PART 2 - Rumah Sakit

2138 Words
Evelyn memarkirkan mobilnya dengan cepat ketika mendengar ponselnya berdering. Perempuan itu mengambil jas dokternya di kursi mobil dan segera memakainya. Evelyn mengangkat teleponnya dan suara orang yang meneleponnya terdengar panik. "Maaf Dokter Evelyn, saya Ellen dari IGD. Apakah dokter sudah di rumah sakit? Saat ini ada pasien berusia 35 tahun dengan usia kehamilan 18 pekan. Pasien merasa cairan keluar dari tubuhnya sejak makan pagi. Sepertinya ketubannya pecah lebih awal. Apa bisa diperiksa, Dok?" kata seseorang di seberang telepon Evelyn dengan cepat. "Saya akan tiba lima menit lagi," balas Evelyn lalu menutup ponselnya. Perempuan itu setengah berlari masuk ke rumah sakit. Melihat lobi rumah sakit sudah ramai - dengan wajah-wajah asing yang tak Evelyn kenal dan beberapa wajah yang Evelyn kenal menyapanya ketika lewat. Evelyn mengikat rambut panjangnya dan berteriak ketika melihat lift di depannya perlahan tertutup. "Leo!" panggil Evelyn. Laki-laki yang sedang menunduk memandang kopi yang dipegangnya itu seketika mendongak. Senyumnya melebar melihat Evelyn, dengan cepat laki-laki itu membuka liftnya lagi. Evelyn mendesah lega saat memasuki lift. Tersenyum pada laki-laki yang memakai seragam scrub berwarna biru muda itu. Laki-laki itu menaikkan kacamatanya, tak mengalihkan pandangannya pada Evelyn sejak pertama melihatnya. "Kau ada operasi?" Evelyn menggeleng, "Nanti siang. Sekarang ada pasien yang harus kuperiksa." Evelyn melihat lift, merasa lantai tujuh sangat lama untuknya. "Kalau kau sendiri? Sudah lama sekali tak melihatmu di rumah sakit, Leo," kata Evelyn. "Kaulah yang susah ditemui, Eve. Aku beberapa kali ke bangsalmu tapi kau selalu ada pekerjaan. Kau bahkan tak datang saat Roy menikah minggu kemarin." Evelyn menatap Leo dengan raut penyesalan, "Maaf, aku benar-benar tak bisa datang waktu itu." "Aku bukannya tidak mendukungmu, Eve. Tapi Apa kau tak merasa bekerja terlalu keras? Keluargamu pemilik rumah sakit ini, bukan? Kau tak perlu mengambil pasien sebanyak itu. au juga mengajar di universitas. Aku tak mengerti kenapa kau suka menyiksa dirimu sendiri," kata Leo sambil meminum kopi dinginnya. "Karena aku dokter yang baik?" Leo tertawa, "Walaupun kau tak melakukan itu semua. Kau tetaplah dokter yang baik, Evelyn. Tidak ada yang meragukanmu di rumah sakit ini. Santailah sejenak dan coba berbaurlah dengan dokter dari departemen lain. Kau tak pernah ikut makan malam bersama kami." "Jangan menghinaku, Leo. Aku bergaul dengan baik. Aku dekat dengan semua residen di tempatku - juga dengan dokter spesialis yang lain." Lift terbuka dan seorang pasien turun. Leo kembali menutup lift ketika tidak ada orang yang akan masuk. "Tak hanya orang-orang di departemenmu saja. Kapan-kapan ikutlah makan malam dengan teman angkatan kita yang bekerja di rumah sakit ini." Evelyn tak membalas perkataan Leo dan segera keluar ketika lift terbuka. Perempuan itu segera masuk ke ruangannya untuk meletakkan tasnya dan berlari ke kamar pasien. Evelyn melihat beberapa dokter residen sudah menangani pasien itu. Evelyn memakai maskernya dan bertanya pada Betha, kepala residen di departemen Obstetri dan Ginekologi. "Bagaimana keadaannya?" tanya Evelyn. "Nama Ibu Diana. Usia kandungan 18 minggu, diduga ketuban pecah lebih awal, Dok. Ibu Diana bukan pasien Medistra, tapi segera kemari karena merasakan ada cairan yang keluar saat makan pagi tadi," jelas Betha. Evelyn melihat wanita yang terbaring dengan wajah kesakitan itu. Melirik suaminya yang tak kalah kacaunya dari sang wanita. Dengan suara yang setenang mungkin, Evelyn berkata, "Untuk saat ini lebih baik kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut di ruang persalinan." Evelyn memanggil perawat yang berdiri di depannya. "Hanna, tolong bantu pindahkan Ibu Diana ke ruang persalinan." Diana, pasien itu menggenggam tangan Evelyn dengan wajah penuh kekhawatiran, "Dokter, bayiku baik-baik saja, bukan? Usianya masih 18 minggu, bukankah air ketubannya belum boleh pecah, Dok?" tanyanya dengan mata penuh air mata. Evelyn tersenyum kecil, "Pertama kita lakukan tes terlebih dahulu untuk mengetahui apakah itu benar air ketuban atau tidak. Jadi untuk sekarang, saya belum bisa memastikan, Bu." Mendengar jawaban Evelyn, air mata wanita itu semakin mengalir deras. Evelyn menghembuskan napas panjang dan segera meminta Hanna untuk memindahkan pasiennya. Setelah melalui pemeriksaan di ruang persalinan, Betha memberikan hasil pemeriksaan pada Evelyn. Perempuan itu memijat kepalanya, hal yang selalu ia lakukan ketika keadaan pasiennya tidak baik-baik saja. Pecah ketuban di usia janin yang baru 18 minggu adalah hal yang menakutkan. Evelyn bahkan tak yakin bayi pasiennya itu akan selamat. Dengan langkah berat, Evelyn memasuki kamar pasiennya. Dengan ditemani Betha, Evelyn mulai menjelaskan panjang lebar mengenai keadaan wanita itu dan bayinya. "Bu Diana, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa itu memang benar air ketuban. Saya dengan berat hati menyampaikan bahwa keadaan janin Ibu saat ini tidak baik. Untuk dapat hidup, usia janin minimal harus 24 minggu. Jadi, jika Ibu ingin melahirkan janin itu, kita harus menunggu enam minggu lagi. Tapi meskipun dilahirkan, paru-paru janin mungkin akan bermasalah hingga bayi Anda tidak akan bertahan lama. Dan selama enam minggu itu, keselamatan Anda pun bisa terancam jika terjadi infeksi, Bu." "Dokter, saya ingin tetap melahirkan bayi saya, Dok. Bayi ini dengan susah payah kami dapatkan setelah bertahun-tahun menikah. Saya tak mungkin merelakannya begitu saja," kata pasien Evelyn. "Mungkin Ibu bisa mempertimbangkannya lagi sebelum mengambil keputusan. Bisa Ibu bicarakan terlebih dahulu dengan suami dan keluarga lainnya. Tapi jika Ibu tetap ingin menyelamatkan bayi ibu, saya akan berusaha dengan maksimal meskipun peluangnya tidak banyak. Yang pasti, saya akan memprioritaskan keselamatan Ibu lebih dulu." Suami pasien itu membungkukkan badannya di depan Evelyn, "Terima kasih, Dok. Terima kasih..." "Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, saya permisi dulu. Selanjutnya Dokter Betha yang akan mengawasi Ibu Diana, " kata Evelyn lalu meninggalkan pasiennya. Evelyn keluar dari kamar pasien dan melepas masker medisnya. Berjalan menuju ruangannya dan berhenti ketika melihat seseorang yang tak asing memasuki keluar dari lift. Evelyn mengenali wanita tua itu dan bermaksud memanggilnya ketika pria tua berjas dokter lebih dulu menyapanya. Evelyn mengenali kedua orang itu. Elizabeth - neneknya - dan Herman, kepala departemen bedah saraf di rumah sakit Medistra. Melihat wajah serius mereka membuat perasaan Evelyn tak tenang. Neneknya tak pernah ke rumah sakit sebelumnya. Kalaupun datang, neneknya hanya akan menemui Evelyn atau Nathan, cucunya yang bekerja di rumah sakit itu. Tidak ada alasan neneknya bertemu dengan dokter bedah saraf terbaik di rumah sakit itu. Evelyn mengikuti mereka menuju kantor Dokter Herman, tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka karena pintu tak tertutup rapat. "Saya khawatir kanker anda sudah mulai menyebar ke sumsum belakang, Anda." Evelyn membekap mulutnya sendiri yang hampir berteriak keras. Kanker? Apa yang mereka bicarakan? Apa dokter itu baru saja mengatakan bahwa neneknya memiliki penyakit kanker Bagaimana bisa? "Sekarang tidak ada pengobatan yang bisa Anda jalani selain kemoterapi. Operasi sudah tidak mungkin dilakukan karena penyebarannya sudah sangat cepat. Saya turut sedih mengatakan ini, Nyonya Elizabeth, -" Herman menaikkan kacamatanya yang mulai turun. "Kemungkinan Anda bertahan hidup hanyalah 12-18 bulan lagi. Inilah kenapa saya menanyakan berulang kali, kenapa Anda tak mau melakukan operasi satu tahun yang lalu?" Evelyn jatuh bersandar ke dinding di sebelahnya. Tak ingin mempercayai apa yang baru ia dengar. Evelyn ingin menghilangkan bayangan buruk itu, tapi suara neneknya di dalam seperti merenggut napasnya. "Saya tak ingin keluarga saya khawatir. Lagian saya sudah sangat tua, saya sudah cukup merasakan hidup. Saya hanya ingin mati bahagia di tengah-tengah keluarga saya, Dokter," kata Elizabeth dengan suara lemah. Kenapa Evelyn tak tahu bahwa neneknya memiliki kanker? Bukankah ia seorang dokter? Evelyn selalu percaya diri dengan pekerjaannya, tapi kenapa sekarang Evelyn merasa sangat bodoh. Ingatan Evelyn kembali saat neneknya meminum banyak obat tengah malam. Neneknya berkata obat itu hanya vitamin untuk kesehatannya, tapi ternyata Elizabeth berbohong. Selama ini neneknya menyembunyikan penyakitnya - menyembunyikan rasa sakitnya seorang diri yang pasti membuatnya menderita. "Karena Anda menolak untuk menjalani operasi dan kemoterapi, saya hanya bisa meresepkan obat penghilang rasa sakit untuk Anda. Sebaiknya Anda segera memberitahu keluarga Anda tentang penyakit ini. Saya sudah menuruti keinginan Anda untuk menyembunyikannya selama satu tahun ini, tapi saya tidak bisa melakukannya lebih lama lagi. Apalagi ini berkaitan dengan rumah sakit. Bagaimana pun juga, Anda masih direktur dan pemegang saham tertinggi di rumah sakit ini-" Evelyn tak mendengar lagi perkataan Dokter Herman. Perempuan itu berjalan menjauhi ruangan itu. Berjalan dengan langkah lemah - merasakan da-danya mulai sesak membayangkan keadaan neneknya. Bagaimana bisa Evelyn hidup tanpa neneknya? Sedangkan neneknya adalah satu-satunya alasan Evelyn berusaha hidup dengan baik selama ini. Neneknya adalah satu-satunya orang yang ada sisinya. Satu-satunya yang Evelyn miliki di dunia. Tanpa sadar, air mata Evelyn jatuh. Kakinya yang begitu lemah tak bisa menahan tubuhnya lebih lama. Evelyn hampir jatuh jika seseorang tidak menahan tubuhnya. "Kau baik-baik saja?" tanya orang itu dengan suara dinginnya. Evelyn mendongakkan kepalanya dan bertemu dengan sepasang mata yang tak asing baginya itu. Laki-laki itu membantu Evelyn duduk di kursi dan melihat Evelyn dengan wajah datarnya. Air mata Evelyn semakin deras ketika melihat laki-laki di depannya. Apa Noran juga tidak tahu tentang penyakit neneknya? "Nenek...." lirih Evelyn. Noran menunduk untuk melihat wajah Evelyn. "Ada apa dengan Nenek?" Evelyn hanya menangis sesenggukan dan memanggil nama laki-laki itu. "Noran..." lirih Evelyn. "Ada apa, Eve? Bisakah kau berbicara lebih jelas?" tanya Noran yang mulai khawatir. Evelyn memberanikan melihat mata Noran, "Apa kau tahu Nenek sakit?" Nora menggeleng, "Sakit apa? Apa Nenek sudah berobat ke dokter? Dimana Nenek sekarang? Apa aku perlu menjemputnya untuk ke dokter?" tanya Noran bertubi-tubi. Evelyn menggelengkan kepalanya berulang kali. Tatapan penuh khawatir Noran mengingatkan Evelyn bahwa bukan hanya dirinya yang sangat menyayangi neneknya. Laki-laki di depannya ini pun sangat menyayangi Elizabeth. Mungkin Noran lebih sedih daripada dia jika mendengar berita ini. Bagaimana pun juga, Noran adalah cucu kandung Elizabeth, sedangkan Evelyn tidak. Bukankah darah lebih kental daripada air bisa? Evelyn tak kuasa untuk tidak memeluk Noran. Melupakan bahwa selama ini Noran membencinya. Dan mungkin laki-laki itu tak suka Evelyn memeluknya. Tapi Evelyn tak peduli. Evelyn tidak boleh egois dan menyimpan berita ini untuk dirinya sendiri. Noran berhak untuk tahu - cucu kandung Elizabeth berhak untuk tahu. "Nenek sakit kanker stadium 4. Nenek sudah menyembunyikan penyakitnya selama satu tahu ini. Dokter Herman mengatakan -" Evelyn mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya ke bahu Noran. :Dokter mengatakan bahwa umur Nenek sudah tak lama lagi, Noran. Bagaimana ini?" kata Evelyn dengan terbata-bata. Evelyn sekilas merasakan tubuh Noran menegang. Laki-laki itu pasti sama terkejutnya dengan Evelyn. Perempuan itu melepaskan pelukannya dan melihat wajah kosong Noran. Laki-laki itu hanya menatap lurus tanpa berkedip sekalipun. Membuat Evelyn khawatir laki-laki itu lupa bernapas. "Noran," panggil Evelyn. Noran mengerjapkan matanya dan mulai sadar kembali, "Dimana Nenek?" "Di ruangan Dokter Herman. Selama ini Dokter Herman yang merawat Nenek." Evelyn menahan Noran yang akan pergi, "Mau kemana kau?" "Menemui Nenek. Aku harus mendengar sendiri dari Nenek." "Noran, bisakah kita membicarakan ini dengan Nenek di rumah? Tenangkanlah dirimu terlebih dahulu. Jangan mengatakan apapun kepada Nenek. Kita akan mengantar Nenek pulang dan membicarakan semua ini di rumah. Kau mengerti kan, Noran?" Noran menatap Evelyn dengan tajam, tak suka perkataan perempuan itu padanya. "Kau siapa selalu ikut campur urusan keluargaku? Kau tak berhak mengatur apa yang harus aku lakukan. Kita bukan keluarga dan aku yang akan mengurus nenekku sendiri. Jangan berpikir kau bisa mengaturku hanya karena Nenek selalu membelamu, Evelyn!" "Noran..." Laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada Evelyn, "Dan jangan memanggilku seperti itu. Aku membencinya." Laki-laki itu meninggalkan Evelyn dengan langkah panjang. Evelyn terdiam memikirkan perkataan Noran. Semua yang dikatakan laki-laki itu memang benar. Evelyn tak berhak memutuskan apa yang harus Noran lakukan. Elizabeth adalah nenek kandungnya dan Noran yang paling berhak menemui Elizabeth. Dengan setengah berlari, Evelyn menyusul Noran. Bertanya-tanya apa yang akan Noran lakukan. Perempuan itu berhenti ketika melihat Noran sudah berdiri di hadapan neneknya. Di belakang neneknya ada Dokter Herman kini melihat Noran dan Evelyn dengan tatapan sedihnya. Mungkin dokter itu merasa bersalah karena tidak memberitahu Noran dan Evelyn tentang penyakit neneknya. "Katakan padaku, Nek! Kenapa Nenek menyembunyikan hal sepenting ini dari kami semua? Penyakit kanker bukanlah penyakit main-main, Nek. Kenapa Nenek menyembunyikannya seorang diri?" tanya Noran dengan nada tinggi. Saat itulah Evelyn melihat wajah pucat neneknya. Semakin yakin bahwa neneknya sedang kesakitan sekarang. Evelyn tak peduli lagi jika ia bukanlah cucu kandung Elizabeth. Perempuan itu hanya ingin berlari dan memeluk neneknya yang sudah tua itu. Menangis di pelukan orang yang paling dicintainya itu. Bagaimana Evelyn bisa hidup tanpa manusia dengan pelukan terhangat yang pernah ia rasakan itu? Bagaimana Evelyn bisa baik-baik saja di saat neneknya berada di ambang kematian? "Nenek tak boleh melakukan ini padaku. Katakan bahwa semua ini hanya bohong, Nek. Katakan kalau Nenek tidak sakit! Nenek tak boleh sakit seperti ini," kata Evelyn sambil memeluk erat neneknya. Elizabeth mengusap punggung Evelyn dengan lembut, "Nenek baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Bagaimana aku bisa percaya itu? Nenek mengucapkan kalimat itu dengan wajah pucat seperti ini dan Nenek berharap aku akan percaya?" tanya Evelyn. "Nenek sungguh baik-baik saja, Evelyn. Kamu harus ingat sebelum pensiun, Nenek juga seorang dokter yang handal. Nenek tahu keadaan tubuh Nenek sendiri. Kamu tak perlu khawatir, Nenek akan baik-baik saja. Di rumah ini banyak dokter, Nenek sama sekali tak khawatir tinggal di rumah ini tanpa perawatan apapun," kata Elizabeth. Elizabeth memberikan kebohongan yang Evelyn inginkan. Tapi kebohongan itu tak menenangkannya, karena Evelyn adalah dokter - orang yang paling tahu bahwa neneknya tidak baik-baik saja sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD