Bab 8. Pengaruh Iblis

1190 Words
Devon pulang lewat jam satu pagi setelah dari kondominium Izzy. Kali ini ia memilih pulang ke apartemen mewahnya dari pada ke apartemen Shannon Kinsley. Setelah melemparkan jaket sembarangan, Devon menghempaskan punggungnya ke atas ranjang hangat yang sudah lama tidak ia kunjungi. Rumahnya seperti goa belakangan ini–sepi. Entah mengapa ia masih saja memikirkan Izzy yang tidak menerima tawarannya. Apa pedulinya jika gadis itu menolak dan memilih jalannya sendiri? Kenapa harus dia yang repot memikirkan hati orang lain. “Ah, jangan dipikirkan, DK! Dia bukan apa-apa!” Devon membuka kaosnya lalu celana dan hanya meninggalkan bokser seksi. Ia menendang celana jeans yang dilepaskannya lalu masuk ke balik selimut, malam ini ia ingin tidur. Butuh waktu lima belas menit sampai Devon tertidur dan melupakan Izzy. Sampai pagi menjelang dan kenikmatan tidurnya terusik oleh bunyi ponsel. Devon menggerang di balik permukaan ranjang. Semalaman ia tidur tengkurap dan tak bersedia untuk bangun. “Sayang, bangunlah. Kenapa kamu malah tidur di sini?” protes Shannon yang menerobos masuk ke kamar Devon dan menemukan pria muda itu masih tidur. Devon bergeming dan hanya menggerang tak jelas. Shannon meletakkan tas tangan Gucci miliknya di atas meja lalu menghampiri Devon dan mendorong tubuhnya sampai terlentang. Devon sedikit kebingungan dengan rambut acak dan mata separuh terpejam. “Shan?” Shannon tersenyum lalu duduk di sisi ranjang. Tangannya mengurai rambut hitam Devon dan mendekat padanya. “Kenapa kamu tidak pulang ke rumahku?” tanya Shannon lagi. “Aku pulang pagi.” Devon menjawab sambil menoleh ke arah lain. “Dengan siapa?” “Sendiri.” Shannon tersenyum dan mendengus pelan. “Oh ya? Seperti bukan dirimu.” Devon hanya menyunggingkan cengiran sinis lalu menarik pinggang Shannon untuk mendekat. Shannon mengulum senyum nakalnya sambil membelai pipi Devon. “Karena kamu sudah datang, bagaimana kalau kita ....“ Devon menyusupkan sebelah tangannya ke dalam pakaian dan blazer Shannon. Dengan cekatan, jemari itu meremas sebelah d**a Shannon dan wanita itu hanya memberi respons tertawa tanpa menghalangi. Ia sedikit menjauh tapi tangan nakal Devon masih meremas-remas gundukan lembut yang tak begitu montok itu sambil membuat desahan palsu. “Apa kamu sudah mandi?” Shannon semakin memancing Devon. Devon menekan dinding mulutnya dan terkekeh sebelum mengedipkan mata kecilnya yang tajam. “Aku butuh sedikit olahraga air,” ucap Devon bangun dari tempat tidur lalu seenaknya melepaskan celana boksernya dengan telanjang masuk ke dalam ruang kamar mandi. Shannon pun ikut berdiri dan melepaskan syal, lalu blazer dan pengait celana panjangnya. Devon keluar lagi dari kamar mandi karena menunggu lama. Ia berdiri tanpa apa pun yang menutupi miliknya sama sekali. “Apa lagi? Kenapa lama sekali?” tukas Devon dengan sikap dominannya yang seksi. Shannon tersenyum lalu melepaskan seluruh pakaiannya. Tanpa malu, ia melewati Devon yang telanjang sama seperti dirinya ke kamar mandi. Devon memukul b****g Shannon kala ia berjalan. Bukannya marah, Shannon malah suka dan tergelak masuk lebih dulu sebelum Devon. Dengan agresif seperti biasa, Devon menghempaskan Shannon ke dinding lalu melumat bibirnya. Shannon langsung b*******h dan membalas ciuman itu sama agresifnya. Tak cukup, Devon menaikkan kedua kaki Shannon ke pinggulnya lalu menyesakkan miliknya yang sudah tegak berdiri dalam satu kali hentakan. “Ugh, Dev!” lenguh Shannon menjambak rambut Devon sekaligus berpegangan padanya. Devon hanya mengerang saja dan mendorong kuat seperti yang biasa ia lakukan. Kedua tangan Devon menekan dinding marmer mahal di kamar mandinya dengan wajah yang kini menjelajahi ceruk leher Shannon. Sepuluh menit kemudian, Devon mengubah posisi dengan membalikkan tubuh Shannon lalu memukul bokongnya sekali lagi. “Dasar nakal!” umpatnya mengerang kasar. Shannon makin melenguh menikmati setiap tindakan hubungan lendir yang agresif itu. Stamina Devon memang luar biasa. Ia adalah sosok penikmat seksualitas sejati bagi Shannon. “Ahh!” Shannon kembali melenguh keras kala Devon menghunjamkan miliknya dan bergerak tanpa henti. Sekalipun mereka di kamar mandi dan percikan air dari shower membasahi, hal itu tidak membuat suasana jadi sepi. Bunyi kepak kulit yang beradu makin menambah besarnya gairah yang memanas. Jika sudah terangsang seperti itu, Devon tidak akan berhenti. Ia bisa membuat Shannon lemas sampai tak sanggup berjalan. “Ah, b******k!” umpat Devon setelah miliknya agak sedikit sakit karena terlalu lama bergesek. Namun, ia baru berhenti setelah semuanya lepas. Devon terengah lalu membalikkan tubuh Shannon yang sudah tak sanggup berdiri dan menciuminya agresif. Seperti biasanya, Shannon tetap melakukan yang diinginkan oleh Devon. *** Izzy seharusnya tidak perlu berlatih pagi ini. Kakinya masih di masa pemulihan cedera usai kejadian dua malam lalu di studio. Namun, ia tidak ingin hanya berada di rumah dan makin gila jika memikirkan Arion dan Mila. Maka, Izzy memilih untuk sarapan di kafe dekat dengan tempat tinggalnya. “Izzy? Hai, kamu di sini?” Izzy sedikit terkesiap lalu menoleh ke belakang dan menemukan salah satu teman seprofesinya menghampiri. “Hei, Marion! Apa kabarmu?” Izzy balas menyapa. “Aku baik. Ini benar-benar sebuah kejutan kita bertemu di sini– “ Izzy tersenyum lebih lebar dan mengangguk. Marion juga tersenyum ramah dan terus mengusap sisi lengan Izzy. Mereka pernah satu sekolah balet yang sama lima tahun lalu. Marion dan Izzy juga pernah tampil di panggung yang sama. Sayangnya, dua tahun lalu Marion memutuskan berhenti. Ia menikah dan pindah ke Kanada. “Apa kamu kembali ke New York?” tanya Izzy antusias. Rasanya memang berbeda jika bertemu dengan teman lama. “Ya untuk sementara aku pindah mengikuti suamiku, Cris kemari. Oh iya, kenalkan ini putriku, namanya Abigail.” Marion menaikkan seorang balita berusia tiga tahun ke hadapan Izzy untuk diperkenalkan padanya. “Oh, hai? Dia cantik sekali. Hai, Abigail!” Izzy menyapa dengan ramah. Balita itu ikut tersenyum dan memeluk Izzy tiba-tiba. Seketika hati Izzy yang sedang terluka jadi menghangat karena pelukan kecil itu. “Hehe, sepertinya Aby menyukai Aunty Izzy, ya?” celetuk Marion sekilas memuji Izzy. Izzy tersenyum dan ikut memeluk Abigail yang malah bergelayut padanya. “Maaf, Izzy .... “ “Tidak apa-apa. Apa kamu kan menari lagi?” Izzy mulai mengobrol santai. “Tidak. Aku sudah pensiun dan memilih di rumah saja mengurus Abigail. Jika Aby ingin menari balet, aku bisa menjadi guru pribadinya.” Izzy ikut tertawa dengan perkataan Marion sambil terus mengusap rambut Aby yang sedikit ikal namun lembut. “Apa tidak sayang meninggalkan balet? Maksudku, kamu sangat berdedikasi dulunya.” Marion tersenyum lalu menggelengkan lagi kepalanya. “Percayalah saat kamu merasakan menjadi seorang Ibu, kamu tidak ingin kembali ke duniamu yang lama. Aby membuatku jauh lebih bahagia dan mencintai diriku sendiri. Aku tidak bilang jika menjadi penari seperti kita dulu maka kita tidak mencintai diri sendiri, tapi rasanya sangat berbeda, Izzy,” ujar Marion dengan pandangan teduh pada Izzy yang diam mencermati perkataan teman lamanya tersebut. “Tidak ada kebahagiaan yang lebih baik dari pada mendapatkan seorang bayi dan membesarkannya. Percayalah, itu sebanding dengan rasa sakitnya.” Marion kembali menyambungkan. Izzy kembali tersenyum meski tak selebar sebelumnya. Ia mengusap kepala Aby dan tersenyum pelan. Pikirannya teringat pada Mila yang mungkin sekarang sedang sangat bingung serta stres. Usai berbincang dengan Marion lalu mereka berpisah, Izzy pun mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang untuk mencari nomor ponsel Devon. Setelah 10 menit, barulah ponsel Izzy tersambung pada Devon. “Halo?” “Aku terima tawaranmu. Aku mau jadi pacarmu tapi ... aku punya syaratnya!”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD