NE 7 - Saling terbuka

1288 Words
“Lo tau nggak, Gree, rasanya ditinggal pergi sama orang yang paling lo sayangi? Tapi bukan pergi untuk kembali atau suatu saat nanti bisa berjumpa kembali, dia pergi untuk selamanya.” Greesa menatap laki-laki di depannya yang tengah menyeruput secangkir kopi. “Maksudnya ditinggal meninggal gitu, Sa?” “Ya begitulah, Gree, terkadang gue pengen banget nyusul mereka yang gue sayangi ke surga. Tapi gue sadar, mereka pergi bukan berarti kehidupan gue juga ikutan berakhir. Yang jelas separuh hidup gue hilang, mengembalikkannya itu butuh waktu lama banget. Sampe sekarang aja masih ngerasa belum penuh seutuhnya, inilah hidup kita perlu berproses dan bertahan. Kalau menurut gue, lo sama dia belum terikat janji apa pun masih enak buat bubar.” “Gue yakin lo bisa, Sa, lo udah sampai di titik ini sekarang jadi lo harus pertahanin semuanya. Kalau masalah mantan gue, sampai sekarang nggak pernah ada pikiran dia berani selingkuh dari gue. Ya namanya juga manusia kan ya wajar kalau khilaf, Sa. Tapi lama-lama muak lihat wajah tuh manusia, satu dua kali bisa dibilang khilaf, tapi kalau udah tiga empat dan seterusnya namanya udah beda lagi itu jadi kebablasan. Nggak bisa di rem lagi tuh nafsunya,” ucap Greesa dengan terkekeh pelan. Aksara ikut menggelengkan kepalanya pelan, bibirnya pun menyunggingkan senyuman tipis. “Lo kok bisa sekuat sekarang, Sa? Apa resepnya? Boleh dong gue dikasih bocoran dikit aja,” tanya Greesa. Aksara terkekeh pelan. “Mudah sih, langkah awal lo harus bisa memaafkan diri lo sendiri. Lo jangan menyalahkan diri lo sendiri atas kejadian yang telah terjadi, semua udah diatur sama Tuhan. Kalau lo udah bisa memaafkan diri lo sendiri, selanjutnya bakalan mudah lo jalani secara semuanya udah lo ikhlasin. Dengan cara membakar barang pemberian dia, itu cuma sia-sia. Percuma juga kenangan yang ada di otak lo masih ada bahkan masih banyak, sayangnya juga barangnya beli pakek uang padahal mending dipakai lagi aja.” “Saran aja sih, Gree, maafkan diri lo sendiri terus ikhlasin apa yang udah ninggalin lo. Siklus kehidupan itu pasti ada yang ditinggal dan juga meninggalkan, jadi lo nggak usah khawatir nggak bisa dapat pengganti dia. Jalani aja dulu kehidupan lo,” lanjut Aksara. “Gue rela dia sama yang lain, semua itu udah jadi keputusan dan pilihan dia. Lagian nggak guna juga gue pertahanin dia kalau sifatnya aja gitu, sama aja mau bunuh diri secara perlahan. Mulai sekarang gue harus bisa maafin diri gue sendiri, semua udah diatur sama Yang Maha Kuasa. Tapi keknya susah banget, Sa,” keluh Greesa dengan menggembungkan pipinya. “Lo belum nyoba malah udah ngeluh duluan, Gree. Gimana lo mau berhasil kalau udah mikirin hal yang nggak pasti terjadi, lo jangan pesimis duluan lah. Tanam dalam hati lo, kalau apa pun rintangannya lo pasti berhasil. Pokoknya lo harus optimis,” tutur Aksara dengan menyeruput kopinya. “Yuk, Greesa cantik, lo pasti bisa! Semangat, kita pasti bisa! Kalau nanti gue udah capek, tolong tampar gue sekuat mungkin biar nggak loyo. Greesa cantik nggak boleh nyerah!” Greesa akhirnya tersenyum, ia menatap sekitarnya yang mayoritas berisi anak muda sedang kencan atau sekedar makan siang bersama. Ia menyeruput cokelat dinginnya perlahan. “Sa, ini rapatnya lo yakin di sini? Tempatnya kok nggak menyakinkan gini sih, lo lihat kan isinya anak SMA sama mahasiswa lagi kasmaran. Nggak ada bau-bau orang kantoran mau rapat di sini, lagian nih tempatnya lebih cocok buat nongkrong daripada buat rapat. Lo yakin ini tempatnya, Sa?” “Iya, tadi gue di suruh pesen meja nomor ini kok. Kita rapatnya nggak terlalu formal kok, Gree, ngobrol santai aja. CEO perusahaan itu juga masih muda, wajar kalau milih tempat yang kek gini mungkin pengen suasana yang kekinian banget. Usia kita juga belum tua banget kok, masih cocok duduk bareng sama mahasiswa gini. Malah dikira kita masih anak kuliahan ntar, Gree, dulu gue jarang banget bisa nongkrong kek gini sama temen-temen. Mana ada yang mau nongkrong sama anak aneh kek gue kalau bukan cuma si Sagara, jadi nggak masalah ngerasain gimana rasanya nongkrong di tempat i********:-able kek gini. Gue rasa juga lo dulu jarang banget kan nongkrong kek gini, paling dari kampus pulang terus ngerjain tugas.” Greesa menghembuskan napasnya perlahan, ia menatap Aksara trenyuh. “Lo nggak usah bener ya kalau ngomong, emang sih jaman kuliah gue jarang banget bisa nongkrong kek gini. Menurut gue buang waktu jadi lebih baik di kamar aja ngerjain tugas, dulu temen gue sering ngajakin nongkrong tapi ya nggak semua ajakan dia gue ikutin. Lihat deh ada yang masih pakek seragam SMA, seru kali ya kalau dulu gue luangin waktu buat nenangin diri kek gini. Sebagian anak kuliahan ngerjain tugas, sebagian cuma nikmatin tempat sama makanan aja, ada juga yang foto-foto, eh ada juga yang pacaran. Beruntung sekali mereka yang menghabiskan waktu mudanya dengan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan, yang nggak mungkin dilakukan pas udah terjun di dunia kerja. Gue keknya nggak mungkin bisa memutar waktu untuk menikmati dunia tanpa beban kek mereka,” ucap Greesa dengan wajah tertekuk masam. “Lo mau kek mereka, Gree?” Greesa menatap Aksara lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Gue sadar beban hidup gue semakin hari tuh semakin tambah berat, bukannya malah ringan. Jadi nggak papa deh gue dulu nggak bisa ngerasain kek yang mereka rasain, semua orang prosesnya nggak harus sama kok.” “Tapi kekya seru, Gree, kapan-kapan kalau ada waktu kita coba deh kek mereka. Lo mau nggak? Harus mau lah, kan Aksa nggak nerima penolakan.” Keduanya saling adu pandangan lalu terkekeh bersama. “Mujur sekali bagi bos yang mendapatkan sekretaris seramah dan secantik mbak ini,” ucap laki-laki yang berhasil membuat kedua manusia tersebut terkejut. Laki-laki berjas biru muda itu duduk di samping Aksara, ia tersenyum kecil melihat mereka masih memasang wajah terkejutnya. “Kalau datang bisa nggak, jangan ngagetin! Lo pikir jantung bisa dijual di pasar apa? Tadi bilangnya jam dua kenapa jam satu udah sampai, makan siang gue aja belum datang.” Laki-laki itu terkekeh pelan. “Lo kok pinter banget sih, Sa, kalau cari sekretaris cantik. Namanya siapa, Sa?” “Dia Greesa, Ven. Nah, Gree, ini CEO gendeng yang ngajak kita rapat di sini namanya Ravender. Kita makan siang dulu aja ya, baru ngobrol-ngobrol santai.” Raven mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Ini pacar lo apa sekretaris lo, Sa? Gue curiga ini pacar lo yang merangkap jadi sekretaris, iya kan? Ngaku lo, Sa, biasanya lo kan suka banget beralasan. Raven yang sekarang bukanlah Raven yang dulu, sekarang lebih cerdas dikit.” “Saya sekretarisnya Pak Aksa, Pak Raven, mohon jangan salah paham.” Greesa tersenyum kikuk. “Jangan kaku ya, Cantik, kita di sini cuma bahas pekerjaan yang ringan aja kok. Pokoknya kita bertiga pakek bahasa non formal oke? Panggil Raven aja atau sayang juga boleh kok,” jawab Raven dengan mengedipkan matanya. “Nggak usah caper sama Greesa, dia udah ada pawangnya. Lo jangan macem-macem sama dia, Ven, pawangnya kuat banget lo aja nggak mampu nandingin.” Raven menatap Greesa dengan mata menyipit. “Wajar lah dia dapat pawang yang kuat, secara dia kan cantik gini. Yang jelas lo ya, Gree, jangan mau sama Aksara. Selain dia pelit, dia juga kurang LAKIK! Lo cocoknya sama Ravender, udah ganteng, kaya raya lagi.” “Yang jelas sih, gue nyari anak tunggal kaya raya. Lo ada saudara, Ven?” tanya Greesa dengan mengangkat alisnya. “Wah, selain cantik lo juga tengil ya. Asik juga gaya lo, Gree, kalau bisa lo nggak usah gonta-ganti sekretaris lagi. Cukup Greesa sampai nanti, kalau bisa nikahin aja.” “Orang nggak waras jangan didengerin, Gree, lo aman sama anak tunggal kaya raya kek gue.” Raven tertawa dengan memukul kepala Aksara. “Bisa aja lo, kutil badak!” “Usaha dulu hasil belakangan, ya kan? Lo harus dukung gue, Ven,” ucap Aksara dengan mengedipkan matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD