Tak terasa Steven pulang ke Jakarta setelah beberapa hari Yudistira dan Vidya tak saling bertemu sejak insiden malam itu. Meskipun tadinya, Vidya tidak ingin ikut bersama Yudistira menjemput sang ayah, tetapi setelah dia berpikir lebih lanjut, Steven pasti akan mencurigainya jika dia tidak ikut serta.
Suasana canggung pun masih kental terasa antara Vidya dan Yudistira saat pertama bertemu kembali. Keduanya tidak lagi dapat bersikap seperti biasanya setelah mereka sepakat untuk saling melupakan apa yang pernah terjadi. Bagaimana pun juga, Yudistira menyesal karena telah merusak kepercayaan yang telah diberikan Steven. Dan sejak malam itu, semuanya tidak sama lagi bagi Yudistira, dia mulai melihat Vidya dengan perasaan yang tidak dia mengerti, berbeda dari sebelumnya.
"Santai saja lihatnya, Om! Nanti kalau seperti ini Papa bisa curiga dan tahu apa yang terjadi sama kita." Ucapan Vidya membuat Yudistira menjadi gelagapan.
"Vidya, tapi ini su–"
"Itu Papa udah datang, Om! Jadi, Om cepat sambut Papa." Vidya memotong ucapan Yudistira. Meminta agar pria itu bisa bersikap seperti biasa saat menghadapi ayahnya.
***
Satu bulan berlalu dengan begitu cepat. Pagi itu, Steven yang sedang membaca artikel pada tabletnya merasa heran saat tiba-tiba putrinya berlari ke kamar mandi. Pria berusia 40 tahun itu tampak memicingkan mata saat melihat cumi goreng yang merupakan kesukaan Vidya masih utuh di piringnya.
"Apakah cuminya sudah tidak segar lagi sampai Vidya muntah seperti itu?'' gumam Steven.
10 menit kemudian, Vidya kembali ke ruang makan masih dalam keadaan lemas. Entah kenapa sudah seminggu ini dia merasa jika hidungnya menjadi sensitif saat mencium aroma menyengat dan beberapa jenis makanan yang menjadi favoritnya kini seperti musuh baginya. Tak jarang hanya dengan melihatnya bisa membuat gadis itu mual hingga berakhir muntah-muntah selama beberapa kali dalam sehari.
"Kamu sakit? Mau ke dokter?" tanya Steven dengan nada cemas.
"Tidak perlu, Pa, Vidya cuma kecapean dan kemarin makan seblak level lima makanya maag Vidya kumat," jawab Vidya setelah menghabiskan segelas teh hangat tawar dengan harapan dapat menenangkan perutnya yang kembali bergejolak.
"Kamu itu kebiasaan banget, tiap kali suka sesuatu pasti dicecar terus makannya," ucap Steven sambil menggelengkan kepalanya.
"Mana Vidya tahu kalau bisa kumat maagnya ... "
"Siapa yang kumat maagnya, Mas?" Vidya lantas menghentikan perkataannya saat suara Yudistira terdengar.
Sudahkah Vidya mengatakan jika dalam beberapa hari ini dia sangat menyukai aroma tubuh Yudistira. Rasa mual dan perut yang bergejolak tiba-tiba hilang dengan sendirinya saat Vidya berada di dekat pria itu.
Sementara itu, Yudistira juga tidak tahu apa yang mendorongnya untuk ke rumah sang senior setiap paginya. Hatinya mengatakan jika dia harus melihat dan memastikan keadaan Vidya sebelum memulai aktivitasnya selama seharian penuh.
"Vidya kumat maagnya, Yud. Katanya, kemarin dia habis makan seblak level lima," jawaban Steven membuat Yudistira segera mengambil tempat duduk di sebelah gadis itu.
"Vidya, kan Om udah pernah bilang jangan keseringan makan pedas. Sekarang perut kamu enggak kuat, kan?” ucap Yudistira sambil mengusap lembut rambut Vidya.
Steven terkesiap saat melihatnya, entah kenapa saat ini interaksi keduanya seperti sepasang kekasih di matanya.
"Aneh, padahal Yudis sering mengusap rambut Vidya. Apa mungkin aku terlalu lelah sampai salah mengartikan perhatian Yudis kepada Vidya?" tanya Steven di dalam hatinya.
"Jangan terlalu lebay deh, Om! Aku akan sembuh setelah minum obat, kayak enggak tahu aja aku memang gitu kalau udah kumat," jawab Vidya dengan ketus.
"Sudah, jangan berdebat lagi! Vidya, kamu sanggup masuk kuliah nggak? Kalau nggak kuat, istirahat di rumah saja untuk hari ini. Dan kamu Yudis, tumben sekali kamu bertingkah kekanakan seperti ini. Oh iya, kamu sudah sarapan belum? Biar aku minta Bibi menyiapkan sarapan untuk kamu," sambung Steven kepada teman sekaligus juniornya di kampus.
"Vidya pergi kuliah saja, Pa. Soalnya sudah dekat dengan UAS. Jadi, banyak tugas yang harus Vidya kerjakan." Vidya memutuskan untuk segera meninggalkan rumah, kejadian malam panas bersama Yudistira masih terus terbayang jelas dalam benaknya, dia tidak mau bertingkah konyol dan itu akan menimbulkan kecurigaan ayahnya.
"Biar Om antar, Vidya."
Steven kembali terdiam saat mendengar nada suara Yudistira yang penuh dengan kepemilikan saat menyebut nama sang putri. Namun lagi-lagi, dia hanya mengabaikan karena menganggap dirinya yang terlalu lelah.
***
Meskipun coba menampik segala pikirannya, ternyata feeling-nya sebagai seorang ayah terlalu kuat. Di saat Steven sedang bersantai untuk merokok di atap gedung kantor bayangan interaksi Yudistira dan Vidya pagi tadi terlintas dengan jelas. Berulang kali Steven berusaha menepisnya, tetapi sayang, pikirannya semakin dipenuhi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada.
"Ah nggak mungkin ... " gumam Steven sembari memandang ke arah langit.
"Aku cari-cari ternyata Mas ada di sini." Steven menoleh lalu tersenyum kecut saat melihat Yudistira sedang berjalan ke arahnya. Mengapa semuanya terasa seperti kebetulan? Dia sedang memikirkan Yudistira dan tak lama kemudian sang junior muncul di depannya.
"Kaya nggak tahu aja kamu kalau aku merokok di sini. Kamu sedang ada pertemuan dengan orang di daerah sini?" tanya Steven yang lalu menghembuskan asap nikotin dari mulutnya.
"Tidak ada, aku datang karena semua pekerjaanku sudah selesai," jawab Yudistira yang ikutan merokok.
"Asal jangan nanti sekertaris kamu yang bawel itu mengoceh terus padaku," timpal Steven dengan terkekeh pelan.
"Yud, koq aku merasa kelakuan Vidya akhir-akhir ini aneh sekali. Apa mungkin terjadi sesuatu ya saat aku ke Semarang waktu itu? Vidya ada ngomong apa enggak sama kamu?"
Steven melontarkan apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya. Sementara Yudistira hanya dapat meneguk salivanya dengan kasar, dia tak berani memandang wajah dari sang senior. Entah mengapa dia merasa jika Steven seakan memiliki firasat yang tajam.
Dahinya mengernyit saat mendapati nomor Vidya yang menelponnya.
"Vidya, ada apa?" Yudistira menoleh saat Steven menyebutkan nama gadis yang berada dalam pikirannya. Ingin tahu juga apa yang membuat Vidya menelepon saat jam perkuliahan berlangsung.
"Maaf Om, saya teman kuliahnya Vidya. Vidya sekarang di rumah sakit, tadi tiba-tiba pingsan di perpustakaan."
Suara yang terdengar jelas dari ponsel Steven membuat keduanya terkejut, terlebih lagi Yudistira merasa jantungnya berhenti berdetak. Keresahan pun meliputi dirinya tak lama kemudian.
***
"Vidya, seharusnya kamu tidak perlu masuk kuliah kalau tidak kuat. Papa cemas banget saat teman kamu menelepon kabarin kamu pingsan."
Steven langsung menghampiri ranjang perawatan Vidya, dia memerintahkan sekretarisnya untuk mengurus Vidya agar cepat masuk ke ruangan perawatan VIP sebelum dia tiba di rumah sakit.
"Maaf, Pa, aku enggak sangka kalau bisa separah ini sakitnya," ucap Vidya dengan lirih.
Yudistira yang baru masuk hanya dapat terdiam sembari menelisik wajah pucat Vidya. Kenapa dia baru menyadari jika pipi gadis itu lebih tirus daripada sebelumnya? Padahal setiap hari dia sengaja datang ke rumah Steven untuk memeriksa keadaan Vidya.
"Keluarga Vidya Adiatmo?" Steven segera berdiri saat seorang dokter wanita bersama dengan suster masuk ke dalam ruangan perawatan. Pria itu segera bertanya kepada dokter itu mengenai penyebab pingsannya Vidya.
"Mohon maaf, suaminya Vidya di mana ya?" tanya sang dokter.
"Su-ami, Dok … apa maksudnya ini?" tanya Steven dengan tergagap. Sang dokter pun mengerti apa yang terjadi, lalu menghela nafas panjang dan menatap Steven dengan simpati.
"Putri Bapak sedang hamil muda dan untuk memastikan usia kandungannya bisa dilakukan pemeriksaan oleh dokter kandungan." Penjelasan dokter bagaikan petir di siang bolong bagi Steven.
Bagaimana mungkin putrinya yang selama ini dia tanamkan nilai agama dan moral yang kuat dapat melakukan hubungan sebelum menikah. Berbagai pertanyaan pun segera memenuhi pikiran pria berusia 40 tahun itu.
"Vidya! Cepat katakan sama Papa apa yang terjadi sebenarnya. Siapa b******n yang telah menodaimu?"
Sang dokter dan perawat yang menyadari situasi langsung keluar dari ruangan perawatan Vidya.
Steven yang tidak pernah memarahi Vidya kini terlihat sangat menyeramkan. Gadis itu pun menangis, tak menjawab pertanyaan dari ayahnya. Namun, kedua matanya perlahan melihat ke arah Yudistira yang juga tengah menatap dengan wajah yang pucat.
"Hamil … nggak mungkin.” Yudistira masih tercengang tak percaya. Ingin menampik. Namun, kenyataan yang ada jelas didengarnya. Penyesalan yang sejak insiden malam itu selalu menghantui pun, kini semakin besar seperti membakar dirinya.