“Semua keindahan nggak ada yang mudah buat didapatkan, Ny. Bahkan walau kita mengharapkannya dalam mimpi, belum tentu juga bisa langsung tercapai, kan?”
Episode 20 : Merasa Bersalah
Sunny termangu memikirkan masa depan hubungannya dan Keandra. Ia terduduk di tengah-tengah kasur dengan tubuh yang sudah berselimut, sambil mendekap guling bergambar Keandra. Sementara di hadapannya dan mungkin ada empat meter, televisinya tengah menayangkan penampilan Keandra. Keandra sedang membawakan lagu ‘On Rainy Days’ yang dipopulerkan oleh ‘BEAST’ salah satu boy band asal Negeri Gingseng. Dan ketika Sunny tak sengaja menoleh pada keberadaan jendela kamar di sebelahnya yang hanya tertutup gorden tipis, ternyata di luar sedang turun hujan dan cukup deras.
Untuk beberapa saat pandangan Sunny tercuri pada guyuran hujan. Hujan di awal tahun ke lima setelah perpisahannya dengan Keandra.
“Nggak terasa, yah, Kean, sudah masuk tahun ke lima? Sebentar lagi kita ketemu,” batin Sunny nyaris menangis saking nelangsanya.
Ketika Sunny menoleh pada nakas, ia mendapati beker menunjukkan tepat pukul dua belas malam. “Sekarang di Korea sudah pukul dua pagi dan semoga kamu sudah istirahat, ya. Aku nggak mau kamu sampai sakit gara-gara kecapaian.” Sunny berbicara sendiri. Berharap agar Keandra juga bisa mendengarnya. Bahkan kalau bisa, kekasihnya itu ada bersamanya sekarang juga.
Tiba-tiba saja, hati Sunny terbesit. Ia teringat kata-kata Rafael perihal seseorang yang memilih hidup menjadi artis dan akan kehilangan kehidupan bebasnya.
“Menjadi artis itu berat. Nggak hanya kebebasan kita yang dirampas, melainkan orang-orang di sekitar kita. Karena ketika seseorang menjadi artis, dia juga harus menjadi orang lain, bukan dirinya lagi.”
Sunny menjadi merasa sangat bersalah. Karena dengan kata lain, ia telah membuat Keandra kehilangan hak bebasnya dalam menjalani kehidupan. Keandra bahkan harus menjadi orang lain. Sunny tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Keandra. Bagaimana pria itu harus menghabiskan hari-harinya dengan begitu melelahkan. Memikirkan itu semua, tangis Sunny pecah bersamaan dengan dadanya yang terasa sangat sesak.
Sunny hilang arah. Ia butuh teman untuk menuangkan penyesalan sekaligus pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya yang kebetulan ada di sebelah beker. Dengan gemetaran, ia menggunakan gawai itu dan memilih kontak Xan. Ia memilihi Xan sebagai tempat bertukar pikiran karena selain Xan memiliki pemikiran luas, pria itu juga menjadi alasannya membebaskan Keandra meraih mimpi yaitu hidup dalam musik.
Tak butuh waktu lama, dalam sambungan yang ke dua, Sunny mendapatkan balasan dari seberang.
“Iya, Ny? Ada apa?”
Suara Xan terdengar masih segar. Tak ada tanda-tada pria itu sudah tidur atau sekadar mengantuk. Namun Sunny tidak peduli pada hal tersebut. Karena rasa bersalah sekaligus takutnya terhadap Keandra jauh lebih besar, dan Xan harus memberinya alasan yang masuk akal.
“X-xan ....”
“Ny, kamu nangis? Kenapa? Ayo cerita pelan-pelan.”
Dada Sunny semakin sesak seiring tangisnya yang juga tidak bisa dikendalikan lagi. “Aku jahat banget, ya, Xan?”
“Kenapa kamu ngomong begitu, Ny? Siapa yang bilang? Atas dasar apa?”
Sunny tidak langsung menjawab. Ia masih merasa sangat bersalah sekaligus menyesal yang sampai membuatnya merasa sangat nelangsa. “Xan ... nggak seharusnya aku melepas Kean jadi penyanyi, kan? Dia pasti sangat tersiksa bahkan tertekan karena dia harus menjadi orang lain, bukan dirinya lagi?”
Xan tidak langsung menjawab. Ia terdiam untuk beberapa saat kemudian menghela napas pelan. “Semua keindahan nggak ada yang mudah buat didapatkan, Ny. Bahkan walau kita mengharapkannya dalam mimpi, belum tentu juga bisa langsung tercapai, kan?”
“Percaya deh, semua yang diperjuangan hasilnya akan jauh lebih berharga ketimbang yang biasa-biasa saja.”
Sunny terpejam pasrah dengan sakit yang sedikit berkurang. “Tapi, Kean ada cerita ke kamu kalau dia tertekan atau sejenisnya, nggak, Xan? Jujur saja. Aku nggak apa-apa.”
“Demi Tuhan, Ny. Kean nggak cerita apa-apa. Bahkan karena waktunya yang sedikit, sepertinya dia hanya bisa menghubungi kamu.”
“Berpikir positif saja. Kean sangat bahagia dengan semua proses yang harus dia jalani. Lihat sekarang, bukankah dia sudah jadi bintang yang sangat bersinar?”
“Paling yang bikin dia tertekan karena dia harus jauh dari kamu dalam waktu sangat lama.”
Kata-kata terakhir Xan berhasil membuat Sunny tersipu. “Aku serius, Xan. Jangan bercanda!” Sunny menggigit bibir bawahnya tanpa bisa mengakhiri senyum bahagianya.
“Hahaha ... siapa yang bercanda, Ny? Kan memang begitu ... yang namanya Keandra hanya nggak bisa kalau nggak ada Sunny di belakangnya.”
Dengan perasaan yang menjadi jauh lebih tenang, Sunny mengaminkan dalam hati anggapan Xan. “Makasih, ya, Xan. Bantu doa juga biar Kean kuat dan selalu sehat. Biar semua mimpinya terwujud dan perjuangannya nggak sia-sia.”
“Pasti, Ny. Sudah malam. Lebih baik kamu tidur.”
“Iya, Xan. Kamu juga. Maaf sudah ganggu waktumu.”
“No problem, Ny ....”
Sunny harap, semua yang Xan katakan benar. Keandra akan baik-baik saja apalagi pria itu telah hidup dalam musik yang merupakan prioritas Keandra. Hidup dalam dunia yang sangat diimpikan, bukankah sangat menyenangkan karena tidak semua orang bisa mengalaminya?
“Kean beruntung. Bahkan dia sangat beruntung!” batin Sunny sembari memejamkan matanya. Tanpa mengubah keadaannya, ia berangsur merebahkan tubuhnya sembari menarik selimutnya hingga menutupi leher.
***