"Tentu saja, Nek. Aku menyukainya. Kami sudah beberapa kali bertemu dan dia begitu baik padaku."
Evelyn membuka ruangannya dan duduk di kursi kerjanya. Meregangkan tangannya karena operasi besar yang ia lakukan dari tadi pagi. Perempuan itu berdiri untuk menyeduh kopi dan meminumnya sambil memijit kepalanya yang sedikit pusing.
"Bagaimana dengan Kane? Apa Kane mengatakan padamu bahwa ia menyukaimu? Nenek tidak akan setuju jika hanya kau yang menyukainya, Eve. Ajaklah Kane ke rumah akhir pekan ini. Bukankah kalian sudah bertemu sejak sebulan yang lalu?"
Evelyn tersenyum kecut, "Aku akan mencoba mengajaknya. Tapi Kane sedang sibuk dengan pembukaan cabang pabrik barunya di Indonesia. Aku tidak janji bisa mengajaknya ke rumah akhir pekan ini, Nek."
"Baiklah. Kalau kau bertemu dengannya lagi, sampaikan salam nenek padanya. Dan bilang keluarga William menantinya datang ke rumah. Jangan lama-lama karena pernikahan kalian tinggal satu minggu lagi."
"Baik, Nek." Evelyn menyesap kopinya lagi. "Aku masih ada pasien. Aku tutup dulu teleponnya. Aku akan pulang malam karena ada operasi lagi sore nanti."
"Jangan bekerja terlalu keras, Eve. Jagalah kesehatanmu. Jangan sampai kau pingsan lagi karena kelelahan seperti tahun lalu. Kalau itu terjadi, Nenek akan melarangmu datang ke rumah sakit lagi. Kau mengerti?"
Evelyn tersenyum mendengar ancaman neneknya yang ia tahu hanya ancaman kosong itu. Neneknya tak mungkin melarang Evelyn ke rumah sakit karena tempat itu adalah segalanya bagi Evelyn. Elizabeth-lah yang paling tahu tentang itu.
"Aku mengerti."
Evelyn menutup teleponnya. Takut pada dirinya sendiri karena sudah berani membohongi neneknya. Evelyn belum pernah bertemu Kane sama sekali selama sebulan ini. Kata Elizabeth, Kane sudah datang ke Indonesia sejak satu bulan yang lalu, tapi laki-laki itu tak menghubunginya sama sekali. Dan Evelyn tidak seputus asa itu hingga merasa harus menghubungi laki-laki itu lebih dahulu. Laki-laki itu pasti juga tidak menyukai perjodohan ini hingga tak pernah menghubungi Evelyn sampai sekarang.
Laki-laki itu - bernama Kane. Evelyn sudah melihat fotonya satu bulan yang lalu saat neneknya menunjukkannya. Dia terlihat sempurna - dengan wajah tampan dan tubuh tingginya. Sangat sempurna hingga membuat Evelyn bertanya-tanya kenapa laki-laki sepertinya mau dijodohkan. Laki-laki itu bisa memilih siapapun yang ia inginkan, bukannya perempuan tak jelas yang tak pernah ia temui sebelumnya - seperti Evelyn.
Seperti tahu Evelyn sedang memikirkannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama asing yang akhir-akhir ini selalu ia dengar muncul di layar ponselnya.
Maaf baru menghubungimu, apakah kita bisa bertemu hari ini? - Kane
Pesan singkat - yang seperti namanya, sangat singkat sekali. Evelyn sering membayangkan hal pertama yang laki-laki itu katakan padanya, tapi kata maaf bukanlah salah satunya. Evelyn tak menyukai kata maaf, apalagi dari seseorang yang belum pernah ia temui itu.
Evelyn membalasnya dengan cepat, tak mau laki-laki itu berpikir dirinya jual mahal. Memang seharusnya mereka bertemu sekarang juga. Mana ada pasangan yang baru bertemu satu minggu sebelum pernikahan seperti ini?
Tentu saja. Kantin Rumah Sakit Medistra, lantai 4, pukul 15.00. - Evelyn
Balas Evelyn tak kalah singkat.
Evelyn bukannya ingin bertemu di rumah sakit. Evelyn tahu jika ada yang melihatnya - terutama para perawat di departemennya - gosip akan beredar cukup cepat. Apalagi selama ini Evelyn tak pernah bertemu laki-laki di rumah sakit, selain pasiennya. Hanya saja, pukul 15.30 nanti Evelyn ada operasi sampai malam, hingga tak ada pilihan lain untuknya.
Setelah membasuh wajahnya dan membuat satu gelas kopi lagi, Evelyn pergi menuju kantin rumah sakit. Melihat kantin itu cukup ramai dan hanya tersisa satu kursi di dekat dinding kaca. Evelyn duduk di kursi itu dan menghangatkan tangannya di gelas kopi yang masih beruap. Evelyn melihat langit dari balik kaca dan tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Evelyn melihat awan gelap yang selalu muncul sebelum hujan itu.
Hanyut dalam lamunannya, Evelyn sedikit terkejut ketika seseorang menarik kursi di depannya.
"Evelyn?"
Belum sempat melepaskan diri dari wajah laki-laki itu. Evelyn merasa tergelitik dengan suara berat milik laki-laki itu. Terasa sangat cocok dengan wajah tegas laki-laki itu. Wajah yang sama dengan yang ia lihat di foto satu bulan yang lalu, tapi wajah di depannya ini lebih hidup dan Evelyn menyadari bahwa laki-laki itu tak sekadar tampan, tapi ia sangat tampan.
Evelyn menelan ludahnya dan mencoba mengendalikan dirinya. Evelyn tak boleh tertarik pada laki-laki itu. Evelyn sudah berjanji tidak akan tertarik pada siapapun, termasuk suaminya sendiri. Karena Evelyn tahu perasaan tertarik lambat laun akan menjadi perasaan yang lebih dalam dan akan menggerogoti dirinya. Menyusahkan dan Evelyn tidak akan membiarkan hidupnya hancur karena hal itu.
Evelyn harus memberi batas pada laki-laki itu. Menunjukkan bahwa ia menerima pernikahan ini hanya untuk neneknya. Bukan karena ia ingin terlibat perasaan dengan laki-laki itu. Evelyn tidak mau ada yang berubah setelah ia menikah nanti. Evelyn akan tetap menjadi Evelyn yang mengabdikan diri di rumah sakit ini dan tidak peduli dengan apapun selain neneknya dan pekerjaannya.
Pertemuan itu berjalan lebih mudah daripada yang Evelyn bayangkan. Setidaknya Evelyn tidak harus berpura-pura tertarik dengan perjodohan itu. Evelyn tak harus merasa tak enak kepada laki-laki yang akan menjadi suaminya. Mereka sama-sama tak tertarik dan itu adalah awal yang bagus. Karena ketertarikan hanya akan menambah masalah hidup Evelyn. Mengganggu ketenangan yang Evelyn bangun selama ini.
Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu sejak mereka duduk bersama. Evelyn harus segera naik lima menit lagi, tapi tampaknya laki-laki di depannya tidak berniat untuk pergi. Mereka saling diam cukup lama. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Evelyn melihat hujan itu beberapa detik, mengingat kenangan buruknya di tengah hujan - yang membuat perempuan itu membenci hujan selama hidupnya.
Evelyn berdiri, tersenyum kecil pada Kane lalu meninggalkan laki-laki itu sendiri di kantin. Berjalan dengan cepat kembali ke ruangannya untuk mempersiapkan operasinya. Dari dinding kaca yang ia lewati, Evelyn sekilas melihat Kane masih duduk di kursinya. Mungkin laki-laki itu menunggu hujan reda. Evelyn melihat bayangan laki-laki itu hingga ia keluar dari kantin - dan benar-benar meninggalkan laki-laki itu.
Pertemuan pertamanya dengan Kane - berlalu begitu saja. Evelyn bahkan lupa untuk mengajak laki-laki itu datang ke rumah. Mungkin Evelyn akan mengirim pesan singkat pada laki-laki itu. Mengatakan bahwa keluarga Evelyn sangat tak sabar bertemu dengannya dan berharap laki-laki itu meluangkan waktunya untuk datang.
Evelyn harus mulai terbiasa dengan keberadaan laki-laki itu. Menjaga hubungan mereka tetap baik - cukup baik hingga Evelyn merasa nyaman tinggal serumah dengan Kane, tapi tetap dalam batasan yang sudah ia bangun. Hubungan baik yang tak melibatkan perasaan apapun.
Pernikahannya akan sempurna jika Evelyn bisa menjaga perasaannya - seperti yang biasa ia lakukan.
****
"Siapa laki-laki yang makan denganmu di kantin tadi?" tanya Leo saat Evelyn masuk ke ruangannya.
"Kau melihatnya?" tanya Evelyn balik.
Leo duduk di depan Evelyn. Sahabat Evelyn itu memasukkan tangannya di saku jasnya dan mengamati Evelyn yang sedang mempersiapkan operasinya. Evelyn tak berkomentar apapun, menganggap Leo tak ada di sana.
"Bukan. Tapi beberapa perawat menggosipkanmu di depan. Katanya mereka melihatmu makan siang dengan laki-laki tampan." Leo berdiri mendekati Evelyn di meja kerjanya. "Apa kau memiliki pacar yang tak aku ketahui, Eve? Kenapa kau tak memberitahuku tentang laki-laki itu?" tanya Leo.
"Dia bukan siapa-siapa. Dan aku tak makan siang dengannya. Kami hanya minum kopi. Berhentilah mendengarkan gosip para perawat itu, Leo," kata Evelyn dengan nada sedikit kesal.
Leo yang melihat Evelyn kesal, tambah curiga pada sahabatnya itu. "Bukan siapa-siapa? Kau tak akan makan siang atau minum kopi dengan orang yang bukan siapa-siapa, Evelyn. Apalagi saat kau akan operasi seperti sekarang. Menurutku dia orang penting-" Leo mengedikkan bahunya dengan senyum santai. "Tapi tak apa-apa, kalau kau belum mau menceritakannya padaku. Tak apa-apa," kata Leo sambil mengusap da-danya.
"Kau tak ada pasien? Sepertinya akhir-akhir ini kau banyak menganggur hingga ada waktu banyak untuk mengangguku, ya," kata Evelyn sambil membuka laptopnya.
"Aku ingin mengajakmu makan siang tadi, tapi kau sudah tak ada." Leo berjalan menuju pintu ruangan Evelyn. "Minggu ini, kita harus makan siang bersama, Evelyn. Kita sudah lama tak mengobrol. Rasanya, bertemu denganmu lebih sulit daripada bertemu Pak Deva, ketua departemenku. Mana ada cucu pemilik rumah sakit yang sesibuk kau? Jangan terlalu gila kerja, Eve. Tak baik untuk kesehatanmu," kata Leo lalu pergi meninggalkan Evelyn.
Evelyn pun hanya melihat punggung Leo yang perlahan menjauh. Perempuan itu mengganti sepatunya dengan sandal karet lalu memakai masker. Evelyn berjalan ke ruang operasi dan mencuci tangannya sebelum masuk ke ruang operasinya.
Sudah banyak yang datang di ruang operasi, padahal Evelyn datang lima menit lebih awal. Semua orang memang sudah tahu kalau Evelyn tak suka orang yang tak tepat waktu. Apalagi menyangkut operasi. Semuanya tahu dan tak ada yang ingin membuat Evelyn - cucu pemilik rumah sakit itu kesal. Karena itu, tak pernah ada yang telat saat operasi Evelyn.
Seseorang perawat memasangkan sarung tangan ke tangan Evelyn dan menarikkan kursi untuk Evelyn. Evelyn mengambil pisau bedah yang diberikan asistennya dan membuat sayatan pertama di perut pasiennya itu.
Saat pertama mengoperasi pasiennya, tangan Evelyn selalu bergetar kecil. Seperti takut setiap gerakan tangannya akan membunuh orang yang ia operasi. Tapi saat Evelyn sudah mengoperasi puluhan pasien, getaran itu menghilang sepenuhnya. Evelyn tak pernah takut lagi. Ia percaya pada dirinya sendiri. Karena itu Evelyn mendapatkan predikat sebagai dokter dengan kegagalan operasi terendah di rumah sakit Medistra. Itu karena Evelyn selalu melakukan yang terbaik untuk pasiennya.
Karena Evelyn tak ingin pasiennya meninggal. Baik dua-duanya maupun salah satunya. Baik anak ataupun ibunya. Evelyn tak ingin itu terjadi.
"Biar saya yang melanjutkan, Dok," kata asisten Evelyn ketika bayi pasien itu sudah keluar dan tinggal menjahit perut pasien.
Evelyn mengangguk dan berdiri. Melihat sekilas bayi yang berhasil ia selamatkan hari ini. Kehidupan baru yang ia selamatkan hari ini. Evelyn tersenyum kecil, meskipun semua hidupnya di luar sana kacau sekalipun, tapi setidaknya di ruang operasi, Evelyn-lah yang paling bahagia. Evelyn-lah yang paling bahagia karena menyelamatkan makhluk kecil dengan mata jernih bak air itu.
"Selamat istirahat, Dokter Evelyn. Terima kasih untuk operasi sore ini," kata salah satu perawat ketika Evelyn keluar dari ruang operasi.
Perempuan itu membuang masker dan sarung tangan di tempat sampah depan ruang operasi itu. Evelyn mencuci tangan dan kakinya lagi. Berjalan ke ruangannya dan membuat segelas kopi hitam. Perempuan itu duduk di jendela ruangannya sambil menempelkan tangannya di gelas kopinya. Pemandangan jalanan dari ruangannya masih sama seperti lima tahun yang lalu, saat Evelyn mendapatkan kantornya sendiri ini. Neneknya ingin kantor Evelyn berada di lantai atas, bersama dengan dokter ruang VVIP yang menjadi kebanggaan rumah sakit itu, tapi Evelyn tak mau.
Ruang operasinya berada di lantai lima. Jadi Evelyn ingin kantornya ada di lantai itu. Bersama dengan dokter-dokter kandungan lain. Evelyn tak mau dibedakan hanya karena ia cucu Elizabeth. Karena sebenarnya, dia bukanlah cucu Elizabeth. Tak ada yang istimewa tentang Evelyn dan perempuan itu juga tak mau diistimewakan.
Jadi ketika melihat ruangan kecil di pojok lorong lantai lima, dengan jendela berdebu dan mesin kopi yang butuh perbaikan itu, Evelyn langsung menyukainya. Evelyn akan membuat ruangan itu sebagai miliknya. Ruangan yang dekat dengan kamar operasi dan memiliki pemandangan jalanan yang indah.
Evelyn tak pernah menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Tentang apapun, baik tentang ruangan yang ingin ia tempati, tentang pekerjaannya, maupun tentang pernikahan yang akan ia lalui nanti.
Karena Evelyn hanya ingin hidup biasa - seperti sekarang. Meskipun Evelyn tahu sekarang ia tak bahagia dan merasa kosong. Tapi itu lebih baik, bukan? Daripada hidup dengan penderitaan dan tangis setiap hari?
Bagi Evelyn, tak apa menjadi orang yang tak bahagia, asalkan tidak menjadi orang yang sakit. Baik sakit fisik maupun sakit karena perasaannya pada orang lain.
Tapi sejak kedatangan laki-laki itu, perempuan itu mulai mendambakan kebahagiaan yang tak pernah ia mimpikan. Dan untuk mendapatkannya, Evelyn tahu ia harus melalui penderitaan yang mungkin - akan menghancurkannya sebelum ia mencapai kebahagiannya.
Seperti kelopak bunga mawar yang sudah rusak. Jatuh -- satu persatu.