Bab 7. Di Balik Layar

1256 Words
Devon tak berkedip sama sekali kala melihat separuh tubuh mulus Izzy terpampang di depannya. Tunggu dulu, bukankah pemandangan bugil gadis-gadis telah sering dilihatnya selama ini? sedangkan Izzy malah menutupi dadanya dengan handuk putih yang melilit. Ia tak ubahnya anak gadis magang usia 16 tahun yang baru keluar dari kamar mandi asrama usai membersihkan diri. “Aaa ....” “Apa yang kamu lakukan di sini, Devon Kazuya? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku!” pekik Izzy mengejutkan lamunan Devon yang sempat melayang sedetik lalu. “Oh, itu. Kamu tidak membuka pintunya, aku pikir ....” Devon menurunkan lagi telisik bola matanya ke paha mulus milik Izzy. Wow, kulitnya berkilauan padahal warna lebih terang dari milik Devon. Izzy tidak menunggu waktu untuk mendengar alasan Devon. Segera mungkin ia mengusir DJ itu keluar. “Keluar kamu!” bentaknya judes meski dengan suara masih tergolong lembut. Devon malah bengong lalu menoleh ke arah pintu. Ia jadi salah tingkah dan kebingungan. “Yakin kamu mau aku keluar?” pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulut Devon dengan polosnya. Akan tetapi, Izzy menganggapnya sebagai lelucon untuk menggodanya. Jadi dengan cepat tangannya mengambil bantal dari atas tempat tidur dan melemparkannya pada Devon. “Aku bilang keluar!” “Akhh! Oke sabar dulu, aahhkk!” bantal kedua mendarat tepat di kepalanya. Sebelum si angsa cantik itu mengamuk lebih lanjut, Devon memilih kabur untuk menyelamatkan nyawanya. Memang bantal tidak akan bisa membunuhnya. Tetapi harga dirinya bisa hilang jika ketahuan ia diusir seorang gadis dengan lemparan bantal. Devon sontak menyadari jika tetangga Izzy masih di ruang tengah menunggu hasil dari menerobos masuk kamar. Ia juga tidak akan tenang jika sang tetangga mungkin terluka. Pria itu melebarkan matanya pada Devon yang keluar separuh berlari dari pintu. Sayangnya, Devon cepat menguasai situasi. “Aku tunggu di luar, Sayang.” Devon separuh berseru sambil menutup pintu kamar meski ada suara di balik pintu. Untung saja Izzy tak berteriak yang membuat cengiran Devon ada artinya. “Maafkan aku, aku sudah merepotkanmu. Ternyata pacarku sedang mandi. Aku sangat mengkhawatirkannya, soalnya dia sedang sakit,” cerocos Devon memberikan alibi tanpa diminta. Pria itu mengangguk saja. Ia sedikit memiringkan kepalanya mengintip ke arah kamar Izzy di balik tubuh Devon. “Jika sudah baik-baik saja, sebaiknya aku keluar,” ujar si tetangga pada Devon yang langsung mengangguk. “Terima kasih atas bantuanmu.” Devon pun mengajak pria itu keluar dengan mengantarkannya ke depan pintu. Setelah urusan tetangga selesai, Devon menarik napas lega dan berkacak pinggang di depan pintu. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Izzy yang mengusirnya. Jika bukan karena pikiran buruknya, mungkin benar gadis itu akan mencelakakan dirinya. Herannya, kenapa itu jadi masalah untuk Devon yang notabene bukan musuh apa lagi teman Izzy. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini? Kenapa kamu bisa masuk kemari? Apa kamu menerobos masuk seperti pencuri?” tuding Izzy dengan semangat berapi-api. Ia keluar dari kamarnya usai mengenakan tank top yang cukup seksi dan celana sweatpants panjang agak mengembang di ujungnya. Rambutnya digelung ke atas memperlihatkan betapa indah pundak serta lehernya. Ditambah dengan semerbak harum sabun vanylla mint yang masuk perlahan ke dalam penciuman Devon. “Aku masuk lewat pintu, aku bukan pencuri,” sahut Devon membela diri di tengah matanya yang jelalatan menjelajahi lekuk tubuh Izzy. “Kamu benar-benar aneh, Devon Kazuya! Aku yakin sudah mengunci pintunya!” seru Izzy masih melotot dengan mata indahnya. “Oke. Kalau begitu mengapa kamu tidak membuka pintunya saat aku membunyikan bel sedari tadi? Tidak hanya aku, tetanggamu yang tadi juga suda membunyikan bel tapi kamu tidak membuka pintunya.” Devon beralasan. Perdebatan pun tidak dapat dihindarkan sama sekali. “Aku sedang mandi jadi aku tidak mendengar bunyi bel apa pun.” “Oh, baguslah. Karena jika kamu tidak membuka pintu dalam lima menit, aku sudah pasti akan memanggil polisi,” sindir Devon tak mau kalah. “Lalu kamu mau apa datang kemari? Urusan kita sudah selesaikan?” Devon menyeringai sinis dan menggelengkan kepalanya. “Siapa bilang? Aku harus bicara denganmu. Ini penting karena menyangkut harga diri.” Tanpa peduli dan izin dari sang empunya rumah, Devon berjalan ke sofa dan duduk. Izzy yang bingung makin mengernyit tak mengerti. Mengapa ia jadi terlibat dengan makhluk aneh yang satu ini? sambil menarik napas panjang serta berusaha sabar, Izzy ikut mendekat dan duduk di sofa di depan Arion. “Katakan kamu mau apa?” tukas Izzy dengan nada ketus dan sikap tubuh menantang. Ia melipat kedua lengan di dadanya dan menyilangkan kakinya di depan Devon. “Mengapa kamu tidak mengatakan pada Arion jika kita pacaran?” tanya Devon dengan lugas tanpa basa-basi. “Karena kita memang tidak pacaran. Bukannya kamu yang mengatakan sebaiknya aku mengaku padanya jika aku pacaran dengan pria lain untuk menyakitinya?” “Benar. Tapi yang aku maksudkan adalah kamu mengaku padanya bahwa kita pacaran sekarang!” “Untuk apa?” “Bukannya kamu ingin menyakitinya?” “Tidak, aku tidak bilang begitu,” elak Izzy menyanggah pendapat Devon. Devon terdiam dengan raut menekuk kesal. Kali ini Izzy tidak tegas soal pembalasan untuk Arion. “Jadi kamu akan membiarkan dia begitu saja?” Devon balik bertanya dengan nada lebih datar. Izzy diam dan membuang pandangannya ke arah lain. Devon menarik napas panjang lalu berdiri dan mendekati Izzy. Ia duduk di sebelahnya sambil terus memandangnya. “Apa kamu sadar yang sudah dilakukan Arion padamu, kan? Dia pacaran denganmu lalu berselingkuh dengan Mila, saudari kembarmu. Menurutmu apa itu pantas?” imbuh Devon membuat Izzy menoleh padanya dengan tatapan tajam namun terluka. “Aku bingung,” sebut Izzy dengan suara pelan. Devon menarik napas panjang sekali lagi. “Arion bilang padaku jika ia tidak menginginkan bayi itu. Mungkin dia akan mengaborsinya.” “Apa?” sahut Izzy kaget. Devon mengangguk sekali lagi. “Iya. Setelah dia melakukan kesalahan dia tinggal menghapusnya, bukan begitu?” sindir Devon sinis. “Apa maksudmu bicara seperti itu? Maksudmu dia tidak akan bertanggung jawab?” “Aku rasa. Apa yang sulit, jika Mila setuju aborsi bisa dilakukan. Aku rasa ayahmu mungkin tidak perlu mengetahuinya.” Izzy terdiam dengan kalimat Devon yang mulai mempengaruhinya. “Aku hanya kasihan dengan Mila. Bisa jadi dia hanya korban keserakahan Arion yang ingin memiliki kalian berdua,” sambungnya lagi makin memojokkan sahabatnya sendiri. Izzy mendelik kesal mendengar pendapat Devon soal Arion yang ia kenal baik. “Arion adalah pria yang baik. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.” Devon mendengus sinis dan terkekeh kecil. “Lalu kamu akan sebut apa perbuatannya sekarang?” Izzy terdiam dan membuang muka. “Jangan plin-plan, Izzy. Kamu harus tegas pada Arion atau kamu memang menginginkan aborsi itu dilakukan?” Izzy menoleh pada Devon dan menggelengkan kepalanya. Wajahnya tampak bersedih sekaligus bingung. “Kalau begitu kamu harus membuat rencana.” “Rencana apa?” “Kamu membalas Arion sekaligus membuat dia bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukannya. Jika dia memilih aborsi dan kamu mendukungnya hanya agar tidak kehilangan dia, maka kamu sama saja buruknya dengan Arion,” ujar Devon membuat Izzy terdiam. Devon makin mendekat dan Izzy tak beranjak dari posisinya. “Aku tahu kamu pasti ingin membalas Arion atas sakit hatimu. Maka mengakulah padanya jika kamu pacaran denganku. Setidaknya satu belati tertancap di hatinya kini kan? Dia pasti tidak akan menyangka jika aku bisa pacaran denganmu.” Izzy masih diam dan berpikir lagi. Otaknya buntu dan tidak bisa mengambil keputusan yang baik. Devon yang sesungguhnya berwujud iblis tengah mempengaruhi Izzy untuk menjauhkan Arion darinya. Devon tak suka melihat Izzy dekat dan memilih Arion. “Apa akan berhasil?” tanya Izzy makin ragu. Devon kembali tersenyum dan sekilas menjilati bibirnya. “Iya, aku yakin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD