Bab 15. Jangan Berurusan Dengan Rubah!

2182 Words
Sudah dari satu jam yang lalu, Izzy terus menghubungi ponsel Mila dan tak berhasil. Setelah pembicaraan semalam dengan Bryan, ayahnya, Izzy merasa bahwa ia memiliki andil untuk menyelesaikan masalah Mila dan Arion. Sekalipun hati Izzy belum menentukan arahnya, tapi Mila adalah saudara kembarnya. Mungkin ia memang harus mengalah. “Ayo dong, Mil! Kenapa kamu gak angkat teleponku?” gerutu Izzy setelah mendapatkan respons yang sama. Tak bisa banyak bergerak dengan kakinya yang terbalut tebal adalah sebuah kesulitan tersendiri. Ia bahkan sulit berjalan ke dapur atau masuk kamar mandi tanpa tongkat. Belum risiko, Izzy akan terjatuh karena terpeleset akibat hanya bisa menggunakan satu kaki. “Ugh, merepotkan!” keluhnya lagi di atas sofa melepas napas panjang. Ia mulai bosan karena tak bisa keluar rumah untuk latihan balet. Padahal pertunjukan “The Black Bird of Princess” akan dilakukan dua bulan lagi dan latihannya dimulai hari ini. Izzy terpaksa menelepon Stefani Findel yang menjadi kurator pada pertunjukan tersebut. “Aku minta maaf. Aku mengalami kecelakaan dan tak mengira hal ini akan terjadi,” ujar Izzy menghubungi Stefani setelah teleponnya untuk Mila tak kunjung tersambung. Setidaknya ia harus memberitahu pihak Wynwood soal keadaannya. “Oh Tuhan, Izzy. Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” tanya Stefani dengan nada khawatir. Izzy adalah salah satu penari senior terbaik di timnya. Tentu saja kehilangan Izzy adalah hal yang besar. “Untuk saat ini kakiku masih diperban gips. Dokter bilang aku butuh istirahat selama lebih dari tiga minggu. Entahlah, aku juga bingung.” Izzy mengeluh sembari mengeluarkan napas kasar tanda kesal. “Apa kamu mau mengundurkan diri?” tawar Stefani kemudian. Izzy diam sesaat. Baru kali ini ia mungkin harus mundur dari pertunjukan besar seperti ini. Bagi penari dengan jam terbang seperti Izzy, pertunjukan besar adalah impian dan kesempatan besar. “Aku belum tahu ....” Izzy memelankan suaranya. “Menurutku kamu harus mempertimbangkan untuk mundur, Izzy. Maksudku, bagaimana kamu bisa latihan dalam waktu singkat menjelang pertunjukan? Kita juga harus membagi peran sesuai skenario kan?” Izzy kembali melepaskan napas panjang penuh kekecewaan. Masalah pribadinya kini berimbas pada turunnya kinerja fisik yang menyebabkan ia mengalami kecelakaan. Akibatnya kini ia harus merelakan posisi pemeran utama di pertunjukan tersebut. “Aku sangat ingin tampil, Stefani,” rengek Izzy makin mengerucutkan bibirnya. Ia tak rela jika tak terlibat dalam pertunjukan tersebut nantinya. “Izzy, pikirkan lagi ya. Aku mohon, ini bukan hal sepele. Jika kamu sudah memiliki jawabannya segera hubungi aku, oke?” balas Stefani tak memberikan Izzy kesempatan bernegosiasi lebih panjang. Stefani memang seorang kurator tari yang tegas dan disiplin. Sekalipun mereka berteman, Stefani tidak mau memberikan celah untuk para penarinya bertindak tak profesional. Sekali lagi, Izzy harus kecewa. Apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menemukan Mila dan sembuh lebih cepat? Izzy pun bergolek ke sisi sofa sambil memeluk bantal sofa. Pikirannya yang kosong tiba-tiba mengarah pada Devon Kazuya. Bukankah pria itu sudah jadi pacarnya sekarang? Tapi apa dia bisa dimintai bantuan? “Di mana aku menyimpan nomor ponselnya?” Izzy kembali bangun dan celingukan. Ia pernah menghubungi Ares King untuk meminta nomor ponsel Devon Kazuya. Meski harus memberi alasan palsu yang panjang lebar, Ares akhirnya memberikan dan Izzy mencatatnya di suatu tempat. Lagi pula Devon kan hanya bekerja di malam hari sebagai DJ. Dia pasti punya banyak waktu di siang hari. “Hhmm ... agh, di mana ya?” Izzy terpaksa berjingkat setelah bangun dari sofa. Ia memakai tongkat yang menopang ketiaknya menuju dapur. Rasanya sangat sulit berjalan dalam keadaan seperti itu. Nomor ponsel tersebut masih tertempel di atas magnet kulkas. “Oh, aku menemukanmu!” Izzy langsung menghubungi Devon dengan telepon rumah. Sementara itu, Devon Kazuya terlambat lima menit meski ia menggunakan helicab atau taksi udara yang dikirim oleh asistennya. Devon harus menghadiri rapat penting tentang investasi sebuah perusahaan raksasa perangkat lunak dari Rusia, Flux Corp. Devon harus menganalisis manajemen keuangan serta menilai peringkat utang perusahaan tersebut sesuai dengan keinginan perusahaan yang membayar. Pekerjaannya sebagai DJ adalah pekerjaan utama di malam hari sedangkan di siang hari, Devon memiliki sampingan sebagai penganalis keuangan lepas. Penampilannya seperti layaknya eksekutif muda biasa jika sedang bekerja serius. Dengan kemeja dan jas, Devon tampak rapi serta tampan. Ia sedang mendengarkan pemaparan manajer keuangan. Sementara Shannon sebagai penasihat hukum berada di seberangnya. Ponsel Devon bergetar dan ia mengabaikannya sesaat. Suara getarannya kemudian membuat beberapa orang termasuk Shannon berpaling menengok ke arahnya. Devon terpaksa merogoh ponselnya. Biasanya orang lain akan mematikan ponsel atau memasang mode pesawat pada rapat penting seperti ini. Kening Devon mengernyit saat mendapatkan nomor asing menghubunginya. Ia menolak panggilan itu dan meminta maaf. “Silakan dilanjutkan!” ucapnya datar lalu meletakkan ponsel tersebut di atas meja. “Baik ....“ ponsel Devon bergetar lagi dengan suara lebih keras karena berada di atas permukaan meja. Shannon yang sudah melirik penasaran dari tadi, akhirnya menegur. “Mungkin sebaiknya kamu mematikan ponselmu, Tuan Kazuya,” tegur Shannon dengan bahasa formal sekaligus tanda tak suka. Devon hanya memandang datar pada Shannon dan malah menunjukkan ekspresi tak suka. Alih-alih melakukan yang disarankan kekasihnya, Devon malah meminta izin untuk menerima panggilan tersebut. “Maaf, aku hanya butuh beberapa menit.” Devon berdiri untuk menyudutkan diri tanpa menunggu izin dari siapa pun. Shannon langsung menunjukkan raut tak suka dan ingin protes. Sayangnya ia hanya bisa melihat saja tanpa bisa menginterupsi. “Halo ....” Devon bicara dengan nada acuh sekaligus kesal. “Dev, ini aku Izzy!” Devon langsung membelalakkan matanya. Izzy menghubunginya lagi. “I-Izzy?” “Maaf, jika kamu tidak mengenali nomorku. Ponselku hilang karena dirampok dan sampai sekarang belum ditemukan,” ucap Izzy memberikan alasan. Devon langsung memejamkan matanya erat-erat. Nyaris saja ia lupa jika ponsel itu kini berada di tangannya lalu menghilang benar-benar entah di mana. “Uhm, apa kamu baik-baik saja?” Devon membalikkan tubuhnya menghadap dinding kaca ke arah pemandangan kota. Ia bicara seminimal mungkin agar tak ada yang mendengar. Masalahnya seluruh peserta rapat termasuk CEO menunggu Devon selesai dengan ponselnya. “Iya ... oh tidak. Kakiku cedera.” Devon makin kaget. “Ada apa? Apa preman itu memukulimu?” sahut Devon tanpa sadar sedikit membesarkan suaranya. Bisik-bisik mulai terjadi di belakang membicarakan Devon dan sikap profesionalitasnya yang sedang hilang. CEO Flux Corp sampai mendeham dan membuat Devon berpaling ke belakang sejenak. “Bukan. Tapi dari mana kamu tahu jika yang merampokku adalah preman?” tebak Izzy membuat Devon membuka mulut lalu cepat-cepat menutupnya. Kecemasannya pada keadaan Izzy membuat Devon tak bisa menahan keceplosannya. “Uh, aku hanya menebak. Begini saja, aku ke sana sekarang!” sahut Devon lagi. “Oke, tapi aku kan belum bilang apa-apa ....” “Aku kan pacarmu?” Izzy hanya mendeham saja menjawab Devon. “Aku ke sana sekarang!” Devon memutuskan sambungan dan berbalik. Ia menyimpan ponsel lalu dengan sedikit tersenyum berbicara di depan forum. “Aku harus pergi sekarang. Ada keadaan darurat yang menyebabkan Ibuku mengalami sedikit kecelakaan.“ Shannon begitu kaget dan langsung menyahut. “Apa? Apa Ibumu baik-baik saja?” Devon terkesiap dan diam beberapa detik sebelum mengangguk. “Iya, dia hanya menderita cedera pada kakinya. Aku harus membawanya ke rumah sakit sekarang, bisakah kita menunda rapatnya?” pinta Devon lalu mengarahkan perhatiannya pada CEO perusahaan. CEO Flux Corp tampak tak senang dengan cara Devon. Dari pada memberikannya ijin, ia mengancam akan melaporkan Devon pada perusahaan yang mengirimnya. “Aku akan melaporkanmu atas ketidakprofesionalitasan ini, Tuan Kazuya. Aku sudah membayar perusahaanmu dengan mahal!” pungkas CEO tersebut tampak marah. Devon makin tak peduli dan menenteng tasnya. “Kalau begitu, kalian bisa cari orang lain. Selamat siang!” Devon berbalik pergi dari ruangan tersebut menyisakan amarah serta kebingungan. Shannon ikut keluar mengejar Devon untuk mencegahnya pergi. “Dev, apa yang terjadi?” seru Shannon menyusul. Devon berhenti lalu berbalik dengan raut tak senang. “Apa yang kamu lakukan? Jangan mengejarku!” “Apa maksudmu?” “Aku tidak mau ada orang yang melihatmu menyusulku seperti ini!” Devon berbalik tak peduli dan berjalan cepat masuk ke dalam lift. Devon paling tidak suka dikejar gosip. Sekalipun ia dan Shannon memang pacaran, maka yang tidak perlu ada yang tahu. Devon keluar lewat lobi usai meminta asistennya untuk memesan layanan Uber instan. Sebuah mobil sudah menunggunya di lobi dan Devon bergegas pergi. Sementara di kantor, Shannon masih bertanya-tanya tentang keadaan ibu dari Devon yaitu Stevia. Rasanya ia ingin menunjukkan kepeduliannya juga. Haruskah ia mengirim bunga? Devon tiba di The Bridgestow satu jam kemudian. Ia bergegas masuk ke dalam lift menuju lantai tempat kondominium Izzy berada. Dari pantulan pintu lift barulah Devon menyadari jika penampilannya terlalu rapi. “Oh Tuhan, dia pasti mengira jika aku adalah dosen matematika!” rutuk Devon buru-buru meletakkan tasnya di lantai lift lalu menarik lepas dasinya. Ia juga melepaskan sedikit ujung kemeja dari pinggang dan melepaskan kancingnya. “Ugh!” Devon makin menggeram kesal. Ia tidak ingin Izzy tahu jika profesi sampingannya adalah penganalis keuangan yang bekerja untuk Bloomberg dan JP Morgan. Akan sangat lucu jika seorang DJ juga memiliki kehidupan lain sebagai penganalisis keuangan dan pajak. Sayangnya Devon tak bisa menyembunyikan tas kopernya yang bernilai puluhan ribu dolar. Sambil berpikir akan memberikan alasan apa, Devon menekan nomor kombinasi apartemen Izzy lalu masuk. Izzy yang kaget saat pintu rumahnya terbuka tiba-tiba, langsung menunjuk ke arah Devon. “Bagaimana kamu bisa tahu nomor password-nya!?” seru Izzy memekik senyaring mungkin. Devon berhenti total di depan pintu yang sudah tertutup. Ia menoleh ke belakang dan baru menyadari jika seharusnya ia membunyikan bel dan pura-pura tidak tahu jika ia tahu kombinasi password-nya. “Maaf ....” mata Devon sontak terbelalak saat melihat kaki Izzy yang terbalut tebal dan ia memakai tongkat. “Oh Tuhan! Sayang, apa yang terjadi?!” balas Devon balik memekik keras seperti Izzy sebelumnya. Ia langsung memegang Izzy dan membawanya ke sofa. Devon seperti kekasih betulan yang panik. “Katakan padaku bagaimana caranya kamu bisa membobol masuk? Aku kan hendak membuka pintu?” Izzy masih bersikeras. “Nanti saja aku beritahu. Ini kakimu kenapa jadi makin parah? Siapa yang memukulimu, akan kupatahkan lehernya!!” Devon mengomel sekaligus mengancam. Izzy sempat terkesiap melihat sikap Devon yang benar-benar seperti orang panik sekaligus marah. “Tidak ada yang memukulku ....” “Tapi kenapa kamu jadi lumpuh seperti ini?” sahut Devon masih emosi. Ia tak rela jika Izzy terluka padahal perasaan cinta tak ada, menurutnya. “Aku tidak lumpuh, Dev! Aku cuma terkilir tapi sangat parah. Kakiku tidak patah!” Izzy jadi ikut meninggikan suara dan mulai menyesal sudah menghubungi Devon Kazuya. Devon mendengus kesal seraya meletakkan asal tas kopernya. Sementara, Izzy mengernyitkan keningnya saat menyisir penampilan aneh Devon dari atas sampai bawah. “Kamu baru dari mana? Kenapa pakai jas?” Devon langsung menjauh dari tangan Izzy yang akan menyentuh ujung jasnya. Ia berdiri lalu menyengir canggung. “Uhm, aku baru saja dari studio. Iya, ada semacam meeting. Kamu tahu bussiness meeting kan?” kilah Devon membuat alasan yang masuk akal. Izzy masih merasa heran. Ia belum pernah melihat Devon memakai jas dengan kemeja yang tidak rapi seperti itu. “Lalu kenapa tidak rapi? Kamu seperti habis mabuk,” tebak Izzy menjatuhkan nilai pada penampilan kacau Devon Kazuya. Devon malah terkekeh aneh padahal sebenarnya ia kesal. Jika Izzy adalah gadis lain maka mungkin ia sudah marah. “Ah, sudahlah. Ada apa kamu meneleponku? Apa kita harus ke rumah sakit? Ayo aku gendong ─ “ “Tidak usah. Aku pulang dari rumah sakit kemarin.” Devon kembali duduk di samping Izzy. “Kenapa tidak mengatakannya padaku?” “Ponselku dicuri kan aku sudah bilang.” Devon mengangguk lalu merogoh ponsel di saku jasnya dan mengetikkan sesuatu. “Pilih yang kamu mau.” Devon menyodorkan ponselnya pada Izzy agar ia memilih ponsel baru yang ia inginkan. Alih-alih melakukannya, Izzy malah mengernyit bingung. “Untuk apa?” “Aku akan membelikanmu ponsel baru,” jawab Devon santai. “Aku tidak butuh ponsel baru. Aku ingin ponsel lamaku.” Devon tertegun lalu mencebik kesal. Tentu saja Izzy menginginkan ponsel tersebut. Bukankah di dalamnya ada foto-foto mesranya dengan Arion? “Untuk apa ponsel itu lagi? apa kamu sudah menonaktifkan semua fitur mobile banking atau transaksi di dalamnya?” Izzy mengangguk. “Andy bilang dia akan mengembalikan ponselku,” sahut Izzy tersenyum. Kening Devon balik mengernyit hebat. “Andy?” Izzy mengangguk lagi. “Kemarin aku bertemu Andy setelah seorang Polisi menolongku dan membawaku ke rumah sakit. Andy sudah pulang,” cerocos Izzy masih mengulum senyuman di bibirnya. Kening Devon masih mengernyit. Ia tampak tak suka. Sebenarnya ia sudah mendengar desas-desus jika saudara lamanya, Andrew Miller kembali. Namun, Devon belum bertemu muka langsung kecuali semalam ia melihatnya di Medieval. “Sudah pilih saja ini atau mau kubelikan yang lebih mahal?” tawar Devon terdengar seperti sedang pamer. “Aku sudah bilang tidak mau!” “Ayolah, kita beli saja yang baru,” desak Devon lagi membujuk Izzy. Saat sedang asyik membujuk dan Izzy menolak, tiba-tiba bel pintu di depan kembali berbunyi. Devon dan Izzy sama-sama menoleh ke arah pintu depan. “Siapa itu?” gumam Devon lalu memandang Izzy yang mengedikkan bahunya. “Akan kulihat dulu.” Devon segera berdiri lalu mengecek layar dari kamera depan pintu. Matanya sontak terbelalak dan buru-buru berlari ke arah Izzy. “Ayahmu datang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD