5. Panik

1386 Words
Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma. Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci. “Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya. Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut, “Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing. Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut diberikan pada Sean dan Zia. “Silahkan pelajari dulu isi kontraknya! Di sana juga tertulis syarat, ketentuan dan perjanjian kontrak,” jelas Pak Sadin santun saat Zia mulai membuka isi map tersebut. Sean pun membuka isi map pemberian asisten pribadinya dan membaca rinciannya dengan sangat teliti. Begitu juga Risma, ikut mendekatkan tubuhnya pada penulisnya dan melihat isi yang tertulis di dalam map tersebut. Zia bahkan mengeja setiap katanya dengan jari telunjuknya, memastikkan tak ada yang terlewatkan. “Berapa lembar isinya?” guman Zia menyadari isi map itu terlihat sangat tebal. “Mohon maaf sekali! Kami menulis semua ketentuan secara detail agar tidak membebani kedua belah pihak,” jelas pak Sadin langsung. Gadis itu hanya bisa melongo mendengar penjelasan Pak Sadin yang duduk di sofa hadapannya. Zia menoleh pada Risma yang duduk di sebelahnya dan langsung dijawab anggukan, isyarat setuju dengan peraturan mereka. Sementara Sean duduk di sofa tunggal tersenyum tipis melihat wajah pasrah Zia. “Pihak pertama adalah Pak Sean yang akan ditulis biografinya lalu Penulis Zia adalah pihak kedua,” Pak Sadin menjelaskan rinciannya lagi. “Pihak kedua harus tinggal di tempat yang disediakan oleh pihak pertama selama 30 hari?” Zia menyambung penjelasan pak Sadin. Gadis itu terlihat ragu-ragu membaca perjanjian tersebut. Tampaknya ia perlu memastikan maksudnya. Zia memberanikan diri melirik Sean yang terlihat masih mengamati map sebelum ia kembali menatap pak Sadin. “Benar, Bu! Ini adalah fasilitas yang diberikan oleh pihak pertama agar pihak kedua bisa lebih fokus dengan pekerjaanya. Sebuah kamar hotel VIP di hotel ini, tentunya dilengkapi view terbaik! Kami berharap penulis mudah menemukan inspirasi. Kami rasa 30 hari sudah cukup untuk mempersiapkan biografinya,” jelas pak Sean dengan nada bangga seolah tengah mempromosikan hotel milik atasannya. Sayangnya, penjelasan pak Sean masih membuat Zia kebingungan. Ralat! Bukan bingung, sebenarnya Zia sangat tidak menyangka akan mendapatkan fasilitas yang sangat mewah. Bahkan ia tak menyadari mulutnya yang refleks menganga dan mengatup langsung saat Risma menyikut tubuhnya. “Ta---tapi, aku---” suara Zia gagap dan langsung terputus, Sean memotong ucapannya. “Pak Sadin, bagaimana kalau kita ganti tempat tinggal pihak kedua, jangan di hotel VIP?” ucapan Sean sontak langsung membuat Zia dan Risma terkejut, begitu juga dengan pak Sadin. “Di mana itu, Tuan?” Pertanyaan Pak Sadin mewakili Zia dan Risma, bahkan Zia terlihat kecewa. Gadis itu sudah menduga pasti akan diberikan fasilitas biasa. Namun dugaanya sepertinya salah, Sean tersenyum nakal saat menatap dirinya. “Bagaimana kalau di rumah saya saja,” ucap Sean mengejutkan. Tiba-tiba ingatan Zia langsung terbayang wajah Sean saat menciumnya lima tahun lalu. Bukankah itu adalah tindakan awal sebelum mereka melakukan perbuatan terlarang. Pikiran Zia langsung mengartikan buruk. “Dasar cab*l, selamanya cab*l!” gerutu Zia dalam hati, tapi ia harus menyuarakan isi hatinya untuk membela harga dirinya. “Tidak, aku tidak mau!” Suara Zia lantang. Ia tidak ingin menjadi gadis murahan hanya karena lelaki di hadapannya memberikan penawaran yang menggiurkan. Gadis itu tidak peduli, walaupun ia harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bayaran yang tinggi. Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes. “Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya w************n!” Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya. “Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya. Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean. “Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kalau saya adalah orang yang sibuk? Jika Anda ada di rumah, kita bisa melakukan interview saat saya sedang bersantai di rumah. Bukankah itu ide lebih baik?” terang Sean detail. “Lagi pula rumah saya ini memiliki dua lantai dan ada empat pembantu di rumah saya, serta banyak kamar kosong yang memang selalu saya sediakan untuk kolega saya jika berkunjung ke sini.” Wajah Zia langsung berubah merah. Ia bahkan langsung menundukkan wajahnya menyadari kecerobohannya. Bahkan Risma mendesis kesal padanya. Zia menoleh pada wanita di sampingnya, meminta bantuan agar ia tak terlalu malu. “Maafkan penulis saya, Tuan Sean. Penulis saya mempunyai masalah jika berhadapan dengan laki-laki. Apalagi laki-lakinya pria tampan seperti Tuan Sean, jadi gampang groginya,” Risma membela penulisnya. Zia terkejut. Ia langsung menatap penuh amarah mendengar penjelasan Risma. “Kak Risma!” sentak Zia kesal. Penjelasan Risma justru makin membuatnya bertambah malu. “Tidak apa-apa, Zia! Tuan Sean pasti paham kalau kamu grogi, fokus saja dengan isi kontraknya!” pinta Zia seraya menarik lengan Zia agar tatapannya kembali fokus membaca rincian perjanjian selanjutnya. *** Zia tidak punya pilihan lain untuk menandatangani perjanjian tersebut. Gadis itu memang sedang butuh uang banyak. Penghasilannya dari n****+ online dan buku cetaknya tidak cukup. Ia membutuhkannya untuk biaya operasi ayahnya. Akhrinya Zia menemukan ayahnya setelah terpisah hampir 10 tahun. Namun, kondisi Darul, ayahnya sangat mengenaskan. Darul mengidap jantung koroner dan harus segera dioperasi. “Baiklah, Zia, hanya 30 hari kamu tinggal bersama tuan Sean. Kamu pasti bisa!” Zia memberi perintah pada dirinya sendiri, saat ia sudah mengemasi baju-bajunya dalam koper yang diberikan pak Sadin. “Tapi, bagaimana jika paman itu berbuat macam-macam? Bukankan tuan Sean itu adalah paman itu?” Tubuh Zia jatuh dengan sendirinya di atas kasurnya yang sudah menipis. Wajahnya terlihat frustasi dan tak berdaya. Ia tak hanya akan berhadapan dengan lelaki yang sudah merenggut kesuciannya lima tahun lalu, tetapi akan tinggal satu atap dengan lelaki itu. Tunggu, harusnya diralat! Bukan merenggutnya, bukankah dirinya sendiri yang memasrahkan tubuhnya pada lelaki itu. “Tenanglah, Zia. Aku yakin paman itu sudah berbeda, sekarang dia adalah tuan Sean. Seorang CEO, bukankah CEO sering gunti pasangan dengan mudah.” “Lihatlah! Kemarin paman itu tidak mengenalimu kan?” Zia berdialog kembali dengan dirinya memastikan diri untuk yakin. “Benar! Kalau paman itu bersikap tidak mengenaliku, aku hanya perlu bersikap tidak mengenalinya. Hubungan kita saat ini adalah penulis dan tokoh biografi. Semangat Zia!” Setelah Zia memberikan semangat pada dirinya, ia pun langsung menarik kopernya ke luar rumahnya. Rupanya pak Sadin sudah sabar menunggunya di depan rumah. Semangat gadis itu mendadak lenyap saat melihat senyuman ramah pak Sadin. Pak Sadin seperti algojo yang bertugas mengantar nyawanya pada Sean. “Silahkan, Nona Zia! Saya akan antarkan Nona ke rumah tuan Sean.” Pak Sadin membukakan pintu mobil mempersilahkan Zia masuk ke dalam. “Terima kasih banyak, Pak,” ucap Zia seraya melangkah masuk ke dalam mobil. Zia memandangi rumahnya yang mulai bergerak menjauh. “Kenapa aku merasa akan berpisah selamanya dengan rumahku?” Zia bertanya dalam hatinya. Matanya ingin menangis, tetapi air matanya tidak mau keluar. “Nona, di samping Nona ada ponsel baru. Tuan Sean meminta Nona untuk menggunakan ponsel tersebut. Nona Zia tidak diperkenankan membawa masuk ponsel pribadi milik Nona. Itu adalah syarat susulan dan sudah disetujui oleh editor Nona,” jelas pak Sadin ramah seraya menatap gadis itu dari cermin yang berada di atas kepalanya. Wajah Zia terlihat terkejut dan kebingungan. “Sepertinya aku tidak hanya berpisah dengan rumahku tetapi berpisah dengan kehidupanku juga. Ponsel ini adalah hidupku,” Zia benar-benar menangis, tetapi kenapa air matanya tidak kunjung keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD