7. Si Anak Manja

975 Words
Dinda, membuka secara perlahan pintu kamar putranya. Setelah pintu kamar itu terbuka lebar, kontan saja ia mendengus, kala melihat putranya itu masih bergelung nyaman dalam balutan selimut hangat. Kebiasaan aku sama mas Risyad nurun sama dia. Batinnya.  Ia berjalan, menyingkap gorden biru gelap yang menghalangi kaca jendela besar yang lebih mirip dinding berpintu kaca. Entahlah apa orang menyebutnya. Setelahnya, ia menggeser jendela ke samping kiri, karena jendela di kamar putranya itu didesain dengan mode geser.  Udara segar masuk ke dalam kamar yang sebelumnya gelap. Begitu juga cahaya hangat mentari pagi yang masih malu-malu mengintip sebelum keluar dari peradabannya, di mana cahayanya terasa nyaman menerpa kulit.  Dinda menghela nafasnya. Ternyata, dengan membuka jendela, masih belum mengusik tidur sang putra.  Perlahan, ia duduk di sisian tempat tidur yang cukup luas. Atau istilah nya, king size itu. Membelai surai hitam putranya yang tak tertutupi Selimqut, karena selimut tebal itu hanya menutupi tubuh tinggi putranya hingga ke batas leher. "Devan," panggil Dinda lembut. "Bangun nak, udah siang ini." Devan tak bergerak sama sekali. Nafasnya masih terdengar teratur, diiringi dengkuran halus.  "Devan....hey, bangun yuk. Udah siang, sayang." Devan hanya bergumam malas.  Dinda mendengus. Memang susah membangunkan anak cowok. Harus dengan cara apa, ia membangunkannya? "Devan, bangun ihh!! Bunda panggil Ayah loh, ya?" ancam Dinda.  Devan masih bergeming. Sebodo amat mungkin pikirnya.  Tak lama, muncullah Risyad yang masih mengenakan kaos oblong dan celana longgar selutut, karena hari ini ia libur.  "Yahh...." panggil Dinda pelan. Risyad tersenyum miring. "Susah banguninnya. Kebo." sadu Dinda dengan bibir mengerucut.  Risyad mendekati tempat tidur putranya, dan mengambil tempat duduk di sisian ranjang berseberangan dengan istrinya. "Devan." panggilnya.  "Hmmm" Devan bergumam malas.  "Devandra...." panggil Risyad sekali lagi.  Devan masih tak bergeming. Bahkan ia semakin mengeratkan belenggu selimut pada tubuhnya. Biasanya, dia akan langsung bangun saat ayahnya sudah memanggilnya dengan nama 'Devandra'. Tapi, ya.... begitulah. Tak tau kenapa hari ini, Devan sangat sulit dibangunkan. Mentang-mentang ini hari libur.  "Gak mau bangun? Yakin?" tanya sang Ayah.  Tak ada jawaban.  Risyad tersenyum miring dan menyeringai. Segera ia mendekatkan wajahnya dengan wajah putranya, lalu mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke atas wajah putranya itu. Membuat Devan akhirnya terpaksa bangun dengan wajah kesalnya.  "IHHH AYAH MAHH!!" kesalnya. Sementara Dinda, ia sudah tertawa-tawa sendiri melihat Devan yang tak nyaman diciumi ayahnya bertubi-tubi seperti itu.  "Siapa suruh, dibangunin susahnya minta ampun." Celetuk Risyad dengan watadosnya.  Devan cemberut lucu. "Tapi gak pake ciuman maut juga kali, Yah!" protes Devan. "Ayah mah, ciumnya dah kek ga dapat jatah sebulan." Risyad dan Dinda kontan melotot tak percaya, karena Devan mengatakan itu. "Heh. Enak aja. Ayah masih dapet tiap malem, kali!" sangkal Risyad, dan langsung dihadiahi cubitan mematikan di pinggangnya, oleh Dinda tentu saja.  Devan memberengut. "Terus, kenapa masih cium-ciumin Devan ampe segitunya?" "Siapa suruh, tidur udah kaya kebo gitu? Udah ah, bangun. Mandi." Ucap Dinda. "Ayah sama Bunda tunggu di bawah. 10 menit belum siap, Bunda sunat lagi kamu ya?" ancam Dinda.  "Eh, 'kan udah disunat, Nda? Masa sunat lagi?" protes Devan.  "Iya. Mau Bunda sunat sampe habis!" Devan bergidik ngeri. Sementara ayah dan bundanya sudah melenggang pergi meninggalkan kamarnya.  Devan menyeringai. "Tidur lagi, ah!" ucapnya sembari kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Namun, baru saja ia akan memejamkan matanya, Teriakan mirip toa rusak bergema mengagetkannya.  "DEVAN!!!" -----D----E----V----A----N----- Devan menikmati nasi goreng nya dengan sangat-sangat tidak bersemangat. Jujur saja, ia sedang malas makan nasi goreng.  "Kenapa sih?" tanya Risyad yang menyadari nafsu makan putranya yang nampak menurun dan tak punya semangat itu. "Gak enak, atau apa?" Dinda yang awalnya nampak menikmati nasi gorengnya dengan nikmat, kini ikut melirik putranya.  Devan menatap sendu ke arah piring nasi goreng di hadapannya. Lalu menatap wajah ayah dan bundanya satu persatu. Kemudian, ia mendengus. "Devan tuh, Bosan." katanya jujur.  Dinda dan Risyad mengerenyit. "Bosan kenapa?" tanya Dinda.  "Gak mau makan nasi goreng." jawab Devan dengan wajah yang dibuat semelas mungkin.  "Terus, mau makan apa?" tanya Risyad kali ini. "Roti, sandwich, sereal, atau apa?" Devan menggeleng. "Pengin makan diluar." rengek Devan.  Dinda mengulum senyum sendu. Ia jadi ingat, keinginannya waktu tengah mengandung 'dia' dulu. Saat ia meminta untuk makan di luar tapi malah diartikan salah oleh Risyad.  Risyad mengangguk-angguk. "Ya udah. Bawa aja piringnya keluar. Terus, makannya di luar." jawabnya dengan tampang polos.  Tuh, 'kan. Layaknya dejavu, itu terjadi lagi. Sementara Devan, mendengus malas.  "Isshh.... Ayah mah! Mumpung libur, Yah, ayo! Makan di luar." rengek Devan seperti anak usia lima tahun. Iya. Memang benar, usianya lima tahun. Tapi, itu adalah 10 tahun yang lalu.  Risyad mendengus. "Mau makan di mana?" tanya Risyad. Devan menanggapinya dengan mata berbinar. Namun, berubah kelam lagi saat mendengar kata-kata sang Ayah selanjutnya. "Di belakang, apa di teras?" "Serah Ayah deh!" kesal Devan, dengan menekuk wajahnya, melipat kedua tangannya di depan d**a, dengan bibir mencebik.  Risyad terkekeh geli melihat kelakuan putranya itu, sementara Dinda sudah menatapnya tajam sedari tadi, sehingga membuat hasrat ingin tertawanya menguap hilang entah kemana.  Menghembuskan nafas pasrah, Risyad mengacak pelan puncak kepala putranya yang nampak menggemaskan itu. "Ya udah. Sana siap-siap. Mau makan apa, di mana?" tanya Risyad.  Devan mengerjap. "Pengin makan bakso deh, yah." Risyad dan Dinda tersenyum. "Uhh, ternyata anak Bunda ini mau makan bakso, ya?" Dinda yang gemas menarik kedua pipi putranya itu, sambil mengunyel-unyelnya pelan.  "Ya udah. Ganti baju gih, sana." Titah Dinda. Devan mengangguk sekali, lalu segera melebarkan langkahnya, menuju kamar.  Risyad masih mempertahankan senyumnya. Melihat kelakuan putranya yang sekali waktu berubah menjadi anak super polos. Dinda bisa melihat dengan jelas senyum suaminya yang tersungging itu. Tangannya terulur, menggenggam tangan Risyad yang berada di atas meja. Risyad menatap istrinya, begitu juga Dinda. Manik mata mereka terkunci dalam satu titik yang sama. Dengan senyum bangga di sela-selanya.  "Nda," panggil Risyad.  "Heum?" Dinda menatap wajah suaminya lebih dalam lagi.  "Dia itu, kesayangan." ujar Risyad pelan, sembari berfantasi ke masa depan.  Dinda tersenyum mendengar kata kata sederhana yang di untai suaminya itu. "Iya." sambut Dinda dengan senyumnya yang tetap merekah. "Dia, memang kesayangan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD