Diam-diam Mengagumi

1281 Words
Bagian 8 Raka memasuki ruangan kelas lima dengan perasaan kurang bersemangat. Seharusnya, Raka bersemangat dalam menjalankan tugasnya, mengingat hari ini adalah hari pertama bagi Raka mengajar di sekolah ini. Tetapi karena wajah Kirana selalu terbayang di benaknya, membuat Raka menjadi tidak fokus. "Selamat pagi anak-anak," ucap Raka sambil menghempaskan bobotnya di atas kursi. "Pagi, Pak," jawab murid-murid secara serentak. "Kenalkan, nama saya Raka Hermawan, kalian bisa memanggil saya dengan sebutan Pak Raka. Saya adalah guru baru di sekolah ini, dan saya akan mengajarkan mata pelajaran penjaskes, menggantikan Pak Iyan yang sudah pensiun." Selesai memperkenalkan dirinya, Raka pun mengambil absensi siswa dan memanggil nama mereka satu persatu. Setelahnya, Raka pun memulai pelajaran. "Sebelum memulai pelajaran, Bapak mau bertanya. Olahraga apa yang paling kalian sukai?" "Renang, Pak." "Lari, Pak." "Sepak bola, Pak." "Tennis!" "Bulu tangkis!" "Joget, Pak." Di antara banyaknya jawaban murid-murid, satu jawaban terakhir berhasil membuat Raka dan murid-murid lainnya tertawa. "Joget itu bukan olahraga, Nak, joget itu hiburan," terang Raka. "Sama sajalah, Pak. Kan, badan gerak-gerak juga kalau lagi joget. Sama saja kalau kita sedang berolahraga," sahut murid perempuan berkacamata itu. Merasa jawabannya sudah benar. Raka hanya geleng-geleng kepala menanggapi jawaban muridnya tersebut. "Oh ya anak-anak, hari ini kita belajar sepakbola ya. Siapa yang suka sepakbola?" Semua murid laki-laki tunjuk tangan. Tak terkecuali murid perempuan. Hanya beberapa orang saja yang tidak tunjuk tangan. "Aku tidak suka sepakbola, Pak. Aku sukanya bulutangkis," ucap murid perempuan yang duduk paling belakang. "Enggak apa-apa. Hari ini kita belajar sepakbola dulu. Besok-besok kita belajar Volly, tennis, bulutangkis dan lainnya. Nah, tehnik belajar dengan Bapak beda dengan guru yang sebelumnya. Kalau dengan Bapak, kita belajar teori sambil praktek." "Wah, seru dong kalau sambil praktek." "Iya, pastinya seru dan asyik, Pak." "Sebelum praktek, kita belajar teori dulu, ya. Sejam kita belajar teori, sejam lagi langsung praktek. Sekarang ambil buku tulis sama buku paketnya ya. Kita mulai belajar." Murid-murid terlihat bersemangat. Mereka langsung mengambil apa yang diperintahkan olrh Raka. Setelahnya, Raka pun mulai menjelaskan materi tentang sepakbola. Setelah satu jam, Raka mengajak murid-murid ke lapangan. Murid laki-laki disuruh bermain sepakbola, mempraktekkan materi yang telah dipelajari tadi. Sedangkan murid perempuan menyaksikan teman-teman mereka bermain bola. Raka akan mencari anak-anak yang berpotensi dalam pemain bola untuk dibawa bertanding melawan sekolah lain, karena tidak lama lagi akan diadakan pertandingan antar sekolah. Selama ini, sekolah yang biasa disebut orang-orang sebagai sekolah tertinggal ini tidak pernah ikut berpartisipasi dalam pertandingan apapun. Maka dari itu, Raka ingin membuat sekolah ini maju dan terkenal. Sebelumya, Raka sudah meminta izin kepada kepala sekolah dan kepala sekolah telah memberikan izin. Murid-murid bermain dengan riang. Selama dua puluh menit permainan, Raka belum juga menemukan bibit-bibit pemain yang ia cari. Tapi Raka tetap sabar. Dia terus saja menyemangati murid-muridnya agar mereka mengeluarkan kemampuannya. Saat sedang asyik menonton murid-muridnya, tiba-tiba mata Raka menangkap sosok Kirana yang keluar dari ruangan kelas dua. Seketika, fokus Raka teralihkan. Ia terus saja menatap Kirana yang berjalan menuju ruangan tata usaha. Bahkan panggilan dari muridnya tak lagi dia dengar karena fokus pada Kirana. "Kenapa Kirana ke ruangan tata usaha, Ya? Ada apa?" Batin Raka bertanya-tanya. "Eh, ada apa denganku? Ngapain juga aku harus mikirin Kirana! Ah, sepertinya otakku sudah mulai eror." Tak lama kemudian, Kirana keluar dari ruangan tata usaha sambil membawa penghapus di tangannya. Melihat itu, Raka segera menyuruh murid-muridnya untuk melempar bola ke arahnya. Raka ingin menunjukkan kehebatannya bermain bola kepada Kirana. Satu tendangan dari Raka berhasil membuat bola masuk gawang. Murid-murid bertepuk tangan dan bersorak gol. Mereka memuji kehebatan guru barunya tersebut. Membuat Raka merasa besar kepala. Raka mengira jika Kirana akan kagum dan memujinya, sayangnya orang yang dituju malah menghilang. Ternyata Kirana sudah kembali ke ruangan kelas. "Astaga! Ternyata dia tidak melirikku sedikitpun!" Raka kesal. Ia keluar dari lapangan, lalu duduk di pinggir sambil mengacak rambutnya. "Ah, akunya aja yang bodoh! Ngapain juga aku berusaha menarik perhatian si gadis kotor itu? Stop, Raka! Berhenti memikirkan gadis itu. Dia itu wanita tidak benar. Tak pantas buatmu. Kamu sudah punya Widya dan kamu tidak usah melirik wanita lain!" Raka merutuki dirinya sendiri. Sementara itu di ruangan kelas dua, Kirana mengajar dengan fokus. Urusan pribadi dan masalah lainnya dia kesampingkan dulu. dia berusaha totalitas dalam menjalankan tugas mulianya. Hari ini Kirana mengajarkan materi tentang gerakan-gerakan sholat. Di jam pelajaran pertama tadi, Kirana sudah mengajarkan materinya dan di jam pelajaran kedua ini saatnya praktek. Kebetulan waktu sholat Dhuha sudah tiba. Kirana pun manfaatkan kesempatan tersebut. Selain mengajarkan gerakan-gerakannya sholat, Kirana juga bisa sekalian mengerjakan sholat Dhuha nantinya. Kirana membawa murid-muridnya menuju musholla yang terletak di seberang kantor guru. Sebelumnya, Kirana memang sudah menyuruh murid-muridnya untuk membawa perlengkapan sholat. Syukurnya, murid-muridnya mendengarkan dan mematuhi perintah Kirana. Kirana dan murid-murid melewati lapangan dan Raka langsung melihat ke arah Kirana. Pandangan mereka sejenak bertemu, tapi detik kemudian Kirana langsung mengalihkan pandangannya. "Bu Kirana sama adik-adik mau ke mana?" tanya seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas lima. Teman-temannya sedang sibuk bermain sepakbola. Sambil menunggu, ia pun duduk di pinggir lapangan karena lelah berdiri dari tadi. "Ibu sama adik-adik mau ke musholla, Nak. Adik-adik mau belajar gerakan sholat sekalian sholat Dhuha," jawab Kirana dengan ramah. "Giliran kelas kami kapan, Bu?" "Nisa lupa? Jadwal sholat Dhuha kelas lima 'kan setiap hari Senin. Sekarang jadwalnya kelas dua dulu, ya." "Iya, Bu. Hihi, aku lupa!" "Kalau begitu Ibu dan adik-adik permisi dulu, ya." "Baik, Bu." Kirana dan murid-murid segera menuju musholla. Sebelum melaksanakan praktek gerakan sholat, Kirana menyuruh murid-muridnya untuk berwudhu terlebih dahulu. Baru setelah itu, mulai mengajarkan gerakan sholat dan lanjut mengajak murid-murid menunaikan sholat Dhuha. Diam-diam, Raka mengintip dari balik kaca jendela musholla. Ia terus saja mengamati gadis yang sedang menunaikan ibadah sholat Sunnah yang dulunya pernah mengisi hatinya itu. Raka bingung antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang disaksikannya. Tadi, Kirana menyampaikan tausiyah. Sekarang, Kirana malah melaksanakan sholat Dhuha. Raka kembali teringat pada tragedi saat Kirana beserta keluarganya hendak dibakar warga. Saat Kirana tertangkap basah sedang berbuat asusila di rumahnya sendiri. Tiba-tiba, Raka mulai meragukan kebenaran fakta yang dia lihat saat itu. Batinnya bergolak antara yakin dan tidak. "Kirana tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Aku sudah lama mengenal Kirana dan selama mengenalnya, dia tidak pernah berbuat yang macam-macam. Pasti ada yang salah! Tetapi, fakta yang ada juga tidak bisa dibantah. Bagiamana ini? Apa aku harus menanyakan kebenarannya langsung kepada Kirana? Pasti dia akan mengelak jika ditanya. Tapi, aku sungguh penasaran dan tidak akan bisa tenang sebelum mendengar penjelasan dari Kirana." "Pak Raka, ngapain anda di sini?" Sebuah tepukan di pundaknya berhasil menarik Raka dari lamunannya. "Eh, Pak Wahyu," sapa Raka berbasa-basi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukankah anda sedang mengajari murid-murid kelas lima bermain sepakbola? Lapangannya di sana, bukan di sini. Ini musholla," tegas Wahyu. "Saya tahu," sahut Raka kesal. Raka berniat meninggalkan Wahyu, tetapi Wahyu mencegahnya. "Saya tahu bahwa anda memperhatikan Bu Kirana dari tadi." Raka terdiam karena apa yang dikatakan Wahyu itu benar adanya. "Saya tidak akan membiarkan anda mendekati atau menyakiti Bu Kirana. Saya minta, jauhi dan jaga jarak dengan Bu Kirana." "Kenapa anda selalu mencampuri urusan saya?" Raka bertanya sambil melipat kedua tangannya. Dia kesal karena Wahyu selalu saja ikut campur. "Karena apapun yang berurusan dengan Bu Kirana merupakan urusan saya juga. Karena apa? Karena Bu Kirana itu calon istri saya," tegas Wahyu. "Dasar bodoh! Mau-maunya menjadikan gadis yang tidak benar sebagai calon istri," lirih Raka. Meskipun Raka mengucapkannya dengan lirih, tapi Wahyu bisa mendengarnya. "Jaga mulut anda! Sekali lagi anda menghina calon istri saya, akan saya buat anda menyesal," ancam Wahyu. Raka langsung meninggalkan Wahyu sambil merutuki kebodohannya sendiri. Dia menyesal karena telah menghina Kirana. Entah kenapa, Raka tidak suka mendengar saat Wahyu mengatakan bahwa Kirana adalah calon istrinya. "Aku ini kenapa, sih? Apa iya, aku ini masih mencintai Kirana?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD