PHY 01 - Gadis Mungil Nan Tengil

2633 Words
“Kita itu ibarat atavisme dengan kode rr pp yang berarti single. Jadi, gimana kalo kita jadian?" ~Elsa~ Arial baru saja turun dari kendaraan roda empat yang ditumpanginya. Namun, gadis tengil itu sudah menyambar kedatangannya sekaligus merusak suasana dengan cara yang tak perna mampu ia tebak. "Al, lo harus percaya sama Hukum Mendel II bahwa benci di dalam hati akan bergabung secara bebas membentuk perasaan baru yaitu cinta," cerocos gadis rese itu seraya mempertahankan langkahnya tetap sejajar dengan langkah lebar milik Arial. Tanpa memedulikan segala ocehan gadis tengil itu Arial tetap melangkahkan kaki lebarnya pergi ke ruang kelas dan meninggalkan si upil mungil, Elsa. "Selamat pagi, Bosku," sambut kedua sahabatnya yang seakan-akan menunggu kehadiran seorang pangeran datang di ambang pintu kelas. Panggil saja mereka Kevin dan Angga. Kevin merangkul bahu Arial, begitu juga Angga. Mereka berdua mengantar Arial sampai bangkunya. "Gue dapet info," ucap Angga seraya melepas rangkulannya. Anak itu memasang raut seakan telah menemukan berita yang begitu mantap jiwa dan harus cepat menayangkannya kepada khalayak ramai. "Info apaan?" tanya Kevin penasaran sembari melepas rangkulannya dan sekarang berkacak pinggang menatap Angga. "Kalo hari ini kita upacara," lanjut Angga. Sedetik kemudian senyum menyebalkan terbit di dua sudut bibirnya. "Al, menurut lo hujat anak orang boleh enggak, sih?" tanya Kevin meminta pendapat pada Arial. Arial menatap Kevin lalu menyimpan tasnya di atas meja. "Enggak boleh, sih, sebenernya, tapi kalo lo maksa, sih, boleh-boleh aja, lah," sahutnya amat mendukung usaha yang akan Kevin lakukan. Kevin tersenyum puas menatap Angga. "Sini lo. Gue hujat," tuturnya lalu mengibaskan tangan ke arah Angga sembari menyeringai lebar. Namun seketika berubah beda saat .… "ARIAL!" panggil gadis tengil itu sambil melangkah ke dalam kelasnya yang berarti kelas Arial juga. "Mampus lo! Karma masih terus berlanjut, Bung!" maki Angga segera berlalu keluar dari kelas setelah meraih topinya dari dalam tas. Kevin mengurungkan niatnya untuk menghujat Angga dan mengalihkan perhatiannya pada Arial. "Sabar, Al. Upil Kudanil dateng," ucapnya sambil menepuk bahu Arial kemudian memilih untuk melesat pergi menyusul Angga. Arial mengembuskan napas dengan kasar. Paginya selalu hancur dan tidak pernah ada kata damai. Namun sabar, kini ia sudah menginjak kelas 12. Jadi hanya tinggal menghitung bulan saja untuk bisa terbebas dari Si Gadis Tengil yang selalu mengganggu suasana hatinya. Seringai ceria Elsa tunjukkan untuk Arial. "Jadi gimana? Siap untuk ikut upacara?" tanyanya begitu cerewet serta tanpa ijin ia merangkul lengan Arial dengan manja. Arial tidak menggubrisnya. Ia melepas rangkulan Elsa dengan sentuhan yang dapat memberikan rasa dingin lalu melenggang pergi. Iya, Elsa. Gadis hebat yang masih tetap mengejar cinta Arial sampai detik ini, meski laki-laki itu tetap dingin dan tak acuh padanya. Namun dengan tidak peduli, Elsa terus mengejar Arial dan pantang menyerah. Sekua itu ia lakukan demi bisa menanamkan rasa cinta pada laki-laki itu. Sudah dua tahun ia mengisi hari-hari Arial yang kaku dengan segala sifat yang dapat membekukan atmosfer di sekitar. "Arial! Ih, bareng dong!" pekik Elsa segera mengejar langkah Arial. Arial tidak memedulikannya dan terus berjalan menuju lapangan upacara. Sampai barisan upacara dipersiapkan, Arial memilih untuk mengambil barisan paling belakang agar terhindar dari gadis tengil Si Ratu Drama. Jujur saja, ia kapok saat Elsa beradegan pura-pura pingsan hanya karena ingin ditolong