“Menikah?” Papa Raya kaget mendengar Raya.
“Iya.” Raya mundur hingga sejajar dengan Mikha lalu menarik tangan lelaki itu.
“Dia melamarku semalam dan sudah ku terima,” lanjut Raya.
“Benarkah itu?” Papa Raya menatap Mikha yang masih tampak terkejut.
“Hah?” Mikha masih kebingungan.
“Tentu saja!”
Ayah dan Ibu yang berdiri di belakang mereka berjalan ke depan.
“Kalian siapa?” tanya Mama Raya.
“Ah, itu. Saya Markus dan Ini istri saya namanya Maya. Kami orang tuanya, Mikha. Pacarnya, ah tidak! calon suaminya Raya.” Ayah menunjuk ke arah Mikha dengan tersenyum.
“Mohon maaf sebelumnya, tapi bukannya kalau laki-laki melamar wanita berarti harus datang dulu ke orang tua pihak wanita itu?”
Ayah terdiam sebentar, dai memandang istrinya dan juga Mikha.
“Itu hanya pemikiran Papa saja. Zaman sekarang mana ada yang begitu?” ujar Raya.
“Raya!” Mama berteriak kecil.
“Kami akan datang dengan formal. Silakan tentukan tanggalnya, kami akan datang melamar Raya secepatnya,” ujar Ayah lagi.
***
“Kamu sudah gila!” ujar Mikha pada Raya ketika mereka berada di ruangan kerja Raya.
Raya juga baru tahu bahwa dia melakukan kesalahan, “Maaf.” Dia menopang kepalanya dengan kedua tangannya.
“Maaf apaan? Ini kalau sampai Ayah bawa keluarga untuk melamar kamu bagaimana?” Mikha membanting punggungnya ke sofa dengan frustrasi.
“Maaf. Aku hanya berpikir untuk menyelamatkan diri tadi,” ujar Raya.
“Apa?”
“Aku pikir ketika aku bilang kalau kamu calon suami aku, mereka akan pergi dan tidak akan mengganggu kehidupan aku lagi,” ujar Raya.
Mikha menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu yakin kamu jenius? Jangan-jangan semua ijazah kamu itu hanya hasil beli.”
“Enak saja!” ujar Raya tidak terima.
“Ya terus sekarang bagaimana? Kita harus melakukan sesuatu sebelum lamaran itu terjadi,” ujar Mikha.
“Aku akan bilang sama Ayah dan Ibu kamu. Aku akan jujur dan minta maaf sama mereka.” Raya menghembuskan nafas pasrah.
“Bagus! Lakukan itu! Kamu harus menerima konsekuensi akan hal bodoh yang kamu lakukan,” ujar Mikha.
Mikha bangkit dari sofa dan bersiap untuk pergi namun dia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu begitu melihat sesuatu di atas meja, itu adalah roti lapis yang tadi dia berikan untuk Raya.
“Kamu belum sarapan ‘kan?” tanya Mikha.
Raya menggeleng, “Tidak perlu. Aku memang jarang sarapan.”
Mikha mencebik, “Kamu akan mati muda jika terus menerus hidup dengan gaya hidup seperti ini.”
Raya menatap Mikha dan tersenyum miring, “Memang mungkin sudah takdirku.”
Mikha mencebik lagi lalu mengangkat bahu.
“Ya sudah, terserah.”
Raya menatap Mikha yang sudah keluar dari ruangannya dan pergi. Matanya kembali menatap roti lapis yang pasti sudah dingin itu.
“Bukannya kematian lebih baik daripada hidup seperti ini?”
Raya menghela nafas panjang sebelum mengangkat roti lapis itu dan memutuskan untuk memakannya walau sudah dingin.
“Kalau hangat pasti lebih enak,” ujar Raya yang lalu duduk di meja kerjanya dan mulai bekerja, dia punya banyak pekerjaan hari ini.
Sebuah ketukan pintu membuat Raya mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
“Masuk!”
Elin muncul dari balik pintu.
“Kenapa, Lin?” tanya Raya.
“Ini ada kiriman makan siang untuk Bu Raya,” jawab Elin sambil membaca tulisan di bungkus makanan itu.
“Makan siang? Memangnya ini sudah jam makan siang?” tanya Raya, dia bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas laporan yang dari tadi dia baca.
Dia lalu melirik ke arah komputernya dan sudah jam dua siang.
“Rasanya aku baru kerja sepuluh menit,” ujar Raya sambil membanting pulpennya.
Elin terkekeh lalu masuk dan meletakkan bungkus makanan itu di meja Raya.
“Kak Raya ‘kan selalu begitu, bekerja tanpa lihat waktu.”
“Eh, bentar. Kiriman makanan? Dari siapa?” tanya Raya.
“Dari Kafe Molly,” jawab Elin yang membaca logo di bungkus makanan itu.
“Kafe Molly?”
Raya teringat sesuatu.
“Kenapa dia baik sekali mengirimi aku makanan?”
“Siapa?” tanya Elin.
“Siapa apanya?”
“Siapa yang kirim makanannya?”
“Tidak ada. Hanya Papaku,” jawab Raya. Dia tidak mungkin bilang kalau makanan ini berasal dari Kafe milik Mikha.
“Diingat-ingat lagi, nama kafe Molly sepertinya familier ya?” Elin mencoba mengingat kafe itu.
“Sudah, sudah! Lebih baik kamu balik bekerja sana sebelum aku pecat,” ujar Raya, dia sedikit panik.
“Aku kerja kok,” balas Elin.
“Kerja yang benar. Ingat kamu dua kali membuatku dalam masalah karena sifat teledormu itu,” ucap Raya.
“Ah iya! Kafe Molly itu—“
“Lin ...,” ujar Raya lagi.
“Aku akan kembali bekerja,” ucap Elin lalu keluar dari ruangan Raya.
Raya kembali menatap bungkusan makanan itu, dia memotret makanan itu dan memutuskan untuk mengabari Mikha. Setidaknya untuk berterima kasih karena pemberian lelaki itu.
To : Mikha
Thanks makanannya.
Tidak lama kemudian pesan itu dibalas.
From : Mikha
Sama-sama. Aku lihat kamu suka daging cincang semalam jadi aku mengirimkannya padamu. Kali ini dengan daging sapi asli. Tenang saja, ini menu paling murah kami.
Raya mencebik membaca pesan Mikha itu, “Memangnya kenapa kalau paling murah? Memangnya aku akan komplain?”
Raya membuka bungkus itu membuat aroma lezat langsung menyapa indra penciumannya dan seketika membuat perutnya kelaparan. Raya mengambil sendok dan bersiap untuk makan ketika sebuah pesan baru kembali masuk ke ponselnya.
From : Mikha
Makan selagi masih panas. Tidak enak kalau sudah dingin.
Raya tertawa kecil membaca pesan itu.
“Iya, iya ini sudah mau kumakan,” ujar Raya pada ponselnya seolah dia sedang bicara dengan Mikha.
Raya memasukkan makanan itu ke dalam mulut dan dapat merasakan rasa yang lezat sekali memenuhi mulutnya.
“Wah, dia benar-benar berbakat dalam memasak.” Raya kembali menyendok makanan itu ke dalam mulutnya.
Raya menghela nafas panjang, “Sayang sekali.”
***
Raya melangkah masuk ke dalam rumah Mikha, dia sudah berniat untuk minta maaf pada Ayah dan Ibu Mikha serta mengatakan yang sebenarnya.
“Raya?” Ibu yang membuka pintu tampak terkejut melihat Raya berdiri di depan pintu rumahnya.
Raya tersenyum, “Selamat malam, Bu.”
“Masuk, Ray. Kok gak bilang mau ke sini? Sama Abang ya?” Ibu sudah memeluk Raya dan membawanya ke sofa.
“Kak Raya? Kok gak sama Abang?” tanya Mitha yang kebetulan berada di sofa lainnya.
“Aku mau ngomong sesuatu sama Ibu dan Ayah,” ujar Raya.
Ibu menatap Raya dengan keheranan, “Mau ngomong apa?”
“Raya? Abang mana?” tanya Ayah yang muncul dari ruangan yang sepertinya adalah kamar.
“Gak sama Mikha,” jawab Raya.
Ayah, Ibu dan Raya duduk berseberangan. Raya menelan salivanya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian.
“Aku ... ingin mengakui sesuatu,” ujar Raya.
“Kamu hamil?” tanya Ayah.
“Hah??” Raya terkejut, begitu juga Ibu.
“Gak! Bukan! Bukan!” Raya melambaikan tangannya ke arah Ayah.
“Aku ingin mengakui bahwa ... aku dan Mikha, kami tidak berpacaran,“ aku Raya.
“Apa maksud kamu?” tanya Ayah, kebingungan tampak sekali di wajahnya dan juga wajah Ibu.
Raya menunduk, “Dari awal kami tidak pernah berpacaran. Kami hanya tidak sengaja mengakui kami punya hubungan. Aku bahkan baru kenal Mikha.”
“Jadi kalian membohongi kami? Kalian membohongiku?” Ayah meletakkan tangannya di depan d**a.
"Kami tidak bermaksud. Maaf,” ujar Raya sambil menundukkan kepalanya.
Hening untuk beberapa saat terjadi.
“Awalnya kata Mikha itu hanya agar Ayah tidak terlalu kaget dan kambuh penyakitnya. Tapi sama seperti kebohongan-kebohongan lain, kami hanya menambah parah keadaan dengan membuat kebohongan lainnya. Aku benar-benar minta maaf,” ujar Raya, kali ini dia berdiri dan membungkuk menunjukkan rasa penyesalannya.
“Aku ingin mengakui semuanya dan kembali melanjutkan hidup tanpa adanya kebohongan. Sekali lagi maafkan aku.” Raya kembali membungkuk.
Setelah itu dia bersiap untuk pergi, Raya baru akan membuka pintu mobilnya saat dia mendengarkan suara teriakan Ibu yang berasal dari dalam rumah.
“AYAH!!”
Hal itu membuat Raya kembali lagi ke dalam dan melihat kondisi Ayah yang sudah tidak sadarkan diri dan terbaring di lantai.
“Ayah kenapa?” tanya Raya sambil menghampiri Ibu dan Mitha yang sudah panik lebih dulu.
“Ayo bantu bawa ke mobil! Kita harus segera ke rumah sakit sekarang!”
Raya bersama Ibu dan Mitha bekerja keras untuk membawa Ayah ke dalam mobil Raya. Dengan kecepatan penuh, Raya menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.
“Ayah! Aku mohon bertahanlah!” Mitha memohon.