Hak Asuh Sementara.

1227 Words
Siang itu Keenan meminta izin kepada pihak tata usaha untuk meniadakan jadwal mengajar siangnya dan menjadwalkan ulang di lain hari. Tentu saja membuat para mahasiswa yang sudah bersemangat belajar menjadi kecewa, meski tak dipungkiri sebagian dari mereka justru senang dan memutuskan kembali ke kamar kost-nya untuk melakukan sesuatu hal yang menyenangkan di sana, tidur siang tentu saja. Keenan memarkirkan mobilnya di halaman dinas sosial, tadi ia sudah mendapatkan kabar kalau kedua bayi kembar yang ia temukan masih berada di kantor tersebut dan belum dipindahkan ke panti asuhan. Selain itu tadi di telepon ia berhasil meyakinkan Pak Rusdi si petugas dinas sosial agar ia mendapatkan izin untuk mengasuh mereka. Karena itu ia segera datang ke kantor dinas sosial untuk mengisi formulir permohonan hak asuh bagi kedua bayi kembar tersebut. Sebab ia merasa khawatir kalau mereka dipindahkan ke panti asuhan maka keduanya akan terbengkalai atau kesepian. Lagi pula, Keenan merasa senang melihat wajah kedua bayi kembar itu yang kini ia yakini mirip dengan Nadira, mantan pacarnya dulu yang masih membekas di hati. Nadira adalah mantan terindahnya. Baru saja Keenan melangkah keluar dari mobil, smartphone miliknya berbunyi. “Haduh siapa sih yang menelepon di jam seperti ini?” gerutu Keenan sambil meraih smartphone dan membaca identitas si penelepon, “Ayah? Untuk apa dia meneleponku?” Agak ragu, apakah ia akan menerima panggilan telepon dari sang ayah atau tidak, Keenan akhirnya memutuskan menerima panggilan tersebut. “Halo, ada apa?” tanya Keenan sedikit ketus. “Kamu tidak berubah, masih saja ketus begitu. Setidaknya terimalah telepon dari orang tua ini dengan lebih sopan,” sahut Rasyid Malik, ayahnya Keenan. Keenan menghela nafasnya. “Ya, ada apakah ayah meneleponku siang-siang begini?” tanya Keenan dengan suara yang jauh lebih ramah. “Kapan kamu mau mengakhiri permainan kucing-kucinganmu ini? Kembalilah pulang dan teruskan bisnis keluarga milik ayah ini. Kamu tahu kan kalau ayahmu ini sudah semakin tua dan sepuh? Kemarin saja gigi gerahamku sudah copot. Aku sudah waktunya pensiun dan membutuhkan dirimu untuk menggantikan aku!” jelas sang ayah. Keenan melangkah ke bawah sebuah pohon yang rindang. “Omong kosong! Orang seperti ayah ini sangat kuat. Tidak akan terganggu oleh masalah gigi copot belaka. Gunakan veneer atau gigi palsu saja! Sudah aku katakan bukan, aku ini tidak cocok menjadi seorang CEO. Passionku adalah menjadi seorang pengajar, menjadi dosen!” tukas Keenan. “Dasar anak keras kepala! Kalau kamu punya adik atau kakak sih bukan masalah dan aku tidak akan kebingungan seperti ini! Tapi kamu ini adalah anak tunggalku, hanya kamu yang layak dan berhak menjadi CEO dari perusahaan yang aku rintis sejak aku muda!” timpal Rasyid Malik sama kerasnya dengan sang anak. “Kalau ayah menelepon karena hanya mau membicarakan hal itu, aku akan mengakhiri telepon ini. Ada hal yang penting dan mendesak yang sedang aku lakukan. Bye ayah!” ucap Keenan sekaligus mematikan panggilan telepon yang dilakukan oleh sang ayah. Keenan meneruskan langkahnya masuk ke dalam kantor dinas sosial dan ia diterima oleh seorang petugas wanita yang ramah. “Jadi Anda adalah yang menemukan kedua bayi kembar ini?” tanya sang petugas meyakinkan, ia menatap Keenan sedikit menyelidik. Keenan mengangguk, “Iya, Mbak …?” “Oh saya lupa memperkenalkan diri. Panggil saja saya Resti!” ucapnya sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman. “Mbak Resti saya Keenan, tadi saya sudah menghubungi Pak Rusdi. Saya kesini untuk mengisi formulir perizinan hak asuh dari kedua bayi kembar yang tadi saya temukan,” ucap Keenan. Mbak Resti mengangguk, “Pak Rusdi tadi sudah bilang, sebentar saya ambilkan formulir isian itu!” “Silahkan, Mbak!” Keenan menjawab. Mbak Resti kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan dan mencari formulir perizinan hak asuh untuk diisi oleh Keenan. Keenan mengamati kantor dinas sosial ini, ada sebuah ruangan dengan kaca besar di sudutnya. Ia penasaran dan melangkah menuju ke ruangan tersebut dan mendapati beberapa box bayi yang berjajar di sana. Hanya ada dua box bayi yang diisi dan Keenan yakin kalau kedua bayi itu adalah bayi yang sama yang ia temukan di depan pintu apartemennya tadi pagi. “Pak Keenan, ini formulir perizinan hak asuhnya. Tolong diisi dulu oleh anda!” Mbak Resti yang kembali keluar dari ruangannya melambaikan tangan dan kemudian menyerahkan seberkas formulir untuk diisi oleh Keenan. Keenan mengangguk dan melangkah kembali ke meja resepsionis. “Ruangan bayinya kosong ya Mbak? Hanya ada kedua bayi kembar yang saya temukan tadi pagi itu saja?” Keenan bertanya penasaran. Mbak Resti mengangguk, “Iya, sebenarnya hampir setiap minggu kami menerima laporan penemuan bayi dan standar prosedur kami adalah menginapkan mereka di sini selama satu atau dua hari sebelum akhirnya dibawa ke panti asuhan. Pak Rusdi dan petugas kami yang lain sedang membawa bayi-bayi yang diketemukan beberapa hari kemarin ke panti asuhan saat ini. Karena itu hanya ada kedua bayi kembar itu. Tapi sebenarnya kami pun merasa kasihan dengan mereka.” “Kasihan kenapa, Mbak?” Keenan bertanya sekali lagi. “Iya, soalnya kapasitas di panti asuhan semakin lama semakin penuh dan sesak. Kadang ada delapan sampai belasan anak di satu kamar yang sebenarnya diperuntukkan untuk lima sampai enam orang saja itu. Menunggu ada orang yang mau mengadopsi mereka pun bukan perkara yang mudah, butuh waktu dan kepastian kalau anak-anak atau bayi yang diadopsi itu memang benar-benar akan dirawat dengan baik,” jelas Mbak Resti. Keenan manggut-manggut, ia mulai mengisi formulir perizinan asuh kedua bayi kembar tersebut dengan seksama. “Anda tidak akan menelantarkan kedua bayi kembar itu kan?” selidik Mbak Resti. Keenan menghela nafas dan menatap si Mbak Resti tepat di matanya. “Saya tidak akan melakukan hal buruk seperti itu, Mbak! Justru karena saya merasa kasihan kepada mereka makanya saya kembali ke sini untuk meminta izin dan hak asuh mereka!” tukas Keenan menjawab dengan tegas. “Bagus jika demikian. Tapi, Pak Keenan, anda bukan ayah dari kedua bayi kembar itu kan?” selidik Mbak Resti. Keenan kontan menggelengkan kepalanya. “Maaf Mbak, tapi saya yakinkan kepada Anda kalau saya ini masih perjaka tulen! Saya mungkin lebih dari cukup jika dari segi umur untuk menjadi seorang suami atau ayah. Tapi saya untuk saat ini lebih fokus kepada pekerjaan dan sedang meniti karir saya ke jenjang kepangkatan yang lebih tinggi!” ucap Keenan menjelaskan. “Saya hanya bertanya saja Pak Keenan. Hanya sebatas penasaran dan entah kenapa kepikiran hal itu, saya minta maaf kalau hal tersebut terlalu berlebihan dan menyinggung anda,” ujar Mbak Resti. “Tidak apa, saya paham dengan dugaan tersebut tapi saya benar-benar tidak tahu menahu dan hanya menemukan mereka di depan pintu apartemen saya saja. Kalau saya adalah ayah kedua bayi itu, sudah barang tentu saya tidak akan membuat laporan kepada dinas sosial dan langsung merawat mereka tanpa melalui proses administrasi yang ribet seperti ini!” ucap Keenan sambil menyerahkan formulir yang sudah selesai ia isi kepada si Mbak Resti. “Anda benar, sekali lagi saya minta maaf. Baiklah sepertinya tidak ada masalah dengan fomulir perizinan yang Anda isi ini. Namun, ini baru pemberian izin hak asuh sementara. Setiap minggu kami akan datang dan melihat kelayakan anda sebagai pengasuh kedua bayi kembar tersebut. Setelah tiga atau empat bulan barulah kami bisa memberikan hak asuh permanen atau mencabutnya kembali,” jelas Mbak Resti. Keenan mengangguk, “Iya, saya paham. Sekarang apa saya boleh membawa kedua bayi kembar itu pulang ke apartemen saya?” “Tentu saja, Pak Keenan. Mari saya bawa menggendong salah seorang dari mereka ke mobil anda!” ucap Mbak Resti mengangguk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD