Kenyataan Pahit

2919 Words
Hamas agak kaget mendapati apartemennya terbuka. Begitu membuka pintunya, ia mendapati Henna, adiknya sudah duduk sambil ongkang-ongkang kaki di depan televisi. Ia mendengus. Gadis itu bahkan masih memakai seragam sekolahnya. Ia tak mendengar kabar apapun soal Henna usai pertengkaran terakhir dengan Papa mereka. Biasanya, gadis ini pasti akan pulang. Kalau ini? Ia tak tau apa yang direncanakan. "Henna mau tinggal di sini," tuturnya. Hamas hanya berdeham saja. Percuma memberitahu Henna yang sedang keras kepala ini. Sudah beberapa hari ini, Mamanya pontang-panting mencari gadis yang satu ini. Sejak hari di mana Hamas ditampar Papanya, gadis ini juga tak kunjung pulang. Tapi Hamas juga tak tahu karena Mamanya tak bilang apapun. Mungkin karena terlalu cemas. Dan melihat Henna di sini, membuat Hamas terpaksa memberitahu Mamanya. Mana mungkin ia membiarkan Henna berada di sini? Gadis ini harus sekolah. "Sekolahmu bagaimana?" tanya Hamas. Cowok itu masih membuka sepatunya. Henna bodo amat. Cewek itu membaringkan tubuhnya di sofa sembari membuka ponsel. Ogah mendengar ceramah Hamas tentang sekolah yang baik. Sejak dulu, orangtuanya selalu membanding-bandingkannya dengan Hamas yang pintar lah, aktif ini-itu, dan sibuk mewakili sekolah ke mana-mana. Ia bosan mendengar ceramah kaset rusak itu. Hanni juga bernasib sama. Kedua anak perempuan ini memang selalu dibanding-bandingkan dengan Hamas. Keduanya sama sekali tak iri dengan Hamas. Mereka hanya bosan saja mendengar nasihat kedua orangtua. Menurut mereka setiap anak itu memiliki kemampuan yang berbeda. Ketiganya tak bisa dibandingkan dengan menggunakan parameter-parameter tertentu. Tapi ya begitu lah orangtua. Terkadang salah juga jika membandingkannya dengan seperti itu. Karena apa? Kembali pada hal yang tadi. Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan. Hanni tak merasa cocok dengan dunia pendidikan yang dijalaninya. Menjadi apa? Politisi. Ia sama sekali tak ingin mengambil jurusan yang beraroma politik itu tapi kedua orangtuanya menginginkan hal itu. Hamas? Tentu saja dipaksakan untuk menjadi dokter. Alasannya? Ayahnya melihat kecerdasan Hamas yang mampu jika bergelut di bidang itu. Padahal Hamas ingin menjadi pengambil kebijakan. Ia yang justru ingin menjadi politisi untuk membangun negara bukan karena haus jabatan. Henna? Gadis itu hanya belum tahu arah dan tujuannya hidup. Ia hanya ingin menikmati masa remaja selayaknya remaja lain yang bisa bersenang-senang dengan teman-teman sebaya. Bukannya malah dipaksa belajar dan harus melakukan ini-itu. Ia hanya ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tetapi orangtua selalu memaksakan kehendak mereka. Alasannya? Katanya untuk kebaikan masa depan. Namun tak semua hal yang dipaksakan bisa berbuah manis bukan? Mungkin Hamas masih santai menjalani hidup dan tidak terlalu mempermasalahkan keinginannya. Karena apa? Karena ia percaya, jalan apapun yang ia tempuh, ia yakin pasti bisa menjadi politisi. Tidak harus menjadi anggota DPR. Ia mungkin bisa menjadi Menteri bukan? Menteri Kesehatan? Itu cita-cita besar. Ia berpendapat kalau kesehatan di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Contoh mudahnya saja, pelayanan kesehatan di Indonesia tentu berbanding jauh dengan negara tetangga seperti Singapura. Iya kan? Meski tidak apple to apple.jika membandingkannya dengan Singapura, tapi Indonesia harusnya belajar dari sana untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan kesehatannya. Saat ini, Hamas berpendapat bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum merata baik dari segi kualitas, kuantitas tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan. Jumlah tenaga kerja kesehatan di Jakarta, Surabaya, Makassar tentu berbanding jauh dengan yang berada di Maluku, Irian Jaya, Sabang? Iya kan? "Suuuurrrpriiiiseeee!" teriak seseorang dari kitchen bar. Hamas yang hendak belok ke kamar kaget melihat gadis itu ada di dapur mininya. Siapa? Tentu saja Nisa. Tapi bagaimana gadis itu bisa masuk ke sini? "Henna baru tahu kalau A'aak suka bawa cewek masuk ke sini," sindir Henna. Gadis itu terang sekali tidak suka pada Nisa. Sejak tadi, gadis itu bawel sekali. Dan yang duluan masuk ke apartemen ini adalah Nisa bukan Henna. Bagaimana mungkin Henna bisa masuk tanpa kunci? Dan gadis ini? Bagaimana ia bisa masuk? Pertanyaan itu berputar di kepala Hamas. Ia tentu saja syok dengan kehadirannya. "Kok kamu di sini, Nis?" Gadis itu malah tertawa kecil. Ia memakai celemek lucu dan sedang memasak. Lagaknya seperti mamah muda yang menyambut kepulangan suami ke rumah. "Mama yang memberikan kuncinya," tuturnya yang sudah mengganti panggilan dari Tante menjadi Mama terhadap Mama Hamas. Hanni mendengus keras bahkan terasa ingin muntah. Geli mendengarnya. Sejak kapan gadis itu menjadi kakak iparnya atau bagian dari keluarganya? Dan lagi, ia tidak sudi sekalipun kakaknya ini mau padanya. Memangnya tak ada perempuan lain yang lebih baik? Menurutnya, Hamas pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik. Mau secantik apapun perempuan di depannya ini, jika tak adaatyitude baginya nilainya tetap nol. "Aku memasakkan sesuatu untuk Kakak," tuturnya sambil menuangkan sepiring nasi goreng ke atas piring. Hamas tidak tergoda. Lelaki itu malah menatap Nisa dengan tatapan datar namun tajam. Ia tidak suka dengan cara Nisa yang sungguh lancang masuk ke dalam apartemennya seperti ini. "Jangan pernah lagi masuk ke sini dengan cara seperti itu," tuturnya dingin. Ia tak suka ada perempuan asing yang seenaknya masuk ke ranah pribadinya. Terlebih ia adalah lelaki. Siapa yang bisa menjamin tidak berdosa sekalipun ia beriman? "Iiih! Sekali doang tauuk, Kaaak. Lagian Mama yang nyuruh Nisa untuk pantau Kak Hamas kook," tuturnya manja. Tapi Hamas tak mendengar. Cowok itu sudah masuk ke kamar kemudian mengganti bajunya. Lalu segera menelepon Mamanya. "Apa maksud Mama dengan Nisa yang memiliki kunci apartemen Hamas?" Mamanya menghela nafas. Bahkan anaknya tak mengucap salam seperti biasanya. Tak lembut pula bertanya. Ia mengusap kening wajahnya. "Dia tunanganmu, Hamas." Hamas ingin tertawa mendengar lelucon konyol itu. Sejak kapan jadi tunangannya jika ia saja sudah menolak mentah-mentah? Ia bahkan tak pernah mengiyakan! "Sudah lah. Biar kan saja, Hamas. Tolong Mama. Sekali ini sa--" Tuut....tuuut....tuuuut Hamas bosan mendengarnya. Ia membuka pintu dengan setengah membantingnya. "Nis!" panggilnya. Gadis itu malah baru saja selesai memotret nasi goreng buatannya yang dibumbui cinta dan dimasukan ke dalam i********:. Tak lupa menandai Hamas dan postingan itu langsung menjadi kabar baru yang trending di kampus. Wohooo! Anak-anak kampus harus tahu perkembangan hubungannya dengan Hamas agar tak ada yang berani mavam-macam pada Hamas. "Makan dulu, Kaaak! Nisa udah bikin ini spesiaaaal!" serunya. Hamas mendengus. "Pulang," tuturnya. Tapi gadis itu malah merengek dengan bibir mencebik di kursi makan. Hamas menghela nafas. Ia tak pernah bisa bernegosiasi dengan gadis ini karena gadis ini tak pernah menurutinya. "Pulang, Nis." Henna yang menahan senyum akhirnya beranjak. Gadis itu menarik tangan Nisa agar segera berdiri. Nisa balas dengan mendelik tapi Henna tak perduli. Dari pada ia diseret-seret Henna bagai anjing, lebih baik ia berjalan sendiri. Ia memang agak trauma dengan gadis yang usianya jauh di baaahnya. Henna itu bisa lebih galak dari anjing tergalak sekalipun. Hanni juga sama. Terlebih jika berurusan dengan Nisa. Maka itu, akhirnya ia yang berjalan keluar sendiri dengan wajah kesal. "Tapi nasi goreng Nisa harus dimakan!" rengeknya manja. Hamas yang baru saja mau bicara, langsung diancamnya. "Kalau gak mau, Nisa gak mau pulang!" tuturnya. Hamas menghela nafas. Menyerah dan gadis itu terkekeh melihat ekspresi Hamas yang mengalah deminya. Girang sekali. Hamas membuka pintu apartemennya. Ia berjalan keluar sedikit demi memberi jalan pada Nisa agar bisa keluar. Namun mendengar langkah kaki lain, Hamas membeku. Kaget mendapati Anne yang baru saja keluar dari lift di ujung lorong. "Hei, Ann." Malah Nisa yang menyapa. Anne tak membalas sapaan itu. Ia malah berjalan menuju apartemen Jihan, mengetuknya dengan cepat dan berharap dapat segera masuk. Untungnya, Jihan baik sekali karena segera membuka pintu. Anne langsung masuk tanpa perlu menoleh kemana-mana. Dan Hamas hanya bisa berdiri kaku di sana. @@@ "Heiish! Kalo gak bisa konsen, keluar aja sono!" omel Gita. Gadis itu bahkan berkacak pinggang. Anggota BEM yang lain terbahak. Dia satu-satunya gadis yang dengan beraninya mengusir sang ketua BEM fakultas. "Liat-liat kali, Git, yang lo usir itu siapa. Kalo dia keluar, bisa bubar kita semua," seru Anto dan disambut tawa yang lain. Hamas berdeham. Lelaki itu berdiri dan memilih pamit untuk mencuci muka. Ia sejujurnya masih belum bisa melupakan kejadian itu. Entah aoa yang ada di pikiran Anne, ia cukup khawatir. Meski sebetulnya tak terjadi apapun. Namun yang ia lihat, Anne sepertinya agak menghindarinya sejak kejadian itu. Oke, biasanya Hamas bukan tipe lelaki yang akan pusing kepala memikirkan pendapat orang lain tentangnya. Tapi ini Anne. Jika urusannya dengan Anne, tentu saja akan berbeda. Ia hanya bisa menarik nafas dalam kemudian mengusap wajahnya yang basah. Ia terlalu banyak melamun akhir-akhir ini. "Gue kira lo gak tertarik sama Nisa, Mas. Udah mau gue deketin tuh. Kalo gak tahu, udah gue tikung kali ah," tutur Dhani. Anak artis yang satu ini memang sudah lama mengincar Nisa. Tapi pertemanan dengan Hamas jauh lebih penting. Urusan asmara tidak begitu penting kalau ada teman sebagai pesaingnya sendiri. Ia memang lebih memilih pertemanan dari pada urusan cinta itu sendiri. Toh ada banyak perempuan cantik seperti Nisa. Anne misalnya. Tapi ia mana berani mendekati Anne. Gadis baik-baik itu tidak akan cocok jika diajak berpacaran. Paling ya yang bisa diajak dengan cara semacam itu hanya Nisa dan beberapa gadis lain yang menurutnya tidak konservatif serta kekinian. "Ambil aja kalo lo mau. Gue gak berniat deketin cewek." "Ah seriusan?" Ia sampai mengikuti langkah Hamas. Namun tak lama, langkah kaki Hamas berhenti. Matanya memincing. Lagi-lagi ia melihat Anne bersama Paijo. Ia heran. Kenapa gadis itu masih saja menempeli Paijo? Padahal anak-anak satu fakultas juga tahu dengan siapa Paijo berpacaran. Dan Paijo juga....astaga! Sudah tahu punya pacar, tapi kenapa masih mendekati Anne? Ia sampai heran. Apa tak ada cewek lain yang bisa dijadikan selingkuhan. Anne itu gadis baik-baik, gak sepantasnya didekati dengan cara seperti itu, omelnya dalam hati. Ia berdesis pelan lalu melanjutkan langkahnya lagi. "Woi, Mas! Hamas!" Panggilan dari Dhani tak digubris lagi. Hamas juga tak mendengar apa yang dibicarakan lelaki itu. Ia langsung emosi karena melihat Anne dan Paijo terus bersama. Sampai bola matanya keluar pun, tak mengubah kenyataan kalau kedua orang itu memang sedang berjalan bersama. "Kenapa sih tuh orang?" tanyanya yang entah pada siapa. Sementara Hamas sudah kembali ke ruang rapat di mana anggota BEM sedang membahas agenda rapat penting. Mereka sedang merapatkan kebijakan baru kampus yang sekiranya perlu dikritisi jika sudah tak sesuai jalur visi-misi kampus. "Udah?" sindir Gita. Lagi-lagi anak-anak BEM terbahak. Hamas memberi kode agar pembahasan dimulai kembali. Tadi ia sudah menyampaikan pendapatnya yang ia dukung dengan beberapa data dari pemberitaan media kampus dan juga hal-hal yang ia dengar dari beberapa dosen juga orang-orang di rektorat. Ia juga menjabarkan apa yang ia dengar dari ketua BEM fakultas sebelumnya. Kebetulan, kebijakan itu disusun saat ketua BEM fakultas sebelumnya masih menjabat. Hamas juga mendapat banyak bocoran dari ketua BEM universitas yang sebelumnya dan yang saat ini terpilih. Ia sudah mengumpulkan semua itu, kini saatnya masing-masing BEM fakultas untuk memutuskan pandangan mereka sebelum Hamas melakukan rapat dengan ketua BEM universitas. Di dalam pemerintahan, Hamas ini seperti gubernur. Ia memimpin dengan jabatan kepala daerah tertinggi di suatu provinsi. Maka segala pandangan mereka juga diperlukan untuk mengambil sikap dan tindakan terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Mahasiswa sebagai rakyat harus diselamatkan jika kebijakan-kebijakan yang diatur tidak lagi sesuai dengan kaidah-kaidah bernegara. Ini serunya menjadi politisi kampus bagi Hamas. Selain mendapat pengalaman, ia juga mendapat pengetahuan yang luas dan juga koneksi tanpa batas. Karena posisinya sebagai salah satu pejabat, membuatnya mempunyai akses lebih dibandingkan masyarakat. Bahkan ia juga bisa mengeluarkan kebijakan untuk mahasiswa-mahasiswa yang berada di bawah kepemimpinannya. @@@ "Sama Hamas aja, Tan," tutur Hamas. Ia baru saja mengganti baju kaosnya kemudian mendahului langkah Farras dan Tantenya. Tadi, Hamas dan Talitha tak sengaja menemukan perempuan ini yang pingsan di jalan. Karena tak ada siapa pun di rumah Anne, ia terpaksa membawa kakak ipar Anne itu ke rumah Tantenya ini. Hamas langsung membuka pintu dan mengambil sandal Farras lalu menaruhnya tepat di depan Farras. Farras pamit dan mengucapkan terima kasih pada Tante Herdianti. Wanita itu masih memantaunya dari jauh hingga menghilang di belokan. "Kamu balik aja, Mas," tutur Farras. Ia gak enak hati kalau ditemani pulang begini. Hamas bersikap biasa saja. Maksudnya, sudah sepatutnya begini. Bagaimana mungkin ia menolak permintaan Tantenya? Sekalipun perempuan ini menolak, ia tetap akan mengantarnya. Ia tak punya alasan apapun untuk mengantarnya selain karena rasa kemanusiaan. "Gak apa-apa, Kak," tuturnya lantas mengambil jalan ke kanan tapi si Farras malah berjalan ke arah kiri. "Itu rumah mommy," tuturnya. Kening Hamas mengerut bingung. Setahunya Farras tinggal di sana. "Rumahku sudah pindah," lanjutnya yang menghilangkan keheranan di kepala Hamas. Lelaki itu mengangguk dan mengikuti langkah Farras. Ia tak bertanya. Mungkin karena sudah dua tahun jarang ke sini, ia tak mengikuti perkembangan terbaru. Ia memang meghilamg lama dari sini. Meski sebetulnya, pernah datang beberapa kali selama dua tahun terakhir. "Lama gak liat kamu. Udah selesai?" Hamas berdeham sebagai jawaban. Ia bahkan sudah dipanggil dokter dan kini membantu mengembangkan klinik Om-nya. Tapi bulan depan, ia akan berangkat untuk memulai proyek bersama dosen-dosen di kampus terkait kesehatan di daerah-daerah pedalaman Bandung yang masih minim fasilitas kesehatan dan petugas kesehatan yang kurang memadai. Ia ingin terjun ke daerah-daerah pelosok yang masih membutuhkan pelayanan kesehatan. Dengan itu, ia jadikan pengalaman untuknya bergerak dalam membangun negeri nanti. "Ann juga sedang bersiap koass." Hamas mengangguk-angguk. Ia tahu kok. Lebih dari tahu malah. "Masih deket sama Ann?" Hamas diam namun tatapan mata Farras menagih jawaban. Ia tak punya jawaban sebetulnya. Jangan kan dekat, ia bahkan masih bingung kenapa gadis itu menamparnya. Ia juga merasa kalau Anne sangat menghindarinya. Oke, itu wajar. Ia tidak akan marah. Namun pertanyaannya memang masih belum terjawab tentang alasan perempuan itu menamparnya. "Biasanya kalau gak dijawab, ada sesuatu," lanjut Farras. Farras kurang mengenal lelaki ini sih. Hanya sempat bertemu beberapa kali ketika Hamas bersama Tante Herdianti atau sedang menemani Om Irwan jalan-jalan pagi. Daddy-nya sih kurang suka dengan sikapnya yang mungkin kurang gentle menurut daddy-nya. Kalau mommy? Suka-suka aja apalagi wanita itu selalu bersemangat bercerita kalau ketemu Hamas yang mengurusi Om-nya setiap jalan-jalan pagi. Gak gampang membawa lelaki tua yang sudah pernah stroke dan jalannya susah itu. Tapi Hamas tak pernah mengeluh. Kalau Anne? Farras berpikir kalau Anne menyukai lelaki ini. "Udah sampe," tutur Farras tepat di gerbang rumahnya dan disaat yang sama, azan magrib berkumandang. "Mau minum dulu gak?" tawarnya tapi Hamas menolak dan lelaki itu pamit. Baru berjalan beberapa langkah, Hamas diuji. Anne muncul dari belokan, tak jauh di depannya. Gadis itu tampak menenteng rantang kosong usai mengantar makanan ke rumah Opanya. Ia masih sibuk bersenandung ringan tanpa tahu kalau Hamas membeku di depannya. Dan beberapa detik kemudian, Anne ikut terpaku. Walau...ia dengan cepat melangkah seraya menghindari tatapan Hamas yang kosong. Dua orang itu saling berhadapan tapi eh tapi tidak ternyata. Anne tepat melintas disampingnya sementara ia menahan nafas. Kemudian Hamas menunduk dalam-dalam demi menahan sesak di dadanya. Tiba-tiba merasa tak dianggap apa-apa kehadirannya oleh perempuan itu. Tapi apa ia punya hak untuk marah? Tentu tidak. Itu hak Anne apakah ingin meladeninya atau tidak. Namun yang membuat Hamas lebih sesak adalah ketika teringat gadis itu sudah dilamar lelaki lain. @@@ Hamas baru keluar dari ruangan Prof Mita usai konsultasi panjang tentang rencana koasnya. Sebetulnya tidak panjang. Yang menjadikannya panjang adalah Prof Mita turut kepo soal hubungannya dengan Nisa. Padahal ia sudah bilang kalau ia tak memiliki hubungan apapun dengan gadis itu. Tapi Prof Mita tak percaya. Sama dengan anak-anak di fakultasnya. Semua orang pasti memercayai kabar pacarannya dengan Nisa. Bahkan ia ingat ucapan Henna semalam. "Jangan terlalu munafik, A'aak. Dari semua bukti ini, masih menyangkal?" Padahal Henna sempat mati-matian percaya kalau Hamas tak mau pada Nisa. Mengingat penolakan lelaki itu tetapi semakin hari, Nisa sering pula datang ke apartemennya dan bertahan di sana serta memberikan kejutan. Pengusiran halus tak akan mempan pada Nisa. Dan Hamas tak tau lagi cara mengusirnya agar tak terlalu dekat dan menimbulkan fitnah seperti ini. Fitnah yang sudah menyebar hingga ke pelosok fakultas. Ia sama sekali tidak bangga akan hal itu. Siapa yang bangga kalau dikira berzinah? Ia menghela nafas dalam kemudian berjalan menuju ruang BEM. Tapi ponselnya bergetar. Sedari tadi memang bergetar tapi tak terlalu ia pedulikan karena terlalu sibuk meladeni Prof Mita. Namun panggilan itu baru saja berakhir. Panggilan dari Mamanya. Ada apalagi? tanyanya dalam hati. Ia mencoba menelepon balik tapi terhalang oleh telepon yang masuk dari Tantenya, Herdianti. "Hamas di mana?" Saking paniknya bahkan Tantenya lupa mengucap salam. "Di kampus, Tan," jawabnya dengan kening mengerut. "Ada apa, Tan?" "Pulang ke rumah sekarang. Tante lagi di jalan, nyusul kakak kamu yang katanya masuk rumah sakit. Pendarahan." Hamas ternganga. "Lindungi Mama kamu." Ia tercekat. Kenapa? tanyanya. Feeling-nya mendadak tidak enak. "Ada apa, Tan?" "Pulang saja. Cepat. Dan kunci rumah sampai Tante datang." Tantenya hanya bilang itu lalu menutup telepon. Ia pontang-panting berlari menuju parkiran mobil. Tangannya beberapa kali memukul setoran mobil saking kesalnya pada lelaki yang menghamili kakaknya itu. Ia dan keluarganya sudah cukup malu dengan pernikahan dadakan kala itu. Kakak perempuannya hamil lalu belum seminggu menikah, lelaki b******k itu sudah pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan kakaknya dengan janinnya. Namun ia tak menaruh curiga apapun atas apa yang terjadi. Walau Henna pernah mengatakan kecurigaannya pada Hamas beberapa malam lalu. "Henna menemukan banyak brosur klinik aborsi." Hamas hanya berdeham. Ia sibuk dengan tugasnya. Tak peduli-peduli amat dengan ocehan Henna. Gadis itu memang tak berhenti merecokinya dengan berbagai teori yang menurut Hamas tidak masuk akal. "Aa'ak gak curiga pada Kak Hanni? Terakhir, ia mengaku hamil jadi minta dinikahkan. La--" "Jangan su'uzzan, Na. Dia akan menjaga dirinya." Henna terkekeh. Abangnya ini sepertinya terlalu polos dalam urusan kayak gini. "Dia bahkan gak merasa berdosa ketika melakukannya," tuturnya marah. Marah pada semua anggota keluarganya. Pun abangnya yang tak begitu peduli. Ya, ia tahu mungkin Hamas juga lelah menghadapi kenyataan pahit ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD