Alex melihat istrinya yang sudah tertidur pulas. Alex tidak menyangka istrinya bisa sedendam itu dengan Sovia, hingga setiap hari Riri mengingatkan Bima untuk tidak dekat dengan Sovia.
“Ma, kamu harusnya tidak seperti ini. Kasihan Bima kalau kamu terus egois seperti ini, Ma. Bima sudah butuh pendamping hidup, Ma. Mama jangan memaksa Bima untuk menikah dengan wanita pilihan mama. Aku pun tidak setuju kalau Bima dengan Alesha. Kamu belum tahu, Ma, rasanya hidup dengan wanita yang tidak dicintai,” ucap Alex lirih dengan mengusap kepala istrinya.
Alex sudah sering membujuk istrinya supaya melupakan kejadian dulu yang sudah terjadi. Memang memaafkan itu mudah, tapi bekas luka yang sudah Reza dan Dilla torehkan di hati Riri membuat Riri menyimpan benci dan dendam hingga sekarang.
^^^
Pagi harinya, Bima sudah siap untuk ke kantor. Dia juga harus menyiapkan semua keperluan untuk ke Jogja. Sebab itu, dia mau menyerahkan semua pekerjaannya pada Bagas. Dia akan meminta Bagas sementar mengurus perusahaannya.
“Pagi, Bim ...,” sapa Alesha.
“Pagi, mana dokumen yang aku minta tadi? Kamu sudah baca pesan dari saya, kan?” tanya Bima.
“Ketus banget pagi-pagi,” ucap Alesha dengan mengerucutkan bibirnya.
“Kenapa kalau ketus? Mana bawa sini dokumennya,” ucap Bima.
Alesha mengambil beberapa dokumen yang Bima minta. Alesha berdiri di sebelah Bima setelah memberikan semua dokumen pada Bima, dan melihat Bima meneliti dokumennya.
“Kamu bisa kerja, gak? Ngerjain gini saja banyak salahnya! Aku bayar mahal kamu untuk kerja yang profesional, Nona. Kerja bukan untuk mendekatiku saja. Ingat itu! Perbaiki ini semua, aku tunggu tiga puluh menit dari sekarang!” tegas Bima.
“Bim, masa ini salah?” tanya Alesha.
“Teliti lagi, jangan banyak bicara, jangan manja!” tegas Bima lagi sambil meninggalkan Alesha ke ruang kerjanya.
Bima masuk dengan tersenyum puas karena mengerjai Alesha. Sebenarnya hanya salah sedikit pekerjaan Alesha, tapi Bima sengaja menegurnya dengan sedikit keras. Orang seperti Alesha memang harus di gertak, supaya tidak manja dan bisa berubah sifatnya menjadi lebih dewasa.
“Kamu itu lucu, Alesha. Apa-apa kamu hadapi dengan manyun, terlalu manja sekali. Biarlah, sekali-kali aku kasih pelajaran dia,” ucap Bima dengan tersenyum.
Bima duduk menghadap laptopnya yang baru saja ia nyalakan. Dia melihat layar laptopnya yang menampakkan foto dirinya bersama Sovia. Meski mamanya selalu marah jika melihat foto Sovia, tapi Bima tidak pernah berubah, dia selalu memasang foto kekasih hatinya itu di laptop, ponsel, bahkan di meja kerjanya dia pasang foto Sovia.
Bima tersenyum mengingat semua kenangan bersama Sovia. Sampai hari ini Sovia juga belum bisa di hubungi. Bima terus menghubungi Sovia meski nomornya tidak aktif.
“Bim, pagi-pagi jangan ngelamun.” Bagas masuk ke dalam ruangan Bima.
“Siapa yang melamun, aku lagi senang saja hari ini, bisa ngerjain Alesha. Kamu nanti tegasi dia, ya? Biar dia bisa dewasa, dan kerja tidak seenaknya sendiri,” ucap Bima.
“Kamu ngerjain Alesha gimana?” tanya Bagas.
“Tadi dokumen yang sudah ia kerjakan ada kesalahan sedikit, aku suruh dia perbaiki semua dan mencari di mana kesalahannya. Biarin saja, biar dia lebih bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya,” jawab Bima.
“Kamu ada-ada saja, Bim. Oh iya, kamu besok jadi ke Jogja?” tanya Bagas.
“Iya, aku titip kantor selama aku di Jogja. Aku akan sering pulang kok, kamu pasti bisa mengurus ini semua, Gas. Kamu harus percaya diri, ini juga perusahaan kamu. Aku ingin mencoba bisnis baruku di sana,” jawab Bima.
“Aku jadi harus belajar banyak dengan kamu, Bim. Ya meski aku keberatan kamu mau ke Jogja dan mengurus bisnis baru kamu di sana, tapi aku harus rela kamu ke sana. Aku tahu, kamu juga butuh ketenangan, dan mungkin di sana kamu akan mendapat ketenangan hati,” ucap Bagas.
“Apa? Kamu mau ke Jogja, Bim? Kok gitu? Lalu kantor bagaimana? Aku bagaimana?” Alesha langsung nyelonong masuk dan mendekati Bima, dia juga langsung bergelayut manja pada Bima.
“Kenapa, Masalah? Lagian apa urusan aku dengan kamu? Kamu di sini ada Bagas. Jangan gini, mana pekerjaan yang tadi? Sudah selesai?” ucap Bima dengan menepiskan tangan Alesha yang menggelayuti dirinya dengan manja.
“Bim, jangan pergi ... aku gimana?” pinta Alesha.
“Kamu gimana? Ya gak gimana-mana, lah! Memang kenapa kalau aku pergi? Apa urusanku juga? Kamu di sini kerja, kan? Kita hanya sebatas atasan dan bawahan saja, Alesha. Ada Bagas yang akan mengurus semua, jadi kamu siap-siap saja mentalnya untuk kerja dengan Bagas,” ucap Bima.
“Aku ikut kamu ke Jogja, Bim. Aku mau ikut ... aku mau kerja sama kamu saja, jadi apa kek di sana,” pinta Alesha.
“Kamu kerja gini saja gak becus! Mau jadi juru masak di warteg yang akan aku buka?” ucap Bima.
“Warteg? Kamu mau buka Warteg di sana? Aneh kamu, Bim, punya perusahaan malah mau buka Warteg!” tukas Alesha dengan kesal.
“Yang penting kan usaha. Belajar masak dulu kalau mau ikut aku kerja di sana. Aku tidak butuh sekretaris, aku butuh tukang masak! Yang andal, yang masakannya enak. Dan, sepertinya kamu tidak cocok, karena kamu pasti enggak bisa,” ucap Bima dengan tersenyum mengejek Alesha.
Bagas terkekeh melihat ekspresi wajah Alesha yang kesal dengan Bima. Cairan bening mengalir di pipi Alesha, entah apa yang Alesha rasakan sekarang, dia hatinya sakit Bima berkata seperti itu.
“Bim, jangan pergi, Please ...,” pinta Alesha dengan memohon pada Bima.
“Aku mau mendirikan bisnis baru, Alesha. Ini perusahaan itu milik Bagas, bukan aku. Aku dari dulu sudah ingin sekali buka bisnis kuliner, dan di Jogja aku mau memulai bisnis baruku. Kamu di sini saja, lagian untuk apa kamu ikut aku, percuma, enggak bisa masak,” ucap Bima.
“Bim, aku memang tidak bisa masak, masa gak ada kerjaan lain? Misal jadi pelayan atau apa?” ucap Alesha.
“Emm ... gimana kalau tukang cuci piring?” seloroh Bagas.
“Cocok itu, Gas!” jawab Bima dengan terkekeh.
“Kalian jahat sekali malah ngetawain aku,” ucap Alesha dengan menyeka air matanya.
“Lagian kamu itu lucu, ke mana Bima pergi masa kamu harus ikut?” ujar Bagas.
“Bima, aku ikut, ya? Please ...,” pinta Alesha.
“Enggak mau! Aku enggak mau jadi baby sitter kamu!” tegas Bima.
“Sudah sana keluar, ini sudah benar, kan? Enggak ada yang salah lagi, jangan ganggu aku, aku mau kerja, karena ini hari terakhirku di sini,” ujar Bima.
“Bim ... kamu jahat sekali,” ucap Alesha.
“Sudah tahu jahat dekat-dekat mulu!” tukas Bima.
Alesha langsung keluar karena sedikit tersinggung dengan ucapan Bima. Memang Alesha sangat mencintai Bima sejak dia kuliah bersama. Alesha semakin yakin kalau dirinya bisa dekat dengan Bima, karena papanya rekan kerja ayahnya Bima. Apalagi dia mendapat lampu hijau dari mamanya Bima.
“Pasti ada sesuatu kenapa Bima mau ke Jogja. Pasti karena Sovia sekarang ada di Jogja. Aku harus bilang Tante Riri, ini tidak boleh terjadi, Bima tidak boleh ke Jogja, aku yakin dia ke sana akan menemui Sovia,” gumam Alesha.
Alesha mengambil ponselnya dan langsung menghubungi mamanya Bima. Dia ingin bertanya apa benar Bima akan ke Jogja untuk membuka bisnis kuliner di sana bukan untuk menemui Sovia? Alesha masih penasaran soal rencana kepergian Bima ke Jogja.
“Hallo, Ada apa, Alesha?”
“Tante ....” Alesha menjawabnya dengan menangis dan sesegukan.
“Kamu nangis kenapa, Alesha?”
“Tante, benar Bima besok mau ke Jogja?”
“Iya, dia mau mulai bisnis barunya di sana. Ya, memang dia dari dulu ingin membuka bisnis kuliner, dan sekarang tante baru mengizinkannya. Biar dia cari pengalaman yang lain.”
“Jadi tante ngizinin?”
“Ya, sebenarnya sih tidak. Tapi, Bimanya mau, mau bagaimana lagi, Al?”
“Tidak untuk menemui Sovia di sana, kan?”
“Kamu ada-ada saja. Masa mau menemui Sovia? Bima saja tidak tahu di mana Sovia berada.”
“Aku ingin ikut Bima, Tante.”
“Nak, kalau ikut kamu mau tinggal dengan siapa? Bima akan sering pulang ke sini, kamu jangan khawatir. Bima di sana mau mengembangkan bisnisnya, bukan menemui Sovia atau lainnya. Kamu di sini saja, Oke.”
“Tante, aku tidak bisa enggak ada Bima di sini.”
“Alesha, kamu harus hargai keputusan Bima, oke ....”
Alesha mengakhiri panggilannya dengan mamanya Bima. Alesha masih tidak percaya kalau mamanya Bima mengizinkan Bima ke Jogja dan memulai bisnis di sana. Dia mengira Bima akan menemui Sovia di sana, tapi ternyata mamanya Bima malah mengizinkan Bima ke Jogja.
“Oke, aku relakan kamu ke Jogja, suatu hari nanti aku akan susul kamu ke sana, Bima. Sabar, Alesha ... kamu pasti mendapatkan cintanya Bima,” gumam Alesha.
^^^^^
Setiap hari Sovia menikmati harinya dengan hati yang selalu hampa. Beruntung setiap harinya dia bisa bermain dengan anak-anak panti, yang bisa mengisi ruang hampa di hatinya. Yang membuat dia bahagia juga karena dia bisa mengadopsi Aksa, karena ketua panti mengizinkan Sovia mengadopsi Aksa. Bayi mungil yang tampan, yang di tinggal orang tuanya di depan panti beberapa bulan yang lalu.
Dua bulan berlalu dengan cepat, namun Sovia merasa itu lama sekali. Dua bulan bagai dua tahun menurut Sovia, karena dia melalui harinya dengan penuh kehampaan.
Sovia sedang menggendong Aksa yang baru saja ia mandikan. Mainan baru Sovia. Ya, semenjak ada Aksa, Sovia jadi bisa melupakan sakit hatinya karena cintanya tidak direstui.
“Anak mama sudah cakep, kita jalan-jalan, ya? Cari susunya Aksa,” ucap Sovia dengan menggendong Aksa.
Sovia pagi ini berniat ke supermarket terdekat untuk membeli s**u untuk Aksa. Dia memang sering pergi berdua dengan Aksa ke supermarket, tapi kali ini dia akan diantar Arga. Sudah dua hari Arga di Jogja, karena ada urusan kantor dengan Sovia.
“Sudah siap?” tanya Arga.
“Sudah, aku minta tolong gendongin Aksa dulu, aku mau ambil tasku di dalam,” jawab Sovia.
“Sini ikut om.” Arga mengambil Aksa dari gendongan Sovia.
Sovia masuk ke dalam, dia mengambil tas dan ponselnya. Arga sebenarnya sangat mencintai Sovia, tapi tidak mungkin bagi Arga untuk memiliki Sovia. Dengan keadaan seperti sekarang ini pun Arga sudah senang, karena bisa dekat dengan Sovia meski berjauhan, apalagi hanya Arga yang tahu keberadaan Sovia sekarang.
“Ayo berangkat,” ajak Sovia. Sovia langsung mengambil Aksa dari gendongan Arga.
Sovia pamit dengan eyangnya untuk pergi ke supermarket dengan Arga dan Aksa. Sovia duduk di sebelah Arga yang sedang mengemudikan mobilnya. Suasananya hening, tidak ada percakapan sama sekali di antara mereka.
“Sov?” panggil Arga.
“Iya, ada apa?” tanya Sovia.
“Gimana, kamu sudah tenang hatinya?” tanya Arga.
“Ya seperti ini, Ga. Aku sekarang lebih fokus mengurus Aksa dan toko bungaku,” jawab Sovia.
“Kapan pulang ke Surabaya?” tanya Arga.
“Aku kan bilang, aku tidak akan pulang ke Surabaya, Arga,” jawab Sovia.
“Ternyata kamu tidak bercanda soal ini, Sov,” ucap Arga.
“Aku memang tidak pernah bercanda, Ga. Aku memang akan menetap di sini dengan eyang. Kasihan eyang sendirian, bibi dan paman juga sibuk dengan pekerjaannya,” ucap Sovia.
Sovia sekarang memiliki kegiatan baru selain ikut mengurus panti asuhan milik bibinya. Dia sekarang membuka toko bungan dan kue di dekat rumah eyangnya. Itu untuk kegiatan sehari-harinya, agar bisa sedikit demi sedikit melupakan beban hidupnya. Bukan untuk melupakan Bima, karena sampai kapan pun dia tidak akan pernah melupakan Bima. Bima adalah laki-laki yang sangat ia cintai, meski tak bisa memilikinya.
“Bima?” ucap Sovia lirih tapi masih terdengar oleh Arga.
“Siapa, Bima?” tanya Arga.
“Eng—enggak, Ga. Gak ada apa-apa,” jawab Sovia.
Sovia sepintas melihat Bima di depan restoran, tapi mungkin saja Sovia salah melihat, hanya seseorang yang mirip dengan Bima.
“Bim, apa kamu di sini? Bima, apa itu tadi kamu. d**a ini, bergemuruh saat melihat atau dekat kamu, Bim. Seperti saat ini, apa benar itu kamu, Bim? Aku sangat merindukan kamu,” gumam Sovia.
Sovia merasakan sesak di dadanya. Dia sangat merindukan Bima, tapi apalah daya, dia ingin menghindari Bima, itu semua karena mamanya Bima yang menyuruh dirinya menjauh dari Bima.
^^^
Bima melajukan mobilnya menuju ke sebuah supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-harinya. Dua bulan ini, dia hidup sendiri di Jogja, mengurus apa-apa sendirian, jadi setiap bulan dia harus belanja bulanan kebutuhan untuk dirinya.
Bima sampai di depan supermarket yang tidak jauh dari restorannya. Dia langsung masuk ke dalam dan mengambil troli untuk belanja.
“Eh kamu lucu sekali, Nak.” Bima melihat anak kecil yang ada di stroller bayi.
Bima hanya mengusap pipinya bayi itu yang chuby saja, dan setelah itu dia langsung meninggalkannya lalu memilih belanjaannya lagi. Setelah dirasa semua kebutuhannya sudah ia ambil, dia langsung membawa belanjaannya ke kasir.
Saat sedang mengantre di kasir, tidak sengaja Bima melihat ke arah pintu utama. Dia melihat seorang wanita yang mirip dengan Sovia.
“Sovia? Itu Sovia?” ucap Bima lirih.
“Enggak, itu bukan Sovia. Masa dia bawa anak bayi?” gumam Bima.
Bima melupakan wanita itu, tapi dadanya masih saja bergemuruh, dan menebak kalau itu benar Sovia.
“Hati ini tidak pernah salah, aku yakin itu Sovia, tapi kenapa menggendong bayi? Apa benar itu Sovia? Sial masih lama antreannya, enggak mungkin aku tinggal untuk mengejar wanita tadi,” gumam Bima.
Bima yakin itu sovia, karena kata ayahnya Sovia pasti pergi ke Jogja. Keluarga Sovia satu-satunya ada di Jogja, besar kemungkinan itu Sovia, tapi yang Bima tidak percaya, wanita itu menggendong bayi, tidak mungkin dalam waktu dua bulan Sovia punya bayi.