“Jika semuanya selalu beralasan, lantas apakah apa yang terjadi perihal jemari mereka yang sampai terpilin benang merah juga memiliki arti khusus?”
Bab 4 : Benang Merah
Keandra mengantar Sunny hingga ambang gerbang rumah. Rumah minimalis berlantai dua dengan nuansa abu-abu yang di sebelah garasinya dihiasi sepetak taman.
“Ya ampun, baru ditinggal sebentar udah kangen ...,” keluh Keandra padahal Sunny baru akan menutup pintu sesaat setelah mamanya membukakan pintu untuknya.
Sunny mendelik dan sengaja memasang wajah judes. “Sudah sana pulang.”
“Si Kean suruh cepat ganti baju juga, Ny. Kalian ini, sudah gede juga, masih saja main air,” seru Sofia—mama Sunny dari dalam.
Sunny membelalakkan matanya sembari melakukan gerakkan wajah pada Keandra atas keluhan Sofia yang bahkan bisa Keandra dengar dengan jelas, dikarenakan Sofia bertutur dengan suara lantang terlepas dari suasana yang memang sepi. Karena biasanya, anak-anak yang sibuk main di jalan kompleks dan merupakan sumber utama berisik, digiring masuk oleh orang tua masing-masing, ketika hujan turun. Kalau tidak diperbolehkan main di luar apalagi sampai main hujan, biasanya anak-anak dipaksa tidur.
Keandra mengangguk-angguk. Antara mengerti sekaligus pasrah. “Nanti aku telepon.” Ia berlalu sambil menyampirkan jaket yang ditenteng ke sebelah pundaknya.
Sunny tak langsung masuk. Ia melepas kepergian Keandra hingga pria itu benar-benar masuk ke rumah. Di mana, rumah Keandra hanya terpaut tiga rumah dari rumah di depan rumah Sunny. Namun ketika Keandra benar-benar tak terlihat, rasa bersalah justru memenuhi benak Sunny. Tentang keputusannya yang menolak lamaran Keandra. Setelah kejutan manis yang pria itu siapkan dan dilakukan dengan penuh semangat. Juga, cincin pengikat yang selalu ia tolak yang justru berakhir lenyap di drainase tanpa bisa diselamatkan. Kenyataan tersebut pula yang membuatnya memutuskan untuk menelepon Keandra. Sebab tak hanya perihal rasa bersalah yang membuatnya tidak nyaman, melainkan rasa lain yang membuatnya dihantui rasa takut. Mengenai hubungannya dengan Keandra, berikut pratanda buruk atas cincin pengikat dari kekasihnya itu yang justru hilang sebelum ia kenakan.
Tentang tanda pengikat yang diyakini Sunny sangat sakral dan memiliki arti sekaligus pertanda.
Sambil meninggalkan pintu yang baru saja ia tutup, Sunny mencari-cari ponselnya dari dalam tas cukup besar yang menghiasi pundaknya. Dan karena tak kunjung menemukannya sedangkan isi tasnya memang banyak, Sunny memutuskan untuk menuang isi tasnya tepat di depan anak tangga menuju lantai atas selaku keberadaan kamarnya. Di waktu yang sama, bel rumah bunyi. Seseorang datang dan menekannya dari luar.
“Ma, ada yang datang, Ma ...,” seru Sunny sambil terus memilih-milih isi tasnya.
Selain buku catatan dan beberapa n****+, tas pundak Sunny juga berisi beberapa obat yang seharusnya ada dalam kotak P3K, tetapi karena ia malas jadinya tersebar, selain beberapa gulung benang wol berikut alat rajut. Karena rencananya, Sunny akan mengisi waktu luangnya sambil menunggu jadwal wawancara kerja, dengan belajar membuat kerajinan rajut, khususnya hadiah untuk Keandra. Setidaknya, hasil rajut pertamanya ingin ia persembahkan untuk kekasihnya itu.
Sunny berhasil mendapatkan ponselnya. Semua isi tasnya juga sudah ia masukan kembali. Hanya saja, bel rumah masih saja bunyi dikarenakan mamanya tak kunjung datang membukakan pintu. Jadilah, Sunny terpaksa meninggalkan tasnya dan tak langsung menaiki anak tangga keberadaannya. Lagi pula, jaraknya dari pintu memang tak kurang dari sepuluh meter.
“Jangan-jangan si Kean, lagi!” gumam Sunny yang akan langsung memarahi pria itu andai saja dugaannya benar.
Namun dugaan Sunny salah. Karena sosok di balik pintu ternyata bukan Kean, atau orang yang biasanya diutus pria itu—baik ART rumah, atau anak-anak yang selalu membuat jalanan berisik, melainkan seorang pria yang kiranya berusia tiga puluh tahun dan mungkin terpaut 8 tahun lebih tua dari Sunny. Meski terlihat seperti pria kantoran, tetapi pakaiannya tampak lusuh dengan dua tentengan karton berukuran besar yang menghiasi kedua tangannya.
Pria itu tetap diam dengan ekspresi yang begitu datar meski Sunny memperhatikannya dengan cukup menelisik. Pun kendati tatapan mereka bertemu. Sunny sampai berpikir, memang sudah menjadi watak pria itu, atau pria itu sedang marah, sampai-sampai ekspresinya begitu datar?
“Siapa, ya? Ada keperluan apa?” tanya Sunny yang masih menahan pintu dan memang tak ia buka sepenuhnya. Namun di lubuk hatinya, ia juga menyeletuk, kalau nggak mau senyum atau setidaknya bersikap ramah, nggak boleh bertamu!
Tak lama berselang, samar-samar suara Sofia yang memang selalu lantang, terdengar mendekat. Juga, suara jatuh barang dari anak tangga yang Sunny tinggalkan, selain gulungan benang wol merah yang berhenti dan terkapar di ujung sepatu si pria.
Ternyata tas Sunny terjatuh dengan risleting yang memang tidak sempat Sunny kunci. Namun anehnya, benang wol warna merahnya menggelundung tanpa barang lain termasuk benang-benang yang lain juga. Bukankah dalam tasnya ada 7 benang berwarna beda? Kenapa hanya benang berwarna merah saja yang menggelundung dan anehnya sampai berhenti di ujung sepatu si pria tak berespresi dan masih berdiri di hadapannya?
“Siapa, Ny? Oh Sandy ... sini masuk, Sand.”
Dikarenakan Sunny justru bergeming menatap gulungan benang wol yang terkapar di ujung sepatu kulitnya, si pria pun jongkok mengambilnya.
Sedangkan Sofia yang sudah berdiri di depan keduanya menjadi bengong sambil bergumam, “oh ... benang merah?” Mulut Sofia sampai terbuka menyerupai huruf ‘O’ menatap Sunny, si pria, juga benang wol itu sendiri.
Dikarenakan Sunny masih diam dan terlihat terheran-heran, Sofia pun menyikut punggung sang anak. Sunny yang kaget langsung menoleh ke belakang selaku sumber sikut. Di sana, sang mama membelalakkan mata penuh peringatan. Kenyataan tersebut langsung membuat Sunny terjaga.
Sunny berniat mengambil benang wol merahnya sesaat setelah meminta maaf pada si pria. Namun karena Sunny melakukannya dengan buru-buru, yang ada benang itu terjatuh sedangkan baik Sunny maupun si pria sama-sama berusaha menangkapnya. Membuat kedua tangan Sunny menangkap sebelah tangan si pria yang ternyata lebih dulu berhasil menangkap gulungan benang wol merah tersebut.
“Aduh ... Sunny. Dari dulu hobi banget ngerepotin Sandy. Maafin Sunny, yah, Sand. Sini, ... sini ....”
Sofia mengambil alih benang wol merahnya dikarenakan benang itu justru memilin sebagian jemari Sunny dan Sandy. Beruntung, Sandy tipikal pendiam dan terlihat tidak mempermasalahkan apa yang terjadi. Lain halnya dengan Sunny yang menjadi terbawa suasana dan bahkan kepikiran.
Beberapa saat lalu, cincin pengikat dari Keandra baru saja hilang. Namun sekarang, tanpa sengaja benang merah justru mengikat jemarinya dengan jemari pria lain. Memikirkan itu, Sunny juga bingung sendiri. Namun, bukankah benang merah memiliki makna yang terbilang dalam yaitu sesuatu yang saling memiliki keterikatan? Jika semuanya selalu beralasan, lantas apakah apa yang terjadi perihal jemari mereka yang sampai terpilin benang merah juga memiliki arti khusus? Pikir Sunny.