5 : Perihal Perjodohan

1120 Words
Pagi-pagi sekali para prajurit dan dayang sudah mulai hilir mudik mengerjakan tugas mereka sama seperti hari-hari biasanya, hanya saja kali ini ada tamu dari kerajaan sahabat yang membuat mereka harus semakin ekstra menjaga sikap agar tak mencoreng nama baik kerajaan Narayana. Hara sudah rapi mengenakan pakaian berwarna putih panjang, rambut lurusnya tergerai begitu indah ditambah dengan hiasan penjepit berbentuk bunga. Haridra juga telah keluar dari kamarnya dan bersiap untuk melakukan aktivitas pagi. “Kak Hara, bagaimana tidurmu semalam?” tanya Haridra saat berpapasan dengan kakak keduanya. “Sangat baik, aku lega karena sudah menyelesaikan masalah perampokan dan penculik itu.” Keduanya berjalan beriringan melihat-lihat para pekerja yang tengah melakukan kegiatan masing-masing. “Ku dengar mereka merupakan pesuruh, ketua penjahatnya masih belum tertangkap.” Haridra berbisik pelan, tidak ingin membuat para pekerja resah akibat si dalang dari penjahat yang telah berbuat rusuh semalam belum ditemukan. “Apa penjaga tahanan sudah menginterogasi mereka?” “Sudah, tapi tidak ada yang mengaku dan bahkan mereka memilih untuk menelan pil racun untuh bunuh diri.” Hara menggelengkan kepala, ternyata kesetiaan mereka begitu mudah dimanfaatkan oleh orang jahat. “Jadi, sekarang tidak ada bukti lain untuk mengungkap siapa dalang di balik kejahatan itu?” “Hmm. Semua bukti terputus,” desah Haridra terlihat kecewa. “Kak Hansa pasti memiliki ide untuk mengatasi hal ini.” Hara tersenyum puas, kakak pertama mereka adalah sosok yang mempunyai banyak akal, pastinya Hansa memiliki jalan keluar untuk mengungkap siapa otak di balik kejahatan ini. Mata Haridra menangkap dua sosok pria yang tengah berjalan beriringan sambil berbincang. “Bukankah itu Kak Hansa, untuk apa ia mengobrol dengan Putra Mahkota Laksmana?” Hara mengikuti arah pandang adiknya, benar bahwa kakak sulung mereka tengah berbicara serius dengan calon pewaris kerajaan Janardana. “Mereka sesama putra mahkota, mungkin sedang membahas perihal kepemerintahan.” “Ohh. Omong-omong, semalam kita meninggalkan acara perjamuan, jadi tidak tahu alasan kenapa kerajaan Janardana bertamu ke Narayana.” “Kau benar, ayo kita tanyakan pada ibu saja.” “Iya, Kak.” Hara dan Haridra segera menemui ibu mereka, keduanya memasang senyuman paling cerah secerah mentari pagi. “Ibu.” Hara langsung menghambur ke pelukan ibunya, hangat dan selalu nyaman. “Pagi-pagi sekali kalian sudah sampai di sini, ada apa?” “Semalam kami tidak mengikuti acara perjamuan, sebenarnya ada tujuan apa kerajaan Janardana berkunjung ke sini?” Hara bertanya sambil mencicit, ia teringat dengan ucapan Hansa yang mengatakan bahwa Putra Mahkota Laksmana sedang mencari jodoh, Hara pun was-was dan antisipasi. “Raja Shangkali hanya ingin mempererat tali persahabatan dengan ayahmu, sudah lama keduanya tidak saling berjumpa.” Ratu Daneswari berkata dengan lembut, wanita itu selalu bersikap anggun dan penyayang. Hara menghela napas lega. “Bukan ingin mencari jodoh untuk Putra Mahkota Laksmana ‘kan, Bu?” Ratu Daneswari menatap putrinya sambil terkekeh pelan. “Ahh ya, Ibu melupakan hal itu. Tujuan utama memang ingin memperkuat persahabatan, tapi di sisi lain jika ada seorang gadis yang bisa membuat Putra Mahkota Laksmana tertarik, Raja Shangkali berniat melamar gadis itu untuk putranya.” Haridra yang sejak tadi diam menyimak pembicaraan pun mulai sadar ke mana arah tujuan pertanyaan dari kakak keduanya itu. “Kakak, kau tidak berpikir bahwa Putra Laksmana tertarik padamu ‘kan?” Hara menipiskan bibirnya dengan kesal sembari melotot pada adiknya. “Hansa, diam dulu.” Ratu Daneswari melihat kedua putra-putrinya secara bergantian. “Hara tertarik dengan Putra Mahkota Laksmana?” Hara semakin dibuat kaget dengan pertanyaan ibunya, astaga ini salah paham! “Bukan, sama sekali tidak!” Hara terlihat gusar, ahh ini semua gara-gara adiknya. Ratu Daneswari merasa terhibur dengan putrinya yang menggemaskan. Hara pun menjelaskan, “Jadi setelah mendengar perihal pencarian jodoh itu, Hara takut jika dijodohkan. Ibu tahu sendiri aku belum ingin menikah, kalau nantinya ada yang hendak meminangku tolong tolak saja. Selain itu, Hara ingin pernikahan berlandaskan saling mencintai.” Ratu Daneswari sangat paham dengan kekhawatiran putri semata wayangnya. Dulu waktu ia masih gadis juga berprinsip sama dengan sang putri, pernikahan adalah hal yang sakral oleh sebab itu bisa dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. “Ibu mengerti, tenang saja ibu dan ayahmu sudah sepakat untuk tidak menjodohkan kalian. Entah itu Hara ataupun Hansa dan Haridra, kalian bebas memilih pasangan sesuai keinginan masing-masing, selagi pasangan kalian baik maka tugas kami sebagai orangtua adalah memberikan restu.” Ratu Daneswari pernah membahas masalah ini dengan sang suami, dan Raja Rawindra pun setuju dengan pemikiran istrinya. Pernikahan dijalani oleh anak-anak mereka, dan sudah semestinya putra-putrinya mendapat pasangan sesuai dengan pilihan masing-masing. Di zaman ini sudah selayaknya kewajiban orangtua menjodohkan anak-anak mereka, tapi pemikiran itu tidak berlaku bagi Ratu Daneswari, ia menyerahkan perihal jodoh pada putra-putrinya sendiri untuk menentukan pilihan mereka. “Ibu, terima kasih banyak.” Hara lagi-lagi menghambur ke pelukan ibunya, disusul oleh si bungsu. “Sama-sama, Nak.” Kali ini Hara merasa lega karena tidak perlu terikat dengan perjodohan, ia merasa beruntung karena mempunyai orangtua yang berwawasan luas. “Ibu dengar semalam kalian berhasil mengalahkan para perampok, apa benar?” Haridra mengangguk kuat-kuat. “Benar, Bu.” “Kalian anak-anak yang pandai, Narayana bangga memiliki putri dan pangeran seperti kalian.” Ratu Daneswari sangat bangga dengan anak-anaknya, mereka semua pembela negara yang begitu setia. “Ini semua tak lepas dari peran ibu yang selalu memberikan pengajaran terbaik bagi kami.” Mereka bertiga kembali berpelukan dengan erat, Hara dan Haridra bersyukur mempunyai ibu yang sangat pengertian. Jika Hansa sampai tahu ketiganya tengah berpelukan seperti ini, pasti kakak sulung mereka akan cemburu. Setelahnya, Hara dan Haridra pun pamit undur diri untuk memberikan waktu ibunya agar bersiap sarapan bersama nantinya. Saat Hara hendak melangkah menjauh, tangan Haridra menghadangnya. “Ada apa?” Sebelah alis Hara menukik. “Orang yang membantumu semalam, aku tidak salah lihat karena mataku masih berfungsi dengan baik.” Lagi-lagi Haridra membahas hal itu. Hara menatap ke arah lain. “Kakak, aku serius bertanya padamu.” “Hah, baiklah-baiklah. Memang benar semalam ada pria misterius yang menolongku saat hampir dicelakai oleh perampok itu, tapi aku sendiri tidak tahu siapa dia. Kau tahu sendiri hutan itu sangat gelap yang bahkan si pria misterius itu membelakangiku, aku tak melihat wajahnya.” Hara menjelaskan panjang lebar. “Apa kau ingat perawakan tubuhnya?” Hara menggali ingatannya semalam. Dalam gelapnya malam ia hanya bisa melihat punggung pria misterius itu, tubuhnya tinggi tegap dan sangat kokoh. “Aku ingat! Tengkuknya, tengkuknya ada tanda lahir berwarna kehitaman.” Akhirnya ada yang bisa Hara ingat dari pria misterius yang telah membantunya. “Setidaknya berbekal ingatanmu itu, lain kali kita bisa mencaritahu motifnya menolong dirimu, apa ia benar-benar baik ataukah ingin memanfaatkan keadaan.” “Kau benar, kita harus berhati-hati.” Mungkin akan sulit menemukan orang yang memiliki tanda lahir seperti itu, tapi Hara sangat yakin pasti suatu saat nanti mereka bertemu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD