Episode 21 : Meluluhkan Hati Sunny

1216 Words
“Sekarang kita duduk bersebelahan sebatas aku mengantar kamu pulang. Selanjutnya, kita akan duduk bersebelahan sebagai mempelai,” Episode 21 : Meluluhkan Hati Sunny “Satu bulan lagi masa kontrakmu berakhir, kamu masih belum punya keputusan mau bertahan—?” “Apa berhenti?” Sunny memotong ucapan Rafael. Pria itu sangat tidak bersemangat. Wajah tampan Rafael juga terlihat kusut. Sepertinya tak semata karena ia belum menentukan perpanjangan kontrak kerja. Melainkan hal lain yang tidak diharapkan pria itu. Berhentinya Sunny dari hotel tentu bukan kenyataan yang Rafael harapkan. Sudah lima tahun bersama dan selama itu juga Rafael tak ubahnya orang gila yang terus mengemis cinta Sunny, tetapi wanita itu tetap saja meragukan ketulusan Rafael. Siyalnya, hingga detik ini tidak ada tanda-tanda Sunny tertarik atau sekadar berminat kepadanya. Sunny begitu setia pada kekasihnya dan sampai sekarang masih di luar negeri. “Tunggu. Saya mau semadi dulu biar dapat pangsit buat makan bakso.” Meluluhkan hati Sunny merupakan hal tersulit dalam hidup Rafael. Wanita itu sama sekali tidak tergiur dengan fisik berikut materi yang Rafael miliki. Pun meski pria itu juga sudah mencobanya dengan berbagai cara termasuk memberikan berbagai hadiah. Dari buket bunga yang Rafael kirimkan di setiap paginya. Buket bunga yang dikata Sunny membuat ruang kerja wanita cantik itu, menyerupai taman. Di mana, di suatu kesempatan, tangan Sunny sampai tersengat lebah madu dari salah satu bunga yang Rafael kirimkan. Dan semenjak itu juga, terhitung lima bulan dari kepindahan Sunny ke Bandung, akhinya Rafael berhenti mengirimi Sunny bunga, tak lama setelah Sunny memarahi Rafael, setelah tangannya disengat lebah. Namun Rafael tidak berhenti begitu saja. Karena semenjak berhenti mengirim Sunny bunga, Rafael jadi rutin mengirimi wanita itu aneka makanan sehat termasuk camilan dan makanan berat. Tapi lagi-lagi Sunny tidak mau menerimanya. Apalagi ketika ia sampai memberi aksesori yang selalu menjadi sumber kebahagiaan wanita, seperti sepatu, tas, juga pakaian bermerek. Sunny benar-benar marah dan mengancam tidak mau mengenalnya lagi jika Rafael terus-menerus memberinya hadiah. “Sun, seharusnya kamu tanya, kenapa aku nggak semangat kayak biasa?” keluh Rafael. Sambil terus berjalan meninggalkan pintu masuk hotel, Sunny berkata, “Saya pikir nggak ada yang harus dikhawatirkan kalau itu tentang Pak Rafael. Pak Rafael kan punya semuanya.” “Iya. Aku memang punya semuanya. Aku punya semuanya kecuali kamu.” Rafael masih mengikuti Sunny layaknya bocah yang tidak mau jauh-jauh apalagi sampai berpisah dari ibunya. Sunny sama sekali tidak terpengaruh rayuan Rafael. Ia memasukkan kedua tangannya pada kantong jas yang dikenakan dikarena suasana malam mulai membuatnya kedinginan. “Kalau kamu mau ke Jakarta, bareng sama aku saja. Lagi pula sekarang sudah malam.” “Nggak usah, Pak, terima kasih. Saya sudah beli tiket travel.” Rafael menghela napas pelan. Ia mulai merasa frustrasi. “Aku harus bagaimana, sih? Menunggu lima tahun bukan waktu yang sebentar, lho.” “Sun, please, kasih aku kesempatan. Aku nggak mau nikah kecuali sama kamu!” “Aku bisa ganti uang tiket travelmu berkali lipat. Aku bahkan bisa kasih mobil atau malah jet pribadi kalau kamu mau!” “Pak Rafael, sudah. Jangan terus-menerus memaksakan diri. Lebih baik Pak Rafael mulai serius cari istri. Jangan berharap pada saya lagi. Lagi pula dalam waktu dekat setelah calon saya pulang, saya juga akan menikah sama dia.” Dan kata-kata penolakan dari Sunny juga sudah menjadi hal biasa bagi Rafael meski rasa sakit tidak pernah luput ia rasakan karenanya. Rasa sakit yang kian bertambah dan ada kalanya membuatnya ingin menyerah. “Kalau begitu kasih aku nomor telepon mamamu.” Permintaan Rafael membuat Sunny refleks balik badan dan menatap pria itu dengan pandangan heran “Minta nomor telepon mama saya?” Ia memastikannya dan mengatakannya penuh penekanan. Rafael mengangguk pelan sembari mengerjap. “Mau ngapain? Pak Rafael mau jadi duri rumah tangga orang tua saya? Mau goda-goda mama? Nggak mempan. Cinta mama hanya untuk papa!” Balasan Sunny membuat Rafael kehilangan ekspresi. Bahkan ia sampai kehilangan selera hidup. “Aku harus bagaimana, sih? Harus main paksa? Kasar?” gumamnya. Sesaat mendengkus dan menatap kesal Rafael yang justru menjadi tertunduk pasrah, Sunny memutuskan untuk bergegas meninggalkan pria itu. Namun belum genap empat langkah meninggalkan pria itu, tiba-tiba saja seseorang menahan sebelah pergelangan tangannya dari belakang. Dan ketika ia memastikan, ternyata Rafael pelakunya. Rafael menatap Sunny tajam. Tatapan penuh peringatan yang sampai membuat Sunny tak mampu berkata-kata. “Kita harus berbicara empat mata. Kita harus menemui orang tua kita.” Rafael mengatakannya dengan sangat serius. Sunny yakin, keseriusan Rafael kali ini jauh dari keseriusan-keseriusan sebelumnya. Selain itu, kenapa juga pria itu menginginkan mereka bertemu dengan orang tua mereka padahal ia sudah berulang kali menolak? “Aku dan Kean sudah melangkah sejauh ini. Jangan sampai apa yang Rafael lakukan justru menghancurkan semuanya,” gumam Sunny mulai merasa tegang sekaligus tersudut. Baginya tidak ada keseriusan yang lebih membuat seorang wanita tegang, dari keseriusan seorang pria yang menuntut masa depan dalam hubungan. “Kalaupun kita nggak bisa nikah, nggak ada salahnya kita tetap dekat jadi saudara, kan? Sunny menghela napas pelan sambil menunduk. Niat Rafael memang baik, tidak salah. Namun jika Sunny mengabulkannya hanya akan membuat Rafael semakin terluka. Sunny tidak ingin Rafael terus berharap kepadanya, sedangkan jika ia mengabulkan permintaan pria itu, sama saja ia memberikan harapan palsu. Hal tersebut membuatnya berpikir, satu-satunya cara agar Rafael berhenti berharap padanya hanyalah perpisahan. Ia harus meninggalkan pria itu. Lantaran Sunny hanya diam, Rafael yakin niat baik yang juga bagian dari usahanya menikahi Sunny kembali gagal. Wanita itu tetap tidak memberinya kesempatan. Hal tersebut pula yang membuatnya tak habis pikir. Rafael mendengkus kemudian mengamati suasana pelataran hotel. Rafael dan Sunny memang baru saja meninggalkan hotel tepatnya masih berada di depan beranda hotel. Malam ini suasana hotel terbilang cukup ramai. Tak jauh berbeda dengan suasana jalanan di seberang yang sampai terdengar bising akibat kendaraan terjebak macet. Hal tersebut tentu tak semata karena bertepatan dengan jam karyawan pulang. Sebab menuju Sabtu-Minggu layaknya sekarang biasanya banyak pengunjung dari luar kota khususnya Jakarta yang sengaja datang untuk menghabiskan waktu mereka di Bandung. Terhitung, beberapa tamu yang datang menginap di hotel mereka sejak siang tadi juga kebanyakan dari Jakarta. “Kamu sadar nggak, Sun, diam-diam calonmu sudah merampas kebebasanmu? Lima tahun ini kamu ngapain di usiamu yang masih sangat muda? Kerja, balik ke indekos, dan terus begitu?” “Jangankan bersenang-senang, berinteraksi dengan orang lain saja enggak, kan?” “Begitu, seperti itu yang dinamakan cinta?” Sunny masih bungkam dalam tunduknya. “Oke. Sekarang mungkin kamu berpikir aku nggak memahami cinta kalian. Tapi suatu saat, ketika pada akhirnya kalian justru tidak sampai menikah, kamu akan sangat menyesal.” Rafael terlihat sangat marah. “Cepat masuk ke mobil, aku akan mengantarmu pulang.” Sunny menghela napas lirih dan terlihat enggan menjalankan perintah Rafael. “Besok weekend, sementara sekarang sudah malam. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Salah kalau aku masih peduli ke kamu? Sehebat apa sih calon suamimu itu, sampai-sampai kamu begitu tunduk?” “Iya, Pak Rafael. Cukup. Saya minta maaf. Tapi tolong, jangan salahkan calon saya.” Sunny mengatakan itu tanpa menatap Rafael. Wajahnya terlihat dipenuhi kesedihan namun cenderung pasrah. “Hanya tinggal satu bulan lagi, Ny. Sabar dan balas semua omongan orang yang meragukan hubunganmu dan Kean, dengan keseriusan hubungan kalian,” ujar Sunny dalam hati menasehati dirinya sendiri. “Kalian akan menikah. Kalian saling mencintai dan Keandra sangat mencintaimu!” Untuk pertama kalinya meski sudah lima tahun mereka lalui bersama, akhirnya mereka satu mobil. Akhirnya Rafael merasakan duduk bersebelahan dengan Sunny setelah sederet cara ia lakukan agar wanita itu mau menerima tawarannya. Pun meski sepanjang perjalanan itu, Sunny bungkam hingga Rafael yang tak mau membuat wanita itu semakin lelah padanya memilih melakukan hal serupa. Rafael fokus dengan kemudi yang sesekali terjebak kemacetan. Namun setidaknya, arah masuk ke Jakarta tidak semacet arah keluarnya. “Sekarang kita duduk bersebelahan sebatas aku mengantar kamu pulang. Selanjutnya, kita akan duduk bersebelahan sebagai mempelai,” ucap Rafael yang kemudian berdeham. Sunny refleks menelan ludah sambil menatap pria di sebelahnya dengan pandangan tak percaya. Benar dugaannya, Rafael masih berharap padanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD