"Kejarlah cinta. Tanpa seringai putus asa."
~Angga~
Wulan menoleh ke arah pintu depan saat mendengar deru motor semakin dekat dan memasuki garasi rumah. Wanita paruh baya itu bangkit dan berjalan menuju teras untuk memastikan makhluk hidup apa yang berani mendatangi terutama di keadaannya yang tengah cemas pada si sulung.
Arial meringis sedikit ngeri ketika melihat Wulan sudah berdiri di ambang pintu sambil menggeleng-gelengkan memberi peringatan. Kevin dan Angga muncul di balik bahu Wulan.
"Arial," panggil Wulan tegas.
Atmosfer membeku. Arial menoleh dan berjalan mendekat. "Maaf, Ma. Tadi ada perlu," jelas Arial sebelum pertanyaan selanjutnya terlontar
"Sepenting apa?" tanya Wulan dingin.
Arial menjadi kaku. "De-Demi sepotong hati yang baru," jawab Arial ala Mas Tere Liye.
“Maklum Tante, gelora anak muda,” tambah Angga sambil menyeringai. Di keningnya seolah tertulis 'Mampus lo' yang melayani untuk Arial.
Wulan memilih diam menatap Arial dengan tegas.
"Aduh, Ma. Arial tau, Mama cantik. Betah banget liatin Arial," goda Arial menaik-turunkan alisnya lantas mengembangkan senyumannya. Berusaha mencairkan suasana kaku.
"Arial," panggil Wulan lagi tegas.
"Iya, Ma," sahut Arial halus.
"Mulai besok uang jajan kamu Mama potong separuh sampai dua minggu," ucap Wulan tegas kembali masuk kedalam rumah.
Angga dan Kevin mulai cekikikan menahan tawa ketika Wulan sudah pergi dari tempatnya.
"Loh Ma, kok gitu?" Arial berlari mengejar langkah Wulan dan memilih untuk membiarkan kedua sahabatnya tertawa sampai puas.
Pikir aja sendiri, balas Wulan tanpa menoleh. "Pergi gak bilang, pulang basah, alasannya demi hati seseorang," tambah Wulan meluapkan emosinya.
"Tadi kan Mama belum pulang," dalih Arial meski sebenarnya ia sempat berpapasan dengan Wulan di pertigaan jalan menuju area gerbang komplek.
"Uang saku kamu Mama potong lagi dari separuhnya," ucap Wulan cepat berlalu meninggalkan Arial.
Arial mengembuskan napasnya lambat lalu Membalikkan tubuh dan menatap yang kedua yang hanya memberi respon dengan mengangkat bahunya masing-masing. "Masyaallah," gumamnya pasrah.
Angga dan Kevin saling melempar pandang. Mereka berjalan mendekat.
"Sabar, Bro." Kevin menepuk bahu Arial dengan prihatin.
Tabahlah kawan, tambah Angga merangkul Arial dan cuek dengan tubuh Arial yang masih basah kuyup.
"Mending lo mandi terus ganti baju. Masuk angin baru tau rasa, lo!" perintah Kevin sedikit tekanan di akhir ucapannya.
***
Arial pergi keluar dari kamar mandi, bergerak bergerak mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Sementara Kevin dan Angga masih sibuk mengacak-acak koleksi komik yang diasingkan dan disimpan di dalam kardus oleh si Tuan.
"Ketauan nyimpen komik bisa mampus lo, Al," ucap Kevin datar menemukan komik yang dicarinya.
Arial hanya diam.
"Bawa sama kita aja ya?" pinta Angga semena-mena.
"Hm," sahut Arial mengangguk kecil.
Kevin memalingkan wajahnya ke arah Arial. Menatapnya lekat dengan kening sedikit berkerut.
Kenapa? tanya Arial sembari melihat pakaian.
"Ngebelain apa sih lo sampe rela ujan-ujanan?" selidik Kevin meraih poin. Ia curiga dengan apa yang telah Arial lakukan.
"Elsa," jawab Arial pelan, singkatnya, padat dan jelas.
Kevin dan Angga sontak melotot. "Emang si Elsa ngomong apa lagi sama lo?" tanya Angga menggebu.
"Dia SMS gue." Arial menunjukkan ucapannya.
"SMS gimana?" tanya Angga tak sabar.
"Dia bilang gini." Arial menghela napasnya sewaktu-waktu, "Intinya dia berhenti berharap sama," lanjut Arial menaik-turunkan kedua alisnya.
Kenapa alis lo? Bisulan? " sambung Kevin.
"Oke. Terus gimana?" alih Angga tidak memperdulikan pertanyaan Kevin.
"Ya, gue ujan-ujanan," jawab Arial asal.
“Mau gue santet nih bocah,” gerutu Angga kesal.
Kevin tertawa keras. "Santet aja. Biar tau rasa!" serunya.
Menanggapinya Arial hanya tersenyum lebar. "Gue ke rumah Elsa buat minta maaf sama dia," ujar Arial meluruskan kebelokan otak butek Angga.
"Terus?" tambah Kevin masih penasaran dengan cerita tentang Arial.
"Terus apaan? Mau jadi tukang parkir lo?" sahut Arial jenaka.
Kevin berdecak sebal. “Nyesel gue nanya,” rutuknya.
Arial tertawa pelan. "Santai aja kali." Ia mendudukkan bokongnya di atas karpet.
"Terus keputusan lo apa?" lanjut Kevin.
"Masih tetep ngejar Nita?" tambah Angga.
Arial mengangguk singkat.
"Yakin lo?" Kevin menatap Arial ragu.
Arial mengangguk lagi.
"Sok lo! Gerakannya aja nggak ada," ucap Angga gemas.
"Lamban," sambung Kevin.
"Santai aja kali," balas Arial bangkit dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Rasa kantuk mulai menyerangnya perlahan.
"Serah lo!" seru Kevin mengambil bantal terdekat kemudian memilihnya pada Arial.
Arial menangkapnya dengan tepat. "Trims. Gue ngantuk," ucapnya mengembangkan senyum permanennya. Cuek dengan Kevin yang ingin melihatnya bulat-bulat.
"Sue lo!" geram Angga sehati dengan Kevin.
Arial memejamkan matanya dan pura-pura mendengkur keras. Sengaja membuat kedua sahabatnya naik darah dan cepat pergi dari ruang sakralnya.
***
Dering telepon samar-samar terdengar. Arial buka kedua matanya perlahan, masih terasa berat. Namun semburat jingga yang masuk ke dalam laporan tersadar bahwa hari sudah mulai petang. Arial meraih ponselnya di atas nakas. Terlihat satu pesan singkat masuk.
Anonim: Maaf mengganggu. Gue Nita. Besok Bu Ambar minta kita buat kumpulan.
Arial segera bangkit dari tidurnya. Menatap layar ponselnya dengan pertanyaan penuh kemudian mengetikan pesan singkat untuk pesan dari Nita.
Arial: Kumpulan apaan?
Arial mengerutkan keningnya. Dua menit kemudian Nita kesalahan pesannya.
Nita: Gue, lo, Gilang, Elsa, Jojo, Aura, Juno udah jadi tim anti remed fisika.
Arial: Oke. Terima kasih infonya.
***
Nita menatap layar ponselnya dengan tidak percaya. "Buset! Datar bener nih anak," pelan rutuknya.
Kenapa sayang? tanya Mayang lembut sebab penasaran dengan suara pelan putrinya.
"Oh. Nggak, Bun," jawab Nita menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis.
***
Arial melongok ke arah depan ranjang. Terlihat dua sahabatnya tertidur pulas dengan komik yang berserakan di mana-mana. Arial mendesah pasrah sambil mengelus dadanya. Tabahkan hamba Ya Allah, ucapnya pelan.
Arial memilih segera bangkit dan keluar dari kamar. Membiarkan dua sohib ajaibnya tetap tertidur pulas di atas karpetnya.
“Kak,” sapa Chika senyum-senyum sendiri.
"Hm," sahut Arial malas.
Chika memajukan bibirnya. Tapi tak lama kemudian ia kembali tersenyum lebar. "Keluar yuk?" ajaknya.
"Nggak bisa," tolak Arial.
Kenapa? tanya Chika sedikit manja.
"Di kamar ada temen gue. Kalo ditinggal, bisa ancur nih rumah," jawab Arial asal.
Chika mendesis. "Ya gak, lah!"
"Mama mana?" alih Arial.
"Pergi. Meeting sama client-nya," jawab Chika.
Arial mengangguk-anggukan sebuah kepalanya. "Ya udah, yuk?" balasnya mengulurkan ramalan.
Chika tersenyum semringah. Ia segera memperoleh uluran tangan Arial. Merangkul tangan Arial dengan erat. Rasa senang mulai menyelimuti seluruh hatinya. Baru kali ini Arial mau diajaknya keluar bersama waktu luangnya.
Dan dengan senang hati Arial pun merelakan untuk membantu dipeluk manja oleh sang adik.
Perbedaan sampai usia lima tahun membuat Arial harus benar-benar dewasa. Bersikap seakan menjadi orang tua untuk Chika ketika orang tua kedua pergi ke kota sampai berhari-hari. Terlebih Arial tidak terlalu mengandalkan pembantu di rumah.
"Kita mau ke mana?" tanya Arial buka mulut tepat ketika akan keluar dari pelataran rumah.
"Aku lapar," jawab Chika sambil memegangi perutnya.
"Lo mau makan apa?" tanya Arial penuh perhatian.
Chika mengerucutkan bibirnya, perbincangan-ngetukan jarinya di dahi. Berlagak mikir "Hm ... makan bakso di depan ya?" ucapnya kemudian.
"Hm." Arial mengangguk.
Chika kembali tersenyum. Tumben, batinnya senang.
Hujan sudah reda sejak lima belas menit yang lalu. Konfigurasi basah dan terpaan sinar senja seperti membuat pancaran berlian di atas aspal. Terang dan jingga. Arial nikmati di setiap langkahnya menuju depan komplek yang hanya berjarak empat ratus meter dari rumah tinggal, indra penciumannya menikmati setiap harum gedung dan tanah yang basah. Membuatnya merasa damai. Sampai tak sadar langkahnya berakhir di pangkalan bakso milik Mang Nurdin.
"Kakak baksonya mau pedes?" celoteh Chika hangat.
Arial menoleh. "Dikit aja," jawabnya.
“Mang. Baksonya dua. Dua-duanya jangan terlalu pedes,” jelas Chika pada Mang Nurdin.
"Iya, Neng," sahut Mang Nurdin dengan anggukan dan senyuman. Memang, menjadi seorang pedagang harus ramah dan hangat. Kalo pedagangnya jutek, cuek, udah gitu jelek. Jangan lo beli. Cari di tempat lain! Itulah prinsip Arial.
Arial berjalan. Ia lebih memilih duduk lesehan di trotoar yang hanya beralas tikar anyaman. Chika membuntutinya lalu mengambil duduk tepat di sebelah Arial.
"Dingin ya kak?" Chika menggosok-gosokkan dua telapak tangan.
Arial menatapnya datar. "Di sini atau dibungkus?" tanyanya seakan mengerti kalau adiknya sedang kedinginan.
"Di sini aja," jawab Chika antusias. Ia pun ingin menikmati semburat jingga yang masih terpancar di antara sela-sela dahan pohon nan rindang. Depan komplek perumahan tempat tinggalnya memang terdapat banyak jejeran pohon besar yang menghiasi bahu jalan dan hal itu pula yang membuat komplek perumahan ini terasa sejuk juga asri.
Arial hanya mengangguk singkat.
"Kak," panggil Chika pelan. Ada yang ingin ia sampaikan perihal kisah cintanya. Chika siap pakai segala oksigen dari berbagai sumber. Ia benar-benar ingin mencurahkan isi hatinya.
"Hm," sahut Arial datar.
"Aku mau cerita," ucap Chika.
"Apaan?" tanya Arial tanpa memandang wajah Chika yang mulai basah oleh keringat dinginnya yang juga membasahi telapak tangan.
"Temenku—" Ucapan Chika terputus bersamaan dengan kedatangan Mang Nurdin yang membawakan dua mangkuk bakso.
Arial mengembangkan senyum dengan ramah. "Makasih Mang," ucap Arial menerima bakso itu.
"Iya Jang," balas Mang Nurdin hangat.
"Makasih Mang," susul Chika ramah namun harus menahan kesal karena acara curahan harus melaksanakan sponsor.
"Sama-sama Neng", balas Mang Nurdin sama hangatnya kemudian berlalu melayani pelanggannya yang lain.
Chika menghela napas dengan sabar.
"Lo cerita mau apa?" tanya Arial tiba-tiba. Mulai melanjutkan obrolan tadi yang sempat mengalami penjedaan tanpa ijin.
Chika terdiam membisu. Ia berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba senam tak karuan. Mungkin efek pertama kali ia bercurah hati dengan Arial setelah bertahun-tahun.
"Kok diem?" lanjut Arial siap mendengar cerita dari adik tersayangnya.
Chika mengambil napas perlahan. "Di sekolah ada yang suka sama aku," ucapnya.
"Kayak manusia aja lo," ejek Arial semena-mena.
Chika mendesis. "Beneran," yakin Chika dengan ucapannya.
"Buntut kuda aja nggak suka sama lo," lanjut Arial mengejek Chika.
"Kakak, ih! Jahat banget jadi orang," kesal Chika menahan diri untuk tidak berteriak kesal dan melontarkan kata-k********r.
"Why? Why? Siapa yang suka sama lo?" tanya Arial mulai mendengar cerita dari adiknya.
Gadis kecil dengan rambut dicepol mengambil jeda. "Nio," balas Chika singkat.
“Motor kali, ah. Nio,” ucap Arial cuek sambil menikmati baksonya.
"Ya kali, aku mau pacaran sama motor!" geram chika keras-keras menggigit baksonya.
"Lo udah jadian?" tanya Arial tidak memperdulikan keadaan Chika.
"Belum," Chika menggeleng pelan.
"Terus, lo tau dia suka sama lo dari mana?"
"Tadi di sekolah dia nembak aku di depan anak-anak satu kelasku," jelas Chika.
Arial mengangguk-anggukan sebuah kepalanya. "Terus lo bilang apa?"
"Aku minta waktu buat ngasih jawaban. Menurut Makak gimana?" pinta Chika mengenai pendapat kakaknya.
"Gimana apanya? Kenal aja nggak sama si Nio," balas Arial.
"Menurut kakak, diterima atau nggak?" jelas Chika berusaha sabar.
"Nggak," jawab Arial singkat.
Kenapa? Kini Chika berani mengambil wajah menatap Arial.
“Sok dramatis, sok romantis, padahal najis,” jelas Arial tidak peduli dengan reaksi Chika.
Chika mendesis semakin kesal.
Kenapa? Lo suka? "
Chika memilih diam.
"Kalo lo suka, ngapain tanya pendapat ke gue? Langsung aja terima." Arial menatap Chika dengan tajam.
Chika kembali mendesis.
"Oke. Besok gue liat anaknya, terawang dia dari jauh," ucap Arial sok mistis.
"Kayak dukun aja," cibir Chika puas bisa mencampur cibiran Arial.
"Gue dukun. Lo Mak Lampirnya," sahut Arial tidak mau kalah.
Chika mencibikkan bibirnya. Berdebat dengan Arial hanya akan menguras energinya. Lebih baik diam dan menikmati makanannya. Satu lagi, jika berdebat dengan Arial bak puasa empat puluh hari empat puluh malam. Tidak akan ada habisnya dan hanya akan melelahkan meski kenyataannya Arial tidak akan banyak mengeluarkan suara. Itulah ajaibnya!
"Terima atau nggak?" lanjut Chika dengan tak sabar.
Arial mengembuskan napasnya lagi. "Lagian lo tuh masih kecil. Ingus aja masih jarang lo bersihin," ujarnya menyakitkan. Meskipun begitu, tatapannya hangat dan menenangkan. Ini yang membuat Chika nyaman saat berada di sisi sang Kakak.
Chika menundukkan kepalanya. Perkataan Arial ada benarnya. Ia masih terlalu kecil untuk menjalin asmara. Terlebih jika Chika harus melihat pada kakaknya yang sampai detik ini belum merasakan pacaran. "Ya udah deh. Chika tolak aja, Nio," ucap Chika lesu.
Alis Arial mengerut heran. Kenapa? tanyanya.
"Chika, kan masih kecil."
"Lo ngambek?"
Chika menggeleng. "Nggak."
"Terus?"
"Aku cuma mikir. Perkataan Kakak ada benernya. Lagian Kakak aja belum pernah pacaran."
Arial mengangguk mengerti. Udah nggak usah dipikirin. Jodoh nggak ke mana. Belajar aja yang rajin biar bisa jadi orang sukses, "nasihatnya.
"Iya Kak." Chika mengangguk dan mengembangkan senyumnya.
Arial tertawa hangat mengelus puncak kepala Chika penuh kasih sayang.
Embusan napasnya seakan berhenti di tenggorokan. Chika merasa benar-benar memiliki seorang Kakak. Rupanya di balik diamnya Arial masih ada rasa pedulinya sebagai seorang Kakak.
***
Angga terbangun. Suasana ruangan sungguh senyap. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Kevin agar cepat bangkit dan berhubungan dengkurannya yang keras
"Vin. Si Arial ke mana, Vin? Vin, bangun WOY!" seru Angga panik. Dampak tidur sakit ternyata cukup gila sendiri.
Kevin mengerang keras. Meregangkan tubuhnya terasa kaku. "Nggak tau gue!" sahut Kevin melirik sedikit lalu kembali memejamkan matanya.
"Eh, si anak ayam malah tidur lagi, dia!" geram Angga. "Bangun woy! Udah mau maghrib!" serunya menarik bantal yang di pakai Kevin.
"Ganggu aja lo!" sentak Kevin bangkit dan berjalan menuju ruang tengah. Angga membuntuti Kevin.
Mereka berdua duduk santai di sofa, diskusi langsung dengan televisi.
Terdengar suara pintu terbuka. Kevin melongokan kepala.
Chika mengembangkan senyumnya. "Eh, Bang Kevin, Bang Angga. Udah bangun?" sapanya lembut.
Kevin dan Angga ber-haha-hehe. "Iya, Chik. Kakak lo mana?" tanya Angga.
"Masih di luar, Bang," jawab Chika.
"Apaan tuh, Chik?" tanya Angga matanya tertuju pada sebuah bungkusan hitam di tangan Chika.
"Bakso. Yuk makan?" ajak Chika ramah. Lalu berjalan melewati ruang tengah dan berakhir di ruang makan.
Tak lama kemudian Arial muncul.
"Abis kemana lo?" sambut Kevin sarkastik.
"Makan di luar." Arial melenggang santai menuju ruang makan.
Angga membuntuti Arial. "Gue juga laper. Abis makan bakso ya lo?" seru Angga dengan antusias menebak.
"Minta noh, sama adek gue," tunjuk Arial pada Chika dengan wajahnya.
Angga menurut. Ia berjalan Chika dan duduk manis di kursi depan meja makan. "Bakso nemu di mana lo?" tanya Angga sedikit memajukan wajahnya.
Pinggir jalan Bang, sahut Chika jenaka.
"Ah elah. Mulung lo ya ?!" lanjut Angga merekomendasikan menjahili Chika.
"Lo suka mulung?" sambung Arial tiba-tiba lantas duduk di samping Angga setelah mengambil softdrink di kulkas.
Angga memilih diam. Ia sudah memperkirakan bahwa Arial akan membatalkannya sampai mati. Kalau pun perlu, sampai titik darah penghabisan.
Chika tertawa puas dan melirik ke arah Angga sebelum memberikan satu mangkuk bakso kepadanya dan satunya lagi pada Kevin.
"Bakso apa nih?" interogasi Kevin menunjuk bakso dengan jarinya.
"Bakso tikus. Lumayan buat cucunya cacing kayak lo," sahut Angga menyebalkan.
Kevin memicingkan matanya. "Mau gue buntel lu?!" serangnya.
“Udah lah, Bang. Makan dulu. Berantemnya nanti lagi,” ucap Chika menengahi keributan antara Angga dan Kevin.
Sementara Arial sedang asyik sendiri meminum softdrink-nya dan sesekali mengecek layar ponselnya. Tidak ada notifikasi apapun yang masuk di ponselnya. Ia hanya menyunggingkan senyumnya saat kembali melihat riwayat pesan singkat antara dirinya dan gadis konyol itu.