PHY 22 - Getir

1928 Words
"Biar kucoba terima masa pahitmu." ~Elsa~ Arial kembali ke kelasnya. Di sana sudah ada Elsa dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di dekat meja guru. Arial menghampiri mereka kemudian ber-toss ria. "Lo udah punya penyemangat, nyet. Awas aja kalo lo kalah!" canda Juno. Arial hanya tertawa. Kemudian melirik ke arah Elsa dan tersenyum. "Lo juga belom traktir kita-kita," sambung Bastian duduk di atas meja guru. "Gampang lah. Ntar gue siapin," balas Arial tertawa. "Bener loh ya?!" sahut Nanda terlihat bersemangat. Arial tersenyum kemudian mengangguk. "Beneran, nyet! Gue gak yakin," lanjut Juno gemas. "Sekalian aja satu kelas deh. Cuma 20 orang. Buat kantong lo mah kecil, man!" seru Nanda menggila. "Sanggup gak lo? Mereka kalo makan kayak babu!" sambung Kevin tiba-tiba. Dia menyenggol lengan Arial. Arial meringis pelan. "Lo lah yang bayar!" balasnya berjalan menuju bangkunya. "Lo kalah tanding berarti lo harus traktir kita-kita makan!" tantang Juno pada Arial. Arial membalikkan tubuhnya yang masih berdiri lalu menatap Juno. Dia menaikkan salah satu alisnya. "Kalo gue menang?" "Gue yang traktir semuanya!" jawab Juno mengangkat wajahnya dan berkacak pinggang. Arial menoleh lagi ke arah Elsa. Elsa malah membuang wajahnya kearah lain. "Oke!" Seketika Elsa kembali menatap Arial dengan kedua bola matanya yang membulat. Apa dia tidak salah mendengar jawaban Arial? Bagaimana dengan lengan Arial yang terluka? Pasti akan sangat menyakitkan jika Arial harus men-dribble bola hingga pertandingan usai. "Biasa aja kali, Neng!" seru Angga menyapukan telapak tangannya pada wajah Elsa saat melihat ekspresi kagetnya. Kemudian Elsa membalasnya dengan mendorong Angga hingga nyaris terjungkal. Bel berbunyi dengan nyaring. Semuanya mulai beringsut menuju tempat duduknya masing-masing. "Nanti istirahat aku mau ngomong sama kamu," bisik Elsa pelan pada Arial saat dia hendak duduk di tempatnya. Arial hanya diam. Tak lama kemudian seorang guru memasuki ruang kelasnya. Memberi pelajaran yang diampunya hingga empat jam mata pelajaran berlalu dan bel kembali menggema pertanda waktunya istirahat. Arial menutup bukunya. "Kantin ayok!" ajak Angga padanya. Arial menggeleng. "Gue ada urusan. Ntar gue nyusul," jawabnya. Tak lama kemudian Elsa datang menghampiri Arial. Gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Angga dapat melihatnya. Dia mengangguk lalu pergi bersama Kevin juga teman-temannya yang lain. "Mau ngomong apa?" tanya Arial pada Elsa yang terlihat sedang kesal. "Ikut gue." Elsa menarik tangan Arial tidak mau menunggu lama lagi. Arial menurut. Kini dia menggenggam tangan Elsa. Elsa yakin di balik lengan bajunya, Arial menutupi lukanya yang cukup serius. Namun laki-laki itu hanya menganggapnya seolah itu hal biasa. Mereka berjalan melewati segerombolan geng sekolah yang terkenal dari kelas XII IPA 2. Aziz sengaja menabrak lengan kanan Arial hingga genggamannya dengan Elsa terlepas. Laki-laki itu tersenyum sinis kepada Arial, namun Arial tidak membalasnya, ia hanya dengan menatapnya tajam amat menusuk. Elsa menengadah. Menatap wajah tampan Arial yang sedang terlihat serius. Arial kembali menggenggam tangan Elsa dan pergi. "Banci!" tajam Aziz dari belakang. Arial tidak menggubrisnya. Ia terus berjalan hingga mereka sampai di taman depan sekolah belakang laboratorium komputer. "Mau ngomong apa?" tanya Arial melepaskan genggamannya dan duduk di bangku taman yang panjang. Suasananya hening. Di sana hanya ada mereka berdua. Kalau pun ada orang lain. Mereka hanya berlalu lalang dan jaraknya pun jauh. "Lo gimana sih? Gak sadar diri banget! Tangan lo tuh lagi luka, Arial," ucap Elsa meluapkan semua rasa kesalnya. Arial memilih diam. Dia bukan lagi anak kecil. Arial tahu, Elsa hanya sedang khawatir padanya. "El," panggilnya lembut lalu menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Meminta Elsa untuk duduk. Elsa menurut. Dia duduk di samping Arial. "Semuanya akan baik-baik aja. Ini cuma luka kecil," ucap Arial meyakinkan gadisnya. "Luka kecil?" ulang Elsa tidak percaya. Arial mengangguk. "Kalo luka kecil kenapa harus di balut perban kayak gini, Al? Kalo luka kecil kenapa tadi lo malah ngebiusnya? Kalo luka kecil kenapa tangan lo gak nulis pas di suruh maju sama Pak Tora buat nerangin semuanya? Lo malah berdalih buat ngajarin mereka yang gak bisa dan berlagak kayak guru!" teriak Elsa kedua matanya mulai memanas dan siap menumpahkan air matanya. Arial menggeleng. Dia merangkul Elsa yang tengah menahan untuk tidak menangis. Di sisi lain Arial tidak menyangka bahwa rasa cinta Elsa kepadanya begitu dalam. Elsa benar-benar memperhatikannya. "Iya maaf," ucap Arial diam sejenak. "Maksud gue lukanya gak kecil-kecil amat," lanjutnya, seketika mendapatkan hal tak terduga dari Elsa. Gadis yang tengah dipeluknya mendorongnya sekuat tenaga hingga punggung Arial membentur sandaran kursi dengan keras. "Lo tuh ngeselin banget sih Arial!" pekik Elsa habis kesabarannya. Air matanya mulai bergulir di pipinya yang halus. "Iya maaf. Gue kan belum selesai ngomong," Arial menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oke. Sekarang gue mau tanya." Elsa menghapus air matanya, "Kenapa tangan lo bisa sampe kayak gini?" lanjutnya. Arial diam sejenak. "Semalem cuma jatuh dan gue gak liat kalo disitu ada kaca," jawabnya jelas berbohong. "Bohong." Elsa menatap Arial hingga ke dalam manik matanya. Arial mengangkat kedua jarinya. Sudah malas berbicara yang tidak-tidak dan akan semakin membuatnya merasa bersalah karena harus terus berbohong. Elsa memalingkan wajahnya dari Arial. Gadis itu memilih untuk menatap dedaunan daripada wajah Arial. Kedua siku Arial bertumpu pada kedua lututnya. Lalu menatap wajah Elsa dari samping. Kedua alisnya, manik matanya, hidungnya dan ... bibirnya. "El," panggil Arial pelan. Dia masih menatap gadisnya dengan lekat. "Kenapa?" sahut Elsa kembali menatap Arial. Kini tatapan mereka bertemu. Arial benar-benar menikmati tatapan itu. Cukup lama. Angin yang berdesir lembut menerpa wajah Elsa dan menguraikan anak rambut yang terlepas dari ikatannya membuat Elsa semakin terlihat ... cantik. "Jangan mikir macem-macem loh ya?!" Jari telunjuk Elsa menunjuk ke arah wajah Arial. Arial tersenyum tulus dan mengangguk. "Gue cuma lagi mikir." Arial menggantung ucapannya. Elsa hanya diam menunggu Arial kembali melanjutkan ucapannya. "Gimana caranya supaya lo selalu bahagia saat di samping maupun sedang berjarak sama gue," lanjut Arial tatapannya lekat pada Elsa. Elsa tersenyum. Tangan halusnya menyentuh wajah tegas Arial. "Dengan liat cara lo tersenyum dan lo gak macem-macem pun, gue udah bahagia Arial," balas Elsa benar-benar dari dalam hatinya. "Makasih ya udah mau bales perasaan gue," tambahnya. Arial tersenyum. Dia mengangguk. Lalu meraih kedua tangan Elsa dan menciumnya. Berjanji dalam hatinya bahwa tidak akan menggoreskan luka di hati kecil gadisnya apapun keadaannya. *** Bel pulang sudah sejak tadi berbunyi. Namun Arial baru keluar dari ruang kelasnya. Mengajari Kevin cukup menguras sebagian besar tenaganya dan sekarang Kevin tengah senyum-senyum sendiri tengah memandangi hasil hitungannya meski satu soal yang berhasil dia kerjakan dengan benar. "Gue tunggu di rumah ya? Kita main PS." Angga mengangkat CD game yang dia pinjam dari Bastian. Menunjukannya kepada kedua temannya sebelum berpisah di parkiran. "Oh siap Bossku," sahut Kevin memberi acungan jempol pada Angga. "Awas lo nabrak!" seru Elsa mendorong badan Kevin yang ternyata masih asyik memandangi bukunya. Arial hanya tertawa. Dia merebut buku yang di pegang Kevin agar sahabatnya itu lebih memfokuskan perhatiannya pada jalan. "Udah nanti lagi," ucap Arial gemas. Dengan penuh haru Kevin mendongakkan kepalanya menatap Arial. Kedua tangannya masih tidak merubah posisinya yang seakan masih memegang buku matematikanya. "Gue bener ngerjain soal, Al," ucapnya penuh haru. "Iya. Ntar gue ajarin lagi," balas Arial santai. "Arial." Kevin malah memeluk Arial dan menangis di pelukan Arial. "Iya udah. Elahh, lebay lo!" bentak Arial merasa risih dengan kelakuan gila Kevin. Kevin melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya seperti anak kecil. "Udah sono balik lo! Gue mau pacaran," usir Arial mendorong Kevin untuk menjauh. Kevin berdecak. Dia merebut bukunya dari tangan Arial dan segera pergi dengan wajah cemberut. Melihatnya membuat Arial tertawa. Baru kali ini Elsa melihat Arial tertawa lepas tanpa merasakan beban. Melihatnya Elsa sampai tak sadar dia menyunggingkan senyumnya sambil menatap Arial. Tawa Arial terhenti saat dia menoleh dan mendapatkan tatapan lembut dari Elsa. "Ayo." Elsa merangkul lengan kiri Arial. Arial kembali tertawa kecil. Mereka jalan beriringan menuju parkir motor. Arial tak habis pikir, kenapa sekarang Elsa tidak begitu semenyebalkan dulu? Apa karena hatinya sudah...??? Ah sudahlah! Arial memacu kendaraannya tidak begitu cepat dan tidak begitu lambat. Hubungannya dengan Elsa beberapa minggu ini cukup sudah menjadi buah bibir masyarakat SMA Dewantara, sampai berita itu menyebar di luar sekolah. Padahal Arial tidak pernah mengumumkannya. Ah sudahlah! Fungsi mulut yang kedua ternyata memang ada benarnya, yaitu untuk membicarakan orang lain. Arial tidak ingin mengambil pusing. Arial menghentikan laju kendaraannya tepat di depan halaman kedai. Dia berjalan memasuki kedai tersebut. Elsa melihat ada sebuah palang besar bertuliskan 'Martabak Telor / Manis' dan terdapat gambar sepasang kekasih yang tengah memegang dua menu makanan tersebut. Elsa tersenyum. "Mana pacarmu?" Arial tersenyum disambut pertanyaan itu. Lalu dia menunjuk ke arah Elsa. Dia adalah Arnold. Pemilik kedai martabak unik ini. Ada bermacam-macam hasil kreasi martabaknya. Namun tetap saja yang menjadi pilihan Arial adalah martabak manis tanpa kacang. "Wah! Cantik sekali!" komentar Arnold dengan takjub. Arnold adalah teman lama Arial. Usianya terpaut jarak yang cukup jauh yaitu lima tahun. Iya! Tepatnya mereka bertemu ketika Arial bergabung dalam geng SPECTRE anak kurang kerjaan lima tahun yang lalu. "Saya Arnold." Arnold mengulurkan tangannya. "Elsa," ucap Elsa membalas uluran tangan Arnold. "Lo kemana aja baru mampir ke sini?" tanya Arnold pada Arial yang mengambil duduk di kursi tak jauh darinya. "Sibuk lah, Bang. Bentar lagi ujian," jawab Arial asal. Di sampingnya Elsa ikut duduk. "Alesan. Sibuk ujian malah pacaran lo!" tudingnya. Arial tertawa Elsa juga ikut tertawa. "Udah pernah ngapain aja lo?!" jahil Arnold menautkan kedua ujung jari-jarinya. Arial tertawa mengerti. "Gak Bang. Gue anti. Tenang aja, dia aman!" ujar Arial merasa dirinya konyol. Kini perhatian Arnold beralih pada Elsa. "Kalo lo diapa-apain sama dia. Kasih tau Abang ya?" ucapnya seakan menjadi kakak tertua yang siap melindungi adiknya. Elsa tertawa lalu mengangguk. "Siap," sahutnya singkat. Ada beberapa hal yang ingin Arial tanyakan mengenai teman-temannya yang masih mendekam di dalam penjara kepada Arnold. Namun melihat Elsa, Arial harus berpikir dua kali. "Temen-temen lo juga kemana?" tanya Arnold. "Gue suruh balik," jawab Arial tanpa dosa. "Mau pacaran ya lo?" Tuding Arnold mengangkat jari telunjuknya pada Arial. Arial tertawa. "Ya kali. Besok mau tanding, Bang. Jadi gue suruh mereka buat istirahat," dalihnya lagi. "Iya. Tapi lo malah pacaran," rupanya Arnold sejak dulu tetap jahil. Arial melempar tatapannya pada Elsa. Mereka saling tatap dalam diam. "Eh, Al." Arnold menepuk bahu Arial. Arial mengangkat kepalanya menatap Arnold. "Kemarin gue liat si Nadine," info Arnold. "Nadine?" Arial mengernyit. Nama tersebut terdengar familiar namun Arial tidak mengingatnya. "Mantan lo, anjir!" gemas Arnold mendorong bahu Arial. Seketika kedua mata Arial terbelalak. Dia mulai mengingat sosok gadis itu. Tapi yang benar saja? Arnold bercerita tidak pada waktu yang tepat. Kini Elsa tengah menatapnya dengan wajah terkejut. Setahu Elsa, Arial belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi saat mendengar nama Nadine, d**a Elsa terasa sesak. Cemburu kah? Arnold melihat ke arah Elsa yang tiba-tiba diam dengan raut wajah murung, penuh tanya, ingin marah, semuanya tercampur aduk. "Eh, maaf-maaf El," ucapnya menyadari kesalahannya. Elsa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia diam dengan penuh kecamuk perasaan yang memaksanya untuk segera pergi dari hadapan dua wajah manusia di depannya. "El. Jangan salah paham dulu ya? Dia cuma temen gue di SMP dulu," jelas Arial pada Elsa. Elsa hanya mengangguk. Wajar, jika semua orang memiliki cerita dan kenangan di masa lalu. "Gapapa kok," balas Elsa tersenyum manis. Namun lagi dan lagi Arial mengerti arti senyuman itu, senyuman penuh rasa sakit. Semacam Elsa tidak bisa menerima segala masa lalu buruknya dan Arnold yang tahu semuanya. Arial mengembangkan sudut bibirnya juga. Dia menatap Elsa penuh kasih sayang. Dia benar-benar sudah menyayangi Elsa apapun keadaannya. Hatinya benar-benar sudah menerima kehadiran cinta yang Elsa berikan meski terkesan memaksa. "Hmm, sorry ya? Bukannya gimana, gue liat Nadine kemarin sama cowoknya kok," lanjut Arnold memberi penjelasan. "Iya Bang. Santai aja," balas Elsa sambil tersenyum. Kini senyumnya terlihat tenang. "Oh iya. Gue punya menu baru. Namanya martabak larva sweet," ucap Arnold dengan penuh antusias. Dia ingin Arial dan kekasihnya mencicipinya. "Hmmm, enak tuk kayaknya," sambut Elsa tak kalah antusias. "Jangan di kasih kacang, Bang," seru Arial. "Kenapa? Trauma di kacangin lo?" balas Arnold dengan menyebalkan. Arial berdecih. Dia tersenyum menatap Arnold yang mulai membuatkan martabak untuknya. Sementara Elsa malah tertawa. Tak berapa lama martabak buatan Arnold sudah dapat di hidangkan. "Wahh makasih, Bang!" sambut Elsa. "Silahkan di coba. Gratis kok," balas Arnold. "Tapi buat dia mah bayar," lanjutnya menunjuk Arial. Arial tidak menggubrisnya. "Eh, Bang. Besok gue tanding. Doain ya?" alihnya. "Pasti," sahut Arnold. "Lo juga bisa ranking satu terus kan gue juga yang doain," tambahnya jenaka. Arial tertawa. "Iya Bang. Makasih," ucapnya memaklumi otak Arnold yang terkadang bergeser pada arah yang berlawanan. Lalu menatap Elsa, setidaknya janjinya kemarin sudah dia tepati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD