Bab 14. Diam-Diam Pacaran

2294 Words
Jacob Neville masih harus berurusan dengan atasannya Andrew Miller yang kini membawanya ke sebuah klub malam terkenal bernama Medieval. Siapa yang tak kenal tempat menghamburkan uang untuk kesenangan. Salah satunya adalah kokain dan methapethamine. “Pak? Apa kamu yakin mereka tidak akan mengenalimu? Apa hubungan semua ini dengan kejadian ponsel tadi siang?” tanya Jacob sedikit berbisik pada Andrew. “Dengar ya, tempat ini dimiliki oleh Jupiter King. Dia adalah orang yang tepat untuk bekerja sama dengan kita menangkap jaringan kartel SRF yang masuk ke New York. Mereka akan mencari jaringan dari gangster Cina yang berkuasa di kota ini.” Andrew mulai menjelaskan sambil celingukan kiri kanan. “Izzy kehilangan ponselnya bukan kebetulan berada di wilayah milik Golden Dragon. Seseorang mengambil ponselnya untuk menjadi kurir, Tuan Neville,” imbuhnya sedikit mengolok. Jacob hanya diam sedikit melirik pada Andrew. “Sesungguhnya aku tidak peduli dengan ponsel itu, aku bisa membelikan Izzy seribu ponsel yang lebih mahal ─” kening Jacob sontak mengernyit. ‘Memangnya dia sanggup membeli seribu ponsel?’ gumam benak Jacob meremehkan. “Tugasmu sekarang adalah memata-matai ruang itu─” Andrew menunjuk ruang VIP yang terletak di lantai atas tempat Devon dan teman-temannya sedang berkumpul. “Perhatikan siapa saja yang keluar dari sana. Ambil fotonya dan berikan datanya padaku, mengerti?” Jacob kemudian mengangguk paham pada perintahnya. “Satu lagi, namaku Ardeth El Ardor, jika ada yang bertanya.” Jacob mengangguk lagi. Ia dan Andrew berpisah untuk saling membaur dengan pengunjung lain di klub malam tersebut. Jacob Neville adalah polisi anti narkotika dan obat-obatan terlarang. Ia sedang bersama Andrew Miller melakukan penyamaran untuk masuk pada kelompok kartel asal Meksiko yang bernama SRF yang meluaskan jaringan ke New York. Tujuan mereka adalah mencegah beredarnya obat-obatan terlarang seperti kokain, meth dan ekstasi. Mata Jacob mengawasi dua hal. Satu adalah Andrew Miller yang sedang bergabung dengan anggota kartel lain dan ruang di atas yang tertutup dan dijaga oleh dua orang. Tak lama, seseorang keluar dari ruang VIP tersebut dan menuruni tangga. Ia menghampiri Andrew dan Jacob pun mulai merekam. Entah apa yang dibicarakan oleh pria berambut pirang tersebut bersama kartel SRF juga atasannya. Selang 20 menit kemudian, seorang lagi keluar dan kali ini hanya berdiri di pinggir railing menatap ke bawah. Pria membuka hoodienya dan memanggil satu dari dua orang yang sedang menjaga pintu lalu menunjuk ke arah bar bawah, tempat Andrew Miller berada. Jacob yang masih merekam lantas mengernyit curiga. “Siapa dia?” gumamnya kemudian memperbesar tangkapan gambarnya. Sayangnya, pria itu menoleh ke arahnya dan langsung melotot menunjuk. Jacob masih merekam dengan ponselnya yang terarah ke wajah pria itu. Sedangkan wajah Jacob sedikit tertutup posisi ponsel. “Oh Tuhan, aku ketahuan!” sahut Jacob kaget. Ia langsung berbalik dan berjalan ke belakang untuk bersembunyi. Pria itu tak tinggal diam. Ia bersama dua orang lainnya mengejar Jacob ke bawah. Jacob menyusupkan dirinya dan berhasil bersembunyi di balik dinding menuju koridor untuk ruang dansa outdoor. Pria itu tampak kebingungan mencari Jacob di tengah banyaknya orang-orang. Ia yakin jika sudah ada penyusup yang masuk ke klub malam tersebut. “Ketua, kami tidak dapat menemukannya! Aku rasa dia sudah kabur,” lapor salah satu pria. Jacob masih bisa mengintip dan mendengar dari balik dinding. Pria itu terlihat kembali memakai hoodie agar tak ada yang mengenalinya. “Periksa semua tempat sekarang. Kalau perlu, bongkar semua ponsel pengunjung. Aku mau tahu siapa yang sudah berani merekamku tanpa ijin!” Pria itu begitu berang mendengar saat Jacob tak ditemukan. “Baik, ketua!” Jacob baru bernapas lega setelah pria berhoodie itu pergi bersama orang suruhannya. Ia mengintip sekali lagi untuk memastikan. “Huff, hampir saja!” Jacob bernapas lega. Ia akhirnya kembali masuk untuk meneruskan pekerjaan menguntitnya tersebut. Namun kali ini, Jacob lebih hati-hati. Usai pertemuan di Medieval, Devon memutuskan untuk pulang ke apartemen kekasihnya Shannon Trevor. Ia sudah tiga hari tidak pulang dan malam ini Devon butuh teman tidur. “Kenapa kamu baru pulang?” tegur Shannon yang berdiri menggoda Devon dengan lingerie-nya yang seksi. Ia berjalan ke arah Devon yang sedikit lelah tapi tetap tersenyum menatap tubuh seksi Shannon meski mereka berbeda jauh dari segi usia. “Aku punya banyak pekerjaan ....” “Yang mana? Musik atau uang?” sebut Shannon seraya membelai d**a dan leher Devon yang tak tertutup pakaian hoodienya. Kedua tangan Devon ikut melingkar di pinggang Shannon yang akan memuaskan birahinya malam ini. “Dua-duanya. Ada laporan pajak yang harus aku baca.” Devon mendekat lalu mengulum agresif bibir Shannon. Shannon tak ragu membalas sama sekali. Ia sama sedang panasnya. Devon menyukai petualangan dan rasa berbeda. Jika kadang ia bermain dengan gadis yang lebih muda, kali ini sedang terpikat pada wanita dewasa dengan usia 44 tahun seperti Shannon. Sedangkan Devon yang masih berusia 24 tahun, menyukai sensasinya untuk saat ini. “Mhhm ... apa ini?” Shannon meraba sebuah ponsel dari jaket Devon. Devon sedikit terkesiap dan baru ingat jika ponsel Izzy masih ada di saku jaketnya. “Oh, ponselku,” jawabnya singkat. Kening Shannon mengernyit lalu mengeluarkan benda tersebut. Bentuk dan warna casingnya berbeda dengan milik Devon yang biasa ia gunakan. Devon sedikit membesarkan matanya. Oh Tuhan. “Ini milikmu? Tapi ....” Devon dengan cepat merebutnya lalu melemparnya ke salah satu sofa tak jauh dari mereka. “Itu ponsel baru. Ayo!” Devon menarik Shannon ke kamar agar ia bisa segera bercinta dan wanita itu melupakan masalah ponsel. Akan jadi masalah jika Shannon mengetahui kalau ponsel itu milik seorang gadis. Mungkin tidak, tapi Devon sedang malas menjelaskannya. Sudah bisa ditebak seperti apa hubungan badan itu berlangsung di kamar. Berbagai gaya dengan lenguh keras menggema sampai keluar kamar. Devon memuaskan semuanya. Sesungguhnya ia mulai bosan. Bosan dengan Shannon yang terlalu agresif dan selalu mencoba mendominasinya dalam hubungan mereka. “Oh my God! Kamu memang luar biasa, Dev!” lenguh Shannon menghempaskan dirinya ke ranjang usai menaiki Devon yang terengah. Devon tak menjawab. Ia menarik selimut dan menutupi miliknya sampai lengannya dipegang oleh Shannon. “Aku ingin tanya sesuatu padamu, Sayang.” Shannon menyampingkan diri dengan menopang kepalanya menghadap Devon yang menoleh padanya. “Apa?” “Apa Ibumu tahu tentang hubungan kita?” Devon menautkan alisnya bertanya pada Shannon apa yang ia maksudkan. “Aku bertemu Ibumu dalam pertemuan pengusaha hari ini. Aku datang mewakili klienku, Tuan Morrison.” Shannon kembali melanjutkan. “Lalu?” Shannon tersenyum lalu membelai ujung rambut Devon yang kecokelatan. “Apa menurutmu, dia akan menerimaku?” Kini kening Devon makin mengernyit. Ia jadi makin curiga dengan apa yang dimaksudkan oleh Shannon. “Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu,” aku Devon dengan lugas. Shannon sedikit mengulum bibirnya seolah ia sedang gugup menyusun kalimat yang tepat. “Uhm, aku hanya berpikir tentang hubungan kita. Kita sudah pacaran ─ uh, enam bulan ─” “Lima bulan.” Devon mengoreksi. Shannon tersenyum dengan Devon masih terus memperhatikan. Posisi Devon sudah sedikit naik ke atas bersandar di bantalnya. “Iya, maksudku─ apa kamu tidak memiliki keinginan untuk mengenalkanku pada Ibumu? Atau Ayahmu?” Devon langsung mencebik disertai kekeh kecil. Ia merasa seperti ada yang lucu. “Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?” Kali ini Shannon mulai duduk meski ia memilih tak menutupi area dadanya. Namun pandangan Devon dingin dan biasa saja. Gairahnya sudah hilang kini berganti dengan tatapan aneh. “Bukan, justru ini tidak lucu sama sekali. Apa kamu berpikir jika yang kita lakukan adalah hal yang serius?” cebik Devon menyindir Shannon. Giliran Shannon yang mengernyitkan keningnya. “Apa maksudmu bicara seperti itu?” “Kamu berkata seperti itu seakan kita akan menikah. Apa kamu berharap aku akan membawamu ke rumahku dan memperkenalkanmu pada orang tuaku?” Devon makin mengejek lebih keras. Raut wajah Shannon sudah berubah dan tak lagi bahagia seperti sebelumnya. Ia menatap kecewa pada Devon yang tak bersedia berpikir dewasa. “Shan, aku masih 24 tahun ....” “Jadi menurutmu aku terlalu tua untukmu?” sergah Shannon menambahkan kalimat yang akhirnya malah menyakitinya. Beberapa bulan ini yang dirasakannya pada Devon adalah hal yang berbeda. Pemuda itu bukan lagi teman tidur tapi juga kekasihnya. “Bukan aku yang mengatakannya,” cibir Devon tanpa perasaan. Serasa seperti ada sembilu yang menyayat hati Shannon kini. Belum pernah ada yang bisa menyakitinya seperti yang dilakukan oleh Devon Kazuya. Benarkah ia memang jatuh cinta pada Devon? “Sudahlah, aku capek dan ingin tidur.” Devon balik memunggungi Shannon yang masih duduk di posisi yang sama. Sedangkan Devon memilih menarik selimut lalu memejamkan matanya. Shannon mengeraskan rahang lalu memilih turun dari ranjang tersebut dalam keadaan telanjang. Ia berjalan ke kamar mandi lalu Devon sedikit melirik ke belakang. Devon menghela napas panjang dan kembali menatap dinding di depannya sambil tidur menyamping. “Apa aku sudah keterlaluan?” bisik Devon mulai sedikit merasa bersalah. Mungkin ia terlalu kasar pada Shannon yang sudah baik padanya. “Ah, masa bodoh!” umpatnya lagi memilih untuk memejam mata dan tidur dari pada capek-capek berpikir. Sedangkan di depan cermin kamar mandi, Shannon tengah memandangi diri dan tubuhnya sendiri. Ia mendekatkan wajahnya dan meraba kerutan halus di sudut lipatan mata yang sesungguhnya tak begitu kentara. “Apa aku sudah tua?” gumamnya pada cermin yang ia harap dapat menjawabnya. Sesungguhnya Shannon telah merogoh kocek ribuan dolar untuk tetap menjaga kekenyalan kulit dan kemolekan tubuhnya. Shannon bahkan tidak mau hamil hanya agar tubuhnya terus terjaga. Ia melakukan yoga, facelift, hingga operasi yang menunjang agar tak menua. Nyatanya, waktu tak bisa berbohong. Pada akhirnya, ia akan kalah dengan si daun muda. Devon pasti akan mencari wanita yang jauh lebih muda darinya. Selama ini Devon memang terkenal player dan digilai banyak perempuan. Profesinya sebagai DJ adalah sasaran empuk bagi Devon jika ingin mencari teman tidur baru. “Aku tidak boleh membiarkanmu pergi. Tapi aku harus bagaimana?” Shannon masih bertanya pada cermin yang diam saja. Pagi hari, Shannon telah bersiap untuk pergi bekerja. Ia adalah salah seorang pengacara senior pada firma terkenal di New York. Sebelum jam 10, ia memiliki rapat dengan Devon sebagai salah satu analisis keuangan yang akan terlibat juga nantinya. “Sayang, ayo bangun. Ini sudah pagi.” Shannon mendekat dan mencium pundak Devon yang terbuka. Terlihat tato naga dan samurai di lengan kirinya yang membuat Devon makin seksi jika tidur tengkurap. “Ehm ....“ erang Devon malas untuk beranjak. Shannon tersenyum seraya sedikit meremas rambut Devon dengan lembut. Ia sangat suka melakukannya selain karena rambut Devon memang tebal dan lembut, juga karena sikap manja Devon jika sedang bangun tidur. “Ayo sayang !” Shannon meraba pundak hingga tengkuk Devon sambil pria ia berbalik terlentang. “Jezz, jam berapa sekarang?” erang Devon bertanya dengan suara beratnya di pagi hari. “7.30.” Shannon menjawab dengan senyuman. Devon membuka sedikit lebar mata sipitnya dan melihat pacarnya itu sudah siap berangkat. “Apa kamu lupa jika kita pertemuan hari ini di Emerald Tower?” Shannon mengingatkan. Devon mencebik acuh lalu kembali berbalik untuk tidur. “Pergilah nanti aku menyusul.” Devon tak peduli dan memilih untuk meneruskan tidur. “Dev!” “Shane, sudahlah. Nanti aku ke sana!” gerutunya makin kesal. Shannon mengedikkan bahunya. Padahal ia sangat ingin berangkat bersama Devon. Shannon ingin sesekali bisa memamerkan Devon pada koleganya tapi Devon sebaliknya, ia benci publikasi. Shannon terpaksa keluar sendiri dengan mobil mewahnya. Namun sebelum ia pergi, matanya menangkap ponsel semalam yang dibuang Devon di sofa. Shannon memungut ponsel tersebut lalu memeriksanya lagi. Ia mencoba mengaktifkannya tapi tak bisa. “Bukannya dia bilang jika ini adalah ponsel baru, tapi mengapa tak bisa dihidupkan─” Shannon membalikkan ponsel tersebut dan melihat ukiran nama seorang gadis tertera begitu kecil di salah satu sisi casingnya. “Izzy? Siapa Izzy?” sebut Shannon menyebutkan nama pemilik ponsel. Shannon menoleh ke arah kamar dengan kening mengernyit. Belum pernah ia melihat Devon membawa pulang sebuah ponsel yang ia curigai adalah milik seorang gadis. “Apa dia membelikannya untuk gadis yang bernama Izzy?” tebak Shannon makin gusar. Shannon melepas gusar napasnya dengan kasar. Untuk apa dia peduli, toh Devon biasa seperti itu. Ia memang punya banyak pacar, tapi mereka semua hanya sekedar permainan sementara bagi Devon. Shannon kembali membuang ponsel itu ke sofa dan melenggang pergi. Ia mencoba tak peduli dan tidak mau ambil pusing. Ponsel itu tak jatuh di atas sofa melainkan jatuh di karpet di bawahnya tak terlihat dari atas. Devon baru menggeliat bangun satu jam kemudian. Ia duduk mengurut tengkuk dan kening sebelum menguap lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Devon membasahi rambut sambil bersenandung membersihkan diri dan menyabun menggunakan shower gel. Setelah membilas bersih, ia keluar dengan pinggang berbalut handuk, rambut basah dan tubuh yang masih berair. Melihat penampilannya di depan kaca, cengir Devon melebar. “Aku memang tampan. Pasti Izzy akan menyukaiku.” Devon memuji diri sambil memegang rahangnya. Tiba-tiba matanya membesar dan baru ingat pada ponsel Izzy yang ia bawa pulang. “Oh tidak, ponsel!” Devon terbirit-b***t keluar masih dalam keadaan basah mencari ponsel tersebut. Ponsel itu tak ada di atas sofa padahal Devon yakin membuangnya di sana. “Ah, sialan! Ke mana ponsel itu!” Devon terus mencari di atas sofa dengan melempar semua bantalnya. Sayangnya barang itu tak ada. Ia kesal, terengah, dan berkacak pinggang. “Ke mana dia?” gerutu Devon mencari di seluruh ruang tengah tapi tak bertemu. Bunyi ponselnya sendiri menginterupsi Devon untuk menyela pencariannya. “Apa?!” bentak Devon mengangkat panggilan dari asistennya. “Pak, kamu di mana? Rapatnya akan segera dimulai!” asisten Devon tak kalah galak ikut meneriaki bosnya. “Rapat?” Devon berpikir apa yang ia lewatkan. Sedetik kemudian barulah saraf di kepalanya tersambungkan. “Ah, dasar bodoh! Kenapa kamu baru menghubungiku?” “Aku sudah meneleponmu 10 kali, cepatlah! Aku sudah mengirim helicab untukmu!” Devon menggeram kesal dan langsung mematikan panggilan itu lalu celingukan lagi. Ia tidak sempat mencari ponsel Izzy sekaligus bingung cara untuk mengembalikannya. Baru hari pertama pacaran dengan Izzy, Devon Kazuya sudah membuat masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD