Surat

1022 Words
Terima kasih pernah menjadi wadah menumpahkan lara. Terima kasih pula sudah berbaik hati menyembuhkan luka dan membuatku tertawa bahagia, meski tawaku sama sekali tidak terlihat dari sana. Terima kasih. Semoga ketika kamu sudah tidak lagi menjadi dua telinga, aku tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih kuat. Menjadi pribadi yang tidak lagi gemar berkeluh-kesah hingga membuat bebanmu semakin bertambah. Sahabatmu Dari pulau seberang Aku terduduk lunglai usai membaca surat itu. Tanganku masih bergetar. Entah bagaimana perasaan seseorang yang menulisnya hingga tampak banyak bekas air mata di lembar-lembarnya. Tadi pagi-pagi sekali, ketika hendak sarapan sebelum berangkat menyadap getah karet, seorang tetangga tiba-tiba saja menggedor pintu kayu rumahku. Udara dingin seketika menembus tubuhku bersamaan dengan hadirnya wajah yang masih dihiasi liur kering saat aku membukakan pintu. Adalah Bang Teguh, lelaki tiga puluhan itu berdiri di ambang pintu, menyerahkan sebuah amplop putih lecek sembari berkata, “Kemarin aku lihat ada tukang pos mondar-mandir di depan rumahku.” Aku membolak-balik amplop yang kini sudah berpindah ke tanganku. Sebelum aku sempat bertanya, Bang Teguh sudah lebih dulu menjelaskan. Mungkin ia paham dengan ekspresi wajahku yang kebingungan. “Langsung saja kutanya cari siapa dia. Rupanya dia cari alamat kau.” Kumis tebalnya ikut naik turun mengikuti gerakan mulutnya. Dia menghentikan penjelasannya sejenak. Udara dingin membuat tangannya sibuk membalut tubuh gempalnya dengan sarung yang ia kenakan hingga menutupi kepala. “Ah, siapa pula yang nekat mengirimi surat hanya dengan nama kau dan alamat tidak lengkap? Bikin orang repot saja!” lanjutnya sambil bersungut-sungut kemudian pamit. Ingin melanjutkan tidur katanya. Keningku berkerut, kiranya siapa gerangan yang meluangkan waktu mengirim surat di zaman yang serba modern ini? Karena penasaran, buru-buru kubuka amplop itu dan kukeluarkan isinya sambil berjalan menuju meja makan. Perutku keroncongan. Aku baru makan dua suap sebelum Bang Teguh datang. Bahkan segelas kopi hitam dengan kepulan asap masih teronggok membisu. Aroma nikmatnya menyeruak, seolah melambai ingin segera aku meneguknya hingga tanpa sisa. Namun, astaga! Tubuhku hampi kehilangan kendali. Rasa laparku menghilang tiba-tiba. Atmosfer ruangan ini mendadak berubah drastis, membekukan tubuhku dari ujung kaki hingga kepala. Aku bahkan dapat mendengar degup jantungku yang semakin mengencang. Penyesalan demi penyesalan yang hampir kulupakan seketika muncul kembali. Membuatku teringat kejadian malam itu. Membuatku teringat seseorang dari seberang. *** Mamak mengetuk pintu kamarku tiga kali, aku mendengarnya tetapi enggan menjawab. Tidak lama Mamak masuk membawakan secangkir teh hangat lalu duduk di tepi ranjangku. Aku masih menelungkupkan wajah. Dadaku masih terasa sesak seolah ada sesuatu yang mengimpit di dalam sana. Sudah tiga hari sejak kejadian surat misterius itu, aku masih juga belum baik-baik saja. Napsu laparku hilang bahkan ketika Mamak membuatkan gulai ayam, makanan kesukaanku, aku sama sekali tak menyentuhnya. Hanya sesekali memakan roti atau meneguk teh yang dibawakan Mamak. Aku juga tidak bisa membantunya menyadap getah karet atau mencari kayu bakar untuk dijual. Mamak bilang tak masalah, ia justru menyuruhku istirahat agar lekas pulih. Aku hanya merasa baikan ketika malam datang. Bagiku malam adalah waktu terbaik membuang segala penat juga kesedihan. Aku bisa menatap rembulan dari celah-celah daun pohon rambutan. Malam juga menyediakan tempat agar aku dapat berbincang dengan Tuhan–ini benar, aku sungguh berbincang dengan Tuhan mengenai banyak hal. Mengenai apa-apa saja yang mengganggu pikiranku tiga hari terakhir ini. Terlebih ketika aku tidak henti-hentinya memikirkan seseorang di seberang sana. “Sudahlah, Le, ikhlaskan,” kata Mamak sembari mengelus kepalaku lembut. Aku cepat-cepat menggeleng. Bagaimana bisa aku mengikhlaskannya begitu saja? Bahkan aku bersyukur rupanya ia tidak membenciku. “Kejar kalau itu membuatmu lebih baik.” Mamak menatapku lekat. Aku mendongak ke arah Mamak. Matanya juga berkaca-kaca. Rupanya Mamak paham betul meski aku tidak pernah menceritakan perihal ini padanya. “Pergilah, temui dia,” sambungnya. Kali ini Mamak tersenyum. Senyum yang amat menenangkan dan kemudian mengangguk seolah mengerti masih ada keraguan di mataku. Tidak apa, Nak, temui dia. Begitulah kiranya ekspresi Mamak memberi restu. Hujan di luar sana masih cukup deras. Kesiur anginnya menggoyangkan ujung-ujung ranting Akasia. Belukar di antara pohon-pohon karet semakin subur. Warna hijaunya amat menggiurkan bagi para pencari rumput untuk membabatnya sebagai pakan ternak mereka. Sebagian ada yang menjualnya ke pasar hewan. Aku menggenggam erat surat dari seseorang itu yang kini bentuknya semakin tak karuan. Aku membulatkan tekad untuk mengunjunginya ke sana, berharap dapat memperbaiki kesalahanku di masa lalu atau setidaknya dapat melihatnya baik-baik saja, sudah lebih dari cukup. *** Esoknya Mamak membantuku berkemas. Dipilihnya baju-baju terbaikku yang jarang sekali aku pakai. Jaket kulit tebal yang dibelikan Bapak saat Idul Fitri tahun lalu juga ikut dimasukannya ke dalam koper. Tidak lupa, Mamak juga menyiapkan pisang goreng dalam wadah plastik sebagai bekal perjalanan. Aku melihat bayanganku di depan cermin, tampak lebih segar dibanding beberapa hari sebelumnya. Mematut kemeja abu-abu dengan bawahan celan jeans warna senada. Hari ini langit cerah tak berawan, seolah mendung sejak kemarin lusa pergi entah ke mana. Cahaya matahari menerobos melalui celah-celah dinding bambu kamarku menjelma jembatan bagi para debu. Umar, kakak laki-laki pertamaku, sedang memanasi mesin motor. Dia yang akan mengantarku ke terminal. Kebetulan dia sedang berkunjung ke sini bersama istri dan kedua anaknya. “Sudah siap, Rul?” tanya Mamak yang sudah berdiri di depan pintu sambil tangannya menarik koper. “Sudah, Mak,” jawabku sambil melenggang keluar kamar. “Hati-hati, ya. Salam juga untuk temanmu itu. Ah, ini Mamak bawakan oleh-oleh untuk dia.” Mamak menyodorkan bingkisan yang tadi berada di tangan satunya padaku. Aku memeluk Mamak. Menciumi punggung tangannya yang penuh keriput. Bergantian juga mencium tangan Bapak yang tengah duduk di samping Mamak. Sudah kurang lebih delapan tahun, Bapak terkena stroke ringan yang membuatnya tidak dapat berjalan normal. Tidak ketinggalan kedua keponakanku, Edi dan Edo, menyodorkan tangan minta disalami. Terakhir Kak Dewi, istri Bang Umar. “Arul pamit, Mak,” kataku yang dilanjutkan mengucap salam. Sekali lagi kutatap wajah Mamak yang masih tersenyum beberapa detik sebelum aku dan Bang Umar meninggalkan halaman rumah. Edi dan Edo ikut melambaikan tangan. Motor melaju membelah jalanan berlubang di antara jejeran pohon karet. Beberapa tetangga yang hendak pergi ke kebun, ikut melambaikan tangan, tersenyum. Aku ikut tersenyum. Langit terlihat biru menawan sejauh mata memandang. Burung-burung berterbangangan riang. Pindah dari satu dahan ke dahan lain, meliuk-liuk membuat sebuah tarian indah. Aku menarik napas dalam. Baiklah, aku akan mengunjungimu sebentar lagi, Riani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD