NE 3 - HANCUR (Flash Back)

1226 Words
Hai, Ayah? Gimana kabarnya? Hari ini jadwalnya kita cek kesehatan lagi ya, Yah, pokoknya Ayah harus semangat sembuh. Gree yakin kalau Ayah itu bakalan sembuh seperti sedia kala, nanti bisa lihat aku sama Angga nikah. Terus nanti Ayah bisa main sama cucu-cucu, pasti seru. Pokoknya Ayah nggak boleh nyerah,” bisik Greesa. Laki-laki paruh baya yang tengah berada di kursi roda tersebut hanya bisa menatap lurus dengan pandangan berbinar. Laki-laki tersebut adalah ayah kandung dari Angga, satu minggu satu kali ia akan menemani laki-laki tersebut cek rutin kesehatan. Greesa menganggap ayah Angga seperti ayahnya sendiri, laki-laki tersebut stroke yang menyebabkan susah bicara namun paham apa yang Gree ucapakan. “Oh iya, hari ini Angga nggak bisa nemenin Ayah. Jadi hari ini sama Greesa aja, nanti kalau urusan Angga selesai pasti dia bakal jengukin Ayah ke rumah.” Greesa menoleh ke arah perempuan yang bertugas merawat Handoko tersebut. “Sus, semua perlengkapan Ayah udah kan? Ini tinggal berangkat aja?” “Iya, Mbak, semua sudah saya masukin di mobil. Kita tadi cuma nunggu Mbak Greesa datang aja kok,” jawab perempuan tersebut. “Ya udah, yuk berangkat. Nanti kesiangan lagi, soalnya Gree masih harus ke kantor. Nanti Ayah pulangnya sama Sus Halwa ya, Gree nggak bisa nganter Ayah pulang.” ### “Halo, Bu? Ada apa?” Perempuan tersebut keluar dari ruangan periksa Handoko “Saya ada di rumah sakit, Bu, masih nganter Ayah Handoko. Ada apa ya, Bu? Apa ada meeting mendadak?” Seketika tubuh Greesa membeku, pandangannya lurus ke depan. Perlahan penglihatannya memburam seiring air mata yang perlahan menerobos, tubuh Greesa luruh ke lantai. Ia tak percaya jika semua ini terjadi padanya, tangannya menjambak rambutnya sendiri. ‘Lo kenapa harus lakuin ini ke gue, Ngga, apa salah gue? Gue kurang nurut apa sama lo? Semua keperluan dan kebutuhan lo itu gue yang penuhin, bahkan ayah lo yang ngurus gue. Kurang apa gue dimata lo, Ngga? Kenapa lo bisa setega ini sama gue, Ngga? Kenapa harus sama sahabat gue sendiri, Ngga, lo kalau mau buat gue sengsara nggak gini caranya. Dia sahabat gue satu-satunya, Ngga, cuma dia keluarga yang gue punya di sini. Kenapa lo sejahat ini, Ngga, kenapa lo bisa kepikiran buat lakuin itu sama Zora?’ batin Greesa menjerit, ia sangat terpukul dengan berita yang baru saja ia terima dari salah satu manajer di perusahaan Angga. ‘Lo kuat, Gree, buktikan kalau lo professional. Terlepas dari masalah ini semua, dia itu masih bos lo dan masalah ini lo juga yang harus selesaiin. Sekarang lo kesana sebagai sekretaris, bukan sebagai seorang kekasih. Ingat lo harus professional, nggak boleh membawa perasaan lo ke ranah pekerjaan. Ayo Greesa, lo bisa!’ batinnya kembali dengan mengusap air matanya kasar. Ia kembali berdiri, mengambil tasnya dan pamit sesopan mungkin ke Handoko. Kakinya melangkah gontai, semangat hidupnya runtuh. Tak ada lagi yang bisa membuatnya nyaman hidup di kota besar tersebut, semua yang ia pertahankan dan banggakan seakan musnah sia-sia. Perjuangan dan pengorbanan yang ia lakukan pun bahkan tak ada harganya lagi, setiap kaki menjangkah air matanya ikut mengiringi langkahnya. Tak tau apa yang harus ia lakukan sekarang, pikirannya berkecamuk menjadi satu. Yang harus ia lakukan adalah menyelesaikan masalah tersebut agar atasannya bebas dan selanjutnya adalah ia harus pergi. Ia harus melepaskan apa yang tak seharusnya ia miliki selama ini. Dan tak seharusnya ia bertahan pada hal yang menyakitkan untuk dipertahankan. Menjalani hubungan secara terpaksa bukanlah hal yang mudah, bertahun-tahun ia bertahan menjaga agar hubungan tersebut tetap harmonis. Namun hari ini, laki-laki tersebut mengingkari janjinya sendiri. Ia menahan semua rasa tersiksa tersebut sendirian, tetap menampakkan wajah baik-baik saja. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, ia terlanjur terjebak dalam cinta semu tuan durjana. Setiap hari ditempa oleh pujian, rayuan, gombalan bahkan tak sedikit mendapat kejutan. Laki-laki tersebut pandai sekali membuat dunianya penuh warna, seolah-olah rasa cintanya sama seperti yang Greesa rasakan. Dan akhirnya topeng tuan durjana tak bertahan lama, terkuak seiring berjalannya waktu. Greesa tiba di hotel yang dimaksud bersama pengacara pribadi Angga, sebisa mungkin ia menampilkan wajah terbaiknya. Tetap professional dan tak banyak bicara. Selama sidang di tempat berlangsung, ia tak sudi menatap kedua wajah manusia penuh topeng tersebut. Greesa lebih menahan amarah dan dendamnya pada mereka, pikiran ingin sekali menampar kedua sejoli itu sampai mampus tetapi hati menjaganya agar tetap tenang dan santai. Angga terlihat gelisah dalam duduknya, ia tak tenang melihat Greesa yang memasang wajah datar bahkan enggan menatapnya. Tak ada niatan sama sekali dirinya untuk menyakiti hati Greesa, ia terpaksa melakukan semua ini karena khilaf. “Gree? Aku minta maaf sama kamu, Gree,” ucap Angga dengan membuntuti Greesa yang akan pergi meninggalkan tempat tersebut, masalah mereka telah selesai tanpa jalur hukum. “Sayang, aku minta maaf sama kamu. Gree, aku ngaku salah, tolong maafin aku. Kamu jangan pergi dari aku, Gree,” lanjutnya dengan memegang lengan perempuan tersebut. Greesa menyentak tangan Angga, tatapannya pun tak bersahabat sama sekali dengan laki-laki tersebut. “Apa lo bilang, Ngga, sayang? Lo nggak lagi mimpi kan? Menurut gue, kita udah nggak ada hubungan lagi. Cukup segini aja, Ngga, gue udah nggak kuat nahan semuanya. Apa kurang gue berkorban selama ini? Apa kurang gue berjuang sama lo? Sebisa mungkin gue selalu ada buat lo, Ngga, gue selalu berusaha ngasih yang terbaik buat lo. Bahkan ayah lo udah gue anggep seperti ayah gue sendiri asal lo tau, tapi apa balasan lo ke gue? Cukup sampai sini aja, Ngga, lo ngasih luka ke gue. Selama ini gue masih kuat, tapi untuk kali ini gue udah nyerah. Gue nggak mampu lagi, Ngga. Karena emang kita emang berawal dari paksaan bukan murni saling punya perasaan, gue kira lo udah sayang sama gue selama ini. Ternyata gue salah, Ngga, gue salah besar berprasangka kek gitu ke lo. Nyatanya sampai sekarang pun, lo nggak pernah sayang sama gue. Makasih udah mau buang waktu lo sama perempuan penuh kekurangan kek gue, Ngga.” “Dan satu lagi, ayah lo kangen sama lo. Beliau minta lo buat datang ke rumah,” lanjut Greesa dengan menahan air matanya agar tak menetes. Greesa menatap sahabatnya, Zora, perempuan itu berjarak tiga meter di belakang Angga. “Dan buat lo, Zo, makasih udah nemenin gue selama ini, udah jadi sahabat gue, jadi temen berbagi keluh kesah. Gue nggak nyangka sama lo, Zo, ternyata ini balasan yang lo lakuin ke gue setelah apa yang udah gue berikan ke lo. Gimana rasanya nikmmatin bekas sahabat lo sendiri? Selamat menikmati bekas gue! Hasil merebut pasti akan terebut kembali, inget karma.” Ia tersenyum kecil menatap Zora yang hanya diam. “Emang kalian berdua itu cocok banget jadi sepasang kekasih, yang satu peng*khianat, satunya penghancur. Dimana-mana emang peng*khianat itu selalu bersanding sama penghancur. Sekarang gue nggak perlu repot-repot buka wajah asli lo, malah dengan senang hati lo buka topeng sendiri. Gue nggak nyesel pernah kenal lo kok, Zo, sebelum lo suka nyosor pacar orang lain, lo adalah manusia baik hati.” Greesa memesan taksi, sementara ia akan menyewa hotel untuk menenangkan hati dan pikirannya, mungkin untuk esok hari ia akan meninggalkan pekerjaan dan juga laki-laki tersebut. Tak ada teman berbagi cerita, ia dari awal pindah hanya dekat dengan Zora. Dan sekarang tak tau harus kemana ia berbagi beban pikirannya tersebut. “Emang saatnya gue harus keluar dari zona nyaman, gue harus bisa sendiri mulai sekarang. Lo nggak selamanya ngandelin orang lain terus, Gree, mulai sekarang pokoknya lo harus mulai mandiri. Greesa pasti bisa, jangan putus asa ya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD