Chapters 7 [Musuh Rese]

1750 Words
Suasana di kelas terasa lebih berat dari biasanya. Kinan, Yula, Hikmah, dan Rabiatul duduk di bangku masing-masing dengan wajah lesu, tak bersemangat. Masih terbayang di benak mereka bagaimana Bu Intan, guru Fisika yang terkenal galak namun cantik, menghukum mereka dengan berlari keliling lapangan kemarin. Hampir membuat mereka kehabisan oksigen. "Serius, gue gak ada mood buat masuk kelas Bu Intan lagi hari ini." ucap Hikmah, menutupi matanya dengan kedua tangan, seolah mencoba menghalangi kenyataan. "Ya, aku juga males. Guru sok cantik itu bikin bete, walaupun ya... emang dia cantik sih." tambah Rabiatul, tatapannya kosong, memandangi langit-langit kelas. Kinan yang duduk di samping mereka, menghela napas panjang, lalu melontarkan ide. "Guys! Gimana kalau kita bolos aja?" ucap Kinan, menatap ketiga temannya dengan senyuman lebar. Sontak, Yula menoleh ke arah Kinan, alisnya terangkat. "Lo serius mau bolos? Citra kelas kita bisa hancur. Kita kan kelas MIPA, kelas yang terkenal disiplin. Apa lo mau jadi gosipan satu sekolah?" "Ya mending bolos daripada kena omelan lagi. Terus lo mau ikut pelajaran Bu Intan gitu? Lo gak bosen dihukum?" Kinan melipat tangannya di d**a, menantang. Yula hanya menatap Kinan sejenak sebelum menghela napas panjang. "Enggak sih, tapi kan..." jawab Yula agak ragu. Mendengar jawaban Yula, senyum lebar langsung terukir di wajah Kinan. "Ya udah, bolos aja kita. Gimana Rabi, Mah, setuju nggak?" "Gue ngikut aja Kin, capek juga gue belajar mulu." ujar Hikmah. "Aku... aku takut Kin, kalau ketua kelas tahu terus laporin kita, gimana?" ucap Rabiatul. "Udah gampang, Wando nggak bakal tahu. Aman aja sama gue." Kinan mengangguk. Rabiatul pun akhirnya tersenyum lebar menyetujui. Baru saja mereka hendak berdiri, Wando dan Arsen, dua cowok yang terkenal sebagai ketua kelas dan wakilnya itu seketika muncul di depan mereka, memblokir jalan. Wando berdiri tepat di depan meja Kinan dan Rabiatul, sedangkan Arsen menghadang Yula dan Hikmah. "Lo semua mau kemana? Bentar lagi Bu Intan masuk." Wando bertanya, nada suaranya penuh kewaspadaan. "Ini bukan urusan lo, ketua kelas. Mending lo duduk manis di bangku lo sana, belajar yang rajin." balas Kinan sambil berdiri, menatap Wando dengan tatapan tajam. "Sayangnya, lo berempat gak bisa kabur kemana-mana. Bu Intan udah jalan ke arah kelas kita." Arsen akhirnya buka suara, memecah keheningan. Nada bicaranya tenang tapi tegas. Yula, yang sejak tadi hanya diam, kini berdiri dan menatap Arsen serta Wando dengan wajah kesal. "Kalau lo berdua gak ngehalangin kita, pasti dari tadi kita udah pergi." Arsen melipat tangannya di d**a, menatap Yula dengan pandangan mencurigakan. "Lo pada mau kabur atau lo mau ketemu Arya?" Pernyataan Arsen membuat Yula sedikit terkejut. Dia menatap Arsen dengan mata menyipit. "Lo kok bawa-bawa Arya sih? Oh, atau jangan-jangan ini semua soal kemarin... soal gue yang cium pipi lo di depan umum? Oh, lo baper..." Wajah Arsen mendadak tegang, tapi dia tidak menjawab. Kinan dan Wando menonton dengan tertarik, sementara Hikmah dan Rabiatul memilih diam, tak ingin ikut campur. "Jangan bilang lo baper gara-gara itu, kan?" lanjut Yula, menantang Arsen dengan tatapan tajam. Dia maju selangkah, mendekatkan wajahnya ke wajah Arsen, membuat suasana di antara mereka semakin tegang. Arsen tak mundur, malah menatap Yula dengan senyuman tipis. "Kalau gue baper, terus lo mau apa?" tanyanya, balas menantang. Yula terdiam sejenak. Ucapan Arsen membuatnya sedikit tergagap. Dia tidak siap dengan pertanyaan itu, dan sekarang dia kebingungan harus membalas apa. Melihat Yula yang terdiam, Arsen tersenyum kecil. "Lo gak bisa jawab, kan?" ejeknya. Sebelum Yula sempat membalas, suara Bu Intan terdengar dari pintu kelas. "Yula, Wando, Arsen! Kenapa kalian masih berdiri? Duduk di tempat kalian sekarang juga!" Arsen dan Wando langsung kembali ke bangku mereka, sementara Yula menghela napas lega, senang dengan interupsi Bu Intan yang menghentikan situasi canggung tadi. Bu Intan melangkah masuk ke kelas dengan anggun, memandang seluruh siswa dengan tatapan tajamnya yang khas. "Baiklah anak-anak, hari ini ibu hanya ingin kalian mengumpulkan soal yang ibu berikan kemarin. Setelah itu, kalian boleh istirahat lebih awal. Ibu ada urusan mendadak." Seketika, seluruh kelas bersorak gembira. Wando dengan cepat mengumpulkan buku-buku tugas dari teman-temannya dan memberikannya pada Bu Intan. Setelah tugas selesai dikumpulkan, Bu Intan mengangguk. "Kalian boleh istirahat sekarang. Tapi ingat, jangan ribut atau mengganggu kelas lain." Begitu Bu Intan meninggalkan kelas, Yula, Hikmah, Kinan, dan Rabiatul langsung bergegas keluar menuju lapangan basket. Mereka tak ingin membuang waktu. Sebelum ke lapangan, mereka menyempatkan diri ke ruang peralatan olahraga untuk mengambil bola basket. "Untung banget hari ini Pak Herman ngasih materi ke kakak kelas. Kalau mereka praktek, gue yakin kita gak bakal bisa main basket sekarang." ujar Kinan sambil mendribel bola. Yula mengangguk setuju. "Iya, kakak kelas itu gak ada yang mau ngalah kalau soal lapangan." Setelah mengambil bola, mereka langsung menuju lapangan yang masih kosong. Yula mulai bermain, melewati Hikmah dan Rabiatul sebelum akhirnya berhasil memasukkan bola ke dalam ring. "Pacar gue sih, mainnya gak kayak gitu." Hikmah berseloroh, merujuk pada kekasih imajinasinya. "Apalagi pacar aku, pasti lebih baik." tambah Rabiatul sambil tertawa kecil, membela bayangan kekasihnya. Kinan yang mendengar percakapan mereka, menggelengkan kepala sambil tertawa. "Lo berdua belum pacaran, kebanyakan tidur, bangun woy. Bikin malu banget lo pada." Pertandingan basket mereka berlangsung seru, tapi akhirnya mereka semua duduk kelelahan di bawah pohon besar di tepi lapangan, menikmati angin sepoi-sepoi. "Lo semua sama aja." gumam Kinan sambil melihat ke arah ketiga temannya yang tertawa. "Sama apaan?" tanya Yula, Hikmah, dan Rabiatul serentak. "Sama-sama gak waras." jawab Kinan, membuat mereka semua tertawa lebih keras. Hari itu, meski diawali dengan suasana lesu dan rencana bolos yang gagal, akhirnya mereka menemukan cara untuk tertawa bersama, menghilangkan semua beban dan kekesalan di hati mereka. *** Kinan, Yula, Hikmah, dan Rabiatul yang sedang bercanda terkejut ketika sebuah botol air mineral kosong melayang dengan cepat dan mengenai Kinan tepat di kepala. "Siapa yang berani-beraninya ngelempar botol ke arah gue!" teriak Kinan sambil berdiri, nada suaranya naik dua oktaf. Teriakannya tidak hanya menggema di dalam kelas, tapi juga terdengar oleh para siswa yang sudah berada di koridor sekolah. Yula, Hikmah, dan Rabiatul serempak menutup telinga mereka, merasakan intensitas kemarahan Kinan yang semakin meningkat. Seolah menanggapi teriakan Kinan, lima orang cewek muncul dari ujung koridor dan berjalan mendekat dengan senyum tipis yang menyiratkan ejekan. Mereka adalah Sasa, Merry, Ranya, Vaya, dan Vina. Geng cewek yang terkenal sering mencari masalah dengan mereka. "Lo yang ngelempar botol ini ke kepala gue?" tanya Kinan dengan tatapan tajam, masih memegangi botol itu di tangannya. Sasa, si pemimpin geng, dengan santai mengangkat bahu. "Ups, gue gak sengaja. Gue tadi niatnya mau lempar botol ini ke tong sampah. Eh, tapi bener juga sih, kepala lo cocok juga disamain sama tong sampah." Mata Yula langsung menyipit mendengar ucapan Sasa. Dia menatap sinis ke arah lima cewek tersebut. "Jadi lo nyamain sahabat gue sama tong sampah? Lo harus ngaca, deh. Kalau di rumah lo gak ada kaca, pinjem aja kaca dari rumah Rabiatul. Biar lo sadar siapa sebenarnya yang lebih pantas disamain sama tong sampah." Rabiatul yang tadinya hanya duduk diam, sekarang berdiri dan mendekat. Dia menatap Sasa dengan senyum licik. "Yula, jangan dong bawa-bawa kaca di rumah aku. Ntar mereka ambil, terus kalau aku gak bisa ngaca lagi gimana? Siapa yang mau tanggung jawab kalau wanita tercantik di dunia ini gak bisa ngaca?" "Udah aman aja, Rabi. Lagian, cewek tepung ini biar sadar mukanya gimana." Sasa mendengus, merasa tersinggung dengan ejekan itu. "Lo bilang gue cewek tepung?!" Yula tersenyum sinis dan mulai mengepalkan tangannya. "Lo sendiri yang bilang. Muka lo emang kayak tepung." Tanpa peringatan, Hikmah yang sudah geram dengan ejekan mereka mengambil bola basket yang tergeletak di dekat kaki Kinan, lalu melemparkannya dengan keras ke arah Sasa dan teman-temannya. BUGH! Sasa dan keempat temannya langsung menjerit kaget ketika bola basket itu menghantam mereka bersamaan. "Aduh!!!" Kinan tertawa puas melihat reaksi mereka. "Makanya jangan cari gara-gara sama kita, dasar tepung!" Rabiatul, yang tadinya terlihat tenang, kini ikut tertawa sambil menunjuk Merry, salah satu teman Sasa yang sekarang menunduk malu. "Hahaha, rasain tuh bola. Jangan sok cantik makanya. Mukamu itu kayak kentang! Kentang goreng gosong!" Merry yang kesal segera mengambil bola basket yang terlempar, lalu melemparkannya kembali ke arah Hikmah. Namun, Kinan dengan sigap menangkap bola itu di udara. "Eh, kentang. Lo berani-beraninya ngelempar temen gue?" Merry mengerutkan dahi dan menyeringai. "Dan lo berani-beraninya bilang gue kentang? Lo kira gue takut sama lo?" Tiba-tiba, Vaya, teman Sasa yang lain, mengambil sepatu hak tiga sentinya dan melemparkannya ke arah mereka. Yula dan yang lain dengan cepat menghindar. "Lo kira cuma lo yang bisa ngelempar sepatu? Nih, rasain sepatu gue!" Yula sudah bersiap melepas sepatunya untuk membalas, tapi Rabiatul dengan cepat menahan tangannya. "Stop, La. Gak usah pake k*******n. Kita hadapin mereka dengan cara yang lebih elegan. Main cantik aja." Sasa menatap Rabiatul dengan penuh kebingungan. "Main cantik? Maksud lo?" Rabiatul tersenyum licik. "Maksud aku, daripada kita berantem gak jelas, kenapa kita gak tanding basket aja besok? Siapa yang kalah harus nurutin semua permintaan yang menang. Gimana? Berani gak?" Mendengar ide itu, Kinan, Yula, dan Hikmah langsung melirik Rabiatul dengan pandangan terkejut. "Lo serius, Rabi. Tumben otak lo bener." Sasa dan gengnya saling pandang, lalu Sasa menjawab dengan percaya diri. "Oke, deal. Besok kita tanding basket, dan siap-siap lo pada kalah. Siap-siap jadi babu." Setelah itu, Sasa dan teman-temannya pergi, mereka tertawa keras dengan gaya sombong, meninggalkan Kinan, Yula, Rabiatul, dan Hikmah yang masih berdiri di tempat. Yula yang masih kesal hampir saja melemparkan sepatunya ke arah Sasa, namun Rabiatul sekali lagi menahannya. "Sabar, La. Besok kita bikin mereka menyesal. Sekarang mending kita ke kantin aja buat isi tenaga." Akhirnya, mereka berempat berjalan menuju kantin. Setibanya di kantin, Kinan langsung menawarkan untuk membelikan minuman, sementara Yula, Hikmah, dan Rabiatul meletakkan kepala mereka di meja, kelelahan setelah konfrontasi barusan. "Gue capek." keluh Yula. "Apalagi gue." sambung Hikmah. "Aku pengen tidur rasanya." tambah Rabiatul. Tak lama kemudian, beberapa cowok dari kelas mereka, Rio, Jino, Aldo, dan Rayden mendekati meja mereka. "Bangku lain udah penuh. Kita boleh duduk di sini, gak?" tanya Rio dengan sopan. Kinan yang baru saja kembali dengan empat botol air mineral, mendengus melihat kehadiran mereka. "Lo bertiga mau ngapain?" "Kita cuma mau duduk. Tempat lain udah penuh." jawab Rio. Tanpa pikir panjang, Kinan mengizinkan mereka duduk. Namun, ketegangan kembali muncul saat Arya, mantan pacar Yula, tiba-tiba muncul dan tanpa permisi duduk di samping Yula. Yula yang sedang minum air langsung menyemburkannya ke wajah Kinan karena terkejut. "Yula, muka gue basah!" teriak Kinan, kesal. Yula tak berkata apa-apa dan segera berlari keluar kantin dengan wajah merah, meninggalkan Kinan yang memegang botol air dengan kesal, dan teman-temannya yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil menertawakan situasi itu. "Ternyata Yula masih salting aja." ujar Rabiatul sambil tertawa kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD