Malam harinya perjamuan kerajaan pun dilaksanakan, mereka berkumpul di ruang makan, sudah ada banyak menu makanan yang disajikan oleh para dayang kerajaan Narayana.
Raja Shangkali dan Putra Mahkota Laksmana pun sudah hadir di sana.
“Ayo, silahkan dinikmati hidangannya.”
“Terima kasih, Raja Rawindra.”
Mereka pun menikmati hidangannya dengan khidmat, sesekali terjadi obrolan di antara mereka yakni tidak jauh-jauh dari pembahasan seputar perkembangan wilayah kerajaan.
Hingga seorang prajurit istana pun masuk ke ruang makan, namun ia hanya diam sambil melirik ke arah sekumpulan keluarga itu karena tak berani mengganggu acara.
Hansa yang menyadari ketidakberesan terjadi pun ia bergegas untuk undur diri terlebih dulu, sambil memberi kode pada prajurit untuk mengikutinya.
“Ada masalah apa, Paman?” tanya Hansa setelah ia meminta izin untuk keluar dari ruang makan.
“Terjadi perampokan di desa sebelah barat, saat ini suasana di sana tidak kondusif.”
“Apa? Baiklah, aku akan memeriksanya ke sana, jangan beritahu ayah atau yang lainnya. Tolong kumpulkan prajurit untuk ikut bersamaku ke desa itu,” ujar Hansa pada si prajurit. Sebagai keluarga kerajaan sudah sepatutnya ia melindungi warganya, apalagi ini menyangkut keamanan negeri.
“Baik, Pangeran Hansa.”
Hansa segera beranjak keluar dari area istana, ia tak memiliki banyak waktu. Terlebih lagi di sini sedang ada tamu dari kerajaan lain, ia tak boleh memperlihatkan bahwa kerajaannya tidak aman, ini dapat memengaruhi pemerintahan Narayana.
“Kakak!” Hara dan Haridra memanggil kakak sulung mereka, keduanya merasa ada suatu hal buruk terjadi, untuk itulah ikut membuntuti Hansa keluar ruangan.
“Hara, Haridra?!”
“Sebenarnya ada masalah apa?” tanya Hara tidak sabaran, melihat raut wajah kakaknya membuat ia ikutan panik.
“Ada perampokan di desa, kita harus menyelesaikan masalah itu.”
Hara melirik pada Haridra dan si bungsu pun mengangguk. “Kita akan ikut bersamamu, ayo.”
Ketiga bersaudara itu seperti perangko yang sulit untuk dipisahkan, mereka memiliki kemampuan ilmu beladiri yang mumpuni.
Sesampainya mereka di desa, pemandangan yang mereka lihat adalah perkampungan yang kocar-kacir dan tak layak pandang. Beberapa rumah warga bahkan hancur akibat dibobol paksa, mereka menangis dan meraung.
“Paman, ke mana para perampok itu pergi?”
“Ke arah sana, mereka juga menculik anak-anak kami.” Seorang pria dewasa menunjuk arah hutan gelap, ia menangis sesegukan karena anaknya diculik oleh para perampok.
“Bahkan sampai tahap penculikan juga.” Hara berdecak dengan kesal, berani sekali para perusuh itu mengganggu kedamaian Narayana.
“Baiklah, kami akan mengejarnya.”
“Pangeran, tolong selamatkan anakku.” Salah satu warga yang anaknya turut menjadi korban penculikan pun bersimpuh di kaki Hansa.
“Kami akan berusaha, Bibi.”
“Paman parjurit, kalian bantu warga membenahi rumah-rumah mereka, biar kami yang mengejar para perampok itu.”
“Tapi mereka berbahaya.”
“Tidak apa-apa, kami akan berusaha sebaik mungkin.” Hansa meyakinkan prajurit itu.
“Baiklah, Pangeran. Hati-hati.”
Hansa mengajak adik-adiknya untuk mengejar para perampok itu, malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dengan tenang pun kini menjadi kacau akibat ulah perampok.
Berbekal ilmu beladiri yang mumpuni, ketiganya melesat bagai angin yang sangat ringan. Mata mereka mengawasi setiap inchi dari hutan itu, meski gelap tapi penglihatan mereka cukup tajam.
Haridra melompat ke salah satu dahan pohon, ia menatap ke sekitar hutan itu dengan mata memicing.
“Di sana!” tunjuknya ke arah hutan yang lebih dalam, setelahnya ia pun menuruni pohon itu dengan sedikit ilmu terbang miliknya.
Hansa dan Hara mengikuti arah lesatan si bungsu. Hingga sampai lah mereka disebuah gubuk tengah hutan, mereka melangkah dengan begitu hati-hati. Terdengar suara rintihan minta tolong dari anak-anak korban penculikan, lalu sahutan kasar dari si penculik itu.
Haridra mengintip disela-sela gubuk, dilihatnya ada segerombol orang yang menyembunyikan barang rampokan sekaligus anak-anak kecil di sana, mereka tengah disekap.
“Apa aku perlu menghancurkan gubuk ini?” gumam Hara dengan tidak sabaran.
“Kakak, jangan dulu.” Haridra melarang.
“Lebih baik kita pancing mereka keluar, aku dan Haridra akan melawan para perampok itu, dan kau menyelamatkan anak-anak.” Hansa menimpali, jika sampai mereka gegabah melawan perampok secara terang-terangan maka bisa saja anak-anak itu akan menjadi alat sanderaan.
“Baiklah.” Hara mengangguk setuju. Ia pun bersembunyi di belakang gubuk, sementara Hansa dan Haridra akan memancing semua perampok itu untuk keluar.
BRAK!
Haridra sengaja membuat keributan di luar, ia melempar sebuah batu hingga mengenai jendela gubuk.
“Suara apa itu?” seru seseorang dari dalam.
“Ayo, kita periksa.” Mereka semua pun keluar dari gubuk tersebut, tampaknya ada lima orang pria bertubuh tinggi kekar dan menyeramkan.
“Ohh, ada anak ingusan di sini.” Mereka berdecih saat melihat Hansa dan Haridra.
“Tangkap mereka!” pinta seorang yang diyakini merupakan ketua dari perampok itu.
Mereka semua berfokus menyerang Hansa dan Haridra, kesempatan itu ia gunakan untuk menyelinap masuk ke dalam gubuk. Terlihat anak-anak usia lima sampai sepuluh tahun meringkuk ketakutan, Hara miris melihatnya.
“Sstt, tenanglah, aku akan menyelamatkan kalian.”
Tangan mereka diikat ke belakang, Hara menggunakan tenaga dalamnya untuk melepaskan simpul tali.
“Syukurlah terlepas, ayo hati-hati.” Hara membantu mereka untuk bangkit berdiri, sekitar sepuluh anak ia bawa dengan begitu hati-hati.
Sedangkan di luar gubuk, Hansa dan Haridra melawan lima orang sekaligus. Mereka cukup brutal karena sedikit mempunyai ilmu kebal terhadap senjata, tapi tentu saja kakak-beradik itu ilmunya lebih tinggi dari para penjahat.
Hansa bergerak lincah menghindari serangan, lalu salah satu tangan dari perampok itu ia tarik ke belakang hingga terdengar bunyi retakan tulang, disusul dengan jerit kesakitan.
Haridra menendang dua penjahat sekaligus, tubuhnya yang seringan angin dapat ia manfaatkan dengan baik. Tepat pada ulu hati si perampok, keduanya pun terbatuk-batuk akibat terkena tendangan maut Haridra.
Mata Hara mengawasi pertempuran itu, ia harus mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan anak-anak ini dari sini.
“Kalian ikuti aku dari belakang, jangan menimbulkan suara.” Hara memberi pengertian pada mereka, sebagian mengangguk mengerti tapi sebagian lagi hanya menatap dirinya dengan takut-takut.
Hara mengendap-endap sambil menundukkan badan, memanfaatkan pertempuran saudaranya, para perampok itu belum menyadari bahwa Hara sudah berhasil membawa tawanan keluar dari gubuk.
“Arghh, sakit. Ibu ... Kakiku sakit.” Seorang anak usia lima tahun menangis kala kakinya terantuk batu, suaranya pun membuat para perampok itu menoleh ke arah Hara.
Gadis itu menepuk dahinya, ketahuan sudah!
“Jangan menangis, aku akan membawamu bertemu dengan ibu kalian.” Hara mencoba untuk menenangkan anak itu.
“Heh, rupanya ada penyusup lagi.” Si ketua perampok berteriak dengan keras, susah payah ia menculik anak-anak itu tapi kini ada yang mau membebaskannya.
Glek! Hara menelan ludahnya, tidak ada cara lain selain melawan mereka.
“Kalian tunggu di sini, tetap berada di belakangku dan jangan pergi kemana pun. Bukankah ingin kembali pada ayah dan ibu kalian? Maka menurut lah.”
Mereka mengangguk lemah.
Hara segera berlari menuju ke si ketua perampok yang hendak menghampirinya. Sebelum perampok itu mendekati anak-anak, Hara lebih dulu menghadangnya.
“Dasar bocah kurang ajar!” Perampok itu melawan Hara, dikeluarkannya pedang laras panjang dan diarahkan menuju gadis itu.
Hara segera menghindar dari sabitan pedang, gadis itu bergerak lincah menendang pedang tersebut hingga terpental.
“Hah?” Nampaknya si perampok terkejut dengan aksi Hara, ia tak menyangka jika gadis muda seperti Hara memiliki kemampuan mumpuni.
Hara Garwita—si cantik yang mempunyai kepribadian anggun tapi mematikan, tubuhnya mungil dan wajahnya juga manis. Namun, didalamnya tersimpan teknik-teknik beladiri yang siap untuk membumihanguskan kejahatan.
Hara mengepalkan tangannya erat untuk meninju dagu pria itu, karena keterkejutannya si perampok pun merasakan pukulan keras yang begitu menyakitkan.
“Arghh.” Ia jatuh berguling di tanah, rahangnya serasa ingin rontok seketika. Pria itu memegang dagunya yang berdarah, ia meringis kesakitan luar biasa.
Hara berdiri dengan tatapan nyalang, satu lawan sudah berhasil ia tumbangkan. Tanpa Hara sadari, di belakangnya ada salah seorang rekan si perampok hendak menyerangnya, tapi aksi itu digagalkan oleh seseorang.
BUGH!
Terdengar teriakan nyaring tepat di belakang Hara, ia pun menoleh ke belakang mendapati seorang pria bertubuh tinggi nan tegap tengah menyerang si perampok, dalam cahaya remang rembulan ia tidak bisa melihat dengan jelas si pemilik tubuh yang tengah membelakanginya itu.
“Kau—siapa?” Hara terlihat bingung, kenapa tiba-tiba ada orang asing yang datang untuk menolongnya?
Pria itu hanya diam saja dan tak menoleh pada Hara, setelah memastikan bahwa si perampok yang hendak menyerang gadis itu sudah berhasil ia lumpuhkan, pria misterius itu pun segera melesat pergi.
“Hei.” Hara berteriak memanggilnya.
Pria itu menghentikan langkahnya sejenak, masih dengan memunggungi Hara di belakang sana.
“Siapa pun dirimu, terima kasih banyak.” Teriak Hara agar si misterius itu mendengarnya.
Hanya anggukan singkat yang menjadi jawaban, selanjutnya pria itu pun lari dengan kecepatan penuh.
Hansa dan Haridra pun memborgol sekumpulan perampok dengan tenaga dalam milik mereka, sehingga tidak akan bisa lepas begitu saja.
“Hara, apa kau terluka?” Hansa khawatir pada adik perempuan satu-satunya itu, meskipun Hara memiliki tenaga dalam yang baik, tapi tetap saja ia adalah seorang gadis muda.
“Aku baik-baik saja, Kak.”
“Siapa orang tadi?” Kini Haridra yang bertanya, ia sempat melihat sosok lain yang membantu kakaknya tadi.
“Memangnya ada siapa lagi?” Hansa tidak menahu mengenai kedatangan si orang misterius.
“Tidak ada siapa pun, kau salah melihat.” Hara tidak mau memperpanjang masalah tadi, ia sendiri tidak tahu identitas si pria misterius tersebut.
Haridra menaikkan sebelah alisnya, padahal jelas-jelas tadi ia melihat orang lain membantu kakak perempuannya.
“Ahh, aku sudah membawa anak-anak itu keluar, sebaiknya kita segera mengembalikan mereka pada orangtuanya.” Hara buru-buru mengalihkan pembahasan.
Hansa melihat pada sekumpulan anak yang ketakutan, kasihan sekali mereka. “Kau benar, lebih baik sekarang kita antar mereka pulang.”
Hara tersenyum sambil mengangguk semangat.
“Hara, kau antar mereka kembali. Sedangkan Haridra bawa barang-barang hasil rampokan dan kembalikan pada warga, aku yang akan membawa penjahat ini ke tahanan istana.”
“Baik, Kak.”
Hara menghampiri anak-anak tadi. “Aku akan mengantar kalian pulang, jangan takut.”
Mereka pun mengikuti langkah Hara, setelah mengalami penculikan yang menakutkan, sedikitnya ada kesan trauma yang dialami oleh anak-anak itu.
Akhirnya mereka pun sampai di desa, para orangtua masih berharap anak-anak mereka kembali.
“Ibu, ayah...” Anak-anak itu dengan semangat berlari menghampiri orangtua masing-masing.
“Putraku.”
“Putriku, akhirnya kau kembali, Nak.”
Para ibu-ibu langsung memeluk anak mereka masing-masing, Hara melihatnya dengan terenyuh.
“Putri Hara, terima kasih banyak telah membantu kami.” Mereka pun membungkuk pada Hara sebagai tanda terima kasih.
“Tidak perlu sungkan, Bibi dan Paman. Sudah seharusnya aku membantu warga, ini juga menyangkut keamanan Narayana.”
“Putri Hara sangat baik, sekali lagi terima kasih.”
Hara tersenyum sambil mengangguk kecil. Bisa melihat sinar kelegaan yang terpatri dari para orangtua yang dapat memeluk anaknya lagi, itu sudah cukup membahagiakan bagi Hara. Ia tak bisa membayangkan bagaimana anak sekecil itu harus terpisah dari orangtua mereka? Dirinya saja yang sudah beranjak dewasa ini tidak bisa jauh-jauh dari ibu tercintanya.
Tak berselang lama Haridra pun tiba, ia membawa barang-barang curian dan hendak mengembalikannya pada warga.
“Pangeran Haridra?!”
Haridra mengangguk menyapa mereka. “Aku membawa harta benda kalian kembali, bagi lah sesuai dengan pemilik masing-masing.”
“Pangeran Haridra, terima kasih banyak atas bantuanmu.”
“Ini sudah seharusnya ku lakukan demi keamanan dan kenyamanan warga, seharusnya istana lah yang meminta maaf pada kalian karena tidak memberi perlindungan yang baik.”
“Musibah bisa terjadi kapan saja, aksi Pangeran Haridra dan Putri Hara sudah sangat membuat kami terbantu.” Tutur salah satu warga.
Hara dan Haridra mengukir senyuman manis.
“Baiklah kalau begitu, kami akan pamit pergi. Untuk selanjutnya biarlah prajurit berjaga di sini demi keamanan.”
“Kami pamit.”
Hara dan Haridra pun undur diri, keduanya bisa bernapas dengan lega karena dapat memecahkan masalah ini.
Sesanpainya di istana, sudah ada Raja Rawindra yang menunggu kedua anaknya pulang.
“Salam hormat pada ayah.” Kedua bersaudara itu langsung membungkuk sopan.
Hara melirik ke samping ayahnya, sudah ada Hansa di sana, ia sudah bisa menebak pasti ayahnya telah menginterogasi kakak sulungnya itu.
“Kalian bergerak sendiri tanpa memberitahu ayah?” Itu bukan pertanyaan, lebih tepatnya pernyataan yang dibungkus secara halus.
Hara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bagaimana ia harus menjelaskannya?
“Ayah, kami melakukannya dengan spontan, selain itu ada tamu yang harus ayah jamu. Kami tidak ingin membuat kacau suasana,” gumam Hara dengan penuh keyakinan.
Raja Rawindra tertawa renyah, hal itu membuat Hara mengedipkan matanya bingung. Kenapa ayahnya tiba-tiba murah tawa? Padahal tadi terlihat datar-datar saja dan terkesan garang.
“Hahaha, Hara Putriku. Kau masih sama seperti dulu, putri kecil ayah yang sangat manja.”
“Ayah.” Hara merengek, ia memajukan bibirnya kesal, lagi-lagi ayahnya mengatai dirinya anak kecil.
“Ayah tidak mempermasalahkan tindakan kalian, hanya saja melawan perampok adalah hal yang berbahaya, apalagi dirimu adalah seorang gadis.”
“Meskipun Hara anak perempuan, tapi Hara memiliki darah juang Narayana. Seberbahaya apa pun mereka, aku pasti bisa mengalahkannya.” Hara berujar dengan penuh percaya diri.
Hansa dan Haridra mengulum senyum mereka. Di antara anak-anak Raja Rawindra, Hara lah yang agak mendapat perhatian khusus dari ayahnya karena ia anak perempuan satu-satunya. Walaupun Hara adalah ksatria yang memiliki ilmu beladiri tinggi, tapi sebagai ayah—Raja Rawindra tak ingin putrinya kenapa-apa.
“Kau memang ksatria perempuan.”
“Nah, maka jangan ragukan kehebatan Hara.”
“Baiklah-baiklah, hari ini ayah mengakui kehebatan kalian bertiga. Terima kasih karena telah ikut membantu menjaga keamanan negeri kita, ayah bangga pada kalian.” Raja Rawindra menatap putra-putrinya satu persatu.
“Sudah kewajiban kami untuk ikut menjaga keamanan Narayana, Ayah.” Si sulung menjawab.
“Sebagai kakak tertua, kau memberikan panutan bagi adik-adikmu.” Raja Rawindra menepuk bahu putranya dengan penuh kasih sayang.
Mereka pun saling mengobrol hangat seperti keluarga lainnya, kesibukan mengatur kepemerintahan membuat Raja Rawindra jarang bercakap-cakap pada anak-anaknya.