Namanya Jo

1043 Words
Hiruk-pikuk pelabuhan Bakauheni pada malam hari menyambutku usai menempuh jalan lintas Sumatera kurang lebih tiga belas jam. Bus serta truk-truk besar mengantri, melaju tersendat-sendat menuju geladak bawah kapal. Orang-orang berdesakan memasuki kabin penumpang. Terdengar lenguhan suling kapal Feri dua kali, menandakan persiapan hampir selesai dan kapal akan segera berlayar. Aku sedikit terkejut ketika mendapati banyak anak-anak yang menceburkan diri untuk mengambil koin yang dilemparkan para penumpang ke dasar laut. Mungkin tidak begitu dalam, tetapi tetap saja, bukankah malam hari air laut terasa amat dingin? Apakah mereka tidak kedinginan? Apakah hanya sebatas bersenang-senang dengan kawan-kawan atau memang itulah salah satu cara mereka mencari uang? Aku menebak-nebak sendiri jawabannya dalam hati. Sesampainya di dalam kabin penumpang, aku mendaratkan bokongku ke atas kursi. Berselonjor sejenak sambil mengamati sekitar. Di dalam kapal terdapat kantin yang penuh dengan beraneka makanan, minuman, juga camilan. Aku merasa perutku belum terlampau lapar. Maka kulanjutkan menyalakan musik dan duduk-duduk sebentar. Aku mulai jenuh, memutuskan keluar kabin menuju geladak terbuka menghirup udara segar. Sayang sekali aku kalah cepat, area ini telah penuh sesak dengan orang-orang yang sedang menikmati detik-detik keberangkatan kapal. Aku berniat kembali ke kabin, membaca buku atau apa sajalah yang bisa kulakukan menghilangkan rasa bosan selama perjalanan. Belum sempat membalikkan badan, tiba-tiba saja pundakku ada yang menepuk, sedikit agak kencang hingga membuatku terlonjak kaget. “Jo!” seruku dengan tangan mengelus d**a saking kagetnya. Dia hanya tertawa, terpingkal-pingkal melihat ekspresi kagetku. Namanya Joko. Jika dibandingkan dengan pohon pisang, tingginya tidak ada setengahnya. Perawakannya kurus. Kulitnya gelap akibat sering terpapar sinar matahari. Hidungnya sedikit besar di bagian tengah. Matanya hitam besar. Joko merupakan pemuda asal Jawa yang merantau dan tinggal dekat dengan daerahku, sekitar setengah jam jika ditempuh menggunakan sepeda motor. Aku pertama mengenal dirinya ketika ikut Bang Umar menjual hasil panen ke kota. Awalnya aku segan, tetapi ketika sudah dua tiga kali bertemu, mengobrol dan saling nyambung, akhirnya kami akrab juga. Jo sekali dua kali datang ke rumahku. Katanya ia tidak ada teman untuk diajaknya ngopi atau nonton bola. Ia juga sering membawakan martabak atau yang lainnya ketika berkunjung. “Teman minum kopi,” saatnya ketika kutanya untuk apa ia membawa makanan sebanyak itu. Joko bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Terkadang ia juga sekali dua kali membantu menyadap getah karet saat tidak ada yang membutuhkan tenaganya. Joko bilang ingin pulang ke kampung halamannya di Jawa. Ia sudah amat rindu emak dan bapaknya sebab sudah lima tahun tak balik ke sana. Apalagi ia mendamba pada calon istrinya yang cantik menawan yang berada di kampung. Pasal calon istrinya dan martabak, aku pernah mendengar cerita unik tentang Joko saat ia berusaha mendapatkan sang pujaan hati. Katanya, setiap hari ia pergi mengunjungi rumah perempuan itu sambil membawa dua bungkus martabak—satu martabak manis isi cokelat kacang, satunya lagi martabak spesial dengan dua telor kesukaan orang tua sang perempuan. Sesampainya di sana, diketuknya pintu rumah itu tiga kali dan tidak lama seseorang dari baliknya membukakan pintu. Joko terkejut mendapati laki-laki setengah baya dengan kumis tebal dan berwajah sedikit seram. Kata Joko, itu adalah bapak dari sang perempuan. Saat itu, bukannya dipersilahkan masuk, laki-laki itu mengira ia adalah kurir pembawa makanan yang tadi dipesan anaknya. Tanpa pikir panjang, sang bapak mengambil kedua bungkusan itu dan memberikan uang seratus ribuan padanya. Joko termangu sekian detik. Ia merasa kebingungan. Bapak sang perempuan juga kebingungan karena tidak segera diberi kembalian. Tetapi sang pujaan hati tidak lama keluar dengan tangan menutup mulut saking tidak bisa menahan tawa. Lama mereka saling pandang, memahami apa maksud dari tawa sang perempuan. Hingga sang bapak menyadari kekeliruannya dan mempersilahkan Joko untuk masuk. Itu merupakan pertemuan pertama Joko dengan orang tua sang perempuan. Secara tidak sengaja, aku bertemu dengan Joko di dalam bus lintas provinsi yang kami naiki. Tidak ada janjian atau apa pun, bahkan Joko sama terkejutnya denganku ketika kami bertemu di dalam bus. Mengingat ini kali pertamaku pergi ke tanah Jawa, Joko dengan senang hati menawarkan akan menemaniku hingga sampai tempat tujuan, setelah aku bertanya apakah ia tahu daerah yang tertera pada alamat pengirim surat sebelum ia melanjutkan perjalanannya ke rumah orang tuanya di Magelang. “Sorry , Rul. Sungguh aku ndak ada maksud buat kau kaget.” Aku mendengus sebal, berjalan melewatinya menuju kabin penumpang. “Hey, kau mau ke mana, Rul?” tanya Jo dengan sisa tawanya. “Ke dalam, baca buku,” sahutku ketus, kembali berjalan menuju kabin. “Aih, tidak mau lihat pemandangan dulu, Rul?” Dia berjalan menyejajari langkahku. “Rugi lho kalau cuma duduk-duduk di kabin sambil baca buku. Apalagi kalau sambil melamun,” lanjutnya sambil terkekeh. Aku menggeleng. Ini sungguh tidak lucu. Kutunjuk gerombolan penuh sesak itu dengan mulut agar setidaknya Jo tahu apa maksudku. Tetapi aku salah. Jo lebih dulu memberi ide lain. “Aku tahu tempat selain di situ, di mana kita bisa leluasa melihat pemandangan. Bagaimana kalau kita ke atas saja?” Kali ini suaranya terdengar serius. Aku menghentikan langkahku, Jo ikut berhenti. “Iya ke atas. Ayo!” ajaknya antusias. “Kupastikan kau tidak akan menyesal, Rul,” lanjutnya mantap sambil mengepalkan tinju. Tanpa menunggu persetujuanku, Jo mendorong tubuhku menuju tangga besi yang menghubungkan geladak utama dengan geladak atas. Ragu-ragu, aku mengikuti Jo meniti anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, aku terkesiap. Mematung tak percaya dengan keindahan yang ada di depan yang memanjakan mata. Sudah ada beberapa orang di sana. Geladak atas memang lebih sempit dibanding yang berada di bawah, namun lebih dari cukup untuk menikmati sekitar. Malam ini langit tampak berpesta. Lampu-lampu pelabuhan menjelma titik-titik gemintang berpadu dengan cahaya rembulan. Lenguhan suling feri yang berlalu-lalang bersahutan mengalahkan debur ombak yang terbelah lambung kapal. Para penumpang saling melambai, entah kepada siapa, berseru-seru kencang sembari menikmati angin malam, tertawa. Ada yang mengabadikan momen indah ini menggunakan telepon genggam mereka, ada yang berselfie ria. Semuanya tampak sangat mengagumkan. Jo menyeringai lebar penuh kemenangan seolah telah berhasil membawaku ke dalam dunia berbeda. Ini memang pengalaman yang sungguh luar biasa. Aku bahkan tidak menyangka akan mengalami hal ini. Joko memang teman yang sangat baik. Ia mengantarku mengingat potongan-potongan cerita masa lalu sebelum aku menyadari bahwa ada seseorang yang ingin sekali aku perjuangan melebihi apa pun, membawa langkahku mengarungi lautan dan bertualang nun jauh di negeri seberang. Seseorang yang memberi pemahaman baru mengenai rasa sakit dan mimpi-mimpi. Seseorang itu adalah Riani, dua telingaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD