Bagian 9
Kirana memesan semangkuk mie rebus kepada sang penjaga kantin. Sambil menunggu, gadis cantik yang berprofesi sebagai guru honorer itu membuka sosial media dan berselancar di dunia Maya. Aplikasi berwarna hijau bergambar telepon adalah yang pertama dia buka. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah tidak asing lagi berhasil mengukir senyum manis di bibir mungilnya.
"Assalamualaikum, Dek. Hari ini Abang pulang dan insyaallah nanti malam Abang mau main ke rumah. Ada sedikit oleh-oleh buat Bapak sama Ibu." Pesan dari Ahmad, lelaki yang merupakan calon suami Kirana.
"Buat Ayah sama Ibu doang, Bang? Buatku enggak ada?" balas Kirana, pura-pura kesal padahal sebenarnya tidak.
Pesan yang ditulis Kirana langsung berubah garis biru centang dua dan beberapa detik berselang, balasan pesan dari Ahmad pun masuk lagi ke ponselnya.
"Sekalian buat kamu juga. Jangan ngambek gitu, ah! Oh ya, Adek lagi ngapain? Lagi istirahat ya?"
"Iya, Bang, ini lagi nunggu pesanan di kantin."
"Yaudah, silakan dilanjut ya. Abang juga mau ke toko dulu. Assalamualaikum."
"Iya, Bang, waalaikumsalam."
Ahmad adalah seorang pengusaha toko material. Lelaki itu sudah mapan dari segi umur dan juga pekerjaan. Bahkan Ahmad sudah siap menghalalkan Kirana kapanpun Kirana mau. Namun, justru Kirana yang belum siap. Kirana selalu mengatakan kepada Ahmad bahwa dirinya tidak akan menikah sebelum berhasil membahagiakan Ayah dan ibunya. Keinginan terbesar Kirana adalah ingin memberikan kebahagiaan yang layak untuk orang tuanya serta ingin memberangkatkan kedua orang tuanya ke tanah suci. Jika kedua hal itu belum tercapai, maka Kirana belum bersedia untuk menikah.
"Bu Kirana, ini pesanannya. Seperti biasa, mie rebus tanpa telur," ucap penjaga kantin sambil meletakkan semangkuk mie yang masih mengepulkan asap tersebut di atas meja.
Penjaga kantin sudah hapal dengan selera Kirana. Jika memesan mie, Kirana tidak pernah pakai telur karena harganya pasti akan lebih mahal. Kirana selalu berhemat karena dia selalu memikirkan hari esok. Asalkan perutnya kenyang saja sudah cukup bagi Kirana.
"Makasih ya, Bu," balas Kirana sambil menyunggingkan senyum manis kepada sang penjaga kantin.
"Tumben kamu makan mie? Biasanya 'kan bawa bakal?" tanya Hamidah yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
"Eh, Midah," sapa Kirana.
"Iya nih, aku enggak bawa bekal."
"Aku boleh gabung dengan kamu?"
Kening Kirana tiba-tiba mengernyit mendengar pertanyaan dari rekan sekaligus sahabatnya tersebut.
"Kok' kamu bertanya seperti itu?"
"Barangkali aja kamu masih marah sama aku, Kirana."
"Marah karena apa? Aku enggak punya alasan buat marah sama kamu, Midah."
Hamidah menghela napas sejenak, "Soal kemarin, maafin aku yah. Aku udah ngeraguin kamu. Maaf, aku sempat cerita ke Bang Ahmad dan Bang Ahmad udah menceritakan semua tentang masa lalumu kepadaku."
Awalnya, Hamidah berpikir jika Ahmad yang merupakan sepupunya itu belum mengetahui masalalu Kirana. Hamidah tidak rela jika sepupunya itu nantinya memiliki istri yang tidak benar. Namun, ternyata dia keliru. Justru Ahmad sudah mengetahui semuanya dan Ahmad sempat menasehati Hamidah agar jangan mudah mempercayai fitnah.
"Aku juga merasa bersalah karena enggak ngajakin kamu pulang bareng kemarin."
"Enggak apa-apa, Midah. Aku udah maafin kamu, kok. Engggk usah dibahas soal itu lagi ya. Btw, kukira kamu izin loh hari ini, soalnya dari tadi aku enggak liat kamu. Sampai selesai tausiyah juga batang hidungmu belum juga keliatan."
"Aku telat bangun. Tadi aku sampai pas semua orang udah bubar dari lapangan. Bu kepsek tadi sempat ngomel sih, untungnya jam pelajaran pertama belum dimulai, jadi masih aman. Hehehe."
"Huh! Kebiasaan! Lain kali pasang alarm terus volumenya dikuatin."
"Iya, iya, Bu guru bawel!" Lalu, Hamidah pun memesan semangkuk mie rebus kepada sang penjaga kantin karena dirinya juga tidak sempatkan membawa bekal makanan.
"Eh Kirana, tumben kamu enggak bawa bekal? Apa kamu kesiangan juga? Pasti kita sama, kan? Kita 'kan bestie." Hamidah rupanya masih penasaran.
"Ya enggaklah. Aku itu enggak kayak kamu. Aku enggak bawa bekal ya karena tempat makanku pecah, dipecahin sama orang itu!"
"Oh, si mak lampir itu, ya? Benar-benar keterlaluan dia. Awas saja kalau dia berani cari gara-gara lagi."
"Enggak usah dibahas lagi. Tuh pesanan kamu dah datang. Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi, loh!" Kirana mengingatkan.
"Iya nih! Mana masih panas lagi!"
Hamidah segera mengambil sendok yang berada di atas meja, lalu menyendok kuah mie dan meniup-niupnya.
Di meja lain, Wahyu sedang menikmati secangkir kopi. Dari tadi dia sudah mengamati Kirana, bahkan dia mendengar apa yang dibicarakan Kirana dan Hamidah. Sebenarnya, Wahyu ingin duduk satu meja dengan Kirana, tetapi karena ada Hamidah, Wahyu mengurungkan niatnya dan memilih meja lain.
"Kasihan Kirana. Lebih baik aku ganti saja tempat makannya. Aku takut Kirana sakit jika terlalu sering makan mie instan. Pasti Kirana senang kalau aku memberi kejutan untuknya," bisik hati Wahyu.
Setelah mendengar obrolan Kirana dan Hamidah tadi, Wahyu jadi kepikiran untuk mengganti tempat makan Kirana.
***
Bel telah berbunyi, menandakan waktunya pulang telah tiba. Semua murid bersorak gembira karena sebentar lagi mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Bukan hanya murid, para guru juga demikian. Semua guru mengucap hamdalah karena tugas mereka hari ini telah selesai.
Setelah berdoa, murid-murid menyalami Kirana, lalu keluar kelas dengan tertib. Sementara sebagian orang tua mereka sudah menunggu di luar pagar. Ada juga murid yang pulang berjalan kaki karena jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh.
Kirana segera menuju musholla untuk menunaikan ibadah sholat dhuhur begitu keluar dari ruangan kelas. Setelah berwudhu, Kirana pun masuk ke musholla.
Demikian halnya dengan Raka dan Wahyu, mereka juga sudah berada di musholla sekolah untuk menunaikan kewajiban. Tak hanya mereka. Guru-guru yang lain juga ikut serta.
Wahyu segera mengambil tempat di shaf paling depan, seperti biasanya. Wahyu memang sering kali menjadi imam sholat ketika para guru melaksanakan sholat berjamaah.
"Pak Wahyu, apa saya boleh menjadi imam sholat kali ini?" tanya Raka, membuat Wahyu yang sudah siap di posisinya memiringkan badannya dan menoleh ke belakang.
"Kamu mau menjadi imam sholat?" Wahyu balik bertanya. Dia kurang yakin dengan permintaan guru baru itu.
"Iya Pak, boleh?" Raka mengulangi pertanyaannya.
"Tentu." Wahyu mundur dan mempersilakan Raka menempati posisi iman.
Setelah para guru mengisi shaf, Raka pun memulai sholat berjamaah dengan melafalkan niat terlebih dahulu, kemudian mengucapakan Allahuakbar, lalu diikuti oleh para jamaah.
Kirana yang berada di shaf perempuan sedikit terkejut mendengar suara sang imam. Biasanya Wahyu yang menjadi imam sholat. Kok' tumben bukan dia? Kirana tahu bahwa itu adalah suara Raka. Dahulu, saat masih di kampung, Raka sering mengumandangkan adzan di Masjid. Dia juga sering menjadi iman sholat ketika imam sholat yang biasa berhalangan hadir. Hal itulah yang dahulu membuat Kirana jatuh cinta kepada Raka, karena Raka adalah lelaki baik dan juga sholeh.
Saat imam membacakan surat alfatihah, Kirana segera beristighfar, lalu melafalkan niat sholat di dalam hati. Selanjutnya, sholat berjamaah berjalan khidmat dan khusyuk sampai imam mengucapakan salam.
Setelah selesai sholat, mereka berdoa masing-masing dan langsung salam-salaman.
Wahyu dan guru-guru lain segera meninggalkan musholla, sedangkan Raka masih berdiam diri di sana. Dia mengambil Alquran dan membacanya.
"Itu suara siapa sih, yang lagi ngajj? Kok' mirip sama suara imam tadi ya? Duh, suaranya merdu bangat lagi! Buat aku kesemsem," puji Hamidah saat melipat mukenanya.
Kirana tak menjawab meskipun dia tahu jawabannya. Dia fokus mendengar suara merdunya Raka yang begitu fasih membaca Al-Qur'an.
Mendengar suara merdunya Raka, membuat Kirana kembali teringat saat dirinya dan juga Raka mengikuti lomba Tilawatil Quran tingkat kabupaten. Raka berhasil meraih peringkat dua se-kabupaten, sedangkan dirinya berhasil meraih juara harapan satu. Alangkah bahagianya Kirana saat itu. Orang-orang juga memuji, mengatakan bahwa mereka pasangan serasi karena sama-sama menjuarai lomba.
"Ah, tidak! Aku tidak boleh mengingat itu lagi. Semuanya sudah berakhir. Berhenti memikirkan dia, Kirana, berhenti!"
Kirana segera keluar dari musholla, dan dia lupa mengajak Hamidah. Dia tidak ingin lagi mendengar suara Raka, karena semakin Kirana mendengarnya, semakin membuatnya merasa tersiksa.
Seibanya di dekat pintu, pandangan Kirana tiba-tiba gelap, lalu gadis itu pun terjatuh dan tak sadarkan diri.
Hamidah yang melihatnya panik dan berteriak meminta tolong. Raka yang sedang membaca Al-Qur'an pun segera menyudahinya dan berlari mendatangi shaf perempuan. Begitu melihat Kirana sudah tak sadarkan diri, Raka pun ikut panik. Dia bingung harus berbuat apa. Mau dibawa ke rumah sakit, tapi mobilnya juga dipakai oleh Widya.
"Kirana, kamu kenapa?" Raka menepuk pelan pipi Kirana untuk membangunkannya. Dia terlihat begitu mengkhawatirkan Kirana.
"Hey, jangan pegang-pegang. Jauhkan tanganmu dari Kirana," ucap Wahyu yang baru saja tiba. Dia tidak suka melihat wanita yang dicintainya dipegang oleh lelaki lain.
"Saya hanya ingin membantunya. Tidak ada niatan lain," jawab Raka dengan ekspresi wajah kesal.
"Kirana kenapa?" tanya Wahyu kepada Hamidah. Dia tidak mempedulikan ucapan Raka.
"Minggir!" Wahyu menjauhkan Raka dari Kirana, lalu lelaki itu pun mengangkat tubuh Kirana dan membawanya ke ruang UKS dengan diikuti oleh Hamidah.
"Kurang asam itu orang! Dia pikir dirinya siapa? Dia tidak tahu aja kalau aku ini adalah mantan kekasihnya Kirana. Lama-lama aku semakin jengkel melihatnya. Belum jadi suaminya Kirana saja sudah merasa punya hak atas diri Kirana. Wahyu sialan!"
Bersambung