Episode 5 : Renungan

1109 Words
“Meski tinggal di rumah orang tua memang nyaman, tapi kalau sudah menikah, tinggal di rumah sendiri pasti lebih nyaman.” Episode 5 : Renungan Jeandra menatap heran sang adik. Selain tidak bersemangat, tubuh Keandra juga basah kuyup. “Sukses, Bro?” ujarnya sambil menutup pintu sesaat setelah membukakannya untuk Keandra, tapi yang bersangkutan hanya diam dan berjalan gontai dengan ekspresi sangat datar. Bahkan Keandra sama sekali tidak meliriknya. Jika acara lamarannya sukses, seharusnya Keandra tidak bertampang seperti orang bodoh layaknya sekarang, kan? Atau jangan-jangan, saking bahagianya, Keandra justru kehilangan banyak akal? Jadi linglung begitu? Pikir Jeandra. Jeandra bahkan semua orang dalam hidup mereka paham, adik semata wayangnya itu sangat mencintai Sunny. Waktu yang Keandra miliki hanya dihabiskan untuk Sunny dan Sunny. Kalaupun ada masalah yang membuat Keandra sulit dikendalikan, yang bisa mengatasi juga hanya Sunny. Benar-benar hanya Sunny. Dikarenakan dari atas sudah terdengar tangis bayi, Jeandra pun segera bergegas, berlari mendahului Keandra yang baru akan menginjakkan kakinya di anak tangga menuju lantai atas. Sumber suara tangis terdengar. “Iya, Sayang. Papa datang!” seru Jeandra. Apa yang tengah terjadi membuat Keandra berhenti melangkah dan merenunginya. Perihal kesibukan Jeandra yang harus selalu siaga terlebih ketika tangis anak kecil terdengar. Tiba-tiba saja ingatan Keandra dihiasi kebersamaannya dengan Sunny beberapa saat lalu. Sebelum mereka melanjutkan langkah, setelah wanitanya itu menolak pelukannya dan berdalih karena mereka sedang di tempat umum, meski jalan kompleks keberadaan mereka sedang sepi. “Aku juga sayang kamu. Aku cinta sama kamu, Kean. Tapi sayang sama cinta nggak menjamin masa depan. Kita butuh lebih. Kita sama-sama kerja dulu, ya, buat masa depan.” “Seenggaknya kita harus punya tempat tinggal sendiri. Nggak langsung bayar lunas nggak apa-apa. Kita bisa nyicil. Tapi selain itu kita juga harus punya tabungan buat masa depan. Biaya ini itu, termasuk biaya melahirkan. Syukur-syukur kita juga bisa menabung buat masa depan anak.” ““Ayolah, Kean. Jangan diam begitu. Lihat yang sudah ada. Kamu mau, kayak Kak Je? Meski tinggal di rumah orang tua memang nyaman, tapi kalau sudah menikah, tinggal di rumah sendiri pasti lebih nyaman.” “Lihat Kak Sasy. Hidupnya jauh lebih bahagia karena sebelum menikah, dia dan Kak Arshan sudah melakukan persiapan. Aku mau kita juga kayak gitu.” Tak terasa, Keandra sudah sampai di lantai atas selaku keberadaan kamarnya. Kamar yang bersebelahan dengan kamar Jeandra kakaknya. Dan di lantai dua keberadaan mereka, masih ada satu kamar selain kamar mereka dan itu menjadi tempat penampungan barang-barang Jeandra beserta keluarga. Tak beda dengan orang tua Sunny, orang tua Keandra juga hanya memiliki dua orang anak. Bedanya, ketika orang tua Sunny hanya memiliki putri, orang tua Keandra justru tidak memiliki putri. Sedangkan Sasy yang Sunny maksud merupakan kakak tunggal Sunny. Memang, meski Sasy dan Jeandra juga seumur seperti Keandra dan Sunny dan bahkan keduanya juga sama-sama telah menikah, tapi jika melihat kehidupan mereka, berbeda. Sasy dan suaminya hidup mandiri, sudah memiliki semuanya termasuk mobil sebagai transportasi. Sementara Jeandra? Jangankan punya transportasi, hidup saja masih menumpang dan kerap ditopang orang tua. “Bukannya aku nggak mau hidup susah. Aku hanya ingin hidup mandiri, Kean.” Lagi-lagi ingatan Keandra dihiasi kata-kata Sunny. Bergegas, ia meraih ponselnya dari saku samping celana. Tanpa menunggu lama setelah membuka aplikasi telepon, ia menekan tombol nomor 1 yang langsung membuat panggilan otomatis pada kontak My Wife. Keandra menunggu balasan dari Sunny sambil memasuki kamarnya dan meninggalkan kesibukan Jeandra beserta sang istri dalam mengurus anak. Jeandra dan Hera sang istri memang memiliki dua orang anak yang jaraknya terpaut 2 tahun. Bisa dibayangkan betapa ramainya suasana ketika keduanya sedang kompak menangis. Apalagi anak pertama Jeandra selalu cemburu, tak mau perhatian orang tuanya terbagi untuk sang adik yang baru berusia 3 minggu. “Ahh ... Mama sama Papa jangan sayang-sayang Adek. Mama sama Papa cuma boleh sayang aku. Adek buang saja apa kasih ke Om Kean.” Itu merupakan kata-kata terakhir Atala—anak pertama Jeandra, yang Keandra dengar, tepat saat ia menutup pintu kamarnya. Dan tak lama setelah itu, panggilannya pada Sunny yang sampai terulang otomatis lantaran tak kunjung mendapat jawaban, mendapat balasan. “Kean, aku lagi mandi. Ini saja belum beres ....” Dari seberang, suara Sunny terdengar tersengal-sengal. Mungkin Sunny sampai berlari dari kamar mandi demi menjawab telepon darinya. “Mmm ... Ny, mulai besok aku akan cari pekerjaan tetap.” Keandra mengatakannya dengan wajah yang tenang. Seulas senyum yang menghiasi juga membuatnya terlihat semakin tampan. “Wah ... semangat, ya. Kalau gitu besok kita bareng saja berangkatnya. Nanti aku buatin kamu bekal!” Sunny terdengar sangat bersemangat. Hal tersebut membuat Keandra turut bahagia. Meski di keesokan harinya setelah sempat sangat bersemangat, dari bangun pagi-pagi demi mengejar bus trans agar tak begitu sempit sekaligus bisa menyempatkan waktu bersama Sunny, Keandra justru mendapatkan banyak kesulitan. Tak semata karena tidak banyak perusahaan yang membuka lowongan kerja, melainkan Keandra yang selalu gagal di setiap wawancara. Adapun yang menerima, hanya posisi biasa seperti pelayan atau paling bagusnya di posisi kasir. Tak ada posisi yang lebih baik meski Keandra sudah ke sana kemari di tengah terik sekaligus polusi Ibukota yang membuat penampilannya menjadi kucel. Keringat sudah di mana-mana, sementara kemeja panjang yang ia kenakan juga sudah tak serapi saat keberangkatannya. Sebagian keluar tak masuk terkunci ikat pinggang. Bahkan saking sibuknya, Keandra baru bisa memakan bekal buatan Sunny di sore harinya. Pun itu ia lakukan di halte sambil menunggu bus datang di mana ia juga tak sekadar makan, melainkan mengecek setiap kolom lowongan kerja pada surat kabar yang ia bawa. Keandra sangat lelah dan kehilangan banyak semangat. Pun dengan bekal buatan Sunny yang seharusnya terasa sangat nikmat. Ada ayam goreng tepung dengan saus telur asin yang dibubuhi lada hitam dan itu merupakan makanan kesukaannya. Tiba-tiba saja Keandra berpikir, andai ia lebih serius belajar ketika sedang mengenyam bangku pendidikan tanpa mengandalkan sontekan dari Sunny, mungkin ia bisa mendapatkan pekerjaan lebih layak. Keandra menghela napas dalam. Ia bahkan berhenti makan. “Ternyata mendapatkan pekerjaan layak itu susah banget,” gumamnya sambil menggigit bibir tebalnya. Tatapannya kosong lantaran ia kembali merenung. Begitu banyak sesal yang terpancar dari wajahnya. Keandra ingin kembali ke masa lalu. Ia ingin belajar lebih serius dan menggunakan hasilnya untuk mendapatkan pekerjaan layak. Ia ingin membahagiakan Sunny dan keluarga mereka. Apalagi, ia juga tak mau Sunny sampai kerja di luar. Ketika Keandra baru saja mengunyah suapan barunya, suara Sunny yang memanggil namanya, berhasil membuat pria itu kalang kabut. Keandra bahkan sampai tersedak, tetapi pria itu terus memunggungi Sunny dan jelas sengaja menghindarinya. Keandra tidak mau Sunny melihatnya dalam keadaan sekarang. Sudah kucel, makan di tempat umum bahkan pinggir jalan, dan kini sampai batuk-batuk karena tersedak. Keandra yakin tampilannya kini nyaris tak beda dengan gelandangan, sama sekali tidak ada yang bisa dibanggakan. Untung saja suasana halte sedang sepi. Hanya berisi Keandra dan Sunny selain dua wanita yang sibuk dengan ponselnya masing-masing. “Kean ...?” “Ayo minum dulu, kamu ini kenapa, sih?” bujuk Sunny sambil menepuk-nepuk pelan punggung Keandra, berusaha meredam batuk sang kekasih. “Demi Tuhan. Kenapa harus bertemu dalam situasi seperti ini?” rutuk Keandra dalam hati yang merasa sangat malu. Kalau bisa, ia ingin lenyap dari hadapan Sunny detik itu juga, bagaimanapun caranya! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD