Bab 2. Angsa Cantik Yang Terluka

1657 Words
Izzy berbalik untuk menghidupkan lagi musik Swan Lake dari Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Ia bahkan tidak peduli jika Devon masih ada di sana menatapnya dengan penuh kekesalan. Belum lagi alunan orkestra musik klasik yang semakin intens mengiringi lekukan kaki Izzy yang berlatih berputar tanpa jeda. Sejenak Devon yang kesal hanya terpaku menatap Izzy yang menari begitu indah. Devon belum pernah menonton pertunjukan tarian balet sama sekali. Ia hidup dan mendengar musik-musik full beat seperti hip hop, rock dan EDM. Nada dan irama musik klasik yang penuh penghayatan dalam serta lembut tidak pernah menjadi pilihan Devon selama ia menjadi DJ serta produser musik. Setiap lompatan dan jinjit kaki Izzy serta lekukan lengannya seolah menceritakan sesuatu. Perlahan Devon seolah sedang menyaksikan sebuah cerita. Sampai di pertengahan musik, Izzy melakukan lompatan dan harus mendarat di kakinya tapi salah, ia tergelincir. “Aaahkk!” Izzy berteriak kesakitan terjatuh di lantai lalu berguling memegang kakinya. Sontak Devon berlari ke arahnya lalu memegangnya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Devon lantas memegang kaki Izzy yang meringis kesakitan. “Oh, kakiku!” keluh Izzy meneteskan air mata. Sepertinya sangat sakit dan itu membuat Devon seperti ikut merasakannya. “Pelan-pelan, luruskan. Coba kulihat.” Devon memegang sebelah kaki Izzy dengan lembut lalu meluruskannya. Izzy masih meringis tapi tidak melawan. Ia malah semakin menangis. “Apa terlalu sakit?” Devon bertanya lagi. Izzy tidak menjawab dan malah menangis. “Ayo aku antar ke rumah sakit.” Devon bergeser ke samping untuk menggendong Izzy tapi tiba-tiba Izzy malah memeluknya. Devon pun berhenti kala Izzy memeluk dan menangis di dadanya. Sepertinya ini bukan masalah kaki. Devon ikut duduk dan membiarkan Izzy memeluknya sambil menangis di dadanya. Sebelah tangan Devon seperti otomatis membelai rambut Izzy yang disanggul acak. Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat. Hanya ada suara isak Izzy yang semakin mereda sampai hanya tertinggal tarikan napas semata. Perlahan Devon menjarakkan dirinya dari Izzy lalu memegang wajahnya. Wajah Izzy terlihat begitu sempurna meski pipinya basah karena air mata. Mengapa Devon baru menyadari jika salah satu ‘saudaranya’ itu adalah gadis yang sangat cantik? “Apa yang terjadi?” tanya Devon separuh berbisik lembut. Pelupuk mata Izzy makin berair, dengan hidung merah serta bibir yang imut berwarna pink muda, Devon harus menelan ludahnya beberapa kali. “Arion dan Mila ... mereka harus menikah kan?” lirih Izzy nyaris tanpa suara. Kening Devon sedikit mengernyit tak mengerti. Sepertinya ia tertinggal banyak cerita. “Maksudmu?” “Mila hamil. Dan Arion adalah ayah dari calon bayinya.” Jawaban Izzy membuat Devon terperangah. Ia kembali memeluk Izzy yang kembali menangis. Sepertinya ini lebih buruk dari yang diduga Devon sebelumnya. Sahabat Devon yang memintanya datang menjemput Izzy yaitu Arion Konstantine ternyata telah menghamili saudari kembar Izzy yaitu Mila Alexander. Devon tertegun tanpa bicara apa pun selama lima belas menit setelah pengakuan yang diberikan oleh Izzy. Entah mengapa, Izzy menumpahkan seluruh rasa sedihnya pada Devon yang bahkan tidak pernah dipandanginya. Sedangkan Devon tidak keberatan menjadi bantalan kesedihan Izzy yang dipeluknya. Setelah lima belas menit dan tangis Izzy selesai, suasana kaku dan aneh pun terjadi. Izzy sedikit mendorong tubuh Devon dan melepaskannya. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Devon yang sesungguhnya tidak tahu harus bicara apa. Izzy menatap Devon tanpa senyuman, datar tak beriak sama sekali. Devon jadi ikut kesal ditatap seperti itu padahal sebelumnya ia harus merelakan pakaian di dadanya basah gara-gara air mata Izzy. “Kenapa melihatku seperti itu?” tegur Devon tak tahan ingin mengomel. “Kamu masih bertanya apa aku baik-baik saja,” sindir Izzy masih bertutur lembut namun dengan raut kesal. Devon menghela napas panjang ikut dongkol. Izzy lantas mencoba bangun tapi harus memekik kesakitan setelahnya. Devon otomatis langsung memeganginya. “Kakimu itu cedera!” tukasnya kesal separuh memarahi. “Aaahhkkk, jangan ganggu aku!” sahut Izzy balik memarahi. “Kamu ini bipolar ya? Baru saja kamu memelukku dan menangis, sekarang kamu malah marah padaku!” balas Devon benar-benar mulai memarahi. Kekesalannya langsung surut begitu melihat bias mata cantik Izzy yang berlinang air mata menatapnya. “Ah, coba aku lihat kakimu!” Devon hendak menarik sebelah kaki Izzy. Izzy langsung meringis dan menolak tangan Devon. “Kamu mau apa?” “Melihat apa yang bisa aku perbaiki!” sahutnya sarkas. Izzy sontak menggelengkan kepalanya. Ia menolak bantuan Devon yang ingin mengobatinya. “Jangan sembarangan! Kakiku bukan mesin!” Izzy menghardik. “Oh ya? Lalu untuk apa kamu masih berlatih di jam empat pagi begini?” Devon malah bersikeras memegang betis Izzy agar ia tidak melawan lagi. Akan tetapi, Izzy masih bersikukuh tidak mau mendapatkan perawatan dari Devon sama sekali. “Jangan sentuh aku!” “Ini terkilir, Izzy!” Tangan Devon mulai mencekal pergelangan kaki Izzy yang meringis kesakitan. “Ya sudah, jangan! Ahh ... kamu mau apa?” Izzy makin melawan dengan terus mendorong pundak Devon. Devon yang sudah kadung kesal lantas menempatkan telapak tangannya di telapak sepatu balet Izzy yang tipis lalu mencengkeram dengan cepat mengembalikan persendian ke posisi semula. “Aaahhh, jahat! Ahh, sakit!” ringis Izzy separuh menangis separuh marah memukul Devon beberapa kali tapi pria itu tidak memedulikannya. “Sebentar! Tahan sedikit!” “Tidak mau!!” Izzy memukul lagi tapi tangan Devon tidak melepaskan kakinya. Perlahan rasa sakit itu menghilang sehingga hanya tinggal rasa ngilu yang berangsur juga hilang. Tangis Izzy mulai mereda seiring dengan pukulannya yang berhenti. “Sudah lebih baik?” tanya Devon memastikan keadaan Izzy. Izzy masih kesal tapi ia tidak berani menarik kakinya dari tangan Devon. “Aku anggap iya. Apa kamu punya ankle support?” Devon tidak peduli malah bertanya hal lain. “Di dalam tasku.“ Devon mengangguk dan langsung berdiri tanpa mendengar lanjutan penjelasan dari Izzy. Ia berjalan ke salah satu sudut tempat sebuah tas jinjing diletakkan. Devon santai saja mengambil tas itu dan merogoh isi di dalamnya. “Hei, jangan bongkar tasku!” pekik Izzy yang masih duduk di lantai tidak bisa berbuat apa pun untuk mencegah Devon. Devon mengaduk-aduk isi tas hanya untuk mencari penyangga pergelangan kaki yang biasa digunakan oleh atlet atau penari profesional. Ia menemukan beberapa barang yang unik seperti pakaian dalam. Mata Devon membesar tapi kemudian tersenyum geli sendiri. Ia sempat menoleh sekilas pada Izzy yang begitu cemas melihatnya mencari penyangga. Setelah menemukan yang dicari, Devon pun kembali pada Izzy dan meletakkan tas itu di dekat kakinya. Izzy langsung merebutnya. “Kenapa kamu membongkar isi tasku?” hardiknya masih dengan suara lembut dan mata mendelik. “Aku hanya mencari ini!” Devon memperlihatkan penyangga tersebut dan kembali duduk di lantai. Devon melepaskan sepatu balet di kaki Izzy yang cantik. Kakinya mungil dan menggemaskan. Entah bagaimana Devon menjelaskannya tapi jika mencium kaki bukan hal yang menjijikkan, mungkin Devon bersedia melakukannya. Setelah menepis rasa aneh usai membuka sepatu balet berwarna salem pink itu, Devon memasangkan penyangga pergelangan agar Izzy tidak sembarangan menggunakan kakinya. “Sebaiknya kamu tidak usah berjalan dengan dua kaki ....” Devon mencoba memberikan saran tapi Izzy yang kesal terus memotongnya. “Maksudmu, aku harus melompat dengan satu kaki?” balas Izzy balik mengejek. “Bukan, aku ingin menyarankanmu memakai tongkat,” sahut Devon mulai kembali kesal. “Lagi pula aku cuma menolong kenapa kamu malah marah padaku. Bukan aku yang menghamili Mila, aku bukan Arion!” kini Devon sungguh ikut kesal. Ia mendengus kesal tapi masih membereskan barang-barang Izzy dengan memasukkannya ke dalam tas. Kala tangan Devon membuka sepatu balet yang satunya lagi, Izzy hanya diam saja. “Ini sudah pagi, ayo aku antar pulang.” Devon mendekat lalu menyangkutkan tas itu di punggungnya sebelum menggendong Izzy tanpa perlawanan apa pun. Devon hanya melirik sekilas dan kemudian terus berjalan. Hari masih gelap meski sudah terhitung pagi, terlebih musim gugur telah datang. Matahari mungkin baru terlihat menjelang siang. Devon membawa Izzy ke mobilnya sebelum kemudian teringat sesuatu. “Apa kamu membawa kendaraanmu?” Izzy menggelengkan kepalanya. “Lalu bagaimana kamu datang ke mari?” “Jika kamu tidak tahu yang namanya transportasi massal seperti subway atau taksi, mungkin kamu tidak tinggal di New York,” sindir Izzy membuat Devon seketika memicingkan mata tapi Izzy malah membuang mukanya tak peduli. "Sekalinya aku bicara dia membantahku ratusan kali. Sangat super!" gerutu Devon dalam hatinya. Ia membuka pintu mobil untuk memasukkan Izzy ke dalamnya. Bahkan ikut memasangkan sabuk pengamannya. Akhirnya Devon berhasil mengantarkan Izzy pulang meski dengan sedikit drama. Rasanya waktu bergerak begitu lama. Kesan pertama Devon mengenai Izzy rusak sudah. Seharusnya ia meneruskan saja tidak bicara selama sepuluh tahun ke depan. Tidak ada basa-basi apa lagi mengobrol sepanjang jalan. Izzy tidak lagi tinggal di apartemen mewah keluarga Alexander. Ia tinggal di sebuah kondominium yang tidak begitu mewah namun cukup berkelas. Dan Devon tahu tempat itu karena berdekatan dengan studio tari milik Arion. “Aku bisa jalan sendiri!” tukas Izzy ingin menolak gendongan Devon lagi. “Oh ya?” balas Devon mencemooh. Ia tidak peduli dan malah menggendong Izzy seperti sebelumnya. Izzy tidak punya pilihan selain bersabar sampai ia tiba di apartemennya. Bahkan di dalam lift pun Devon masih menggendong Izzy. Tiba di depan pintu, Devon balik bertanya nomor password pintu tersebut. Izzy balik mendelik. “Aku bisa melakukan palm scanner!” “Oke!” Devon menunduk dan Izzy mengikuti posisi yang agak ke bawah. Devon mulai sedikit kelelahan. Saat Izzy sedang menempelkan tangannya, pengamannya tidak mau terbuka. “Hah ....” Izzy kebingungan tak percaya. Ia mencoba sekali lagi namun masih belum berhasil. “Ah, menyusahkan saja. Gosok telapak tanganmu di pahamu!” tukas Devon pada Izzy agar tangannya lebih bersih sehingga scanner bisa bekerja lebih baik. “Tapi celanaku agak lembap.” “Kalau begitu gosok di dadaku.” Izzy pun melakukannya. Ia mencoba lagi dan kali ini berhasil tapi tidak dengan keseimbangannya. Seperti sedang menerobos masuk, Devon dan Izzy terjerembap jatuh bersama. Oleh karena refleksnya bagus, Devon sempat memeluk Izzy untuk melindunginya dari benturan lantai. “Aaahhhk!” Izzy jatuh ke atas tubuh Devon dengan bibir yang menyentuh bibir Devon. Izzy memejamkan matanya erat-erat. Kala ia membuka mata, Devon seakan tersenyum dan bibirnya mendekap bibir Izzy dengan sebuah cumbuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD