11. Keputusan Ghali

2092 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Suasana pantry resto kini riuh oleh suara Mario, Giandra dan juga peralatan masak yang saling beradu. Mereka berdua ikut turun memasak menu resto sambil mengawasi kerja anak buah mereka. Tadinya Ghali ingin ikut membantu juga, tapi dilarang oleh Giandra. Ghali disuruh bertugas menyambut tamu-tamu resto karena menurut Giandra, pesona Ghali bagaikan magnet yang bisa menarik pelanggan datang ke restonya. Sebenarnya, Ghali tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Mario dan Giandra, tapi apa boleh buat. Sesekali, Ghali tak ragu untuk ikut mengantarkan pesanan ke meja pelanggan meski sudah ada pegawai khusus yang melakukannya. Ya, Ghali pikir, sambil ia menyapa para pelanggan dan memastikan mereka puas telah menyantap hidangan di restonya. Meski dulunya ia sekolah chef, tapi ia juga banyak sharing dengan Zia yang berkuliah manajemen bisnis. Dalam bisnis, kepuasan konsumen juga hal utama yang harus diperhatikan agar mereka melakukan repeated order (pembelian berulang). Jangan sampai, konsumen kapok dan tak mau lagi datang ke restonya. Saat jam makan siang sudah berlalu, Mario dan Giandra istirahat di ruangan khusus mereka bertiga. Ghali pun ikut masuk dan bergabung bersama mereka. Ghali memberikan minuman isotonik kaleng dingin untuk kedua sahabatnya itu. Setelah mengucap terima kasih, mereka berdua membuka kalengnya dan meneguk isinya. “Habis ini biar gue yang masak, ya? Kalian istirahat aja di sini.” “Iya, ya. Lumayan juga tadi banyak banget yang datang.” “Alhamdulillah, Gi,” tegur Ghali. “Eh, iya alhamdulillah Pak Ustadz! Alhamdulillah juga, efek lo jadi chef seleb resto kita jadi rame.” “Iya, bener. Mudah-mudahan aja bawa efek yang positif buat bisnis kita ini. Ya, kalau pengunjung resto rame terus kayak gini, kita bisa buka cabang lagi.” “Aamiin.” “Lain kali, ajak kita masak bareng lo bisa kali, Ghal? Siapa tahu kita juga ikut tenar jadi seleb!” ucap Giandra semangat. “Boleh, boleh, Gi. Lo mau satu frame sama si Kay, kan?” ledek Ghali. “Apa?! Dih, ogah lah!” ucap Giandra sambil bergidik ngeri. Ghali hanya terkekeh mellihat ekspresi yang ditunjukkan Giandra. “Ya udah kalian belum dzuhur, kan? Dzuhur dulu gih sana! Udah gue bilang tadi pas adzan dapurnya ditinggal dulu, kan ada sous chef. Bisa gantian juga.” “Iya, iya. Abisnya nanggung, gue takut tuh sous chef baru salah kerjaannya,” ucap Mario membela diri. “Yeeh, takut mah sama Allah, Mar,” tegur Ghali lagi sambil menggelengkan kepalanya. Terkadang, kedua temannya ini memang masih sulit untuk diajak salat tepat waktu. Ya, Ghali sebagai sahabat dekat mereka hanya bisa terus mengingatkan tanpa bosan. Semoga suatu saat hidayah Allah itu datang dan mereka bisa salat tepat waktu tanpa harus diingatkan lagi olehnya. “Iya, Pak Ustadz. Siap, laksanakan!” === Ghali merenung di kamarnya usai melaksanakan salat tahajud. Ia memikirkan permintaan ayah dan ibunya tentang Shayna. Ghali pun merasa dilema. Satu sisi, ia masih ingin mencari anak perempuan yang telah menolongnya belasan tahun lalu. Dulu karena merasa senang telah ditolong oleh anak perempuan tersebut, Ghali mengucap keinginannya dalam hati agar bisa berjodoh dengan gadis itu suatu hari nanti. Namun, usai menolongnya waktu itu, Ghali tak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi di sisi lain ia juga tertarik dengan kepribadian dan akhlak Shayna yang shalihah. Perempuan itu sangat cocok untuk dijadikan istri dan juga calon ibu bagi anak-anaknya kelak. Ghali banyak beristighfar lalu berdoa agar diberi petunjuk oleh Allah. Saat waktu tinggal lima belas menit lagi menuju subuh, Ghali melipat sajadahnya dan bersiap ke mesjid bersama ayah dan akinya. Sebelumnya, ia membuka lemari lalu mengambil seragam yang masih ia simpan. Seragam dari gadis yang telah menolongnya. Flashback Ghali berlari sekuat tenaga menghindari kejaran dari beberapa remaja lelaki yang membawa senjata. Ia merapatkan jaket dan hoodie ke tubuhnya dan berlari secepat yang ia bisa. Untung saja ia memiliki kemampuan yang bagus dalam berlari. Saat melihat lawannya di belakang tertinggal agak jauh, Ghali mencari tempat persembunyian. Ah, ada semak-semak dengan tembok beton di sisi sampingnya. Sepertinya ia bisa bersembunyi di sana. Ghali dengan cepat bersembunyi di balik semak-semak itu. Benar saja dugaannya, tak lama lima orang berseragam putih abu-abu datang dengan pakaian yang tidak rapi. Sangat tidak mencirikan anak sekolah dan kaum terpelajar. “Mana tuh bocah?!” ucap seorang di antara mereka. “Teu nyaho aing ge!” (Gak tahu saya juga!) “Ari sia pan ceuk aing ge tadi tingali nu bener! Dasar borokokok!” (Lah kamu, kata saya juga tadi awasi yang benar!) “Geus lah ulah ambek kitu. Jig, ayeuna mah urang teangan babarengan. Pasti eta bocah nyumput di dieu. Aing yakin, moal jauh da. Nyumput pasti.” (Udah lah jangan marah. Sekarang kita cari sama-sama. Pasti anak itu sembunyi di dekat sini. Saya yakin, pasti tidak jauh. Dia pasti sembunyi.) Lalu saat kelimanya tengah sibuk berpencar mencari, seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir satu, memakai celana training hitam, kaos lengan panjang, kacamata dan masker di wajahnya melintas. “Eh, Neng Geulis. Ningali b***k lalaki teu tadi?” (Eh, anak cantik. Lihat anak lelaki gak tadi?) “Astaghfirulllah!” anak perempuan itu bergidik ngeri melihat remaja lelaki di depannya dengan beberapa senjata tajam. “Buruan! Ningali teu?” (Cepetan! Lihat nggak?) “Ih, da saya ge baru lewat, A’. Mana tahu atuh! Emang kumaha ciri-cirina?” tanya anak perempuan itu meredam rasa takutnya. (Ih, saya juga baru lewat, A’. Mana saya tahu. Memang ciri-cirinya bagaimana?) “Sagede kamu da asaan mah. Make jaket hideung anu aya kuplukan.” (Kayaknya sih sebesar kamu gede badannya. Pake jaket hitam yang ada tudungnya.) Flashback off Allahu akbar ... allahu akbar ... Astaghfirullahal’adzim ... Ghali terlalu menghayati kenangan masa lalunya sampai adzan subuh lebih dulu terdengar. Ia menyimpan kembali seragam itu ke lemarinya dan bergegas pergi ke mesjid khawatir ia tertinggal subuh berjamaah. === Usai salat subuh, Ghali menemani ayahnya berkeliling kebun yang ada di dekat rumahnya. Ayah dan anak itu membicarakan banyak hal, hingga tiba Faraz menanyakan perihal Shayna pada putranya itu.   “Jadi, gimana langkah selanjutnya, Ghal? Kamu paham kan maksud Om Revan wawancara kamu kemarin di vilanya?” tanya Faraz. Ghali menghembuskan napasnya panjang lalu melihat ke arah hamparan kebun yang menghijau. Jujur, ia masih merasa dilema meski sudah meminta petunjuk Allah. Ghali ingin cerita tapi ia ragu. Faraz yang melihat putranya hanya terdiam jadi heran. “Kamu kok diam? Kenapa? Kalau ada sesuatu cerita sama ayah, Ghal. Kita kan udah kayak sahabat.” Inilah yang Ghali senangi dari sang ayah. Beliau menganggap mereka adalah sahabat, bukan orang tua yang senang mendikte dan menghakimi anak. Jika orang tua dan anak sudah saling menganggap sahabat, maka anak akan dengan senang hati mencurahkan perasaannya tanpa takut dihakimi atau disalahkan. Orang tua pun memposisikan diri sebagai pendengar yang baik sekaligus penyemangat. Akhirnya, Ghali menceritakan semua kegalauannya pada ayahnya, jika ia masih menncari seorang gadis yang telah menolongnya di masa lalu. Faraz tersenyum mendengar curhatan Ghali. “Jadi, kamu masih mau menunggu gadis kamu itu?” “Ghali bingung, Yah. Ghali udah istikharah, tapi masih belum dapat petunjuk. Ghali harap, ayah bisa kasih Ghali saran.” “Saran ayah, nikahi saja Shayna. Jangan tunggu gadis kamu itu.” Ghali terhenyak mendengar saran yang to the point dari ayahnya. “Kenapa, Yah? Apa yang jadi pertimbangan ayah kasih Ghali saran seperti itu?” tanyanya penasaran. “Pertama, boleh jadi perasaan yang kamu rasakan itu hanya perasaan ingin balas budi karena telah menolong kamu di masa lalu. Ya, meski ayah gak tahu jelas dia menolong kamu dalam hal apa sampai kamu berdoa supaya kalian berjodoh.” “Kedua, kamu sendiri gak tahu di mana keberadaannya sekarang. Apa dia masih hidup dan sehat wal afiat? Atau, maaf, malah sudah wafat. Kamu gak tahu persis, kan?” “Ketiga, kalau pun dia masih hidup dan sehat, apa kamu yakin dia masih single? Bagaimana kalau kalian ditakdirkan kembali bertemu tapi dengan status dia yang sudah tak lagi sendiri?” Deg! Perkataan yang diucapkan oleh ayahnya benar—benar menampar Ghali dengan telak. Ia tak berpikir sampai jauh ke sana. Bagaimana jika perempuan yang ditunggunya itu sudah berbeda alam dengannya? Bagaimana kalau perempuan itu masih hidup tapi sudah menikah dan mempunyai keluarga sendiri? Dan apa mungkin perasaan yang dirasakannya selama ini hanya perasaan hutang budi? Ghali tak bisa berkata apa-apa. Mungkin petunjuk ini Allah datangkan melalui ayahnya. Ghali yang tadinya berpikir pendek, jadi terbuka pandangan dan jalan berpikirnya. Faraz sebagai ayah berusaha untuk memberi saran yang masuk akal pada anaknya. bukannya ia jahat tak membolehkan putranya menunggu atau mencari gadis itu. Tapi, banyak kemungkinan yang bisa terjadi seperti tiga hal yang diutarakannya tadi. Faraz tidak mau putranya menunggu hal yang tidak jelas dan akhirnya membuang waktu yang berharga jadi sia-sia. Lagipula, jika ada perempuan yang agamanya bagus, akhlaknya bagus, berasal dari keluarga yang baik dan juga cantik untuk apa menunda lagi? Faraz pikir, rasa ketertarikan Ghali pada Shayna bisa menjadi awalan yang baik meski putranya itu belum cinta. Toh cinta bisa datang seiring berjalannya waktu seperti dirinya dan Lisa dulu. “Lagipula, Ghal, kamu itu sudah pantas untuk menikah. Umur sudah matang, penghasilan juga sudah punya, lalu mau nunggu apa lagi? Tidak pantas jika seorang lelaki yang sudah mampu menikah terlalu lama membujang. Tidak baik, Nak.” Ghali menatap ayahnya sambil menghela napas. Faraz tahu apa yang tengah dirasakan oleh Ghali. Ia pun merangkul bahu Ghali demi memberi dukungan dan semangat. “Ayah yakin, Shayna insya Allah gadis yang shalihah. Rasa ketertarikanmu padany sudah cukup untuk melangkah lebih lanjut, Ghal. Gak apa kalau belum cinta, insya Allah cinta akan datang kalau kalian sudah menikah nanti.” === Ghali menyetir mobilnya dengan hati-hati. Ia memandang kotak makan susun yang ada di kursi sampingnya. Ibunya memberi amanat jika dia harus mengantarkan makan siang ke galeri Shayna sebagai bentuk pendekatan. Sebagai anak yang baik, Ghali hanya bisa menuruti perintah sang ibu. Sehabis ini, jadwalnya untuk syuting bersama dengan Kay di studio. Usai berbicara empat mata dengan sang ayah beberapa hari yang lalu, dirinya kini sudah merasa mantap dengan Shayna. Keluarganya pun sudah datang ke rumah keluarga Revan dan mengutarakan maksud untuk mengkhitbah Shayna. Tentu saja Revan dan Nita senang bukan main karena harapan dan doa mereka akan jadi kenyataan. Lamaran Ghali pun diterima dengan suka cita dan rencananya mereka akan menikah dua bulan lagi. Kedua sahabatnya, Mario dan Giandra sudah mengetahui perihal tersebut. Ghali memarkirkan mobilnya di halaman parkir Maryam’s Gallery dan turun dengan menenteng kotak makan susun. Kotak makan susun itu berisi nasi, tumis capcay udang, omelet telur, balado tempe tahu dan juga salad buah. Cukup untuk disantap Shayna dan beberapa karyawannya. Jujur, ia merasa nervous saat membuka pintu. Pasalnya, baru kali ini ia melakukan pendekatan dengan perempuan. “Assalamu’alaikum. Shaynanya ada?” tanya Ghali pada salah satu karyawan yang berjaga di kasir. “Wa’alaikumussalam. Ada, tunggu sebentar ya, Mas.” Ghali menunggu sementara karyawan itu memanggilkan Shayna. Tak lama, Shayna datang dan ekspresinya terkejut mendapati Ghali ada di galerinya. “Lho ada Kak Ghali, ada yang bisa Shayna bantu, Kak?” tanya Shayna gugup. “Hmm ini, saya diminta antar makan siang sama ibu. Buat kamu,” ucapnya sambil mengulurkan kotak makan susun ke arah Shayna. Jujur, meski Ghali berkata makan siang itu pemberian dari ibunya, Shayna tetap merasa senang luar biasa. Wajahnya bersemu merah dan dengan malu-malu ia menerima kotak makan itu tapi tidak sampai bersentuhan tangan dengannya. “Waduh, jadi ngerepotin nih.” “Nggak kok. Sama sekali gak repot.” “Makasih banyak ya, Kak. Oh ya tunggu sebentar.” Shayna berjalan cepat meninggalkan Ghali. Ghali yang heran hanya bisa diam menunggu. Sambil menunggu Shayna, Ghali mengamati detail produk-produk hasil rajut yang dijual oleh Shayna. Produknya dirajut dengan rapi dan juga memilki model yang bagus dan unik. Pantas saja banyak orang yang menyukainya. Saat Ghali sedang asyik melihat-lihat, tiba-tiba netranya menangkap sesosok David yang sedang melangkah dari parkiran menuju galeri. Keduanya lalu saling tatap. Ghali menyunggingkan senyum tipis sedangkan David menampilkan senyum sinisnya. “Kak, ini aku titip syal buat ibu sama enin, ya?” ucap Shayna yang datang dengan goodie bag berisi dua buah syal. “Eh, kok jadi dikasih syal?” “Gak apa-apa, nih ambil. Makasih juga makan siangnya.” David mengernyit heran dengan interaksi keduanya. Jadi, Ghali dan Shayna saling kenal? Batinnya bertanya. “Yaudah, makasih juga syalnya. Insya Allah saya sampaikan ke beliau. Kalau gitu saya pamit dulu, ya. Semoga suka sama makan siangnya.” “Iya sama-sama. Insya Allah pasti suka, yang masak kan chef gitu loh.” Shayna mengulum bibirnya sambil menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Ghali melangkah menuju mobilnya usai berpamitan dengan Shayna. Setelah kepergian Ghali, Shayna jadi senyam-senyum sendiri dan ia baru sadar akan keberadaan David di galerinya. “Eh, Kak David, maaf saya baru sadar  ada kakak. Ada yang bisa saya bantu lagi, Kak?” “Oh, iya. Saya mau beli syal. Bisa tolong bantu pilihkan?” Sejak malam itu bertemu dengan Shayna dan merasakan debaran aneh di dadanya, David jadi sering mengunjungi galeri milik Shayna. Ia datang dengan alasan membeli apa pun asal bisa bertemu Shayna. Seperti hari ini, ia beralasan saja ingin membeli syal. “Tentu saja. dengan senang hati.” David mengekori dan mengamati Shayna yang sedang memilihkan syal untuknya. Lalu, setelah cocok, David dan Shayna membawanya ke meja kasir. “Oh, ya kalau boleh tahu kamu kenal dekat dengan lelaki tadi?” tanya David sambil mengeluarkan debit card dari dompetnya. “Iya, Kak.” Shayna menjawabnya dengan malu-malu. David memiliki firasat yang tidak enak ketika melihat ekspresi Shayna. “Lah bukan kenal lagi, Pak. Itu mah calon suaminya Mbak Shayna,” celetuk kasir di hadapannya. Tubuh David membeku dan pandangannya kosong. Tak lama, amarah menyelimuti dirinya. Kenapa Ghali merebut orang  yang disayanginya? Cinta David telah layu sebelum berkembang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD