Jakarta, 4 Juli 2001
Chayra bersembunyi di dalam lemari, jemari kecilnya menahan pintu agar tidak terbuka. Mata bulat besinarnya dengan jelas melihat kedua orangtuanya sedang bertengkar tepat di depannya.
Chayra menyaksikan semua perbuatan kasar Ayah kepada Ibunya. Laki-laki yang selalu dia banggakan selama ini memukul ibunya tanpa rasa bersalah. Chayra kecil mendengar semua yang di ucapkan kedua orangtuanya.
Perselingkuhan. Wanita lain. Menikah lagi.
Chayra mendengar semua itu tanpa mengerti apa artinya. Umurnya baru tiga tahun, dia hanya suka bermain. Hari ini, dia sedang ingin bedandan di kamar ibunya ketika dia mendengar suara bantingan pintu, karena takut dimarahi ibunya, Chayra sembunyi di dalam lemari.
Ia tidak mengira akan melihat kedua orangtuanya betengkar seperti ini. Ketika itu juga untuk pertama kalinya, Chayra menangis dalam diam. Chayra tidak menyangka kedua orangtua yang dia kira saling menyayangi satu sama lain, bisa bertengkar seperti ini.
Tidak sampai di situ, Chayra melihat Ayahnya membawa seorang perempuan saat ibunya sedang tidak ada di rumah. Mereka mengobrol sama seperti Ayah dulu mengobrol bersama Ibu, saling tersenyum dan tertawa satu sama lain.
Chayra jadi membenci Ayahnya, tiap hari kedua orangtuanya bertengkar di depannya saat sedang bermain. Sikap Chayra perlahan berubah, dia bukan gadis kecil manja lagi, lebih dingin bahkan terlebih kepada kedua orangtuanya.
Pertengkaran orangtuanya selalu menyebut kata yang sama berulang kali. Hingga membuat Chayra kecil penasaran, apa sebenarnya artinya?
Satu hari, Aisyah dibawa ke rumah neneknya ketika acara keluarga, di sana dia bertemu dengan kakak kembarnya yang memang tinggal di rumah nenek mereka untuk bersekolah.
Di sana, kedua orangtuanya tampak saling tersenyum satu sama lain seolah menampakkan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga. Chayra sangat tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya tampak bahagia ketika di rumah nenek, padahal mereka sangat sering bertengkar saat di rumah.
Saat sedang makan bersama di ruang keluarga, Chayra yang bersebelahan dengan neneknya bertanya dengan polos.
“Nek, tahu selingkuh itu apa?”
Suara Chayra membuat ruang keluarga itu lengang, tidak tahu jika kata-katanya membuat semua orang kaget. Chayra kembali bertanya.
“Selingkuh itu kue bukan, Nek? Soalnya Mama sama Papa selalu ribut kalau membahas itu, pasti enak sekali. Papa juga kadang membawa perempuan lain ke rumah, buat kue? Pas Mama nggak ada di rumah.”
“Falah!” suara nenek Chayra terdengar keras, memanggil nama Ayah Chayra.
Kedua orangtua Chayra terkejut bukan main, mereka ingin membawa Chayra keluar tetapi dihalangi oleh Kakek Chayra yang merupakan Ayah dari Falah.
“Caca, ikut Kakek, yuk. Lihat kelinci di taman belakang, kelincinya punya banyak anak lucu-lucu.” Tawar Kakek Chayra yang langsung di angguki gadis kecil itu, melupakan pertanyaannya barusan.
Setelah kejadian itu, Chayra tinggal satu bulan di rumah neneknya. Orang dewasa mungkin mengira Chayra akan melupakan semua yang terjadi, tetapi tidak. Selama apapun itu, Chayra tidak akan pernah melupakan apa yang sudah dia lihat.
Chayra kembali ke rumah orangtuanya dibulan berikutnya, dia kembali bersama dua kakak kembanya. Suasana rumah kembali seperti sebelumnya, tapi Chayra sudah berubah, dia terliah lebih mandiri dari anak seusianya. Chayra trauma, trauma akibat kedua orangtuanya, dan trauma itu sangat membekas dihatinya sampai dia dewasa.
…
Bali, 18 Agustus 2014
Abimanyu buru-buru memesan tiket pesawat, dia langsung menuju Jakarta dengan penerbangan terakhir saat tengah malam dari Bali. dia baru saja mendapat kabar dari keluarganya jika pesawat yang ditumpangi istrinya jatuh di laut.
Abimanyu mencoba konsentrasi saat pergi ke bandara, dia menaiki taxi yang langsung menuju bandara. Dengan tangan bergetar dia memberikan tiket untuk diperiksa, setelah menunggu beberapa menit akhirnya pesawat lepas landas menuju Jakarta.
“Ini semua salahku!” gumam Abimanyu berkali-kali di dalam pesawat.
Ia yang menyuruh Istrinya untuk pergi ke Bali, sudah dua minggu sejak dia meninggalkan Jakarta untuk bekerja. Abimanyu menawari kepada Istrinya yang sedang hamil anak pertamanya untuk liburan di Bali sekalian menemaninya bekerja.
Tapi ketika dia akan berangkat menjemput istrinya, betapa kagetnya Abimanyu saat dikabari jika pesawat yang membawa istrinya itu jatuh. Abimanyu merasa dunianya runtuh seketika, kebahagiaan akan memiliki buah hati dalam beberapa bulan lagi lenyap begitu saja bersamaan dengan wanita yang sangat dia cintai.
“Berengsek!”
Bogem mentah di terima Abimanyu begitu saja dari mertuanya. dia menerima pukulan itu dengan pasrah. Sama sekali tidak membalas perbuatan mertuanya. Abimanyu diam, menatap sebuah kantong jenazah berwarna jingga.
Saat resleting kantong itu dibuka, rasanya Abimanyu ingin menyusul wanita yang dia cintai saat itu juga. Meledaklah tangis dari kedua mertuanya, begitu juga dengan kedua orangtua Abimanyu.
“Ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu menyuruhnya untuk menyusulmu ke Bali! Kau membunuh anakku!” Ibu mertuanya menangis histeris, meraung-raung menyalahkan Abimanyu.
Saat Ayah mertuanya akan memukulnya, Ayahnya menahan.
“Saya rasa, ini tidak bisa di selesaikan dengan amarah seperti ini! Memukul anak saya, tidak bisa mengembalikan putri bapak.” Zakaria membela Abimanyu.
Ia juga tidak rela anaknya di pukul begitu saja oleh besannya.
“Kita semua kehilangan, bukan cuma anda yang kehilangan putri. Istri Abimanyu sudah kami anggap sebagai putri sendiri. Abimanyulah yang paling kehilangan, Pak! Itu istri Abi, dia kehilangan wanita yang dia cintai dan calon buah hati mereka.”
Abimanyu meneteskan airmatanya, dadanya sesak. dia memeluk tubuh istrinya yang sudah kaku, wajahnya putih karena terendam di dalam air terlalu lama. Abimanyu terisak, menggumamkan kata maaf ribuan kali.
Dua hari kemudian, istri Abimanyu sudah dimakamkan. dia hanya termenung di rumahnya. Setelah memakamkan istrinya, mertuanya enggan bertemu dengan Abimanyu, segala cara sudah dilakukan, tetapi kedua mertuanya telah membencinya.
Setelah kehilangan wanita yang dia cintai, Abimanyu seperti mayat hidup. dia kelihangan banyak berat badannya, Abimanyu menjadi pendiam, tidak berbicara kepada siapapun bahkan kedua orangtuanya.
Saat sedang makan malam, Abimanyu hanya menatap piringnya, menyentuh sedikit nasi lalu berhenti. Selera makannya tidak ada, tiba-tiba Abimanyu berteriak keras mengagetkan kedua orangtuanya.
“Ini salahku! Ini semua salahku!” teriak Abimanyu lalu menangis.
Atiqah memeluk Abimanyu, memenangkan anak pertamanya. Menepuk pelan punggung Abimanyu untuk menenangkannya.
“Ini bukan salah kamu, nak. Ini sudah takdir dari Allah. Ikhlaskan, Nak.” Ucap Atiqah ikut menangis.
“Aku yang membuat istriku meninggal, Bun.” Ucap Abimanyu serak.
Atiqah menggelengkan kepala, “Istigfar, Nak. Semua yang ada di dunia, kehidupan dan kematian sudah ditetapkan sebelumnya. Itu sudah kehendak Allah.”
Abimanyu tidak terima, dia tetap yakin itu merupakan kesalahannya. Sejak saat itu, Abimanyu trauma menaiki pesawat, dia tidak pernah lagi dekat dengan wanita.
Abimanyu sempat beberapa kali ingin bunuh diri, tetapi mengingat kedua orangtuanya akan sedih, dia membatalkannya. dia juga sudah berulang kali ingin menenggak alkohol, tetapi selalu gagal karena akal sehatnya kembali.
Abimanyu menjadi pria yang tidak terurus. Pria itu hanya begantung dari ibunya yang telaten mengurusnya. Hingga beberapa tahun kemudian, berkat nasehat dari kedua orangtuanya, Abimanyu mulai kembali bekerja dan melanjutkan karirnya sebagai arsitek.
Tapi, tidak pernah menaiki pesawat, pekerjaannya hanya diwakili oleh orang lain. dia juga tidak bertemu dengan wanita, walaupun sudah berkali-kali Atiqah menyarankan untuk mencari pendamping.
Baginya, mendiang istrinya adalah yang pertama dan tidak akan pernah tergantikan.