4. Pertemuan

1282 Words
Sadin, asistennya Sean memang selalu bisa diandalkan. Siang hari sebelum makan siang, Zia sudah datang bersama editor yang menaunginya. Ia pun langsung meminta keduanya yang sudah berada di depan ruang kerja Sean untuk masuk ke ruang kerja Sean. “Silahkan masuk, Nona! Tuan Sean sudah menunggu di dalam,” ucap Sadin ramah seraya membukakan pintu ruang kerja Sean. Dengan langkah gugup, Zia melangkah masuk ke dalam ruangan Sean. Zia sendiri belum mengetahui wajah Sean, karena editornya yang memberi kabar kalau Zia mendapatkan tawaran menulis biografi seorang CEO. Sadin mengekori langkah Zia dan editornya tersebut. “Tuan, Penulis Zia dan editornya sudah sampai,” ucap Sadin tetap ramah. “Terima kasih, Pak Sadin. Kamu boleh keluar!” jawab Sean yang duduk membelakangi meja kerjanya. Sadin menurut keluar ruangan Sean. Sayangnya perbuatan Sean tadi, memberikan kesan tidak baik untuk Zia. Yang tersirat dalam pikiran Zia, sikap CEO di hadapannya tidak sopan. Wajah Zia tampak ragu untuk menjadi penulis CEO di hadapannya tersebut. “Kak Risma, kamu yakin dia adalah CEO terbaik?” bisik Zia pelan pada wanita yang berada di sampingnya. “Lihat saja, CEO itu malah membelakangi kita, ‘kan nggak sopan.” Wanita itu adalah Risma. Editor sekaligus sahabat terbaiknya yang membantu Zia menjadi seorang penulis hebat. Sebenarnya Zia adalah seorang penulis n****+ dengan genre romance, tetapi ia merasakan butuh pembaharuan untuk karya-karyanya. Zia memutuskan untuk mengalihkan tulisannya dengan menulis biografi orang-orang terkenal dan sukses. Setidaknya sudah ada dua buku biografi yang ia tulis langsung dari salah satu orang-orang sukses negeri ini. Dari perjalanan kisah orang-orang sukses itu, Zia mempelajari perjuangan mereka. Tampaknya Risma tak sependapat dengan jalan pikiran Zia. Ia menyadarkan Zia yang sedang melamun membayangkan sikap menyebalkan CEO dihadapannya dengan menyikut lengannya. Zia meringkih pelan mendapatkan sikutan dari Risma. “Jaga sikapmu!” tegur Risma halus dan berhasil membuat Zia menundukan pandangannya, walaupun Zia harus mengerucutkan bibirnya. Sean bukannya bertindak tidak sopan dengan membelakangi tamunya, tetapi ia sedang mengatur napasnya karena tiba-tiba merasa salah tingkah untuk berhadapan dengan Zia, gadis kecilnya yang selama ini dicarinya. Terlihat hembusan napas dari mulut Sean, kemudian ia berdeham pelan. Isyarat ia sudah bisa menguasai dirinya. Sean pun memutar kursinya menghadap dua tamunya. Mata Zia yang tadinya menatap malas pada belakang kursi di hadapannya, langsung membulat sempurna. Zia melihat jelas wajah CEO yang akan dijadikan tokoh biografinya. Ia masih mengenali lelaki tersebut. Mulutnya bahkan terbuka lebar dan seperti berucap kata paman. Buru-buru ia menutup mulutnya, karena Risma menyukut lengannya lagi. “Aku 'kan sudah bilang kalau CEO kali ini sangat tampan, jadi jangan berlebihan!” bisik Risma dengan nada kesal karena Risma mengiranya kalau Zia bereaksi berlebihan. “Maafkan aku, Kak,” sesalnya. Sean tersenyum ramah menyembunyikan suasana hatinya yang berhasil menemukan Zia. Ia harus profesional karena saat ini pertemuannya dengan Zia adalah tentang pekerjaan dan juga ada Risma. Sean juga terkenal dengan kepribadian yang sangat tegas dan profesional, jadi ia tidak mau merusak citra yang sudah ia buat tentang dirinya. “Silahkan duduk!” tunjuk Sean pada sofa yang berada di depan meja kerjanya. Sekarang, yang perlu mengatur napasnya adalah Zia. Terlihat jelas kedua tangannya bergetar karena grogi. Zia pun merasakan hal yang sama dengan Sean. Selama ini Zia juga menyimpan rasa yang sama pada Sean. Bedanya perasaan untuk berterima kasih dan menyesal telah mencuri uangnya. Setelah kejadian malam itu, Zia mencuri isi dompet Sean tanpa sisa. Zia terpaksa mengambil uang Sean untuk melangsung hidupnya, ia sudah bertekad untuk menjauh dari hidup ibunya. Ternyata, uang yang dicurinya dari dompet Sean sangatlah banyak sekali, hingga cukup untuk menyewa kontrakan dan membeli ponsel baru, kemudian sisanya ia gunakan untuk membeli makan. Dengan ponsel baru miliknya Zia meneruskan hobinya menulis. Zia memasukan cerita ke berbagai platform n****+ online. Beruntungnya novelnya banyak peminatnya hingga ia bisa menghasilkan uang dari hasil menulisnya, hingga ia bisa membiayai hidupnya sendiri. Zia melupakan keingainannya untuk melanjutkan kuliah. Kemudian dari n****+ onlien itu bertemu dengan Risma yang membantu dan membimbingnya hingga Zia bisa menerbitkan buku n****+ dan menjadi salah satu penulis yang terkenal. Pandangan Zia tak bisa lepas dari wajah Sean. Ia ingin meminta maaf telah mencuri uangnya dulu dan berterima kasih, karena dengan uang tersebut ia bisa bisa bertahan hidup. Zia bahkan melupakan kejadian terlarang mereka karena Zia tidak bisa menyalahkan Sean. Ia sadar saat itu mereka berdua berada dalam pengaruh alkohol. “Apakah Paman itu tidak mengenalku?” Zia bertanya dalam hatinya, karena wajah Sean tampak profesional sekali, seolah tak mengenal dirinya. “Baiklah, kita langsung bahas tentang peraturan dan perjanjian kontraknya saja,” ucap Sean menyadarkan lamunan Zia. Zia refleks menunduk saat Sean menatap wajahnya. “Tentu saja Tuan Sean. Kami senang sekali Tuan Sean memilih penulis kami untuk menuliskan biografi Pak Sean,” sahut Risma bersemangat. “Zia ini adalah salah satu penulis terbaik saya. Saya yakin Tuan Sean tidak akan kecewa dengan hasil tulisan Zia,” jelas Risma memuji Zia. Sayangnya Zia kembali memasuki dunia lamunanya. “Zia, sadarlah! Dia bukan Pamanmu, CEO itu kebetulan bertemu denganmu. Kamu seharusnya berdoa agar CEO itu tidak mengingat wajahmu yang sudah mencuri uangnya!” Zia memarahi dirinya dalam hati. Tanpa Zia sadari kalau Sean menatap wajahnya yang tertunduk. Pikiran Zia dilanda kebingungan. Ia bahkan bingung harus memasang wajah apa saat ini? Zia melihat lelaki di hadapannya tak menaruh perasaan apa pun padanya. Zia terus bertanya-tanya kenapa Sean tak mengenali dirinya, padahal ia sangat mengenali wajah Sean. “Terima kasih, Nona Risma. Saya sudah mempelajari biodata penulis Zia. Penulis Zia, kapan kamu bisa memulainya? Saya yakin makin cepat makin baik,” ujar Sean ramah lalu bertanya pada Zia. Sayangnya Zia masih terlarut dalam lamunanya. Hati dan pikirannya benar-benar sedang tidak berada dalam tempatnya. Tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas karena memikirkan sikap Sean yang tak mengenali dirinya. Ingin sekali ia mengacak rambutnya sendiri agar bisa sadar. “Zia, Zia.” Risma memanggilnya, tetapi Zia tak meresponnya. Plak! Risma menepuk lengannya kuat sembari memanggil namanya. Pikiran Zia langsung buyar. Ia menoleh kebingungan saat menatap Sean lalu menoleh pada Risma yang memanggil namanya. Wajahnya sedikit panik saat menyadari Risma menatapnya kesal. “Ah, maaf Kak. Ada apa?” tanya Zia menyesal kemudian. Risma melirik ke arah Sean, mengisyaratkan kalau ia harus meminta maaf pada Sean. Zia pun memberanikan diri menatap wajah Sean. Wajah Sean kini terlihat datar. Ya, memang Sean sengaja memasang wajah datar padanya. “Maafkan saya, Tuan Sean. Saya benar-benar bahagia karena Tuan Sean memilih saya sebagai penulis biografi Tuan. Saking bahagianya, saya terlalu banyak mengkhayal,” ucap Zia memberi alasan sekenanya saja. Zia berkilah menutupi rasa cemas dan malunya. “Astaga Zia, sedang apa kamu? Ingatlah kamu sedang butuh uang banyak. Jadi, kamu harus profesional agar tidak mengecewakan CEO ini.” Lagi, Zia memarahi dirinya sendiri dalam hatinya, menegaskan dirinya agar tidak melakukan kesalahan yang patal. “Sepertinya penulis Nona Risma tidak bisa profesional karena tidak menyimak kata-kata saya dengen baik,” protes Sean dengan nada tegas. Wajah Risma langsung berubah panik, sedangkan Zia terlihat ketakutan. “Maafkan saya, Tuan Sean. Biasanya Zia tidak pernah bersikap seperti ini. Mungkin benar apa yang dikatakannya kalau Zia ini terlalu bahagia,” timpal Risma. Risma menunjukan wajah sungguh-sungguhnya dan Zia memasang wajah menyesal. Ia kembali tertunduk, hatinya memarahi dirinya lagi. Sean tersenyum tipis melihat wajah Zia yang menyesali perbuatannya. Memang Sean sengaja membuat wajah Zia ketakutan. Menurutnya ekspresi wajah Zia sangat menggemaskan saat cemas dan ketakutan. “Apakah Anda yakin bisa merubah sikap Anda? Sekarang wajah Anda saja tidak mencerminkan rasa bersungguh-sungguh?” Pertanyaan Sean terdengar tegas. Wajahnya menatap tegas pada wajah Zia. “Saya janji, saya pasti bisa profesional,” jawab Zia langsung, wajahnya menunjukan rasa penuh semangat. Tiba-tiba wajah Zia berubah menjadi cemas dan grogi, ketika kedua matanya bertatapan langsung dengan kedua mata Sean. “Ada apa ini? Kenapa tatapannya seperti itu?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD