Bab 4. Tujuan Yang Sama

1210 Words
"Kau mengenalnya?" Jayden bertanya memastikan. Kenanga tidak langsung menjawab, ia menarik napas panjang seolah menghilangkan rasa sesak yang menghimpit. "Anak dari ketua pengelola pajak? Baru saja menikah 2 bulan yang lalu dengan model Sabrina Michael," ucap Kenanga. Jayden mengerutkan dahi, ia melihat profil tentang Roger Federer lagi, begitupun Ethan. Mereka membaca dengan seksama setiap data yang tertulis, dan beberapa saat kemudian keduanya tampak sangat syok karena apa yang dikatakan oleh Kenanga benar adanya. "Woho, kok benar-benar mengenalnya? Why, apakah kau pernah menjadi teman tidurnya?" tanya Ethan semakin penasaran. Jayden pun begitu, tapi dirinya hanya diam. Kenanga tertawa kecil, anggapan pria kepadanya memang seperti itu. Seorang wanita menjijikan yang menjual dirinya sendiri. "Seharusnya, tapi dia membunuhku di malam pernikahan kita." Jawaban dari Kenanga berhasil membuat Jayden dan Ethan kembali terdiam. Keduanya semakin syok mendengar hal itu. "Menikah?" Kali ini Jayden yang sangat syok. "Kau sudah menikah?" "Dan kau dibunuh? Tapi bagaimana bisa kau?" Ethan terperanjat, memandang Kenanga seolah melihat hantu. "Kenapa, Tuan? Menyedihkan sekali, ya? Hahaha, hidup memang selucu itu. Tapi 'kan aku sudah meninggal, ya?" Kenanga menjawabnya dengan tawa miris. Jayden yang melihat tawa itu merasa cukup terusik, ternyata benar kata pepatah, seseorang yang tawanya paling keras, dia adalah orang yang menyimpan banyak luka. Jika cerita gadis ini benar, artinya calon pengantinnya membunuh gadis ini di mata dunia. "Ethan, aku akan membaca semua data ini nanti. Kau bisa pergi," kata Jayden. "Baiklah, aku sudah mengirim salinannya pada Marka." Ethan mengiyakan saja, pria itu masih memandang Kenanga dengan tatapan yang tidak biasa. Kenanga tersenyum tipis, dirinya pun ikut beranjak pergi karena merasa sudah tidak punya urusan apa pun. Tadi saat mendengar nama orang yang sangat dibencinya membuat ia reflek untuk berbicara. Kini ia menyesal karena ia seperti membuka kembali luka yang sudah dicoba tutup rapat-rapat. Luka saat mengingat malam pengkhianatan calon suaminya dan saat-saat menyakitkan ketika dirinya di lempar ke dalam lumpur dosa yang begitu gelap. "Kau ada masalah apa?" Suara berat Jayden membuat langkah Kenanga terhenti, wanita itu menatap Jayden yang memasang wajah datar. "Tuan bertanya padaku?" Kenanga menunjuk dirinya sendiri. "Hem." Jayden menyahut malas, sudah jelas di sana hanya ada Kenanga, kenapa harus bertanya? "Oh." Kenanga mengangguk pelan, wanita itu memberanikan diri untuk duduk di samping Jayden tapi di posisi paling ujung sofa. "Waktuku hanya 5 menit," tukas Jayden mulai tak sabar. "Em, aku sendiri bingung harus memulainya dari mana. Aku juga sudah mencoba melupakan semuanya, Tuan." "Katamu kau sudah menikah?" Jayden kembali bertanya, wanita yang bersamanya ini terlalu misterius sekali. "Memang, pada bulan Agustus pernikahan kami di gelar." Kenanga rasanya ingin menangis jika mengingat momen itu. "Tapi ternyata semua itu hanyalah sesaat, karena beberapa jam setelahnya suamiku sendiri justru menjualku kepada para pria koleganya. Dan yang lebih menyakitkan lagi ... dia merekayasa kematianku agar semua yang aku punya jatuh ke tangannya." "Hahaha menyedihkan sekali memang, aku memberikannya cinta, dia memberikanku luka." Jayden semakin syok mendengar cerita Kenanga. Kenapa kisah gadis ini hampir mirip dengan Agatha? Ya tak sepenuhnya, mereka hanya sama-sama tertipu oleh muslihat cinta yang membuat mereka buta. "Kenapa kau tidak melawan?" "Melawan untuk apa? Aku tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Mereka terlalu kuat," kata Kenanga. "Bagus, membalas dendam memang sama saja dengan menghancurkan diri kita sendiri. Lebih baik melupakan, tapi tidak untuk dimaafkan." Jayden mengangguk setuju. Baginya membalas dendam memang hal yang paling buruk untuk dilakukan, dulu karena dendam dirinya kehilangan semuanya. "Bukankah itu terlalu mudah?" Kenanga tertawa sinis. "Jika aku bisa, aku pasti akan membuat mereka merasakan luka yang sama," imbuh Kenanga dengan tangan mengepal erat. Jayden melihat itu, melihat emosi yang begitu besar dari Kenanga. Sedikit tidak menyangka wanita mungil yang menurutnya sangat ringkih itu tampak memendam gejolak perasaan yang sangat menyakitkan. Jayden pun pernah merasakannya, dan baginya itu sangat menyiksa sekali. "Jika sudah membalasnya, apakah kau akan puas?" "Tentu, sangat puas." Kenanga mengangguk dengan tegas. Rasa sakitnya benar-benar luar biasa jika mengingat masa lalunya. "Aku akan membantumu." Jayden menyahut spontan. "Hah? Tuan serius?" Kenanga terperangah. "Tuan tau 'kan siapa Roger? Dia punya kuasa karena Ayahnya," kata Kenanga seolah meremehkan Jayden. Tapi memang benar, keluarga mereka terlalu menyeramkan baginya. Jayden menarik sudut bibirnya, terlihat senyum sinis mengembang. "Kau hanya belum tau siapa aku." "Memangnya Tuan ini siapa?" Sungguh Kenanga tidak pernah bertemu dengan Jayden di belahan bumi mana pun. "Tidak penting, katakan rencanamu nanti?" Jayden mengangkat satu kakinya, bersikap begitu angkuh di depan Kenanga. Kenanga langsung membuang muka, ia berpikir Jayden sedang tidak menggunakan apa-apa. "Jika ingin balas dendam, kita tentu harus mencaritahu kelemahan lawan kita." "Apa kau tau kelemahannya?" "Apalagi? Pasti wanita!" Kenanga menyahut berapi-api, sebelum dirinya dibuang, Roger menunjukkan kemesraannya dengan salah satu wanita selingkuhannya. "Bagus, pikirkan apa yang harus kau lakukan nanti. Aku akan pergi sekarang," kata Jayden seraya beranjak. "Tuan, boleh aku bertanya?" "Katakan." "Kenapa Tuan ingin membantuku?" Jayden mengangkat alisnya. "Anggap saja kita punya tujuan yang sama." "Ehm, tapi aku tidak punya apa pun sekarang. Bagaimana aku bisa membalas kebaikan Tuan nanti? Yang aku punya ya tubuhku ini, tapi Tuan tidak bernafsu katanya," kata Kenanga sambil menunduk, menatap dadanya yang memang rata. "Ish, kenapa sih para pria itu suka yang besar?" decaknya dalam hati. Jayden mengikuti arah pandangan Kenanga, mau tak mau dirinya tertawa sekarang. Gadis di depannya ini memang polos, atau pura-pura polos? "Tunjukkan saja usahamu nanti, kau bilang pandai membuat pria puas?" celetuk Jayden seraya beranjak pergi begitu saja. "Jam 7 pagi waktunya sarapan, bersiaplah. Aku akan mengajakmu pergi nanti," lanjutnya lagi. Kenanga terperanjat, ia memukul kepalanya sendiri setelah kepergian Jayden. Mana mungkin? Mana mungkin dirinya membuat para pria puas? Sedangkan dirinya saja belum pernah melakukannya dengan pria mana pun. Selama ini dirinya selalu menggunakan alasan penyakit agar b******n yang membelinya tak sudi menyentuhnya. * Kenanga sudah duduk manis di kursi meja makan sebelum jam 7 pagi. Wanita itu sudah segar setelah membersihkan diri dan mengganti baju. Dirinya duduk manis menunggu sampai Jayden datang ke sana. Tepat pukul 7 pagi, Jayden turun ke bawah. Pria itu sudah sangat rapi dengan setelah jas yang membalut tubuhnya yang tegap. Pemandangan itu rasanya begitu menyegarkan mata Kenanga. Jayden sedikit kaget melihat sosok Kenanga yang ada di sana. Ia menatapnya sekilas lalu duduk di tempatnya. Tak lama kemudian Marka datang dengan membawa berkas di tangannya. "Selamat pagi, Jay." "Hem, duduklah. Ayo sarapan," sahut Jayden singkat. Marka menurut, tapi ia pun terusik melihat sosok Kenanga. "Dia?" "Gadis lelangan semalam," sahut Jayden singkat. Kenanga mengulum bibir, merasa rendah sekali dengan sebutan yang diberikan Jayden. "Ah, masih disini?" Marka mengernyit heran, sejak kapan Jayden menampung wanita? 3 tahun ini saja tak sedikitpun Jayden dekat dengan wanita. "Hem, mana berkas yang aku minta?" "Ini." Marka menyerahkan berkas yang diminta oleh bosnya itu. Jayden menerimanya, dia membacanya sekilas lalu memberikannya pada Kenanga. "Secara hukum Kenanga Van Houten sudah meninggal. Jadi kau memerlukan identitas baru untuk melakukan misimu." Kenanga tersenyum kecil, ternyata rasanya masih sangat sakit saat tau dirinya sudah dibunuh secara hukum oleh calon suaminya sendiri. "Mulai sekarang tugasmu mempelajari ini semua. Pastikan kau melakukannya dengan baik agar bunglon pun minder dengan penyamaranmu nanti," kata Jayden. Kenanga menerima berkas itu, ia membaca dengan seksama apa yang telah tertulis disana. Di berkas itu tertulis apa saja hal yang biasa dilakukan dan apa saja yang disukai, serta tak disukai oleh seorang wanita yang bernama. "Agatha?" "Hem, dia wanita yang kuat. Kau harus menjadi seperti dia." Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD