“Berita baik apa?” tanya Mikha.
Raya mengulum senyumnya, “Aku punya kenalan yang bisa mencarikan donor jantung.”
Mikha, Ibu dan juga Mitha berdiri saking kagetnya.
“Kamu benaran?” Mikha berjalan mendekati Raya.
Raya mengangguk, “Benar. Doakan saja semoga Ayah bisa segera dapat donor yang cocok.”
“Aduh, Nak ... terima kasih,” ujar Ibu sambil menghampiri Ibu dan memeluk Raya membuat wanita itu terkejut karena dia tidak pernah dipeluk seperti ini. Raya membalas pelukan Ibu dengan kaku.
Raya menatap Mikha yang ternyata juga tengah menatapnya, Mikha menangguk kecil untuk mengucapkan terima kasih yang dibalas Raya dengan senyuman lebar.
“Besok, tolong berikan berkas Ayah biar bisa aku serahkan ke temanku yang akan membantu,” ujar Raya.
Mikha mengangguk.
“Ya sudah kalau begitu. Aku tidak bisa lama-lama,” pamit Raya.
“Bang, Raya diantar dong,” ujar Ibu.
“Eh gak perlu! Aku bawa mobil kok,” tolak Raya.
“Aku antar sampai parkiran saja kalau begitu.” Mikha berdiri dan berjalan ke arah pintu.
Raya mencebik sebentar lalu tersenyum pada Ibu dan Mitha, “Semoga Ayah cepat sembuh.”
Raya lalu keluar dari ruangan Ayah dan berjalan berdampingan bersama dengan Mikha.
“Kenapa kamu baik sekali?” tanya Mikha.
“Hah?” Raya kebingungan.
“Maksudku, kamu baru saja mengenal keluarga aku, tapi mau menolong Ayah," ujar Mikha.
Raya mengangguk-angguk, “Karena kalian adalah keluarga pertama yang aku lihat.”
“Maksudnya?” tanya Mikha.
“Sampai sini saja, sebaiknya kamu kembali,” ujar Raya.
Mereka berhenti.
“Bye.” Raya kembali berjalan menuju ke tempat parkir tanpa menoleh ke belakang dan tidak tahu bahwa Mikha mengikutinya dari belakang.
***
“Ayah!!” Mitha berteriak membangunkan Mikha dan juga Ibu yang sedang tertidur.
Mikha melompat untuk melihat kondisi Ayahnya yang sudah membuka mata dengan lemah, dia lalu dengan cepat pergi untuk memanggil dokter dan juga perawat. Tidak butuh lama, dokter dan para perawat itu datang untuk memeriksa keadaan Ayah membuat Mikha, Mitha dan Ibu harus menunggu di luar.
Mikha memeluk Mitha dan juga Ibu untuk menenangkan mereka walau dia sendiri gugupnya setengah mati. Sepuluh menit kemudian, dokter keluar membuat mereka berjalan mendekati dokter.
“Keadaan Bapak Markus sudah lebih baik dan normal. Namun seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, mencari donor adalah jalan terbaik,” ujar dokter.
Mikha, Mitha dan Ibu menangguk mengerti. Dokter lalu menjelaskan kembali tentang kondisi Ayah dan juga cara merawatnya untuk sementara ini. Setelah itu barulah Mikha, Mitha dan Ibu boleh masuk untuk melihat keadaan Ayah.
Ibu berjalan cepat dan menangis di samping Ayah, begitu juga dengan Mitha. Sementara Mikha memilih menjaga jarak dan melihat itu dari jarak yang aman, dia tidak ingin menangis lagi.
“Bang,” panggil Ayah.
“Iya, Ayah?” Mikha mendekati Ayahnya.
“Bang ... kamu sama Mitha harus menjaga Ibu, ya.” Nafas Ayah masih tersengal-sengal.
“Jangan bicara seperti itu, Ayah. Kita akan saling menjaga satu sama lain,” ucap Mikha dengan suara yang bergetar.
“Ayah tuh ... ingin sekali melihat kamu sukses, Mitha selesai kuliahnya,” lanjut Ayah.
“Ayah pasti sembuh, Abang akan mengusahakan segalanya biar Ayah bisa dapat donor,” ucap Mikha.
“Donor itu pasti biayanya mahal, kita gak punya uang sebanyak itu,” ucap Ayah.
Mikha menggeleng, “Mikha punya uangnya, Ayah. Ayah gak perlu khawatir masalah biaya.”
“Bukannya itu uang kamu buat buka cabang? Jangan, Bang.”
“Gak kok, Ayah. Lagi pula cabang itu masih beberapa tahun lagi, masih lama,” ucap Mikha.
“Jangan bohong, Bang. Kamu udah ngomongin ini lama sekali.” Ayah kembali batuk membuat Mikha mengusap d**a Ayah.
“Gak usah dipikirkan. Lebih baik sekarang Ayah fokus sama kesehatan Ayah. Yang lainnya biar Abang yang tangani,” ujar Mikha lagi.
Ayah tersenyum ke arah Mikha, “Bu ... kita gak gagal, Bu. Anak kita ini tumbuh jadi anak yang baik sekali.”
Air mata Mikha menetes mendengarnya.
“Bang,” panggil Ayah lagi.
Mikha mengelap air matanya.
“Ayah tuh kepengen sekali lihat kamu menikah. Ayah baru tenang kalau lihat kamu sudah ada yang ngurus, biar kamu gak ngerepotin Ibu lagi,” ujar Ayah.
“Mudah-mudahan ya, Ayah. Semoga Mikha cepat ketemu jodoh Mikha. Sekarang, Mikha lagi fokus buat bikin Ayah sembuh, biar ada yang ngebelain Mikha kalau Ibu ngomel,” ujar Mikha sambil tersenyum.
Satu hal yang aneh, karena saat Ayah menyebut mengenai jodoh, yang terlintas dalam pikiran Mikha hanyalah Raya.
***
“Iya Bang, nanti Gio buat dan antarkan,” ucap Gio lalu mematikan panggilan telepon dari Mikha.
“Apa kata Bang Mikha?” tanya karyawan di kafe Mikha.
“Katanya Bang Mikha masih belum bisa datang ke kafe karena Ayahnya masih sakit. Terus, yang kemarin nganterin makanan buat cewek di tower A itu siapa?” tanya Gio.
“Aku!” Seorang anak baru mengangkat tangannya.
“Nanti antarkan lagi roti lapis ke sana,” ujar Gio lagi.
“Siap, Bang!”
“Cewek? Yang kemarin lalu di seret Ibu Bang Mikha karena ada di ruangannya Bang Mikha?” tanya yang lain.
Gio mengangkat bahu.
“Pacarnya Bang Gio, ya? Duh, patah hati nih Gue,” ujar yang lain.
Sementara itu Raya yang sedang mengemudi terus-menerus bersin.
“Kenapa Gue mendadak sering bersin sih?” ujar Raya.
Raya segera memasuki kawasan perusahaannya dan memarkirkan mobilnya, dia lalu melangkah memasuki kantornya. Hari ini suasana tampak lenggang karena banyak yang tugas lapangan. Hari ini adalah hari Sabtu, jadi tentu para Agen-agen sedang sibuk berkencan palsu dengan para target.
Raya menarik pintunya lalu mendengar seseorang memanggil namanya. Elin terlihat berjalan mendekat dengan sesuatu di tangannya.
“Pagi, Bu Raya,” sapa Elin.
“Selamat pagi, Elin. Ada apa?” tanya Raya.
“Ini Bu, untuk Ibu. Kiriman dari kafe Molly lagi,” jawab Elin.
Sebuah senyuman melengkung tipis di wajahnya, dia lalu mengambil bungkusan itu dari Elin.
“Terima kasih.” Raya lalu masuk ke dalam ruangannya.
raya menyalakan komputernya dan melihat ada beberapa email masuk membuat dia langsung memeriksa email-email itu. Beberapa menit berlalu saat mata Raya kembali menatap bungkusan makanan kiriman Mikha itu. Tepat setelah itu, ponsel Raya berdering karena sebuah panggilan masuk. Nama Mikha muncul di layar ponsel Raya.
“Halo?” sapa Raya.
“Roti lapisnya sudah sampai?” tanya Mikha.
“Sudah,” jawab Raya.
“Belum kamu makan?” tanya Mikha lagi.
“Belum, aku masih memeriksa em—“
“Kamu memang suka cari gara-gara dengan kesehatan kamu. Kamu tahu ‘kan kalau melewatkan sarapan itu berbahaya dan tidak sehat, katanya jenius?” omel Mikha.
Raya terdiam.
“Tapi terserah kamu, aku tidak peduli. Yang penting roti lapisnya sudah ada sama kamu,” ujar Mikha sebelum mematikan panggilan telepon membuat Raya terkejut dan memandang ponselnya yang sudah mati dengan keheranan.
“Dia benar-benar aneh.”
Ponsel Raya kembali berdering namun kali ini saat dia membaca nama pemanggilnya, Raya kehilangan senyumnya.
“Halo?” sapa Raya.
“Kamu habis teleponan sama siapa? Kenapa aku telepon dari tadi gak masuk?” tanya Zach.
“Lagi teleponan sama pegawai aku,” jawab Raya.
“Cewek atau cowok?” tanya Zach lagi.
Raya memutar bola matanya malas, “Cewek. Namanya Elin.”
“Oh, oke.” Zach mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada apa?” tanya Raya.
“Mana data pasiennya? Kata kamu aku disuruh cari donor jantung? Aku mau cari bagaimana kalau tidak ada datanya?” tanya Zach.
Raya menepuk jidatnya pelan, “Sorry, aku lupa. Sebentar aku kirim.”
Zach tersenyum, “Temani aku makan siang ya?”
“Hah?”
“Ya sudah kalau tidak mau,” ujar Zach santai.
Raya menggigit bibirnya dengan gemas, “Iya.”
Senyum Zach semakin lebar, “Nanti aku jemput.”
***
Raya tidak terpikirkan tempat lain selain kafe Molly milik Mikha, karena itu dia mengajak Zach makan siang di kafe ini.
“Aku gak tahu kamu suka nongkrong di kafe? Biasanya kamu selalu ke restoran,” ujar Zach.
“Ah, ada satu menu di sini yang aku suka,” ujar Raya.
“Oh ya?” Zach memindahkan ponsel dan dompetnya dari kantong celananya ke atas meja.
Raya menatap barang-barang milik Zach dengan keheranan.
“Kenapa?” tanya Zach.
“Tumben kamu gak bawa rokok kamu,” ujar Raya.
“Aku sudah berhenti merokok,” jawab Zach.
“Hah?”
Zach terkekeh melihat wajah kaget Raya.
“Benar ... ya walaupun baru empat bulan ini,” ujar Zach.
“Dalam rangka apa kamu berhenti merokok?” tanya Raya.
“Karena kata seseorang, dia gak suka cowok yang suka merokok.” Zach memandang Raya sambil tersenyum penuh arti membuat Raya terlihat salah tingkah.
“Permisi, Kak. Sudah siap memesan?” Seorang pelayan itu datang membuat Zach dan Raya kembali melihat buku menu mereka.
Raya mencari nama menu yang lalu dikirimkan Mikha.
“Ehm, menu nasi dengan daging cincang itu yang mana ya?” tanya Raya.
“Daging cincang?” Pelayan itu tampak bingung.
“Iya, kemarin saya makan menu itu dan enak sekali,” ujar Raya lagi.
Pelayan itu masih tidak mengerti, tidak lama kemudian temannya datang, seorang lelakian rambut berjambul.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya lelaki itu.
“Ah, itu. Saya kemarin makan nasi dengan daging cincang, saya mau pesan itu lagi,” ulang Raya.
Lelaki memasang wajah yang sama bingungnya dengan pelayan tadi.
“Oh ... kakak yang di tower A yang sering dikirimi makanan sama Bang Mikha ya?” tanya lelaki itu.
Raya tersenyum kikuk.
“Wah, maaf Kak. Itu adalah masakan Bang Mikha dan kami masih belum tahu resepnya,” ujar pelayan itu lagi.
“Oh.” Raya mengangguk.
“Mikha siapa?” tanya Zach yang kini memandang Raya dengan tatapan menyelidik.
“Ah, aku pesan nasi tim saja minumnya air mineral dan kelapa ijo aja. Kamu mau apa?” tanya Raya pada Zach.
Mau tidak mau Zach menyebutkan pesanannya yang segera dicatat oleh pelayan itu.
“Mikha siapa? Kamu belum jawab pertanyaanku,” ujar Zach.
“Dia ... pemilik kafe ini, temanku,” jawab Raya lagi.
Raya kembali mengobrol dengan Zach membahas mengenai donor yang akan dicari oleh Zach. Tidak lama kemudian mata Raya menangkap Mikha yang berada di depan pintu. Begitu melihat Raya, Mikha berjalan cepat ke arah Raya.
“Kok kamu di sini?” tanya Raya.
“Hah? Ah itu, hah! Aku ... mampir ... saja. Kamu ... hah ... sudah ... lama?” Nafas Mikha terengah-engah.
“Kamu habis lari?” tanya Raya.
“Hah? Lari? Hah? Gak!” jawab Mikha.
“Kamu mau nasi daging cincang lagi?” tanya Mikha.
“Iya, tapi aku sudah pesan nasi tim,” jawab Raya.
“Gak perlu! Nanti aku buatkan,” ujar Mikha.
“Jadi ini yang namanya Mikha?”
Suara itu membuat Mikha menoleh ke arah pria yang duduk semeja dengan Raya. Dia akhirnya sadar bahwa Raya bersama seseorang.
Lelaki itu bangkit dan menyerahkan tangannya yang disambut Mikha.
“Zach.”
“Mikha.”