Anggasta Chapter 05

1164 Words
Seperti ada setan yang membisikan di telinga, hanya lima langkah lagi Angga akan sampai di kelasnya, dan ia malah berbelok menuju kantin. Bukan berarti Angga akan meninggalkan pelajaran lagi, ia hanya ingin mengisi perutnya di tempat itu, mungkin dengan sedikit sesuatu yang mengganjal perutnya akan membuat dirinya lebih baik. Cowok itu dengan santainya berjalan berlenggok bak seorang model. Memang kantin dalam keadaan sepi karena jam pelajaran sudah dimulai kembali setelah istirahat lima belas menit. Dan Angga lagi dan lagi mengalami kesialan. Bagaimana tidak? Waktu istirahat yang digunakan hanya untuk tidur di UKS, tempat di sekolah yang paling Angga hindari. Dasar hari paling mengenaskan! Butuh waktu sepuluh menit bagi Angga untuk menghabiskan batagor dipiringnya, lalu setelah tempat makan itu sudah ludes tanpa ada sisa makanan sedikitpun, Angga mengambil jus jeruk dan langsung meneguknya hingga tandas. Tak lama setelahnya, Angga kembali berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua, deretan kelas paling pojok. Mungkin karena itulah kelas yang didudukinya selalu mendapat predikat kelas paling buruk sepanjang masa. Angga tidak tahu ini pelajaran apa. Cowok itu tidak peduli sama sekali, ia tidak pernah membawa buku sesuai mata pelajaran pada hari itu, ia hanya mengambilnya asal. Intinya Angga hanya bawa buku, itu saja. Tak lama kemudian, segala macam doa Angga rapalkan supaya guru yang sekarang berada di kelasnya merupakan guru yang baik. Angga sudah sampai di ambang pintu kelas, sebelumnya ia sudah waspada. Seragamnya sudah dimasukin ke dalam celana, dasi direkatkan kembali di leher, rambutnya ditata agar tidak terlihat berantakan. Setelah merasa penampilannya seperti murid teladan, Angga mulai mengetok pintu seraya mengucapkan salam. Penjuru mata langsung melihat kedatangan Angga, dia langsung bersalaman kepada Bu Ina. "Kamu dari mana, Angga?" tanya guru sejarah indonesia itu dengan lembut. Jika Angga menganggap sejuta kesialan terus menimpanya, ia berarti salah besar. Nyatanya, masih ada nasib baik yang berpihak pada dirinya. Buktinya, doa Angga barusan memang terkabul. Bu Ina, guru baik hati dan tutur katanya selalu lembut kini sedang mengajar di kelas XI IPS 5. Angga sangat senang bukan main untuk sekarang. Bukan berarti Bu Ina akan membiarkan muridnya begitu saja kalau ada yang tidak rapi dalam berpakaian. Beliau juga bisa marah jika ada yang tidak menaati peraturan sekolah. Kita ambil contoh yang paling dekat saja, Angga misalnya. "Saya dari UKS Bu," jawab Angga singkat. "Yaudah duduk," perintah Bu Ina tegas, sepertinya beliau tidak mau berurusan dengan cowok macam ini lagi. Jika guru lain pasti akan mengintrograsi Angga karena terlambat masuk, beda dengan Bu Ina. Beliau tidak mempersulitkan masalah seperti itu. Bu Ina memang terbaik menurut Angga, sekarang cowok itu nyengir seraya berlenggok menuju bangkunya. Angga sangat mengagumi guru sejarah indonesia berhati baik itu. "Ga! Emang lo bener dari UKS?" Kribo menyelidiki, memicingkan satu alisnya, menatap curiga pada Angga. "Nih t*i ayam nggak percayaan amat sama gue, lo curiga kalau gue bohongin tuh guru?" Nada suara Angga sedikit meninggi. Untungnya Bu Ina sedang fokus dengan ponselnya. "Nggak gitu juga kali, gue, kan, cuma tanya doang, kenapa lo ngegas?" Kribo tampak tidak terima dengan itu. "Gue pingsan tadi, gue nggak kuat. Lagian dari tadi pagi gue, kan, emang belum sarapan," ucap Angga jujur. Ia kemudian menyandarkan punggung tegasnya disandarkan kursi. Lalu tak lama setelah itu tangannya meraba meja, mencari buku untuk mengipasi leher dan wajahnya yang sudah memunculkan keringat. "Dasar lemah lo! Badan gede gini bisa pingsan juga, ya? Hahaha ...." Kribo malah terkekeh, hal itu membuat Angga ingin menjambak rambutnya yang gondrong bak sarang burung itu. "Lo tau gue ketemu siapa di sana, Bo?" Angga kini serius menatap Kribo dengan sorot mata nyalang. Tubuhnya memutar seratus delapan puluh derajat. "Bu Beti?" tebak Kribo dan mendapati gelengan kepala dari Angga. "Bu Rosi?" Kribo menebak lagi. Angga masih tetap menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Kribo berdecak kesal sembari mengerucutkan bibirnya ke depan. "Emang siapa?" Angga menghela napas panjang sebelum menjawab. "Cherry anak IPA 1, yang guru suka banding-bandingin gue sama dia. Secara kelakuan gue, kan, bertolak belakang banget sama tuh cewek," ujar Angga kemudian. "Terus?" "Gue dipaksa minum obat, rese banget tuh cewek. Gue, kan, nggak suka obat," lanjutnya, pikirannya menerawang kejadian tadi, sebal rasanya mengingat tentang itu. "Nggak lo doang yang nggak suka sama obat kali, semua orang juga sama. Mana ada orang yang mau sakit!" "Bukan gitu maksud gue kutil, lo tau sendiri lah," pekik Angga, selalu saja gemas sendiri dengan Kribo, cowok gondrong disampingnya ini. "Nah, bener tuh cewek lah. Lo, kan, sakit, nggak salah kalau dia kasih lo obat. Lagian, Cherry, kan, nggak tau kalo lo phobia sama obat," balas Kribo seratus persen tak setuju dengan penuturan Angga. "Lo bela gue atau tuh cewek sih?" Angga mulai sewot, ditatapnya kribo dengan pancaran matanya tajam. "Eh, kenapa yang nolongin lo harus Cherry?" Bukannya menjawab pertanyaannya Angga, Kribo malah mengubah topik pembicaraan. Dasar menyebalkan! "Mana gue tau," jawab Angga jutek. "Lagian dia, kan, cewek PMR, mungkin lagi bertugas di UKS kali. Eh, kenapa jadi bahas dia, sih? Tuh cewek udah bikin gue jelek dimata guru tau, nggak?!" "Emang kelakuan lo b***t dari lahir b**o, bukan salahnya Cherry. Tapi yang salah itu elo!" Kribo menunjuk d**a Angga, didekatkan jarinya di sana. Suara Angga kini terdengar oleh Bu Ina, lantas guru itu menengadah kepalanya menatap ke meja Kribo dan Angga duduki. Mereka tidak tahu bahwa Bu Ina memperhatikan sedari tadi. "Angga, kamu ngapain?" Suara Bu Ina naik satu oktaf. Tutur katanya tidak selembut yang Angga dengar tadi. Cowok itu terpelonjak kaget. Ia kemudian langsung menatap Bu Ina dengan ekspresi datar. Seluruh ekor mata dari semua siswa juga menyoroti wajah Angga. Dasar, emang dia artis? "Eh ... iya Bu?" Angga sedikit gelagapan, ia menatap Bu Ina sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Kamu dengerin Ibu nerangin pelajaran nggak, sih?" omel guru sejarah itu. "Dengerlah Bu, Ibu curigaan mulu sama saya," jawab Angga nyengir tanpa dosa. "Coba Ibu tes." Angga refleks menampar mulutnya sendiri. Mulut bodoh itu sudah mengeluarkan kata seperti itu. Angga mulai panik, panik bukan karena takut di marahi guru itu. Melainkan panik karena Bu Ina akan mengetes materi kepadanya. Ish, nasib berujung kesialan kini hadir kembali. Sungguh, sungguh, sungguh sangat menyebalkan! Mana Angga nggak pernah memasang kuping saat guru menerangkan lagi. Habislah tamat riwayat Angga. Sedetik kemudian ia menghela napas pasrah, ekor matanya dia mengerling ke arah depan. "Coba kamu terangkan sedikit materi tentang pertempuran lima hari di Semarang!" Beliau mulai melancarkan aksinya, berkata dengan lantang, berkacak pinggang, dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Raut wajah Angga sudah pucat pasi, urusan pelajaran memang dia berada diurutan paling bekarang. Tetapi, jika sudah berurusan tentang pelanggaran tata tertib, Angga akan melesat jauh berada pada posisi puncak. Cowok manis itu mulai menggaruk kepalanya. Sesekali ia menyenggol lengan Kribo dengan sikutnya, berharap sahabatnya itu bisa membantu dirinya. Namun nahas, Kribo juga tidak tahu. Bu Ina memperlakuan Angga sangat tidak adil. Padahal di sini Angga juga tidak salah sendiri, Kribo juga bersalah. Mungkin rambut gimbal Kribo membawa keberuntungan besar. "Nggak bisa Bu, saya lupa. Hehehe," jawab Angga seraya nyengir menunjukkan sederet gigi putihnya yang tertata rapi. Bersamaan dengan itu, ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak merasakan gatal. "ANGGA!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD