"Vidya!"
"Om, perutku rasanya sakit banget," ucap Vidya dengan lirih.
"Tahan ya, Vidya. Om ada di sini, jadi kamu tidak perlu takut lagi," sahut Yudistira yang berusaha tenang meskipun di dalam hatinya merasa panik.
Tak lama kemudian suasana di sekitar mereka menjadi kacau, beberapa suster dan security langsung membawa Vidya menuju ruang IGD. Sementara Yudistira hanya dapat terpaku di tempatnya berdiri, tubuhnya bergetar dengan hebat.
Bayangan Vidya yang terbaring di ranjang pasien seketika berganti dengan Hanna, mendiang istrinya. Pikirannya terus membersitkan hal buruk yang membuat pria itu tenggelam dalam kegelapan.
Bahkan Yudistira mulai mendengar suara-suara penuh ejekan di kepalanya. Suara itu saling bersahutan seakan mencoba melumpuhkan akal sehat Yudistira.
"Vidya pasti akan mengalami hal yang sama dengan Hanna."
"Kamu itu hanya dapat menghancurkan wanita yang akan menjadi pasanganmu."
"Menjaga istri saja tidak becus malah sok menghamili perempuan lain. Bahkan sahabatmu sampai harus meregang nyawa karena kamu!''
Yudistira menggeram sambil mengepalkan kedua tangannya, suara itu seakan-akan menertawakan dan menghakimi dirinya. Rasanya Yudistira ingin mengamuk dan menghancurkan apa saja yang terlihat oleh matanya, hingga suara dering handphone yang kencang mengembalikan kesadarannya. Yudistira menghela napas lega karena merasa tertolong oleh sang penelepon.
Dan saat melihat nama Rianti yang tertera di layar ponselnya, Yudistira merasakan lega luar biasa. Mungkin saja sang ibu akan dapat membantunya untuk mengatasi rasa panik dan takut yang saat ini dia rasakan.
"Yudis, kenapa suara kamu seperti orang yang sedang panik begitu?" tanya Rianti.
"Ma, bisa datang sekarang ke rumah sakit Gardenia. Vidya ... pendarahan, seseorang mendorongnya hingga terjatuh." Rianti terkesiap saat mendengar perkataan dari Yudistira yang terdengar semakin panik itu. Tarikan napas dalam setiap kalimat Yudistira sering sekali tertangkap oleh telinganya.
"Baik, Mama akan segera ke sana. Kamu juga lebih baik pergi ke kantin dan belilah minuman untuk menyegarkan pikiran," titah Rianti yang lalu memutuskan sambungan telepon.
"Mas Steven, aku tahu jika Mas sedang melihat kami dari atas sana. Aku mohon, Mas, lindungi Vidya dan anak kami," ucap Yudistira sambil menatap langit dengan lirih.
***
Rianti datang tepat setelah Yudistira baru saja membeli segelas kopi hangat dan beberapa botol air mineral. Pria itu menghembuskan lega karena merasa jika telah melihat malaikat penolong.
"Bagaimana keadaan Vidya?" tanya Rianti.
"Masih dalam penanganan, Ma. Aku sangat takut jika terjadi apa-apa dengan Vidya. Aku merasa jahat karena telah membuat Vidya seperti ini," ucap Yudistira yang kembali merasa panik.
Rianti terdiam sejenak sembari merangkai kalimat yang tepat agar Yudistira tidak semakin dihantui oleh perasaan bersalah. Mendengar cerita jika Vidya didorong membuatnya yakin jika memang ada pihak yang sengaja ingin mencelakakan gadis yang sedang mengandung cucunya itu.
"Relax, Yudis. Semua yang terjadi sama Vidya itu bukan salah kamu. Sekarang kamu harus tenang agar dapat menjaga Vidya. Hanya kamu sekarang yang dia punya," ucap Rianti sambil memegang kedua pipi sang putra, dia harus memastikan agar mereka beradu tatapan mata.
"Mama benar, aku tidak boleh begini terus. Vidya membutuhkan aku." Rianti tersenyum lega saat mendengar kepercayaan diri Yudistira yang mulai kembali.
"Suami Vidya Adiatmo?"
Suara itu membuat keduanya menoleh dan menghampiri seorang dokter pria yang memakai baju dinas berwarna hijau.
"Iya Dok, saya suaminya Vidya. Bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Yudistira.
"Syukurlah keduanya tidak apa-apa meskipun Ibu Vidya sempat mengalami pendarahan. Hanya saja Ibu Vidya harus bed rest selama beberapa minggu, janinnya merasa stress dan itu membuat kandungan ibu Vidya menjadi lemah.
"Kalau begitu bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Rianti yang merasa harus memastikan kembali kondisi Vidya.
"Secara keseluruhan keadaan Ibu Vidya sudah tidak apa-apa, hanya saja efek dari terjatuh dan pendarahan tadi membuat ibu dan janin merasa stress. Jadi sebaiknya ibu Vidya harus dirawat dulu sampai stresnya hilang," jelas sang dokter kembali.
"Kamu dengar itu, Yudis? Vidya sudah tidak apa-apa, jadi berhentilah merasa cemas."
"Jadi Dok, apakah Vidya sudah bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap sekarang?" Rianti mengulas sebuah senyum tanda dia berterimakasih.
"Sudah dan Bapak bisa urus administrasinya sekarang," ucap sang dokter sebelum meninggalkan keduanya.
"Mama akan menunggu di sini," kata Rianti dengan mengulas sebuah senyum.
***
"Apakah dia akan baik-baik saja, Om?" tanya Vidya dengan tersedu saat Yudistira menghampiri ranjang Vidya.
Gadis itu baru saja memasuki ruangan perawatannya dengan ditemani oleh Rianti, dan berkat itu jugalah Vidya merasa sedikit tenang.
"Dia pasti akan baik-baik saja, anak kita itu kuat seperti ibunya," jawab Yudistira.
"Vidya, mulai sekarang kalau kamu mau makan apa bilang aja sama Tante." Vidya meringis dalam hati saat Rianti mengubah panggilannya.
Sejak awal bertemu, Rianti sudah terbiasa memanggil Rianti dengan panggilan Oma karena perbedaan usia mereka yang cukup jauh yakni 44 tahun. Lain halnya jika dia memanggil Andri, panggilan Om sengaja dia pakai karena Vidya merasa jika pria tua itu tidak menyukainya.
"Tidak usah, Oma. Aku tidak mau merepotkan," ucap Vidya yang masih merasa sungkan dengan Rianti.
"Tante, bukan Oma, Vidya. Lagipula sebentar lagi kalian akan menikah masa kamu mau memanggil Mama suami kamu dengan sebutan Oma, enggak lucu dong," timpal Rianti yang membuat Vidya hanya dapat mengulas senyum canggung.
"Ma, aku sudah meminta rekaman CCTV tempat Vidya didorong dan pihak rumah sakit mengatakan jika akan memberikannya sore hari ini,"
"Vidya, apa kamu melihat Siapa yang telah mendorong kamu?" tanya Rianti dengan lembut karena takut akan membuat Vidya sedih.
"Aku enggak sempat lihat siapa orangnya, Oma, ekh Tante. Kejadiannya cepat sekali," ujar Vidya yang kini menundukkan kepalanya.
"Sudah tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan. Kata dokter kamu tidak boleh terlalu stress nanti anaknya ikutan stress. Tante mau pergi sebentar, Yudis jaga Vidya," ucap Rianti memutus topik pembicaraan.
"Aku mau tidur rasanya ngantuk banget." Vidya menguap saat Rianti sudah meninggalkan ruang perawatannya.
"Tidurlah, Om akan menjaga kamu," ucap Yudistira yang pada kenyataannya tidak seperti itu.
***
Vidya terbangun saat mendengar suara-suara aneh. Infusan yang menempel pada tangan kirinya menyulitkan Vidya untuk beranjak turun dan memastikan suara apa yang dia dengar. Akhirnya Vidya hanya dapat menajamkan pendengarannya untuk mencari sumber suara itu.
"Itu bukannya Om Yudis? Jadi suara itu asalnya dari sana? Apa yang sedang Om Yudis mimpikan sampai bisa mengigau," gumam Vidya.
"Om Yudis! Bangun, Om!" jerit Vidya dengan sepenuh tenaga.
Setengah jam Vidya berteriak hingga suaranya mulai habis, tapi Yudistira tidak juga terbangun. Malahan pria itu semakin terhanyut dalam tidurnya, membuat Vidya mendengkus kesal. Suara rintihan Yudistira semakin kencang terdengar, sekarang harapan Vidya satu-satunya hanyalah saat perawat datang untuk memeriksa keadaannya.
"Bagaimana aku bisa tidur Kalau Om Yudis berteriak seperti itu?" keluh Vidya sambil memijat pelipisnya.
"Jangan tinggalkan aku, Hanna!"
Vidya terkesiap saat mendengar Yudistira yang masih menyebutkan nama mendiang istrinya. Apakah ini berarti pria itu masih mencintai wanita yang sudah menyatu dengan tanah iru? Tiba-tiba saja Vidya merasakan keresahan yang luar biasa. Rasanya tidak mungkin jika Vidya dapat menikah dengan Yudistira jika pria itu masih berkutat dengan masa lalunya.
Tangan kanannya mengepal dengan kuat, dadanya pun terasa sesak akibat kemarahan yang tidak dia ketahui sebabnya. Matanya pun terpejam dan pikirannya pun memproyeksikan kenangan saat Hanna masih hidup, kenangan yang seharusnya manis tapi tidak bagi Vidya.
"Om Yudis jahat!" jerit Vidya dengan teriakan melengking yang berhasil membangunkan Yudistira.
Setengah mengantuk dan menahan pusing, Yudistira memandang bingung Vidya yang menatapnya penuh amarah.
"Kenapa kamu berteriak malam-malam seperti ini, Vidya?" tanya Yudistira yang tentu saja merasa bingung.
"Karena Om jahat!" jawab Vidya dengan ketus.
Baru saja Yudistira akan menyahuti perkataan Vidya, sebuah suara menyelanya.
"Tinggalkan saja gadis manja ini, Yudis, belum apa-apa saja dia sudah berani membentak kamu.''