olehnya. Namun sifat tak acuhnya berhasil merusak adegan penuh drama yang Elsa susun. Bruk! Baru saja dipikirkan. Gadis tengil itu sudah kembali berulah dengan lagaknya pingsan saat upacara bendera tengah berlangsung. Semua mata langsung tertuju pada Arial. Mereka ingat saat Elsa pura-pura pingsan dan di tolong oleh tim PMR, gadis tengil itu malah mengamuk sekaligus mengacak-acak seisi ruang UKS. "Arial. Tolongin, noh!" titah Dino pada Arial. Arial berdecak sebal. Tanpa menghiraukan ucapan Dino ia tetap fokus mengikuti jalannya upacara bendera. Namun seseorang datang dan menariknya hingga ia tertunduk di depan tubuh Elsa. "Bawa dia ke UKS! Gue nggak mau Nenek Lampir ini ngamuk lagi. Lo inget seisi UKS rusak gara-gara dia?" geram Mala. "Kali ini harus berhasil," batin Elsa merasa kalau kemenangan sudah berpihak padanya. Arial mendengus kesal. Kenapa harus dirinya? Apa manusia tampan di dunia ini lenyap sampai harus dirinya yang menolong Si Tengil ini? Dengan berat hati ia membopong tubuh mungil Elsa dan membawanya ke UKS. "Ya, berhasil!" sorak Elsa di dalam hati. Kemudian matanya beraksi mencuri-curi pandang untuk menatap rahang tegas Arial saat sedang membopongnya. Pahatan Tuhan yang sempurna untuk Elsa mengagumi sosok Arial. Sosok yang dingin bak es batu buatan Mang Koko di kantin. Udik, maki Arial dingin sebelum melemparkan tubuh Elsa ke atas ranjang UKS. Lantas segera berlalu dari hadapan kucing betina tengil itu dan melanjutkan upacaranya yang sempat tertunda karena ulah Elsa. Sampai upacara berakhir. Bel masuk berbunyi nyaring ke seantero sekolah membuat murid-murid yang lain mulai hilir mudik masuk ke dalam kelas kemudian duduk dengan tertib di bangku single-nya masing-masing. Tak lama Bu Tari datang bersama dengan seorang gadis yang berdiri tak jauh di sampingnya dan terlihat begitu malu-malu. Gadis itu adalah siswi baru dari sekolah lain. Di dalam kelas 12 IPA 1 hanya terdapat sembilan belas murid yang terdiri dari sepuluh siswa dan sembilan siswi serta di setiap kelasnya hanya menerima dua puluh anak didik. Akibat kekurangan satu murid karena harus putus sekolah, jadi kelas 12 IPA 1 yang kemungkinan besar akan mendapatkan tambahan siswa. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Arial mengangkat wajah saat mendengar suara salam dari Bu Tari, wali kelas 12 IPA 1 yang memiliki paras cantik. "Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarakatuh," jawab penghuni kelas dengan kompak. Kemudian Bu Tari mempersilahkan cewek yang akan menjadi penghuni baru kelas 12 IPA 1 untuk memperkenalkan dirinya. "Nama saya Yunita Endryani," ucap cewek itu tanpa orang lain tahu kalau ia harus setengah mati menahan gugup. "Saya siswi pindahan dari SMA Swadaya Bandung," lanjutnya dengan pelipis yang mulai dibasahi keringat-dingin. "Cukup, ya. Kamu cari bangku kosong," ujar Bu Tari pada Nita lalu pandangannya beralih ke seluruh anak didik di hadapannya. "Dan ingat kalian tidak boleh gaduh apalagi sampai keluar kelas di saat menunggu KBM berlangsung," peringatnya dengan kedua bola mata yang berkeliling sampai ke sudut ruang. Lalu ada yang kurang dalam benaknya. Nita langsung berjalan ke arah bangku kosong di samping kiri Arial. Sesampainya Nita menyapa sopan tetangga kanan-kiri bangku single-nya. "Iya, Bu!" sahut penghuni kelas 12 IPA 1 dengan berbarengan. "Elsa ke mana?" tanya Bu Tari menyadari sesuatu sebelum keluar. Semua mata melirik pada Arial hingga Bu Tari ikut memilih tatapannya ke arah cowok yang sekarang memilih diam. "Arial," panggilnya pada Arial. "Kamu tau Elsa ke mana?" tanyanya kemudian. Arial menghela napasnya. "Saya nggak tau, Bu," jawabnya asal. "Bohong Bu! Tadi aja abis berduaan di UKS," celetuk Kevin. Arial langsung menatapnya dengan pandangan yang mematikan. Sahabatnya memang gila! "Berduaan?" ulang Bu Tari heran. Semuanya tidak kecuali Kevin. “Iya Bu, berduaan. Ibu kayak nggak pernah muda aja,” sahutnya. Bu Tari menatap Arial lagi. "Benar Arial?" tanyanya memastikan. "Nggak Bu," jawab Arial datar dan tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Bohong!" sergah Kevin berlagak serius. Angga menghela pasrah melihat raut Bu Tari yang sudah sulit diartikan. "Yah, Bu. Orang gila kayak dia tak percaya," celetuknya tentu berada di pihak yang benar. Bu Tari menyadari sesuatu bahwa Kevin adalah sosok manusia yang kurang dari satu ons. Guru berparas ayu itu geleng-geleng kepala dan menatap Kevin penuh peringatan. Yang ditatap malah nyengir lebar sambil mengangkat kedua jarinya. "Bercanda doang, Bu," ucapnya menyesal. "Ya sudah. Ibu tinggal. Jangan ribut datang selagi menunggu guru piket kalian," ujar Bu Tari tidak masalah kejahilan muridnya. Bu Tari keluar dari ruangan tersebut. Mata-mata jahil dari beberapa siswa mulai beraksi dengan agresif. Kevin dan Angga, Si Duo Jomblo Tulen. Jomblo karena nggak mau, tepatnya para kaum hawa di sekolahnya pada nggak mau pacaran sama Si Capit Kepiting dengan alasan yang terlalu sempurna. Sempurna untuk segera dilupakan! "Ssstt!" desing Kevin memajukan tubuhnya agar dapat melihat wajah Nita. "Hai Yunita," sapa Angga ramah. Lalu menarik bangkunya agar lebih dekat lagi dengan Nita. "Nama gue Angga Pratama. Panggil aja Angga," tambahnya menjulurkan untuk bersalaman. "Nita," balas Nita mengulurkan, dan mengembalikan jabat tangan Angga. "Heh, lo! Pindah dulu ke bangku gue!" perintah Kevin pada Juno yang duduk di belakang Arial. "Ganggu aja lo!" gerutu Juno sebelum meninggalkan bangku kesayangannya. "Nama gue Kevin Aditya. Panggil aja Kevin," susul Kevin tidak mau ketinggalan. "Panggil sayang juga boleh," godanya sedetik kemudian. Nita hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil. Tidak seperti dua sahabatnya, Arial bahkan tidak tertarik untuk berkenalan dengan gadis baru yang berada di sampingnya. Ia malah menyibukkan dirinya dengan pena dan lembaran kertasnya. Hal itu membuat Nita merasa aneh dengan sikap cowok yang satu ini. Beberapa menit kemudian Pak Tora datang bersama setumpuk buku tugas para siswanya. Kedatangannya membuat Kevin segera kembali ke tempat asalnya dan Angga kembali membenahi bangkunya. "Selamat pagi!" sapa pak tora. "Pagi!" sahut murid-muridnya secara bersamaan. "Bagi namanya yang tidak ada permintaan yang sebaiknya segera melunasi pembayaran listrik!" tegas Pak Tora kedua, sibuk memilah-milah buku untuk menyelaraskan beberapa buku yang menurutnya adalah buku terjelek di dunia, karena hanya terisi dengan nilai doremi yang dapat membutakan mata setiap orang yang melihatnya, karena banyaknya coretan pena dengan tinta merah. Semua murid di kelas 12 IPA 1 sukses tertawa riuh. "Pak. Keliatan banget kalo Bapak punya banyak tagihan hutang listrik!" seru Andre. "Andre, mau saya coret daftar hadir kamu?" balas Pak Tora merusak. "Nggak, Pak. Bercanda doang, elah ... hehehe." Andre menggeleng-gelengkan sebuah kepalanya dan terkekeh sendiri. "Bagus." Pak Tora mengangguk kemudian menyebutkan satu persatu nama siswa yang lolos dari tugas individu bulanannya. Dari dua puluh siswa hanya ada delapan siswa yang lolos dalam tugas yang diberikan Pak Tora kepada muridnya. "Kok gue gak dipanggil, ya," bisik Kevin pada Arial dan sedikit memajukan tubuhnya. "Belum lolos. Perlu remedial," jawab Arial dengan santai. Matanya tak lepas dari kegiatan yang bernilai sempurna di buku tugasnya. "Sok lo!" geram Kevin kembali menegakkan tubuhnya. ⚛️⚛️⚛️ Empat jam pelajaran matematika nyaris membuat otaknya meledak. Kevin sudah habis meneguk dua gelas jus jambu merah yang memesannya. "Gila!" gerutunya. "Nyokap gue tau, duit jajan bisa di-stop nih gue!" tambahnya heboh sendiri. Mulutnya mulai mengunyah buah jambu merah yang menjadi hiasan di bibir gelas. "Lo sih kebegoan," sahut Angga cuek. Sementara Arial hanya menikmati batagor santapannya di waktu istirahat kali ini. Kevin berdecak kesal. "Arial!" seru Elsa jelas sedang berjalan mendekat ke arah Arial. Arial malas menyahutnya. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu makhluk macam apa yang mengganggu waktu istirahatnya. "Arial. Lo dipanggil Bu Ambar," ujar Elsa manja. Tangannya bergerak merangkul leher Arial dari belakang. Arial hanya diam. Anggap saja cewek resek yang ada di belakang punggungnya itu ibarat tas ransel. Setelah menyantap satu sendok makanannya yang terakhir lantas dirinya bangkit dari kedua sahabatnya dan otomatis membuat rangkulan manja Elsa begitu saja. Karena antara Arial dengan Elsa ibarat tiang listrik dengan gagang sapu lidi. "Gue cabut dulu," pamitnya. Kedua sohibnya mengangguk dan tidak ketinggalan untuk menggoda Arial. Arial hanya diam tidak menggubrisnya sambil terus berlalu. Sedangkan Elsa terlihat mengerucutkan bibirnya karena sebal. Bu Ambar adalah guru fisika yang mengajar kelas 12 di SMA Dewantara. Gelar pendidikannya sudah bukan lagi sarjana atau magister, melainkan seorang profesor dan menjadi dosen di Universitas Indonesia. Lebih ajaibnya, otaknya terlihat lebih banyak bergerigi ketika dirontgen, menandakan bahwa otaknya lah yang paling berharga dalam hidupnya. Paling berguna bagi nusa dan bangsa. "Permisi." Arial masuk ke dalam kantor dan segera berjalan menuju meja guru milik Bu Ambar. Bu Ambar mengangkat kepalanya. Menatap Arial yang sedang mendekat. "Oh iya. Ibu ada perlu dengan kamu," ucap Bu Ambar dapat mengambil beberapa berkas di dalam lacinya. "Apa Bu?" tanya Arial seperlunya. "Bantu Ibu untuk mengajar mata pelajaran fisika di jam tambahan setiap hari rabu dan kamis setelah bel pulang sekolah," jelas Bu Ambar. Arial mengangguk paham. "Ibu tidak bisa menerima nilai mereka setiap selesai ujian. Kalau kamu merasa terlalu berat. Kamu bisa meminta bantuan kepada Elsa, Yunita, dan Gilang," jelas Bu Ambar. "Yunita satu kelas denganmu, kan?" lanjutnya bertanya. "Iya, Bu." "Kalau begitu ini materi yang harus kamu review kembalu agar bisa mengajari mereka dengan baik." Bu Ambar memberi setumpuk kertas putih bersampulkan tulisan fisika. Arial memungutnya. "Jadi lusa kamu bisa mengajar mereka. Nanti Ibu akan bantu kamu." "Baik Bu." "Ya sudah, hanya itu. Kamu boleh kembali melanjutkan istirahat." "Terimakasih Bu." "Iya. Terimakasih kembali." *** Arial masuk ke dalam kelasnya. Berkategori siswa teladan karena prestasi belajar di sekolahnya kadang-kadang dia sedikit lelah. Namun semua itu harus ia nikmati dengan lapang d**a. Lagipula ini kan yang menjadi langkah awalnya untuk menebus semua kesalahannya empat tahun lalu? Suasana kelasnya begitu sunyi. Kepalanya menoleh ke arah bangku Nita. Kosong. Arial memilih untuk mencari Nita yang sepertinya cewek doyan nongkrong di perpustakaan. Bergelut dengan berbagai macam tulisan dan angka seperti dirinya Arial berjalan menyusuri koridor kelas 12 dan berakhir di koridor perpustakaan dekat laboratorium komputer. Lalu memasuki ruangan sunyi yang hanya diisi oleh beberapa orang bernyawa, salah satunya adalah Nita. Nita sedang duduk di deretan meja panjang paling pojok. Matanya fokus membaca buku ilmiah. “Hai,” sapa Arial langsung duduk di hadapan Nita tanpa ijin. Nita menegakkan tubuhnya dan menaruh buku yang dipegangnya di meja, membiarkan bukunya terbuka tanpa menghilangkan halaman yang sedang dibacanya. "Maaf ganggu. Gue mau ngasih tau kalo Bu Ambar nugasin gue, lo, Gilang, dan Elsa buat jadi tutor di mata pelajaran fisika," jelas Arial tanpa basa-basi. "Untuk kapan?" tanya Nita. Suaranya terdengar halus dan lembut. Tapi sedikit gemetar karena harus menahan rasa gugupnya. "Hari rabu dan kamis. Setelah bel pulang," jawab Arial seperlunya. Nita mengangguk. Rasa gugupnya kuat-kuat ia tahan. "Lo siap, kan?" Arial menatap Nita dengan sorotnya yang serius. "Kalo nggak siap, gua bisa bilang ke Bu Ambar buat cari orang lain yang lebih siap," lanjutnya tanpa menunggu respon Nita. "Iya." Nita mengangguk. "Oke. Gue tunggu lusa nanti." "Iya. Makasih infonya." Arial mengangguk kemudian berlalu tanpa pamit pada Nita. Nita menenangkan jantungnya yang berdebar keras. Alasannya berdiam diri di dalam perpustakaan adalah hanya untuk meminimalisir tatapan-tatapan asing dari penghuni lingkungan sekolah barunya. Terlebih saat dia sempat mendapatkan tatapan sinis dari teman sekelasnya di hari pertama masuk sekolah. Tapi Kevin dan Angga saat mengajaknya berbicara cukup memberikan rasa lega. Gadis itu menatap punggung Arial yang semakin jauh dan menghilang di balik belokan. Tubuh tinggi, atletis, berwajah tampan, berpakaian rapi, membuat kesan Nita cukup merasa kagum dan kesan ... cukup gugup. Terlebih bagaimana ketika berbicara, Nita mengerti cowok itu tidak tertarik dengan basa-basi. *** Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Tapi Arial baru keluar dari ruang laboratorium fisika. Ia melepas jas putih yang melekat di tubuhnya lalu melenggang menuju kelas untuk mengambil tas. "Halo Arial!" seru gadis tengil itu muncul dengan tiba-tiba dan berhasil membuat Arial nyaris terlonjak kaget. Laki-laki itu berdecih sebal atas kelakuan ajaib Elsa. Pulang bareng, yuk, ajak Elsa tetap ceria. Ia merangkul lengan Arial tanpa seijin pemiliknya. Arial tidak menggubrisnya dan menarik lengannya untuk terlepas dari rangkulan Nenek Lampir di sampingnya. Al. Ayo, mobil gue mogok tadi pagi, "rengek Elsa kembali merangkul Arial. Arial menarik lagi. Maaf, nggak ada tumpangan. Lo naik ojek aja. Nih goceng, ”sarannya sambil memasukkan uang lima ribunya ke dalam saku kemeja Elsa. Kemudian segera berlalu meninggalkannya sendiri di koridor yang sepi. "ARIAL!" panggil Elsa pada Arial yang secuil pun tidak mempedulikannya. Dengan sabar ia menatap kepergian Arial dari hadapannya. Arial adalah sosok yang misterius. Entah apa yang tertarik tertarik untuk memiliki sesosok makhluk seperti es batu buatan Mang Koko dengan seutuhnya. Yang pasti ia tidak akan berhenti begitu saja sebelum mendapatkannya. Apalagi di kala banyak laki-laki yang mengantri ingin menjadi kekasihnya. Arial benar-benar dingin, tak acuh, dan selalu berbicara pedas. Namun, dua tahun mengejar Arial membuat dia semakin kebal dan lebih terlatih untuk menerima segala cacian yang Arial lontarkan. Tidak hanya Arial, bahkan semua orang di seluruh dunia yang tahu bahwa dirinya sedang mengejar cinta laki-laki dingin itu dengan caranya sendiri. Banyak diantara antara yang selalu memaki dan mengecap Elsa sebagai gadis murahan, tidak tahu diri, tengil, dan masih banyak kata caci lainnya. Namun Elsa tidak pernah ambil pusing, ini hidupnya, dramanya bersama Tuhan agar mau menakdirkannya untuk hidup bersama sosok Arial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD