Hari berjalan seperti biasanya, Zea masuk kantor dan bersikap seperti biasanya, ia tidak menunjukkan kepada semua orang bahwa ia adalah istri dari boss perusahaan besar ini.
Zea tidak tahu yang sebenarnya, namun ia memahami posisi suaminya. Ia juga sedang hamil, jadi tidak mau terganggu oleh apa pun.
Zea duduk di kursi kerjanya, namun tak lama kemudian Elen datang dan melempar dokumen didepan Zea.
Zea mendongak dan menatap Elen.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Elen.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Zea.
“Terus kenapa dokumen itu kamu abaikan?”
Zea melihat dokumen yang ada didepannya, seharusnya Elen menaruhnya pelan-pelan, jadi tak perlu membuangnya dan memperlihatkan kekuasaannya kepada semua orang, semua orang sudah tahu siapa dia di tempat ini, jadi tak perlu menunjukkannya segala.
Zea mendesah napas halus.
“Revisi dokumen itu,” titah Elen. “Banyak yang salah, termaksud jumlah akhirnya. Sesuaikan dengan semua nota yang sudah saya simpan.”
“Baik, Nona,” jawab Zea.
Elen lalu pergi meninggalkan Zea, Elen terlihat sangat garang dan galak, jadi semua orang menakutinya, perintahnya adalah salah satu yang terpenting karena Elen atasan mereka dan yang menilai mereka apakah bisa menjadi pegawai tetap atau tidak.
Zea menautkan alis ketika melihat nota yang asing, ketika Zea mengerjakannya kemarin, Zea tidak melihat salah satu nota yang di simpan Elen.
Jadi, maksud Elen merevisinya adalah menambahkan biaya tambahan? Tapi, biaya apa ini? Kenapa jumlahnya besar? Mencapai 800USD.
Zea tak bisa bertanya karena itu hanya akan membuat Elen tersinggung dan ia bisa mendapatkan penilaian yang jelek, jadi mending ia ikuti saja. Daripada mencari masalah pada atasan. Itu tak akan baik.
Zea lalu mengerjakan seperti apa yang Elen suruhkan. Ketika sedang bekerja, getar ponselnya terdengar, Zea meraih ponselnya dan melihat pesan dari Zelle.
Zea menautkan alis, tumben sekali Zelle menghubunginya. Anak pembawa masalah dan anak kesayangan orangtuanya. Anak yang tidak tahu diri dan anak yang hanya membawa hutang untuk orangtuanya.
Zelle meminta bertemu? Ada apa Zelle meminta bertemu?
***
Tristan tengah menandatangani beberapa dokumen yang sudah Roland bawa dihadapannya, Tristan membacanya dahulu, jika tidak menemukan yang salah, ia segera menandatanganinya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka lebar, Tamara masuk dengan menerobos tanpa memberitahu sekretaris didepan.
Roland memahami dan langsung keluar dari ruang kerja Tristan, dan memberi privasi keduanya untuk berbicara.
“Kamu tidur dimana tadi malam?” tanya Tamara duduk di meja kerja suaminya, memperlihatkan pahanya didepan Tristan. Tapi sayangnya, Tristan tidak menoleh sedikitpun. Ia memang m***m, tapi jika tidak menarik, ia tidak akan tertarik.
“Ada sofa jika kamu mau duduk,” kata Tristan.
“Aku tanya kepadamu, kamu tidur dimana tadi malam?”
“Penting kah?”
“Ya penting lah. Kita kan suami istri,” kata Tamara bersedekap didepan Tristan dan masih duduk dipinggir meja. “Apa kamu harus bertanya penting atau tidak?”
“Aku berharap itu tidak penting sama sekali untuk kamu,” kata Tristan. “Kenapa kamu kemari di jam kerja?”
“Aku kemari mau menemui mu, menemui suamiku yang sibuk ini, sudah beberapa hari ini kamu jarang tidur di mansion. Ada apa?” tanya Tamara lagi.
“Ingat, pernikahan kita hanya perjodohan. Dan, kita sudah sepakat untuk tidak ikut campur urusan masing-masing. Kita menikah didepan orang tua kita, jadi tidak perlu bersikap seperti istri.” Tristan mengingatkan. “Bukankah kamu sedang berpacaran dengan salah satu staf divisi?”
“Apa? Kamu tahu darimana?”
“Ya aku tahu,” jawab Tristan.
“Tapi, kamu salah, aku tidak pacaran dengannya. Kami hanya berciuman beberapa kali, dia hebat dalam berciuman, jadi aku melanjutkannya, hehehe,” kata Tamara tak tahu malu sekali. “Tapi kami tak melakukan seks. Hanya berciuman.”
“Dan, kamu anggap itu wajar?”
“Ya wajar kan, aku melakukannya disaat aku belum menjadi istrimu.”
“Dan baru kemarin kamu melakukannya di tangga darurat.”
“Ha? Kamu melihatnya?”
“Ya. Sudahlah. Kembali lah bekerja,” kata Tristan.
“Suami apa sih kamu, seharusnya kamu marah jika istrimu melakukan itu. Kamu memilih membiarkannya?” tanya Tamara dengan alis yang nyaris bertaut karena bingung dengan sikap suaminya.
“Karena aku sudah katakan kamu bisa melakukan apa saja,” jawab Tristan. “Dan, itu bukan urusanku.”
“Jadi, kamu rela jika aku berciuman dengan siapa pun?”
“Jika itu membuatmu senang, silahkan.”
Tamara terdengar seperti jalang didepan suaminya, seharusnya ia tidak melakukannya, ia harus fokus pada keinginan keluarganya untuk hamil anak Tristan, agar kekayaan Tristan bisa jatuh ke anak mereka, Tamara harus fokus mulai sekarang.
“Pulang lah malam ini,” kata Tamara menyentuh leher suaminya.
Tristan menjauh dan melihat layar monitornya.
Tamara tak menyerah, Tamara berdiri dibelakang kursi kerja Tristan dan mengayunkan tangannya di leher Tristan, Tristan merasa geli, namun ia tidak bernafsu pada Tamara, Tamara seperti tak menarik dimatanya.
“Aku ingin hamil anakmu,” kata Tamara.
Tristan bangkit dari duduknya, berdiri didekat dinding kaca yang memperlihatkan semua gedung. Tristan tidak ingin melakukan apa pun, dan ia juga tidak bisa pulang malam ini, ia harus menemani Zea.
Zea lebih membutuhkannya, dan Zea sedang hamil anaknya, apa pun yang terjadi, ia akan terus menjaga anaknya.
Tamara tak menyerah, Tristan merasakan pelukan Tamara dibelakangnya, Tamara memainkan tangannya dan memegang juniornya dibawah sana, Tristan bergidik dan menggenggam lengan Tamara dan berbalik melihat istrinya itu.
“Bisa tidak kamu berkelas sedikit?” tanya Tristan.
“Apa? Berkelas?" Tamara menatap suaminya yang benar-benar tak menyimpan hati untuknya. Kurang apa dia? Dia juga menarik. Tapi, kenapa ia tidak pernah bisa merebut hati Tristan?
Tristan kembali menghempaskan tangan Tamara yang kembali menyentuhnya.
"Kamu benar-benar menjengkelkan."
"Kamu benar-benar tidak menginginkanku?" Tamara menatap suaminya.
"Tidak. Aku tidak menginginkankanmu."
"Why?"
"Ya karena aku tidak suka. Aku tidak perlu alasan." Tristan menggeleng. "Kembali ke tempat kerjamu. Jadi lah wanita yang anggun. Aku bukan pria yang selalu ada untuk kamu. Bukankah kamu berpacaran dengan salah satu staf mu? Lakukanlah dengannya."
"Gila kamu. Lalu gunanya aku menikah dengan kamu, apa? Aku juga masih punya harga diri. Jadi, aku mau hanya dengan kamu."
"Tidak perlu berbicara masalah harga diri denganku."
Pandangan Tamara mengarah kepada Tristan yang saat ini tidak perduli kepadanya.