Ia baru turun dari mobil kemudian berjalan lesu. Saat melintasi lobi apartemen, Hamas melihat Anne yang baru saja keluar lift. Lalu gadis itu berjalan menuju pintu. Baru hendak menghampiri, ada sebuah mobil berhenti tepat di depan gadis itu. Hamas menghela nafas. Ia mengenali mobil itu. Tentu saja milik ayahnya Anne. Akhirnya, ia hanya menatap kepergian mobil itu dari pintu keluar apartemen. Hamas berjalan kembali masuk ke dalam lift. Begitu keluar, ia berpapasan dengan Jihan yang ingin masuk ke dalam lift.
"Hai, Ji!"
"Hei, Kak!" balasnya. Gadis itu pamit masuk ke dalam lift sementara Hamas berjalan menuju apartemennya.
"Woi! Gue nyari-nyari di kampus, lo kagak keliatan!" teriak Wayan yang baru saja membuka pintu apartemennya. Langkah Hamas terhenti tepat di depan apartemen sahabatnya itu.
"Gue di BEM."
"Gue tadi muter ke ruang BEM juga tapi anak-anak bilang lo udah keluar."
Oooh. Hamas langsung berjalan lagi menuju apartemennya. Ia tampak lesu dan tak bersemangat hari ini.
"Mas!" sergah Wayan. Hamas baru saja hendak mengambil kunci apartemennya. "Gosip itu gak bener kan?"
"Gosip apaan?"
"Lo sama si Nisa."
Hamas menghela nafas. "Gak penting."
Wayan terkekeh. "Tapi dipepetin terus ya?"
"Sepenglihatan lo aja," jawabnya ogah-ogahan. Ia malas menanggapi hal itu sekalipun banyak sekali yang datang bertanya untuk mengonfirmasi. Tapi Hamas malas menanggapinya. Untuk apa pula ditanggapi jika tak penting?
Wayan mengangguk-angguk. Paham apa yang terjadi. Seperti dulu, pikirnya. Saat mereka satu SMA dengan Nisa. Tak menyerah juga, pikirnya. Bahkan dengan sengaja meneruskan kuliah dijurusan Kedokteran demi mengejar Hamas.
"Fokus urusin BEM aja lah," tukas Wayan yang memberi saran. Hamas hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam apartemennya.
Ia melempar tas sekenanya. Kemudian membuka kaos dan berjalan menuju kamar mandi. Usai menyegarkan diri, ia mengelap rambutnya sambil melihat cermin. Memerhatikan pipinya yang terasa agak bengkak karena tamparan keras dua hari yang lalu itu. Walau mungkin orang-orang tidak pernah tahu. Lalu baru saja keluar dari kamar usai memakai kaos dan terpaku melihat sosok perempuan tua sudah duduk disofanya. Ia kaget melihat Mamanya ada di situ. Sejak kapan datang?
Alih-alih bertanya, Hamas menghela nafas. Lelaki itu memilih mengambil air minum dingin dari kulkas lalu meneguknya.
"Mama tahu kalau kamu tak punya perasaan apapun pada Nisa, Mas," Mamanya mulai mengungkit persoalan yang dihindari Hamas mati-matian. Bahkan Hamas enggan mengangkat teleponnya dari kemarin karena Hamas tahu, yang didiskusikan masih sama. Sementara Hamas tak mau berkompromi soal itu. Ada banyak hal yang sedang diurusnya. Selain persoalan BEM, perkuliahan, ia juga perlu mengurusi rencana koasnya agar tak tertinggal teman-teman seangkatannya. Bisa duduk sebagai mahasiswa semester tujuh usai pertukaran mahasiswa di Jepang kemarin pun sudah cukup menyenangkan. Ia tak mau semua rencana hidupnya kacau hanya gara-gara perjodohan s****n ini. "Tapi perasaan itu, nak. Bisa tumbuh nanti seiring berjalannya waktu. Cinta bisa datang karena terbiasa. Toh nak Nisa juga baik dan sudah lama menyukai kamu. Pasti tidak susah kalau membalas perasaannya kan?"
Egois, pikirnya. Mungkin Mamanya berpikir kalau ia tak tahu cerita asmara antara Mamanya dan Papanya ini. Hamas tentu tahu dari Tantenya, Herdianti, yang tinggal di Depok. Ia tahu kalau dulu Mamanya juga sempat mau dijodohkan oleh kakeknya dengan anak dari teman kakeknya. Tapi Mamanya sampai lari dari rumah demi menolak perjodohan itu lalu tak lama malah menikah diam-diam dengan Papanya. Saling mencintai menjadi alasan pernikahan mereka. Tapi Hamas pikir, Mamanya terlalu lemah sekarang. Terlalu buta akan cintanya pada Papanya itu. Lelaki b******k, dikepalanya hanya ada jabatan dan harta kekayaan. Juga suka memandang orang dengan rendah. Dan Hamas bertekad tidak mau seperti itu. Seperti seseorang yang haus akan tahta dan jabatan setelah lama mengidamkannya. Padahal ia lebih senang dengan hidup mereka saat ia kecil dulu. Saat orangtuanya hanya berstatus dosen dan totalitas menjalani pekerjaan. Tidak seperti sekarang yang hanya memikirkan uang. Semakin mendapat banyak, semakin merasa tak akan cukup. Mungkin ini yang disebut dengan ketamakan?
"Mama tahu apa soal perasaan Hamas?" tanyanya dingin. Ia menghadap ke arah jendela dengan wajah kaku, menahan amarah yang terselubung. Ia tak mau menjadi anak durhaka. Tapi cobaan ini terus mengujinya. Ia berupaya menahan emosinya sebagai bentuk bankti kepada orangtua. "Apa Mama dan Papa sejak dulu pernah sekali saja bertanya pada Hamas, Hamas mau menjadi apa? Hamas mau menikahi siapa? Hamas ingin ke mana untuk mencapai cita-cita Hamas?" tanyanya lantas menoleh ke arah kanan, ke arah Mamanya yang duduk disofa. Tampak sedang menahan tangis. Ia paham perasaan Hamas tapi tak mau menampakan kepahamannya ini. Ia akan lemah jika menuruti Hamas. Padahal ia datang ke sini justru untuk membujuk Hamas agar mau dijodohkan. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. "Sekali sajaa, apa pernah, Ma?" tanyanya lagi dan itu membuat Mamanya tergugu.
Hamas sampai menekukan lutut di hadapannya lantas mengelus pipi Mamanya yang semakin hari semakin tirus. Kadang ia bertanya-tanya, apa Makanya bahagia dengan mereka hidup seperti ini?
"Hamas tanya, apa Mama bahagia dengan kehidupan kita seperti ini? Demi harta? Demi menuruti semua keinginan Papa? Keinginan dunia? Bukan kah dulu Mama yang bilang kalau kita hanya hidup sementara di dunia ini, Ma? Lantas untuk apa meraih semua itu kalau tak bisa membawa keselamatan dunia dan akhirat?"
Mamanya makin tergugu. Tak mampu menjawab. Anaknya sudah dewasa. Sudah sangat mengerti untuk apa tujuannya hidup di bumi. Tak usah diajarkan lagi. Justru orangtua sepertinya yang harus diingatkan. Hamas menarik nafas panjang kemudian berdiri. Ia membelakangi Mamanya sambil menahan diri untuk tak ikut menangis. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengatakan sesuatu yang ia harap tidak membuat perasaan Mamanya terluka. Sesuatu yang ia tahan-tahan selama ini.
"Mama tahu? Beberapa tahun belakangan ini, Hamas sudah tak menemukan kebahagiaan di rumah. Sudah tak menemukan sosok Papa yang lembut namun tegas. Sosok Mama yang selalu mengajak kepada kebaikan. Semua itu sudah menghilang. Sempurna menghilang. Kini Hamas hanya bisa bertahan bersama Tuhan Hamas, Ma. Bersama Allah. Hamas hanya punya Allah, satu-satunya yang terus bersama Hamas dan dapat menuntun Hamas untuk menempuh kehidupan ini. Berbagai pelajaran hidup dan agama yang dulu Mama ajarkan selalu melekat dihati Hamas. Dan itu lah yang membawa Hamas hingga ke titik ini. Hamas tahu kalau tak ada manusia yang sempurna tapi Hamas rasa, Mama dan Papa sudah sangat jauh melangkah dari-Nya. Hamas bukannya sok tahu urusan hidup dunia dan akhirat ini. Sebagai anak, Hamas hanya ingin bilang, kembali lah, Ma. Pintu tobat itu selalu terbuka untuk siapa saja. Dan...."
Ia menarik nafas dalam. Ia ta sedang berkhotbah di hadapan Mamanya. Tapi siapa pun yang berkelok, wajib diluruskan. Apalagi jika urusannya dengan akhirat.
"Ma! Mama ingat Durrah bin Abu Lahab yang Mama ceritakan dulu? Abu Lahab bahkan diabadikan dalam Al-Quran, Ma. Kisah seorang kafir Quraisy yang tak pernah menyentuh Islam dan kekal di neraka selamanya. Tapi anaknya? Anaknya masuk Islam. Terus berpegang teguh pada Islam sekalipun dicela orang karena kelakuan orangtuanya. Dan Hamas bukannya ingin membandingkan Mama dan Papa dengan Abu Lahab. Memang tidak etis dan jauh sekali rasanya. Tapi Hamas hanya mengingatkan, jangan sampai dengan kegilaan ini akhirnya menggadaikan segalanya. Menggadaikan iman yang susah payah dibangun sedari dini."
@@@
Wayan menghela nafas. Kemudian berjalan menuju kulkas. Ia mengambil dua kaleng minuman kemudian menaruh satunya di depan Hamas. Sementara ia baru saja meneguk minumannya sendiri usai membukanya. Hamas masih diam. Rasa kepahitan masa lalu dan bayangan Mamanya terus melintas dibenaknya. Wayan masih terlalu terkejut mendengar semua kisah ini. Meski ia sudah mendengarnya sedikit dari mulut orang lain. Namun rasanya masih sangat tidak percaya hingga hari ini Hamas datang dan menceritakan segalanya. Banyak pertanyaan yang terlintas dibenaknya dan masih belum terjawab hingga sekarang.
"Terus kenapa lo gak pernah bilang kalau nyokap lo meninggal?" tutur Wayan. Itu adalah satu dari sekian banyak pertanyaannya yang ingin ia tanyakan pada Hamas sejak lama. Karena Wayan pun tahu kabar itu saat ia sedang koas. Ia tak tahu Hamas koas di mana karena mereka terpisah kontak. Lebih tepatnya, saling tak menghubungi karena masalah salah paham ini. Hamas yang tak pernah mau terbuka dan Wayan yang terpukul hebat karena merasa tak tahu apapun tentang sahabat yang sudah ia kenal sedari kecil itu. Wayan terpukul tapi Hamas mungkin lebih parah dari itu hingga tak berani menceritakannya pada siapapun. Hanya memendamnya sendirian.
Hamas memejamkan mata mendengar pertanyaan itu. Kabar itu juga melukainya. Karena saat ia tiba di rumah, ia melihat wajah ibunya yang sudah kaku. Anak mana yang tak sedih? Apalagi setahun terakhir kala itu, hubungan mereka memang belum pulih. Mamanya bahkan meninggal bunuh diri di rumah sakit jiwa. Bagaimana ia bisa mengatakan semua itu pada Wayan? Oke, Wayan emang sahabatnya dan tak seharusnya ia menutupi semuanya. Tapi ia terlalu malu bahkan hingga sekarang. Ketika harus berhadapan dengan Wayan. Karena lelaki itu mungkin tahu apa yang terjadi dengan hidupnya dua tahun belakangan.
Hamas bukan gengsi. Ia hanya merasa malu atas apa yang terjadi.
"Gue di Kalimantan saat itu. Baru tahu juga saat nyokap dikabarkan sudah meninggal."
Ia sudah agak bisa bicara tentang Mamanya. Kalau kemarin-kemarin, ia masih bungkam. Bahkan Om Irwan, Tante Herdianti juga Talitha enggan menanyakan hal itu padanya. Karena Hamas tentu terluka parah. Merasa tak sempat membahagiakan Mamanya yang akhirnya malah terpuruk sendirian disaat keluarga mereka memang sudah terpuruk dan hancur. Apalagi kakeknya kala itu mengamuk. Bukan karena sedih anak perempuannya meninggal. Tapi marah karena harus mewarisi aib yang begitu memalukan pada cucu-cucunya. Walau beberapa bulan setelah itu, kakeknya menyesalinya. Kini? Kakeknya sudah meninggal beberapa bulan lalu dan keluarga besarnya kembali terpukul dengan hal itu. Hamas bahkan masih mengunci mulutnya dari segala perkara yang dihadapinya. Bagaimana mungkin ia bisa membaginya pada orang lain dengan menceritakan aib-aib keluarganya sendiri?
Wayan menepuk-nepuk bahunya. Menguatkannya. Hamas hanya mengangguk lemah. Paham akan bahasa tubuh sahabatnya itu. Ia tahu kalau Wayan menyayanginya sebagai sahabat. Bukannya Hamas tak ingin membalas rasa sayang sebagai sahabat itu. Ia hanya merasa kalau Wayan terlalu berharga. "Terus bokap lo?"
Hamas terdiam. Ia malas sekali membicarakan lelaki yang satu itu. Masih ada kemarahan besar dihatinya. Walau ia sudah mencoba untuk membuangnya jauh-jauh. Apalagi saat terakhir bertemu lelaki itu ya saat hari pemakaman Mamanya. Lelaki itu datang dengan baju tahanan juga diawasi pihak kepolisian. Kalau ia tak ingat jasa dan kebaikannya sejak ia lahir dulu, mungkin ia sudah keluar lama dari kartu keluarga. Walau memang, kini ia sudah keluar karena diangkat masuk ke dalam keluarga Tantenya. Itu juga karena Papanya yang menginginkan. Barangkali memang lebih baik seperti itu. Meski Hamas juga masih berat hati. Keluarga Tantenya emang bukan keluarga asing. Keluarga mereka selalu ada untuknya. Tapi bagaimana pun, Hamas tetap lah anak kandung dari lelaki itu.
Wayan sadar kalau Hamas enggan membicarakan lelaki itu. Ia tahu kabar Papanya Hamas yang di penjara. Hanya tak menyangka saja. Jadi, ia berniat menanyakan bagaimana lelaki tua itu bisa masuk penjara tapi sepertinya Hamas belum sanggup menceritakan hal itu. Ia masih melihat wajah marahnya dan juga kedua tangan Hamas yang terkepal kuat.
"Kak Hanni gimana?"
Akhirnya, ia mengalihkan pertanyaan. Hamas memejamkan mata sesaat lantas menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia baru bisa mengendalikan dirinya. Tiap teringat Papanya, ia memang selalu seperti ini. Kadang sulit menahan emosi untuk tidak marah. Mungkin karena amarah yang selama ini terpendam di dalam hati. "Ikut suaminya tinggal di Jawa Tengah."
"Suami?"
"Suami baru."
Aaah. Wayan mengangguk-angguk. Seingatnya, pernikahan kakak perempuan Hamas itu tak lama. Hanya beberapa bulan lalu pergi begitu saja. Itu gosip yang didengar ibu Wayan dan tak tahu apakah benar atau tidak. Walau Wayan masih tak percaya namun sepertinya memang gosip itu benar. Wayan sebetulnya bukan lah orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Namun pada Hamas, ia terlalu banyak pertanyaan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
"Adek lo?" tanyanya agak takut-takut. Ia was-was dengan reaksi Hamas tapi menghela nafas lega saat melihat Hamas biasa saja. Untung lah, pikirnya. Iapikir Hamas akan lebih marah dibanding kasus Papanya.
"Di Kalimantan, tinggal bareng kakak nyokap."
Wayan mengangguk-angguk. Syukur lah, pikirnya. Akan sulit jika Hamas harus mengasuh adiknya yang menurut Wayan ya memang agak bebal. Meski ia juga tak tahu apa kabarnya sekarang. Barangkali sudah berubah. "Lo?"
Hamas menghela nafas. Ia lupa kalau ia sama sekali tak memberitahu di mana ia tinggal sekarang. Terakhir, saat Wayan melihat rumah orangtua Hamas di Bogor, ia hanya melihat tanda segel dari kepolisian. Rumahnya disita. Perkiraannya terkait dengan kasus yang menjerat ayahnya Hamas.
"Depok."
Aaaah. Wayan ingat. Ia sering ikut Hamas menginap di rumah Tante Hamas yang di sana. Ia juga sudah lama tak ke sana. "Yang rumahnya dekat rumah Ann bukan?"
Hamas hanya berdeham sebagai jawaban sementara Wayan menahan tawa. Ia salah karena menyebut nama Anne lagi dalam perbincangan ini. WajahHamas yang tadi kusut jadi semakin kusut. "Lo nyerah?" tanyanya.
Hamas mendengus. Memangnya ada hal lain yang bisa dilakukan selain menyerah? Walau ia tak tahu bagaimana kelanjutannya. Terakhir, saat mendengar kabar itu dari Agha, Agha juga tak tahu apakah Anne menerima atau tidak lamaran itu. Kalau diterima, ia memang sudah menyiapkan diri. Toh mau ia atau orang lain yang melamar jika bukan jodoh, mau bagaimana lagi? Barangkali memang itu lah yang terbaik. Masa depan memang tak ada yang tahu. Apalagi perkara jodoh ini.
"Terus rencana lo?"
Wayan menyelidik. Ia tahu kalau Hamas sudah menyerah. Ya, mau apalagi juga, pikir Wayan. Memang sudah tak ada jalan menuju Anne. Sudah buntu. Sudah berakhir? Barangkali begitu. Meskipun Wayan juga tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Karena apapun bisa terjadi bukan?
"Meneruskan hidup," tuturnya lantas beranjak dari sofa. Ia perlu memberesi apartemennya sebelum pulang ke rumah Tantenya. Dan Wayan hanya menatap punggungnya dengan helaan nafas. Kasihan, pikirnya. Harta habis, keluarga hancur bahkan asmaranya pun bernasib sama.
@@@
"Oi, Mas!"
Salah satu temannya memanggilnya. Ia mendongak ke depan lalu melambaikan tangan. Ia terlalu fokus pada catatannya. "Dari mana?"
Ia bertanya karena cowok itu baru berjalan dari arah parkiran.
"Biasa lah."
Hamas terkekeh. Langsung tahu apa makna dibalik kata itu. Pasti tak jauh-jauh dari urusan cewek.
"Ke mana lo? BEM?"
Hamas mengangguk. Ia lebih sibuk di sana sekarang-sekarang. Keduanya sempat bertos ria lalu berpisah karena Hamas hendak berbelok. Keduanya berjalan berlawanan arah. Temannya itu berjalan menuju ke arah kantin.
"Mas!"
Gita muncul. Ia sedang melepas sepatunya. Suasana ruang BEM memang cukup ramai sore ini. Banyak yang calon anggota baru BEM yang sedang diwawancarai oleh teman-teman timnya. Mereka memang sedang dalam masa perekrutan. Omong-omong, Hamas sudah mendengar kalau Anne juga ikut dalam perekrutan. Ya yang membuat jengkel tentu saja Paijo. Hamas dengar-dengar kalau cowok yang satu itu lah yang membawa Anne mau mendaftar menjadi salah satu anggota di sini. Bagian menyebalkan baginya adalah kenapa harus Paijo? Ia masih berperang batin karena kecemburuan soal donutnya Paijo. Ah urusan asmara ini.
"Ann ya?"
Hamas reflek menoleh. Ia bahkan baru berjalan masuk. Tapi nama yang tadi muncul di dalam pikiran itu malah muncul secara nyata di depannya. Ia tersenyum tipis sambil duduk. Gita masih terus memanggilnya tapi ia malah fokus pada gadis lain.
"Mas! Hamaaaaaaaaas! Astagaaaaaa!"
Lelaki yang berbaring di pojok ruangan terkekeh. Hamas kehilangan fokusnya. Tapi lelaki itu juga tak tahu kalau Anne yang menjadi fokus Hamas sejak tadi. Cowok itu ber-hah-hah ria. Ia baru menoleh ke arah Gita yang sudah memasang wajah dongkol. Sudah berkali-kali ia memanggilnya. Tapi cowok ini tak kunjung menoleh. Kini ia bahkan berkacak pinggang.
"Kenapa, Git?"
"Proposal yang kemarin udah jadi. Barusan gue kirim ke elo. Jangan lupa dicek."
Hamas mengangguk. Lalu ia kembali melirik ke arah Anne. Gadis itu hampir selesai diwawancarai. Hamas berdeham. Ia membuka laptop tapi sesungguhnya matanya tak berhenti menatap ke arah sana. Arah Anne. Begitu gadis itu beranjak, ia mulai bersiap-siap. Siap-siap untuk? Hoho. Tentu saja hendak menyapa. Karena rasanya sudah lama sekali tak melihat Anne. Padahal mereka berada di fakultas yang sama. Apa karena ia yang terlalu sibuk?
"Hei, Ann!"
Ia memanggil. Namun yang dipanggil meloyor keluar begitu saja. Anne segera memakai sepatunya. Hamas beranjak, cowok itu berdiri tak jauh dari belakangnya. Masih menampilkan senyuman tipisnya. seraya enunggu balasan kata dari Anne. Namun masih tak digubris. Hamas menggaruk tengkuknya karena Anne tak juga merespon. Bahkan berniat akan pergi andai Wayan tak menahannya. Cowok itu seolah menangkap kegelisahan sahabatnya. Mungkin merasa ganjil karena Anne terlihat sedang mengabaikannya.
"Ann!"
Berhubung Wayan berada tepat di depannya, maksudnya tak begitu jauh. Jelas pula ia bisa mendengar, mau tak mau ia meladeni cowok itu.
"Kelas?" tanyanya sembari menjajari Anne. Ia melirik Hamas yang tampak canggung di belakang sana. Ya sedih lah. Wayan memanggil diladeni kok ia tidak?
"Gak, Kak. Mau balik."
"Aaah, oke!"
Ia tak bisa menahan kalau begitu. Tapi....
"Ann, ponselnya jatuh tuh di sana,"
Wayan mengoloknya. Hamas tahu itu. Cowok itu hanya ingin agar Anne membalik badan dan menatap Hamas. Sedari tadi Hamas memanggilnya tapi tak diladeni. Lalu dengan bodohnya Anne membalik badan. Kemudian tak sengaja bertatapan dengan Hamas. Wayan langsung kabur. Setidaknya ia berhasil membantu sahabatnya. Biar kan Hamas mengejar cinta setelah jabatan BEM didapatkannya.
"Ann, tadi aku manggil," tukasnya. Ia melihat Anne masih sibuk mencari sesuatu di lantai. "Gak ada yang jatuh. Wayan cuma bercanda."
Anne kembali menegakkan tubuhnya. Hamas memanfaatkan ini untuk berbicara dengannya. Cowok itu bahkan segera memakai sepatunya dan menjajari langkah Anne. Anne hendak ke lobi. Barangkali mau langsung pulang.
"Tadi interview?"
Namun pertanyaannya masih tak digubris. Anne justru mengeluarkan ponsel dari tas lalu ditempelkan di dekat telinga. Tampaknya ada yang menelepon. Hamas diam. Tak mau mengganggu.
"Ya, dad?"
Gadis itu melirik sekilas pada Hamas lantas menunduk dan kesempatan untuk kabur. Langkahnya tampak terburu-buru. Hamas menghela nafas. Ia masih menatap Anne yang sedang berlari kecil. Lalu kembali masuk ke dalam ruang BEM. Surya berkacak pinggang di dekat pintu ruang BEM.
"Jadi itu?"
Ia tersenyum miring. Hamas hanya menepuk bahunya saja. Ia tak berniat menggosipkan keberadaan hatinya yang sekarang sedang sedih. Padahal tadi ia sudah senang sekali karena bertemu Anne. Saking sudah lamanya tak melihat gadis itu. Namun kesematpatan untuk melihatnya lebih lama malah pupus begitu saja. Gadis itu tampaknya sudah dijemput oleh ayahya. Kalau mengingat ayahnya si Anne, ia masih ngeri.
@@@