Chapter 2

2560 Words
Kayla tidak tahan. Dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke sekitar sungai seraya mencoba untuk menghubungi nomor itu. Namun nihil, nomor itu tidak bisa dihubungi. Dia terus-menerus menghubunginya sampai akhirnya rasa sesak menghantui hatinya lagi. Kayla menggigit bibirnya keras dan dengan emosinya yang membara, dia menekan angka dua dan mencoba untuk menghubungi Ryan. Berdering. "Halo?" Suara perempuan, batin Kayla. "Kamu siapa?" Kayla menjadi deg-degan. Apakah ini perempuan yang ada di foto itu? "Ibu Kayla? Ini saya Erica, Bu..." Sekretaris Ryan. Kenapa ponsel Ryan ada di dia? Bukannya Ryan ada di sini bersama Kayla? "Ke-kenapa ponsel Ryan ada di kamu?" "Maaf, Bu. Pak Ryan sedang ada meeting dengan salah satu klien, jadi saya yang membawa-" "Apa maksudmu? Ryan ada di Perancis saat ini dan kamu-" "Saya tiba di Perancis kemarin, Bu. Dan saya juga yang membantu Pak Ryan mencaritahu di mana lokasi Ibu. Karena meeting ini lah saya langsung terbang ke Perancis untuk menyiapkan dokumennya." Kayla mematikan ponselnya. Erica sudah ada di Perancis sejak kemarin dan dia tahu tentang itu semua. Bahkan dia tidak tahu Ryan memiliki pertemuan di sini. Dan Kayla juga tidak tahu bahwa klien Ryan lebih penting dibandingkan dirinya! Apa aku setidakpenting itu?! Kayla lama-lama tidak bisa menahannya lagi. Dia rasanya ingin pergi. Dia tidak kuat merasakan sakit ini sendirian. Buru-buru Kayla kembali ke mejanya dan membuka aplikasi pemesanan tiket. Dia akan ke Nice. Dia tidak bisa berada di sini dengan rasa sakit yang menghantuinya. Dia membutuhkan Allisa agar rasa sakitnya dapat dia keluarkan secara perlahan. "Lemonmu..." Kayla menolehkan kepalanya, Ethan muncul dengan kedua tangan yang memegang pegangan cangkir berisi lemon. Dengan pelan Kayla mengambilnya dan membiarkan rasa hangat menjalar di tangannya. Kemudian dia menyeruput minuman itu dan membiarkan sensasi yang hangat di tubuhnya. "Apa pikiranmu sudah tenang?" tanya Ethan. "Sedikit," jawab Kayla sambil menyeruput sedikit demi sedikit minumannya. "Kamu pintar mencari lokasi." "Hanya ini yang bisa kupikirkan. Aku sering kemari saat musim gugur dan musim dingin dengan secangkir lemon. Seperti saat ini." Kayla mengerti. Perancis adalah wilayah Ethan, jadi pasti pria ini memiliki tempat kesukaannya. "Air sungai itu dingin, sangat dingin..." Kayla mengalihkan pandangannya ke arah sungai yang mengalir dengan alami. Dia bisa menduganya. Sekarang adalah musim gugur dan sungai itu pasti akan dingin. Jika airnya menusuk tubuhnya, maka Kayla bisa memastikan dirinya akan mati kedinginan. "Bahkan memegangnya akan mematikan, apalagi membiarkan tubuhmu masuk ke sana." Pandangan Kayla masih terarah ke sungai itu. Mematikan. Apakah jika tubuhnya masuk ke dalam sana, rasa sakit yang mematikan ini akan hilang? "Aku pernah mencobanya dan itu benar-benar mematikan. Rasanya jiwaku dipaksa pergi dari tubuhku karena rasa dinginnya." Perlahan Kayla menolehkan kepalanya lagi kepada Ethan. Pria di hadapannya ini pernah merasakan air yang beku itu. Kayla jadi penasaran bagaimana rasanya. "Aku tidak tahu alasan kenapa kamu bisa merasakan air itu," ujar Kayla seraya menyeruput kembali minuman hangatnya. "Hanya mencoba." Kayla langsung menatap Ethan. Pria itu tersenyum ke arahnya, seolah masuk ke dalam air yang suhunya dingin itu bukanlah masalah di hidupnya. Mencobanya? Apa Ethan gila? "Apa semenyenangkan itu masuk ke dalam air yang suhunya super dingin?" Kayla mencoba untuk bertanya. Ethan masih menampilkan senyumannya. "Ingin mencobanya?" Kayla buru-buru menggelengkan kepalanya, menolak untuk melakukan hal aneh yang Ethan lakukan. "Aku masih ingin hidup, Ethan..." "Kalau begitu lakukan saat kamu ingin mati." Perkataan Ethan itu membuat Kayla terdiam. Dilihatnya wajah Ethan yang mengatakan itu semua dengan serius. Apakah perkataannya itu benar-benar serius? Tidak ada candaan di dalamnya? "Aku tahu kamu rasanya ingin mati saat mengetahui tentang perselingkuhan suamimu, Kayla." Wajah Kayla perlahan beralih ke arah sungai dan memandanginya dengan pikiran yang kosong. "Aku melihatmu saat itu..." Kedua mata Kayla kembali menatap Ethan. Melihatnya? Kapan? Dan di mana? "Di Verdon Gorge. Apa yang membuatmu mengurungkan niat untuk tidak loncat ke sana?" Ethan mengetahui itu. Saat di mana dia datang ke Verdon Gorge. Setibanya di sana, dia rasanya langsung ingin melompat ke bawah dan membiarkan kematian menjemputnya, tapi dia mengurungkannya. "Kamu melihatnya?" Kayla bertanya. "Bahkan saat kamu menangis, aku melihatnya." Kayla diam. Dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Ethan dan hanya bisa kembali menghangatkan tubuhnya dengan minuman lemonnya. "Aku menunggu jawabanmu..." Tiba-tiba saja Kayla menarik napasnya dan dia kembali menghadapkan kedua matanya pada air sungai yang mengalir dengan normal. "Aku tidak bisa mati hanya karena mendapatkan sebuah foto dan pesan tentang perselingkuhannya. Aku harus menemuinya, menanyainya dan memastikan apakah melompat ke dalam air adalah caraku untuk mati atau tidak." "Lalu kenapa kamu harus pergi darinya tadi?" Kayla kembali menarik napasnya dan kali ini tangannya yang tadi berada di cangkir mulai berpindah dengan cara saling bergenggaman. "Aku hanya tidak tahan melihatnya. Mengetahui dia berselingkuh membuatku tidak tahan untuk melihat wajahnya. Aku..." Kayla menghentikan perkataannya. Dia menggigit bibirnya dan genggaman di tangannya semakin erat. "Kamu tidak tahu rasanya mengetahui fakta seseorang yang kamu percaya mengkhianatimu. Kamu-" "Aku tahu." Balasan yang Ethan berikan membuat Kayla memandanginya lagi dan pria itu malah memberikannya tatapan dengan senyuman yang manis. Apakah perkataannya itu serius atau hanya candaan? Kayla menjadi kerap bertanya karena dia memang tidak tahu menahu perihal Ethan. "Aku tidak mengharapkan kamu untuk percaya. Aku hanya mengutarakan apa perasaanku. Percaya atau tidak, itu terserah kamu." Ethan mulai menyeruput minumamnya dan Kayla baru sadar bahwa cangkirnya sudah kosong karena seruputan terakhirnya. Sedangkan minumannya masih ada setengah. Ini menandakan seolah Ethan-lah yang butuh kehangatan, bukan dirinya. "Seseorang tidak perlu merasakan apa yang dirasakan orang lain untuk tahu tentang perasaannya." Ethan benar. Seharusnya Kayla memikirkan itu. Tidak perlu mengalami hal yang sama dengannya untuk mengetahui bagaimana sakitnya hal itu hingga rasanya ingin mati. "Maaf lama, ini pesanan anda." Lamunan Kayla buyar. Dia melihat pelayan yang tadi mengantarnya minuman sudah berada di dekatnya dan mengantarkannya beberapa makanan khas Perancis. "Saya tidak-" "Merci," sela Ethan kepada pelayan itu, sedangkan Kayla dibuat bingung olehnya. "Kamu tidak sempat sarapan tadi." Lalu dia memberikan piring berisi makanan itu kepada Kayla. Kayla melihat piring itu dan tersenyum. Tanpa menolak, dia langsung melahap dengan santai makanan itu sekaligus menenenangkan mata dan pikirannya dengan pemandangan yang dia lihat. "Aku permisi dulu." Kayla menganggukkan kepalanya, kemudian dia mulai mengecek ponselnya. Berharap ada satu pesan dari Ryan. Akan tetapi, itu seperti sebuah kemustahilan. Entah karena Ryan masih rapat atau memang dia tidak peduli sama sekali. Drt Ponselnya bergetar. Buru-buru Kayla mengeceknya lagi dan berharap itu adalah Ryan. Tapi dia salah. Itu hanya pesan di grup kelas SMA-nya dulu. Tanpa minat, Kayla membacanya dengan maksud untuk menghilangkan kebosanannya karena menunggu Ethan. Sampai akhirnya rasa bosannya itu berubah menjadi tertarik saat melihat siapa yang tiba-tiba muncul di grup. [Renata: Aku mengundang kalian semua di pesta pertunanganku sabtu ini. Lokasi dan waktunya sudah ada di undangan.] [Renata: termasuk Kayla dan Ryan. Aku tahu kalian sedang liburan sekarang, tapi ada baiknya jika kalian berdua menyempatkan untuk datang.] Seketika saja sudut bibir Kayla terangkat. Ternyata Renata akan bertunangan dan dia sama sekali tidak tahu akan hal itu. Alasannya sederhana, dia dan Renata tidak berhubungan dengan baik. Pasalnya sebelum dia dan Ryan memutuskan untuk menikah, Renata adalah kekasih Ryan. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun dan putus karena tidak direstui oleh orangtua Ryan. Selebihnya Kayla tidak tahu karena Ryan juga malas membahasnya. [Rangga: bukannya km juga di Perancis, Ren? Kpn balik indo?] Kayla membaca pesan yang Rangga kirimkan itu dengan saksama. Renata ada di Perancis juga? Sejak kapan? [Renata: lusa, ini hari ketigaku di perancis] Tiga hari yang lalu Renata ada di Perancis. Saat Renata tiba di Perancis, Kayla masih bersama dengan Ryan. Mereka berpisah saat hari kedua Renata. Ya Tuhan, ini kenapa mendadak semua yang Kayla takutkan ada di Perancis? Pertama Erica, kedua Renata. Sebenarnya siapa yang bersama Ryan sampai mengirimkannya pesan itu. Masalahnya baik Erica maupun Renata, keduanya tahu nomornya. "Maaf membuatmu menunggu lagi." Saat Ethan datang, Kayla langsung mematikan layar ponselnya dan berusaha tidak kebingungan di hadapan Ethan. "Sepertinya kita harus kembali." Kayla menatap Ethan. "Ada masalah?" "Suamimu, dia akan melaporkanku atas penculikan. Aku baru saja dihubungi manajer hotelku dan memintaku kembali jika tidak ingin suamimu melanjutkannya ke kantor polisi." Kayla mengerutkan keningnya terkejut. Dia pun langsung mengambil dompet beserta ponselnya dan menarik Ethan keluar dari kafe ini. "Dia benar-benar gila," ucap Kayla sambil melepaskan tangannya dari Ethan dan mulai menghubungi Ryan, tapi tidak ada jawaban dari pria itu. Kayla semakin kesal. Dia dengan buru-buru menyetop taksi yang lewat, tapi semua yang lewat kebanyakan penuh. Dia panik, tidak ingin menimbulkan kekacauan untuk Ethan. "Kayla, santai..." "Aku tidak bisa. Dia sudah keterlaluan. Selalu begitu, menggunakan kekuasaannya itu untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dasar b******n. Dia sama sekali tidak memikirkan pekerjaannmu. Apa dia punya hati nurani?!" teriak Kayla kesal sambil berkali-bali menekan tombol ponselnya menghubungi b******n itu. "Hahaha..." Saat Kayla akan kembali menghubungi Ryan, tawa Ethan membuatnya menoleh dan mengerutkan kening karena bingung dengan tawa itu. "Kamu kenapa?" "Jangan panik, Kayla. Aku kenal dekat dengan manajerku, jadi aku tidak akan dipecat begitu saja. Untuk polisi, aku belum membawamu 24 jam dan kamu bisa jadi saksiku bahwa aku tidak pernah melakukan penculikan. Jadi tenang aja..." Kayla paham dengan maksud Ethan, tapi tetap saja ia kesal karena Ryan yang tidak ada kabar, lalu malah bermain dengan ancaman menjijikkan seperti itu. Ryan Ganendra memang semenyebalkan itu. "Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin menemuinya dengan cepat dan menghajarnya." "Sulit mendapatkan taksi yang kosong di sini, Kayla." "Terus bagaimana?" tanya Kayla polos. Daritadi yang dia temui adalah taksinya sudah terisi. "Ada rental mobil di sana. Jika kita jalan kaki sekitar 10 menit, kita akan menemukannya." "10 menit?" tanya Kayla tak percaya. Jalan-jalan pagi di kompleks perumahannya saja membuat dirinya kelelahan, apalagi berjalan selama 10 menit. "Aku akan ke sana sendirian, kamu bisa menunggu di sini." Tiba-tiba saja Ethan menawarkan sebuah cara dan dengan cepat Kayla menganggukkan kepalanya tanpa memikirkan Ethan akan sendirian. Saat dia hendak mengatakan sesuatu kepadanya, Ethan sudah berlari meninggalkannya untuk mencari rental mobil iu. "Dia benar-benar luar biasa," ujar Kayla dengan senyuman dan pandangannya yang terarah kepada Ethan. "Aku beruntung bertemu dengannya." Setelah itu Kayla memutuskan untuk duduk di kursi kayu yang ditempatkan di depan kafe. Seraya menunggu Ethan datang, dia terus merapatkan mantelnya karena angin musim gugur yang perlahan ssmakin keras dibandingkan sebelumnya. Dia tidak menggunakan sarung tangan dan yang bisa diandalkannya hanya saku mantel yang dibelikan Ethan. Sepuluh menit sudah berlalu dan Ethan sama sekali belum menunjukkan keberadaannya. Angin bahkan sudah masuk ke dalam tubuhnya dan mantel ini tidak terlalu memberikannya kehangatan yang maksimal karena. Kayla rasanya ingin menghubungi Ethan, tapi sayangnya dia tidak meminta nomor Ethan sejak mereka bersama. Itu juga adalah kesalahannya karena tidak berkenalan lebih jauh kepada Ethan. Tik tik Kayla mendongakkan kepalanya. Hujan tiba-tiba turun. Tanpa tanda berupa awan yang menghitam, hujan turun dalam sekali hentakan yang deras. Pantas saja angin mulai terasa sangat menusuk di tubuhnya. Dua puluh menit. Ethan tidak kunjung datang. Kayla sudah memasang wajah yang tidak dapat dia deskripsikan. Di antara hujan yang deras dan cuacanya yang semakin dingin, Kayla menolak untuk masuk ke dalam kafe meskipun pelayan sudah menawarinya. Dia masih di sini, menunggu Ethan datang menjemputnya. Tapi dua puluh menit sudah berlalu. Pria itu tak kunjung kembali. Saat mereka ada di dalam kafe, Ethan sudah pamit beberapa kali dan tetap kembali. Tapi kenapa sekarang pria itu tak kunjung kembali jika jarak yang dibutuhkan ke tempat rental adalah sepuluh menit? Apakah lokasinya sesungguhnya jauh? Ataukah ... Ethan meninggalkannya? Memikirkan bahwa Ethan mungkin saja meninggalkannya membuat Kayla ketakutan. Dia tidak tahu wilayah ini. Bahkan tempat dia menginap pun tidak dia tahu. Kemarin Kayla memesan kamar di hotel sana karena rekomendasi taksi yang dia tumpangi. Kayla mana pernah memperhatikan nama hotelnya. Tiga puluh menit sudah berlalu. Disaat pikiran buruk menghantuinya, Kayla buru-buru menghubungi Ryan, tapi sinyalnya mendadak hilang. Perlahan dia mulai panik dan masuk ke dalam kafe untuk meminjam telepon umum, tapi sama saja. Tidak ada sinyal. "Kami tadi mendapatkan informasi ada pemadaman sementara karena hujan lebat. Sekitar 1km dari sini juga ada pohon dan tiang listrik yang tumbang." Itu kata pelayan wanita yang sebelumnya melayani dirinya dengan Ethan. Merasa lemas, Kayla memilih untuk memesan minuman hangat yang sama dengan yang tadi dan duduk di sudut kafe. Dia menengadahkan kepalanya ke luar ruangan, berharap Ethan segera menjemputnya. Satu jam telah berlalu. Kayla menunggu Ethan selama satu jam lebih, bahkan hujan sudah reda pun, tidak ada tanda kedatangan Ethan. Dia mulai panik lagi dan kembali menghubungi Ryan saat sinyal di ponselnya sudah terlihat. "Aku sebenarnya tidak ingin mengangkat teleponmu untuk memberimu pelajaran, Kayla..." Mendapatkan kalimat itu setelah apa yang dilaluinya membuat Kayla perlahan menurunkan air matanya. Ryan benar-benar b******n. Apakah hanya itu yang bisa dia katakan setelah apa yang terjadi? "Kamu mau pulang sendiri atau aku yang menjemputmu?" Kayla menggigit bibirnya. Ryan sama sekali tidak menanyakan kondisinya dan tidak menanyakan perasaannya yang mungkin tersakiti. Kayla sudah memberitahunya perihal perselingkuhannya, tapi kenapa Ryan bersikap seolah itu bukan masalahnya? Kenapa dia bersikap seolah Kayla-lah yang salah di sini. "Sepertinya akan lebih baik jika kamu pulang sendiri. Aku membutuhkan penjelasanmu." Panggilan dimatikan. Itu semakin menghantam hati Kayla. Ryan hanya mengatakan tiga kalimat dan langsung mematikan panggilannya. Apakah yang baru saja dia hubungi benar Ryan Ganendra, suaminya? Mengapa Kayla merasakan bahwa dia bukan Ryan? "Bajingan." Setelah dua jam berlalu, Kayla memutuskan untuk menyusul Ethan. Dia membayar tagihannya ke kasir dan berjalan ke arah yang tadi dilalui Ethan. Selama sepuluh menit dia berjalan, Kayla benar menemukan sebuah rental mobil, tapi dia tidak menemukan Ethan. Akhirnya dia pun menanyakan perihal kedatangan Ethan dengan menjelaskan ciri-cirinya dan jawaban yang diberikan kepadanya membuat Kayla terkejut. "Tadi ada sekelompok orang berpakaian hitam yang mendatanginya. Mereka berbicara di pohon sana dan setelah kuperiksa lagi mereka sudah tidak ada. Pria yang anda sebutkan juga tidak jadi menyewa mobil." Jawaban itu menghantam Kayla sekali lagi. Dia tidak tahu apa yang terjadi kepada Ethan dan kemana pria itu. Sekarang, yang dia butuhkan hanyalah Ryan. Perlahan, dia mulaia menghubungi Ryan dan menghilangkan rasa bencinya untuk sementara ini. ??? Akhirnya Ryan datang menjemput Kayla. Setibanya di kafe, pria itu memandang Kayla dengan penuh pertanyaan. Tapi Kayla tidak peduli dengan itu. Dia langsung saja masuk ke dalam mobil dan mereka kembali ke hotel dalam perjalanan yang sunyi. Saat mereka berdua akan keluar dari wilayah yang Kayla tempati tadi, mobil Ryan langsung dihadang oleh sebuah mobil yang tidak mereka kenali. Pintu di kemudi mobil itu terbuka dan menampilkan sosok Ethan yang memiliki wajahnya terdapat luka. Melihatnya dalam kondisi seperti itu membuat Kayla ingin keluar, tapi Ryan langsung menahan tangannya dan menatapnya tajam. "Diam di sini." Ryan bergegas keluar untuk menemui Ethan, tapi Ethan malah mengabaikan Ryan dan pergi ke arahnya sambil membukakannya pintu. "Maaf aku terlambat, sekarang aku yang akan mengantarmu karena aku yang membawamu kemari." Bug Satu pukulan dari Ryan menghantam wajah Ethan yang sudah terluka. Kayla berteriak dan langsung membantu Ethan berdiri. "Kayla, masuk ke dalam mobil!" perintah Ryan dengan wajahnya yang penuh amarah. "Pria asing ini harus diberi pelajaran karena benar-benar mengganggu." Kayla menggigit bibirnya dan menatap Ryan dengan tajam. "Sebenarnya siapa di sini yang mengganggu?" Ryan balas menatapnya dengan bingung. "Apa maksud kamu, Kayla?" "Aku akan kembali dengan Ethan," ucap Kayla sambil memegang tangan Ethan dan menariknya kembali ke mobilnya. Akan tetapi Ryan menahan tangannya dan memberikannya tatapan super tajam. "Aku bilang masuk ke dalam mobil." Kayla menghentakkan tangannya dan menatap Ryan dengan benci. "Jika bukan karena situasi yang menakutkan, aku tidak akan meminta bantuanmu untuk menjemputku." "Aku suamimu, Kayla!" "Dan aku benci dengan status itu sekarang!" balas Kayla dengan teriakannya yang perlahan membuat air matanya turun. Lalu Kayla mengusapkan air matanya dan menarik napasnya dengan pelan. "Aku ... ingin bercerai, Ryan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD