakuan Alice. Rasanya ingin dia jewer wanita itu sampai terdengar kata ampun dan kapok.
Kedatangan Elmer membuat Jason harus menyuruh Tuan Dominic meninggalkannya, pasti orang andalannya ini mempunyai sesuatu yang lebih penting untuk dibicarakan.
"Tuan Jason, Nona Alice sedang berada di sebuah tempat hiburan bersama sahabatnya. Mereka melakukan pekerjaan gilaa untuk menghibur para pria hidung belang."
Elmer mengabari secara lengkap apa saja yang dia dapatkan mengenai Alice dan Violet malam ini. Sebab jika terjadi sesuatu nantinya, Elmer juga yang akan disalahkan jika tak melakukan apa-apa. Andai Alice bisa diganti dengan wanita lain, Elmer akan sangat bahagia. Lumayan mengurangi sakit kepalanya.
"Apa kamu tidak salah informasi?"
"Tidak, Tuan Jason. Dari gps yang Tuan tanam di bawah kulitnya, saya bisa mengetahui di mana titik Nona Alice." Elmer memperlihatkan tablet canggih miliknya yang serba bisa, titik merah itu memang berada di suatu tempat yang sangat terkenal—The Adhulpus.
"s**l!" umpat Jason langsung naik pitam. The Adhulpus adalah tempat para orang kaya yang sedang bersenang-senang untuk menghamburkan uang, tidak ada orang sembarangan yang bisa masuk ke sana.
"Siapkan mobil, saya akan menyeretnya dari tempat terkutuk itu. Alice benar-benar meremehkan saya, dia pikir saya tidak mampu memberinya uang? Rasanya ingin saya sumpal mulutnya dengan uang sampai tidak bisa ngomong lagi."
Masuk ke mobil, Jason menyisipkan pistol lain pada pinggang, sementara di saku jas sebelah kiri sudah terdapat s*****a api yang lain.
Senjata selalu ada dalam setiap langkah Jason, sebab dia tak tahu kapan musuh mengintai dan mulai mencelainya. Siapa tahu ada p*********n saat Jason memasuki The Adhulpus, pria itu selalu waspada dan pandai membaca situasi di sekitarnya.
"Parkir di tempat biasa, Elmer. Saya akan masuk lewat pintu biasanya."
"Baik, Tuan Jason."
Jason lebih sering mengambil jalan pintas yang tidak diketahui banyak orang. Tangga gelap itu menuju ruang bawah tanah, sebelum naik kembali ke atas menggunakan tangga darurat. Hanya orang tertentu yang mengetahui pintu rahasia The Adhulpus.
Jadi saat terjadi p*********n, Jason bisa keluar dan menyelamatkan diri dengan mudah melalui lorong itu.
"Kamu tunggu di sini saja, sambil awasi keadaan sekitar. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi saya."
Pasalnya dulu pernah saat Jason tengah bersenang-senang bersama Elmer di The Adhulpus untuk merayakan kemenangan melawan kartel narkobaa—mereka lengah, tiba-tiba p*********n selanjutnya menyusul secara brutal. Jason tertembak pada bagian bahu, Elmer terluka parah, dan dua bodyguard Jason yang berada di area luar meregang nyawa.
Kejadian itu yang membuat Jason lebih waspada jika ingin bepergian ke tempat ramai. Musuh-musuhnya bukan orang sembarangan, rata-rata dari mereka adalah bos-bos kartel dan pembisnis yang berhasil Jason ratakan sebab mengganggu kenyamanannya dan berbuat kecurangan.
Memasuki The Adhulpus, Jason menyusuri tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi. Sinar lampu laser dan kebisingan pekak dari alunan musik yang dibawakan oleh Disc Jockey terkenal tanah air menyambut kedatangan Jason. Titik merah pada jam tangannya menunjukkan jika saat ini Alice berada di area VVIP lantai dua.
Saat Jason tiba di sana, terlihat para pria hidung belangg ditemani masing-masing wanita bermain gambling. Ada yang dipangku, dipeluk posessif, ada juga yang berciuman tanpa tahu malu.
"Eh—hai, Jason!" Alice menyadari keberadaan suaminya, lalu menyapa dengan tingkah konyol. Keadaannya mabuk berat, akal sehat Alice sedang tidak bekerja dengan baik.
"Siapa dia?" tanya pria tua incaran Alice untuk mendapatkan uang.
"D-dia? D-dia suamiku, namanya Jason."
Tanpa banyak bicara, Jason menarik Alice agar menjauh dari pria menjijikan itu. "Berani-beraninya kau menyentuh milikku!" Jason langsung naik pitam.
Awalnya ingin membalas perlakuan tidak sopan Jason, namun pria lain langsung menghentikannya dengan gerakan mata—memberitahu jika Jason bukanlah lawan mereka. Jika berurusan dengan Jason, siap kehilangan harta benda bahkan nyawa.
"Elmer, masuk ke dalam dan jemput temannya Alice. Mereka mabuk berat di lantai dua, begitu s****n dan merepotkan!"
Alice mengerutkan kening melihat Jason marah, kemudian berjinjit untuk melingkarkan lengan pada leher suamianya. "Kenapa marah, Jason? Di sini seru, aku suka!" decaknya penuh kagum dan bangga dengan apa yang baru saja dia lakukan.
"Kamu memang selalu menguras emosi, Alice. Buat apa mengunjungi tempat ini, huh? Kamu bukan pelacurr, tidak usah jual dirii."
"Bener, a-aku nggak jual dirii kok, Jason. Aku c-cuman cari duit. Itu loh—menemani p-pria tua yang jelek tadi." Alice tersenyum tanpa dosa, wajahnya memerah karena kebanyakan menegak alkohol.
"Cari duit matamu! Ada saja kelakuan kamu yang bikin saya murka."
Tidak lama, Elmer datang. Jason menyuruh pria itu menggendong Violet, lalu segera menuju mobil. Jason tidak berniat berada di sana lama-lama, emosinya sedang memuncak.
"Jason, pria tua itu menyuruhku melakukan hal gilaa." Jason menaikkan sebelah alis, dia sudah berhasil mendudukkan wanita itu di jok sebelahnya. "Dia lepas celana, menyuruhku menyentuh itu-nya. Kamu paham, 'kan?"
Jason membelalak, segera menutup mulut Alice agar Elmer tak mendengarnya lebih banyak. Jason malu sekali, harga dirinya seperti tidak ada apa-apanya di mata istri kecilnya ini.
"Jangan tutup, aku belum selesai ngomong!" Alice melepaskan bekapan Jason, menggigit tangan pria itu sebal. "Miliknya kecil, nggak sebesar punya kamu, Jason. Aku geli, aku nggak mau—"
"Diam, Alice!" bentak Jason dengan telinga memerah, dia malu dengan kefrontalan Alice barusan. "Jangan menatap saya, Elmer, tutup telingamu dan cepat kemudikan mobilnya dengan benar!"
Alice menatap Jason dengan kesadaran kian menitipis. Bibir kemerahan yang sedikit terbuka itu sempat mencuri perhatian. "Jason, aku belum dibayar. Kenapa langsung pulang? Hari ini mataku diracuni hal-hal nggak baik, harusnya aku dapat bayaran setimpal."
"Diam, Alice!"
"Aku harus cari uang, Jason, biar bisa bayar hutang Daddy sama kamu. Aku pengin kita cerai, aku mau bebas." Alice mendesis, lalu menyandarkan punggungnya lelah. "Besok akan kucari pria kaya yang lebih ganteng, nggak mau yang tua lagi. Dia gendut, sedikit keriput juga. Bagusan punya kamu."
Tiba-tiba Alice memegangi perut Jason, menepuknya beberapa kali. "Banyak ototnya gini, aku suka liatnya," lanjut Alice membanggakan.
Saat tangannya akan menyusuri bagian bawah, Jason langsung mencekal dan menghentikan. "Kamu benar-benar sinting!"
"Kenapa? Biasanya kamu menggoda dan senang menguasai tubuhku, kenapa aku nggak boleh sentuh kamu? Aku mau ini!"
Jason menjauhkan kepala Alice darinya, berusaha menjaga jarak aman. Apa alkohol itu dicampur dengan obat perangsangg?
Mengamati tatapan dan gerakan s*****l Alice, Jason mengumpat marah. Untung Jason lebih dulu membawa Alice pulang sebelum terjadi hal tidak diinginkan lainnya.
"Kemudikan lebih cepat, Elmer. Wanita ini tidak bisa diselamatkan lagi."
"Terus wanita ini mau diapain, Tuan? Dia tidur seperti orang mati." Elmer tidak menoleh pada Violet, lumayan kesal pada dua wanita yang selalu merepotkan itu.
"Kamu urus dia, saya tidak ingin dipusingkan oleh keduanya. Cukup Alice saja, kepala saya hampir pecah."
Elmer menggerutu dalam hati, jangan sampai dia berjodoh dengan wanita-wanita akhir jaman seperti ini, bisa pusing tujuh keliling.
***
Cahaya matahari menerobos gagah memasuki setiap celah gorden di kamar utama, membuat Alice terpaksa bangun dari tidurnya. Dia menggeliat pelan sambil meregangkan otot, lalu berusaha mengumpulkan kesadaran.
"Kurang ajar, Jason!" umpat Alice saat menyadari dirinya tanpa sehelai benang pun. Pantas badannya terasa remuk.
Secepatnya Alice mengenakan bathrobe, lalu melenggang pergi mencari keberadaan Jason untuk meminta ganti rugi.
“Di mana Tuanmu yang resek itu?” tanyanya pada Elmer. Alice tidak peduli dengan tanda kemerahan baru yang terlihat di lehernya. Mulai sekarang Alice harus hidup tanpa rasa malu di kediaman Herbert. “Aku ada urusan penting sama dia.”
“Tuan Jason sudah pergi ke kantor sejak tadi pagi, Nona Alice. Jika Nona ingin sarapan, segeralah ke ruang makan—Bibi Pety sudah mengiapkan sarapan. Sama satu lagi, itu sahabat Nona Alice ada di kamar tamu. Dia sejak semalam seperti latihan meninggal.”
Alice menganga, mencerna seksama ucapan kejam Elmer. “Maksud kamu apa?”
“Nona Violet. Bukannya semalam kalian pesta minuman keras? Alhasil dia terkapar seperti mayat.”
Alice membelalak, kembali mengingat kejadian gilaa semalam. Dia setengah kapok, apalagi saat dia melihat sesuatu yang menjijikan milik pria tua itu.
“Saya harap Nona Alice tidak mengulanginya lagi, Tuan Jason sangat murka. Semalam Nona Alice dijebak, andai Tuan tidak cepat datang, saya yakin kalian dicabulii oleh pria-p****************g itu.”
“Ngarang! Orang kami cuman temenin ngobrol dan main judii. Selebihnya seru-seruan aja.”
Elmer memutar bola matanya malas. “Nyatanya semalam Nona Alice jadi liar. Untung Nona Violet tidak, kalau tidak—bisa habis hidup saya.” Dia merinding, merasa ditolong Tuhan.
Meski tidak bisa dibilang pria baik-baik, setidaknya Elmer tidak pernah mempersokaa wanita. Dia lebih senang melakukannya jika dalam keadaan sadar dan suka sama suka.
“Liat gimana?”
“Perlukah saya perjelas, Nona? Saya yakin Nona paham ke mana arah pembicaraan saya.”
Tangan menyilang di depan dadaa, ingat jika barusan dia bangun dalam keadaan tanpa sehelai benang. Cih, si tua keriput itu mencoba membodohinya dengan bermain curang? Mungkin dia kesal sebab Alice tidak membelai aset berharganya yang kecil itu.
“Shitt, mati saja kau pria tua!” umpat Alice dengan emosi memuncak.
Alice meninggalkan Elmer, menuju kamar tamu tempat Violet beristirahat. “Vio, bangun. Lo nggak berusaha mati, ‘kan?” Dia mengguncang bahu Violet, membuat sang empunya mendengkus sebal.
“Ganggu aja lo, Alice. Pagi-pagi mulut kayak toak. Pergi nggak lo, kepala sama perut gue sakit.” Dia menarik selimut, menutup wajahnya dengan bantal. Sejak subuh Violet diare, bolak-balik kamar mandi. Makanya setelah dirasa perutnya enak, dia kembali melanjutkan tidur.
“Gue diminumin obat perangsangg anjir sama si pria tua kemarin. Untung Jason ada, kalau enggak bisa mati gue.”
“Nggak, ngasal aja lo. Mereka cuman minta ditemani ngobrol, selebihnya yang kita mabuk itu kemauan sendiri. Di kontrak kerja udah dikasih tau kalau mau ke hal yang lebih intim, bisa aja asal bayarannya sesuai. ‘Kan kemarin kesepakatan kita cuman ngobrol.”
Alice berdecak. “Beneran, Vio. Gue masih ingat sedikit, kemarin gue ganas banget sama Jason. Gue memimpin pas bercintaa!” Dia mengacak rambutnya, berasa ingin berteriak sekarang juga saking di luar kendali keadaan semalam.
“Lo tandain namanya, bisa kita laporin ke Bos, nanti dia dilarang ikut kelas ngobrol berhadiah ini.” Violet menaikkan bahu, kembali mencari posisi nyamannya.
“Cih, sok iye sebutannya gitu. Kalau masyarakat umum tetap aja bilang kita wanita nggak bener.”
“Biarin, gue lagi butuh duit. Malam ini gue libur, nggak ada klien. Mungkin lusa baru ada. Ntar gue minta yang muda aja, gue kasih kisaran umurnya. Yang tua nggak asik, sakit mata gue liatnya.”
“Lo nggak kapok?”
“Makanya lu kalau kerja, jangan b**o-b**o amat. Itu minuman lo dijagain, jangan kasih celah mereka taburin macem-macem. Tetap waspada, meski kelihatannya santai dan mengikuti arah main mereka.”
“Gue baru pertama kali, Vio, b**o gue soal gituan.” Alice berbaring lelah, menatap langit-langit kamar nanar. “Jason udah berangkat ke kantor, tumben nggak marah dulu. Mungkin gara-gara habis gue kasih jatah semalam.”
“Itu emang obat paling manjur.” Alice memutar bola mata jengah. “Lusa ikut lagi nggak, Lice? Kita cari klien muda yang masih ganteng. Lumayan sekalian cuci mata.”
“Gue kayaknya udah nggak boleh ke The Adhulpus lagi. Bisa dipotong kaki gue sama Jason. Dia murka banget, gue bisa bayangin gimana kesalnya dia liat gue mabuk ditambah blingsatan gara-gara obat perangsangg.”
“Tapi aman sih, suami lo orang kaya. Coba suruh Jason carikan gue jodoh, kali aja ada.”
Alice menatap kaget. “Serius lo?” Violet menaikkan bahu. “Sama Elmer aja, uang dia banyak juga. Tangan kanan Jason bukan main bayarannya, Vio, lo bisa hidup mewah di luar negeri.”
“Elmer itu bukan manusia, tapi batu.” Mau tidak mau, Alice tergelak geli. “Sengsara hidup gue kalau nikah sama dia.”
“Iya, jangan deh. Elmer itu nggak normal, dia penyuka pisang.”
“Beneran?”
“Lo liat aja, dia selalu sama Jason, nggak pernah keluar bawa wanita.”
Violet langsung merinding.
***
“Bayar dua kali lipat, Jason. Kirimkan uang 500 juta ke rekeningku sekarang!”
“Uang buat apa?”
“Bayaranku dengan pria tadi malam batal gara-gara kamu bawa pulang sebelum jamnya habis. Aku kehilangan 250 juta dalam sekejap mata. Rugi aku!” Alice berdecak, menggebrak meja kerja Jason.
“Datang-datang bisanya bikin keributan.”
“Oh kayaknya nggak cukup cuman 500 juta. Aku minta 1 M buat kompensasi bikin kamu seneng. Soalnya semalam kamu ambil kesempatan dalam kesempitan. Cepet tulis nominalnya di cek, aku mau belanja ke mall.”
“Hanya dalam mimpi kamu!” Jason mengakhiri pekerjaan, membereskas kertas-kertas di hadapannya. “Pulang ke rumah, jadi istri penurut.”
“Bayar dulu, sebelum aku pergi lagi ke The Adhulpus.”
“Pergilah, saya pastikan Daddy kamu jadi gelandangan saat itu juga.”
Alice menganga, menggeleng cepat. “Oke, nanti aku pikirin lagi. Sekarang bayar dulu hutang kamu.”
“Saya sudah kasih kamu uang belanja, itu lebih dari cukup hingga akhir bulan.”
“Nggak bisa gitu, aku ini mau cepat kaya, makanya harus merampokk suamiku yang banyak uang ini.” Jason tersedak, lalu menatap Alice tidak percaya. “Apa? Nggak usah sok pelit, aku tahu uang 1 M nggak ada apa-apanya bagi kamu. Itu kemarin mertuaku masuk surat kabar kalau dia baru aja beli kapal pesiar dengan harga fantastis. Untung aku nggak minta dibelikan jet pribadi, bisa tambah pusing kamu.”
“Pulang, cukupi sikap gilaa kamu ini. Lama-lama saya bisa hilang kewarasan.”
Alice duduk di meja kerja Jason, kakinya yang mengenakan rok mini itu diangkat pada bahu Jason dengan sekali gerakan tanpa bisa dicegah. “Cepat, sebelum aku menjual diri.” Senyum jahat tercetak jelas, Alice mulai merencanakan beberapa hal nakal untuk merayu Jason.
Jason menepis kaki Alice, lalu menatap dengan mata elangnya. “Kamu memang tidak ada takutnya sama saya.”
“Betul. Buat apa takut sama kamu? Aku cuman takut sama Tuhan.” Dia tersenyum miring, lalu cekikikan geli. “Cepet minta uang, Jason. Ayolah, aku lagi perlu nih. Ada tas keluaran terbaru, aku mau beli—harganya 800 juta. Murah, ‘kan?”
“Enak banget mulut kamu bilang 800 juta.”
“Kok kamu pelit? Aku masih ingat pas kita bercintaa semalam, kata kamu—jangan lagi mengunjungi The Adhulpus, saya akan kasih kamu uang berapa pun. Sekarang tepati janji kamu, aku minta 1 M doang.”
Jason menghela jengkel, lalu mengeluarkan lembaran cek dan menuliskan nominal sesuai permintaan Alice. “Ambil dan tutup mulut kamu sekarang juga.”
Mata Alice berbinar, mengangguk senang. “Terima kasih suamiku yang paling ganteng, kaya raya, dan besar.” Mengecup bibir Jason, lalu melambai pecicilan.