Bima mengemudikan mobilnya menuju tempat konser musik bersama dengan Bagas. Dia masih memikirkan mamanya yang masih belum bisa menerima Sovia, dan masih sangat membenci Sovia. Bima tidak menyangka, mamanya akan sedendam itu dengan Sovia. Mungkin benar Sovia penyebab terjadinya hubungan antara Papa Reza dan Bundanya Sovia, tapi waktu itu Sovia masih sangat kecil, dan tidak tahu apa-apa soal itu. Anak kecil yang baru saja kehilangan ayahnya, membuat dia dekat dengan Reza yang mungkin saat itu hanya Reza yang bisa menggantikan ayahnya.
“Jangan melamun, lagi nyetir malah melamun!” Bagas menepuk pundak Bima dengan keras, dan membuatnya sedikit terjingkat.
“Apaan sih! Siapa yang melamun?” jawab Bima.
“Kalau enggak melamun, ngapain kaget tadi?” ujar Bagas.
“Kamu kok keringat dinginnya keluar gini, Bim? Jangan bilang kamu telat makan dan belum makan!” ucap Bagas.
“Iya, aku lagi gak selera makan, Gas,” jawab Bima dengan santai.
“Kamu jangan cari penyakit, Bim! Kamu enggak ingat dokter bilang apa? Lambung kamu bermasalah, malah gini. Depan ada rumah makan, kamu makan dulu, aku gak mau ya kamu sakit karena ditinggalin wanita! Enggak etis, Bim!” Bagas selalu seperti itu jika kakaknya punya masalah dan melupakan makan, padahal Bima tidak boleh telat makan karena punya asam lambung.
“Cerewet amat kamu, Gas! Aku gak selera makan, sudah kita langsung ke Cafe saja,” ucap Bima.
“Ya sudah kita pulang saja. Susah kamu Bim di bilangin!” tukas Bagas.
“Iya ... iya ... ini ke rumah makan,” ucap Bima.
“Gitu dong!”
Bima membelokan mobilnya ke rumah makan. Dia sebenarnya memang sudah merasakan lapar, tapi Bima tidak ada selera makan dari tadi siang. Bima turun dari mobilnya bersama Bagas, dan langsung masuk ke dalam. Bima melihat Silvi, anak dari sahabat Papa Reza yang juga sahabat Sovia. Ya, Silvi, anak dari Rudi dan Tasya. Silvi baru saja keluar dari rumah makan bersama calon suaminya. Silvi juga melihat Bima yang baru saja turun dari mobil, dan mobil suami Silvi juga parkir di sebelah mobil Bima.
“Bima, Bagas? Di sini juga?” tanya Silvi.
“Iya, baru saja sampai. Kamu sudah selesai makan?” tanya Bagas.
“Iya, baru saja selesai, ini mau pulang, kasihan anakku aku titipin sama mama papa,” jawab Silvi.
“Sil, bentar aku mau tanya,” ucap Bima.
“Kamu mau tanya apa, Bim? Soal Sovia?” tanya Silvi.
“Iya, Sil, kamu tahu di pergi ke mana?” jawab Bima dengan bertanya pada Silvi soal Sovia.
“Bim, kalau aku tahu dia mau pergi, pasti aku cegah dia supaya enggak pergi. Aku saja bingung, tadi sore aku ke rumahnya, adanya tetangganya, dia bilang Sovia sudah tidak lagi menempati rumahnya. Aku tanya Arga, tapi Arga bilang dia tidak tahu Sovia ke mana? Aku, mama, papa, bingung semua, Bim. Kamu tahu, kan? Semenjak Tante Dilla dan Om Reza meninggal Sovia menjadi tanggung jawab papa dan mama? Tapi, Sovia seperti ini, pergi tanpa pamit,” jelas Silvi.
“Kamu enggak bohong, kan? Please ... jangan tutupi apa pun dariku, Sil. Aku harus cari Sovia ke mana, Sil?” ucap Bima.
“Bim, kamu yang sabar, ya? Aku sama papa dan mama juga sedang cari informasi. Papa dan mama kehilangan kontak eyangnya Sovia yang ada di Jogja. Kemungkinan kata papa Sovia pasti ke sana, karena di sana satu-satunya keluarga yang Sovia punya, eyangnya dan bibinya. Tapi, aku juga mama dan papa tidak pernah tahu di mana rumah keluarga Sovia yang ada di Jogja,” ucap Silvi.
“Jogja? Nanti aku akan cari informasi di sana, makasih Sil, untuk infonya,” ucap Bima.
“Bim, sebenarnya masalah kalian itu apa? Sovia sampai pergi gini?” tanya Silvi.
“Apa Sovia tidak pernah cerita? Kamu kan sahabatnya, jangan pura-pura tidak tahu, Sil,” ucap Bima.
“Ya, aku tahu, masalah kalian ada pada Tante Riri, tapi kenapa Sovia pakai pergi segala, Bim? Apa sebelum itu kamu ada masalah yang rumit lagi?” tanya Silvi.
“Ya, memang masalahnya itu. Sudah lah, Sil. Nanti aku akan cari Sovia, bantu info juga Sil, kalau kamu sudah tahu di mana Sovia. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi,” ucap Bima.
“Oke, aku pamit pulang, ya? Kamu yang sabar, Bim,” ucap silvi dan langsung pulang dengan suaminya.
Bima masuk ke dalam rumah makan dengan Bagas. Dia memesan makanan, tapi selera makannya tidak ada. Dia memaksa makan hanya karena tidak mau sakit saja. Dia bertekad untuk mencari Sovia. Dia sudah mendapat lampu hijau dari Silvi, kalau kemungkinan Sovia ada di Jogja. Kebetulan sekali, dia ingin membuka usaha kuliner di sana, tinggal dia membujuk mamanya supaya memperbolehkan dirinya ke Jogja.
“Bagas, kita batalkan nonton konser musiknya, ya? Aku mau pulang, mau bicara sama mama,” ucap Bima.
“Kok gini? Ah gak asik kamu!” jawab Bagas.
“Aku mau membicarakan soal bisnis kulinerku. Opa tadi sudah memberikan aku tempat untuk membuka bisnis itu. Di Jogja, kebetulan kata Silvi kemungkinan Sovia di sana, di rumah eyangnya,” ucap Bima.
“Bim, mending kamu pikir-pikir dulu deh? Kamu yakin mau meninggalkan kantor?” ucap Bagas.
“Kan aku memang sudah ada niatan ke Jogja buka bisnis kuliner di sana, sebelum Silvi bilang kemungkinan Sovia di sana. Ini kesempatanku untuk sekalian mencari Sovia, Gas. Please ... bantu aku, biar mama mengizinkan. Opa sama Oma malam ini kan tidur di rumah, pasti opa juga mau membantu, Gas,” pinta Bima.
“Oke deh, ini demi kamu. Yang penting kamu bahagia, kamu yang sabar, jangan menyerah, suatu hari nanti pasti pintu hati mama terbuka, kok,” ujar Bagas.
“Thanks ya, Gas? Kamu memang selalu mengerti aku,” ucap Bima.
“Bim, dari kecil kita bareng, kita sudah melewati macam-macam rintangan bersama, sekarang tinggal kamu, kamu harus bahagia, Bim. Pokoknya kamu harus semangat!” Bagas menepuk pundak kakaknya itu, dan menyemangatinya.
Setelah selesai makan, Bima langsung mengajak Bagas pulang ke rumah. Dia tidak jadi menonton konser musik. Bima sudah sedikit lega, karena Silvi bilang seperti tadi. Meski baru kemungkinan, Bima yakin kalau Sovia di sana.
^^^
Silvi benar-benar tidak tahu Sovia ada di mana. Papa dan mamanya juga tidak tahu kalau Sovia pergi ke mana. Silvi sudah bertanya pada Arga, tapi Arga seakan menutupi ke mana Sovia pergi. Arga hanya memberitahukan Silvi kalau Sovia pergi untuk menenangkan dirinya.
“Mas, kira-kira ke mana Sovia pergi, ya?” tanya Silvi pada Adam, suaminya.
“Mana aku tahu, Sayang? Sovia juga tidak memberi kabar kami kalau mau pergi, kan? Aku juga tidak mengerti kenapa bisa serumit itu hubungan mereka,” jawab Adam.
“Sovia memang tertutup semenjak Om Reza sakit-sakitan, dan sejak dia dekat dengan Bima. Aku juga jarang memperhatikan dia setelah kita menikah, karena dia juga sibuk sekali di kantor. Aku jadi merasa bersalah, dia sekarang pergi, dan mungkin Sovia merasa sudah tidak ada teman lagi, karena aku sudah mengurus rumah tangga,” ujar Silvi.
“Kalau aku lihat, Sovia memang lebih suka sendiri setelah kita memutuskan menikah. Mungkin juga karena hubungannya dengan Bima di tentang Tante Riri. Memang sih, sulit memaafkan apalagi kejadian itu sangat menyakitkan bagi tante Riri, tapi kan harusnya jangan dendam,” ujar Adam.
“Iya juga sih, Tante Riri sekarang keras sekali hatinya,” ucap Silvi.
“Sudah, sekarang kita terus coba cari informasi soal Sovia, nanti aku akan tanya Arga lagi, aku yakin Arga itu menyembunyikan soal kepergian Sovia. Sebenarnya dia itu tahu, tapi menyembunyikannya,” ujar Adam.
“Iya, papa juga curiga seperti itu, Mas. Papa curiga kalau Arga itu tahu soal kepergian Sovia,” ucap Silvi.
Silvi tetap akan mencari sahabatnya itu. Dia juga merasa bersalah, karena selama menikah dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Sovia juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya, itu yang membuat mereka sedikit menjauh, tidak dakat seperti dulu lagi.
^^^
Bima sudah sampai di rumahnya. Dia langsung menemui mamanya yang masih mengobrol dengan omanya.
“Kamu kok sebentar, Bim? Katanya mau nonton konser musik?” tanya Riri.
“Tidak jadi, Ma. Ratna telfon, katanya Farrel rewel, jadi kita tidak jadi nonton konser musik,” jawab Bagas menutupinya.
“Oh, seperti itu?” ucap Riri.
“Kamu sudah makan, Bim? Jangan telat makan, kamu belum makan malam,” ujar Alex.
“Sudah, Yah. Tadi makan di luar sama Bagas, baru saja makan, Ratna telfon,” jawab Bima.
“Gimana, Bim? Kamu katanya opa tertarik bisnis kuliner? Jadi mau buka Restoran?” tanya Alex.
“Kamu mendukung, Yah?” tanya Riri.
“Apa pun itu, kalau masalah bisnis ayah pasti mendukung,” jawab Akex.
“Ayah yakin mendukung Bima untuk membuka Bisnis Kuliner di Jogja?” tanya Bima dengan raut wajah yang bahagia.
“Jelas setuju, dong ... Eyang juga di sana ada resort di dekat pantai. Di sana memang bagus kalau buat bisnis kuliner. Ayah yakin pasti bisnis kuliner kamu maju,” ujar Alex.
“Makasih, ternyata ayah mendukung,” ucap Bima. “Ma, masa mama enggak setuju? Ayah saja udah ACC nih? Boleh ya, Ma?” rayu Bima pada mamanya.
“Ya, mama memperbolehkan, tapi kamu harus sering-sering pulang ke sini, jangan di sana terus, mama nanti kangen sama kamu,” ucap Riri.
“Siap, Ma. Tenang saja, Bima pasti sering pulang kok, kan kantor juga Bima masih ikut tanggung jawab, Ma. Makasih ya, Ma?” Bima memeluk mamanya dan menciumi pipinya.
“Iya, iya ... senang kan, mama merestui? Kalau masalah ini mama merestui, kalau Sovia, mama tidak akan pernah merestuinya. Sampai mati pun mama tidak akan merestui!” ucap Riri dengan raut wajah kebenciannya terhadap Sovia.
“Mama mulai lagi bahas Sovia. Bima sudah diam, Bima sudah lupa, mama malah membahas Sovia. Sebenci itu mama dengan Sovia? Bima tidak dengan Sovia lagi, Ma. Dia juga sudah pergi,” ucap Bima.
“Iya, Ri, sudah dong jangan bahas Sovia, lagian Sovia sudah pergi, Bima pun tidak lagi menemuinya,” ujar Bu Kasih.
“Ma, jangan seperti itu. Ayah kan bilang, sudah jangan bahas Sovia. Lama-lama mama nanti darah tinggi kalau gitu,” ujar Alex.
“Sakit itu gak enak, Ma. Sudah ya, Ma, jangan seperti itu. Bagas pamit pulang dulu, ya? Kasihan Farrel katanya dari tadi cari Bagas,” pamit Bagas.
Bagas pulang ke rumahnya. Setelag kepulangan Bagas, Pak Indra membahas soal bisnis kuliner yang akan Bima buka di Jogja. Sebenarnya Alex menyetujuinya karena dia ingin Bima menemukan Sovia yang mungki ada di Jogja. Alex yakin kalau Sovia di Jogja, karena memang saudara Sovia sekarang hanya ada di Jogja saja, yaitu eyangnya dan bibinya. Jadi, kemungkinan besar Sovia berada di sana.
^^^
Malam semakin larut, Bima masih duduk di teras belakang yang menghadap ke arah kamar ayah dan mamanya. Bima menikmati secangkir teh hijau yang ia buat tadi untuk menemani dirinya yang belum juga kunjung mengantuk.
Alex melihat Bima dari depan teras kamarnya. Akex mendekati Bima yang sedang duduk sendirian di kursi.
“Kamu belum tidur, Bim?” tanya Alex sambil duduk di kursi yang berada di sebelah Bima.
“Belum ngantuk, Yah. Ayah kok belum tidur? Mama sudah tidur?” tanya Bima.
“Mama sudah tidur dari tadi. Ayah baru saja menyelesaikan pekerjaan ayah,” jawab Alex.
“Yah, lusa Bima ke Jogja, ya? Bima titip kantor sementara. Bima ingin mengembangkan bisnis baru Bima dulu,” ucap Bima.
“Iya, pergilah, ayah tahu kamu juga butuh ketenangan untuk hatimu. Ayah sebenarnya ingin menyampaikan ini. Ini soal Sovia,” ucap Alex.
“Sovia? Kenapa Sovia? Ayah tahu di mana dia sekarang?” tanya Bima.
“Ayah tidak tahu, tapi kemungkinan Sovia itu pergi ke tempat kelahiran ayahnya. Di Jogja. Itu mengapa ayah sangat mendukung kamu membuka bisnis kuliner di sana. Mungkin kamu bisa menemukan Sovia,” jelas Alex.
“Yah, ayah sebenarnya setuju tidak dengan hubungan Bima dan Sovia?” tanya Bima.
“Bim, ayah pernah merasakan cinta ayah tidak disetujui mama dan papanya ayah. Ayah di jodohkan, dan ayah tahu rasanya hidup dengan seseorang yang tidak ayah cintai. Kamu jangan sampai seperti ayah. Sebisa mungkin, ayah akan membantu membujuk mama kamu, kamu fokus dengan bisnis baru kamu itu, dan setelah itu, cari Sovia. Ayah yakin Sovia ada di Jogja. Dia hanya memiliki eyang yang tinggal di sana. Nanti ayah kasih alamatnya, ayah pernah ke sana dengan ayahnya Sovia, saat membangun rumah ini, ayah sempat di ajak ayahnya Sovia ke sana, untuk melihat desain rumah yang ada di sana,” jelas Alex.
“Terima kasih, ayah sudah mengerti aku. Tadi Silvi juga bilang, kalau kemungkinan Sovia ada di Jogja, karena Sovia hanya memiliki saudara di sana saja. Tapi, Silvi tidak tahu alamatnya, karena dia belum pernah di ajak Sovia ke sana,” ucap Bima.
“Memang Sovia tidak pernah ke sana. Mas Arfan juga tidak pernah mengajak Dilla ke sana, karena saat dulu Mas Arfan memiliki konflik dengan ayahnya, yaitu eyang kakungnya Sovia. Eyang kakungnya menceraikan eyang putrinya Sovia, jadi Mas Arfan kecewa dengan ayahnya, dan tidak pernah menghiraukan ayahnya. Setelah ibunya Mas Arfan meninggal, barulah Mas Arfan ke sana, melihat keadaan ayahnya, dan itu dengan ayah ke sananya,” jelas Alex.
“Jadi ceritanya seperti itu? Ayah yakin Sovia ada di sana?” tanya Bima.
“Yakin, sembilan puluh sembilan persen ayah yakin kalau Sovia ada di Jogja. Pokoknya selesaikan dulu bisnismu di sana, nanti ayah kasih tahu alamat Sovia. Selamat berjuang, ayah di sini hanya mendoakan yang terbaik untuk kamu, dan ayah akan terus membujuk mamamu,” ucap Alex.
“Ayah kok tidak menyuruh aku dengan Alesha? Padahal Alesha kan anak rekan kerja ayah. Dan, ayah sangat akrab dengan papanya Alesha?” tanya Bima.
“Alesha? Ayah saja tidak suka dengan sifat kekanak-kanakannya, masa dia harus menikah dengan kamu? Ayah sebenarnya tidak setuju, sih. Tapi, kamu tahu mamamu, kan? Seperti apa mamamu, beliau ingin sekali kamu dengan Alesha. Dia wanita manja, gak cocok dengan kamu,” jawab Alex.
“Ayah bisa saja. Memang dia seperti anak PAUD sih? Lucu kadang aku lihatnya. Gemes pengin nyubit sampai nangis. Malah dewasa Aina, Yah. Aina yang manja juga sekarang dewasa sekali,” ujar Bima.
“Nah itu yang ayah herankan, Aina saja sekarang dewasa sekali dia,” ujar Alex.
“Sudah sana tidur, kamu besok ada meeting, kan?” ucap Alex.
“Iya, ini Bima mau tidur, besok pagi-pagi juga harus antar Aina ke kampus. Dia masuk pagi katanya,” jawab Bima.
Setelah mengobrol cukup lama dengan Bima, Alex kembali ke kamarnya. Hanya itu yang bisa Alex bantu pada Bima, dia ingin Bima tidak bernasib seperti dirinya, yang menikah dengan wanita pilihan mamanya.