8. Trauma

1482 Words
Devan tersenyum puas dengan mata yang berbinar-binar, kala menatap semangkuk bakso yang masih mengepulkan uap panas. Seakan air liurnya ikut menetes melihatnya.  Dihadapannya, kini tersaji Semangkok bakso dengan bulatan kecil-kecil yang menggiurkan. Diiringi dengan mi bihun putih, dan kuahnya yang menguarkan aroma menggugah selera. Kesukaan Devan, akan makanan bernama bakso itu, memang terbilang unik. Jika biasanya, bakso itu terdiri dari kwetiaw, laksa/bihun, sawi, tauge, dan tentu saja bulatan-bulatan bakso itu sendiri, namun berbeda dengan kesukaan Devan. Di dalam mangkuk baksonya itu, memang di pesan khusus. Dimana hanya terdiri dari bulatan-bulatan bakso, dan juga laksa/bihun. Yaps. seperti itu. Satu lagi, Kuahnya harus lebih banyak.  Risyad mengacak puncak kepala putranya gemas. "Dimakan dong. Mumpung masih panas. Jangan diliatin doang." celetuk Risyad. "Sampe ilernya netes-netes Gitu." Devan memberengut sebal. Apa-apaan? Gak mungkin 'kan, dia ileran? Sekali lagi, Devan menatap mangkuk baksonya. Melihat kuah bakso yang menguarkan aroma harum. Ia mengambil sebuah sendok, lalu menyendok kuahnya. Menyesapnya, mengecap rasanya yang gurih dan enak itu.  Risyad memperhatikan tingkah putranya, satu persatu. Mau makan bakso saja, ribet. Lihat saja Dinda, istrinya itu. Bahkan bakso dalam mangkuknya sudah tersisa setengah. Dan, pastinya dengan kuah bakso yang nampak sedikit merah karena di tambahkan cukup banyak sambal.  Devan meraih mangkuk berisi sambal. Menuangkan sambal ke atas mangkuk baksonya menggunakan sendok kecil yang ada di mangkuk sambal.  Satu sendok.  Risyad masih terus memperhatikan putranya itu.  Dua sendok.  Tiga sendok.  Emp__ Segera Risyad menarik mangkuk berisi sambal itu sebelum putranya kembali menambahkan sambal ke dalam mangkuk baksonya. Membuat Devan mencebik sebal.  "Gak boleh banyak-banyak! " Uqcap Risyad sembari melotot. "Kalo kurang pedas, boleh tambah lagi." Devan akhirnya pasrah. Ia pun mulai mengaduk Bakso di mangkuknya setelah menambahkan kecap manis kedalamnya beserta perasan jeruk limau sebagai pelengkap dan mengaduknya rata. Setelahnya, barulah ia menyuap bulatan-bulatan bakso itu ke dalam mulutnya.  Risyad membiarkan putranya itu makan dengan tenang. Senyum hangat terbit dari sudut-sudut bibirnya. Melihat putranya itu makan dengan lahap. Risyad pernah berjanji. Apapun. Apapun yang bakal membuat putranya itu bahagia, akan ia lakukan. Dan, sekarang, semua itu baru berjalan seperempat saja.  "Dev," panggil Dinda.  "Heumm?" sahut Devan dengan mulut penuh bulatan bakso.  "Mau es buah gak?" tanya Dinda.  Devan mengangguk. "Mau." jawabnya dengan mulut penuh. "Avokadnya banyakin." Dinda mengangguk. "Ayah, mau gak?" tawar Dinda.  "Boleh." jawab Risyad.  Dinda memilih berdiri dan memesan sendiri es buah itu, ke counter. "Sebentar, ya?" ucapnya. Setelah itu ia melenggang pergi.  Risyad melirik Putranya yang masih fokus makan. Keringat bercucuran dari dahinya, membuat Risyad mendengus. Ia meraih tisu yang berada di dalam tas tenteng milik istrinya, lalu mengarahkannya ke dahi putranya. "Makanya, jangan banyak-banyak kasih sambal." Devan hanya diam membiarkan ayahnya menggerutu. Anak itu, memang terbilang lama untuk urusan makan. Kalau diturutkan, mungkin untuk menghabiskan seporsi bakso saja, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Makanya, setiap dia makan, Risyad atau Dinda harus mengawasinya.  "Yah, kenyang." rengek Devan sesaat setelah bulatan-bulatan bakso itu habis. Walaupun, isi dalam mangkuk bakso itu masih tersisa setengah. Iya. isinya yang hanya terdiri dari mie laksa itu.  Risyad mengangguk. "Gimana gak kenyang, Kuahnya udah habis duluan." celetuk Risyad.  Tak lama, Dinda datang bersama seorang pelayan yang membawakan tiga porsi es buah ukuran sedang.  Devan menyambut es buahnya dengan semangat saat melihat buah berwarna hijau favoritnya itu tersusun rapih dan melimpah pada bagian atas es buah itu.  "Pelan-pelan makannya." ucap Dinda saat melihat mata putranya itu berbinar.  Setengah menikmati es buahnya, ponsel dalam saku Devan bergetar. "Yah, Nda. Mau jawab telfon dulu. Gapapa?" tanya Devan.  Risyad dan Dinda mengangguk. Mungkin, itu privacy anaknya kan? Devan menjauh, lebih tepatnya keluar dari area warung bakso yang merangkap menjadi restoran sederhana itu.  "...." "Kabarin gue aja bang, entar." ucap Devan kepada seseorang di ujung sambungan.  "...." "Iya. Lewat E-mail. Iya." "...." "Gue ga bisa ke sana sekarang, Bang." "...." "Ya udah, Iya. Kapan-kapan deh, gue ke sana." "...." "Iye." Devan mengecek sebentar ponselnya sekali lagi. Membaca beberapa chat dari teman-temannya dengan posisi masih berdiri.  Bang Daniel Dev,  Minggu pagi jan lupa,  Di GOR deket kampus gw.  Devan mendesah pelan. Pertandingan itu, sudah berada di depan mata. Hanya tinggal satu bulan lagi. Dan, mau tak mau, ia harus berlatih keras.  Tapi, apakah bisa? Atau dia menyerah saja?  Devan menggeleng, lalu memutuskan untuk kembali menghampiri ayah dan bundanya ke dalam.  Namun s**l baginya. Tanpa disengaja, ia menabrak seorang pria yang membawa sebuah cup berisi kopi dingin yang akhirnya tumpah mengenai baju pria itu, namun juga mengenai sepatu Devan.  "Maaf, P__ak" Devan membeku di tempat, saat menatap manik mata pria itu yang menyiarkan api.  "KAMU!!" teriak pria itu, membuat Devan berjengit kaget. "KURANG AJAR!!" Plakkk!!  Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk mata Devan.  Panas, perih, dan sakit.  Itu yang pipi kirinya rasakan sekarang.  Suara teriakan orang yang berada di hadapannya hanya berupa dengungan tak jelas. Kepalanya mendadak pusing, perutnya terasa mual. Tubuhnya berkeringat dingin dan gemetar.  "SAYA GA MAU TA___" Dengungan yang ia dengar semakin kentara. Membuat kepalanya terasa semakin sakit saja.  PLAKKK!! Dua kali tamparan Devan dapatkan. Pandangannya mengabur seketika.  Tamparan pria di hadapannya tak main-main. Bahkan Devan merasakan sudut bibirnya robek dan merembeskan darah segar dari sana.  Tanpa aba-aba, Devan merasakan kerah kemeja kotak-kotak merah yang ia kenakan terasa ditarik. Devan hanya diam. Seakan ketakutan mengukungnya lebih dalam.  Sementara itu, awalnya Risyad dan masih belum menyadari apa yang terjadi pada putra mereka, hingga saat Risyad menoleh, betapa terkejutnya dia saat melihat putranya yang nampak ketakutan di hadapan seorang pria bertubuh besar. Segera Risyad berlari menghampiri putranya. Mendorong keras pria yang mencengkeram kerah kemeja putranya, membiarkan putranya direngkuh erat oleh Dinda. Risyad menyeret pria itu menjauh dari Devan setelah meminta Dinda membawa Devan masuk ke mobil.  BUGGHH!!  Satu tonjokan menyakitkan Risyad daratkan tepat di rahang Pria itu.  Yang membuat Risyad semakin kalap ialah saat melihat siapa yang telah berani menampar dan membentak putranya itu. Ternyata, dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya.  "P.... Pak Risyad....?" ucap pria itu terbata.  Tanpa basa-basi lagi, karena dirinya sudah sangat cemas dengan kondisi putranya, langsung saja Risyad berkata, "Mulai detik ini, anda saya PECAT, dan jangan harap anda akan hidup dengan tenang setelah ini. camkan itu, baik-baik!!" Ingatan Risyad seketika terlempar kepada kejadian yang terjafi beberapa tahun lalu .... Bocah berusia 1,8 tahun itu menatap takut, kejadian yang terjadi di hadapannya.  Dimana sebuah pertengkaran Hebat terjadi antara dua orang dewasa yang berbeda jenis kelamin. Ya, lebih tepatnya mereka sepasang suami istri.  Sang istri berteriak, dan disambut teriakan pula oleh sang suami. Bagaikan gayung bersambut, cacian, Makiawn, kata-k********r, bahkan, tamparan dilayangkan tepat di depan mata kepala bocah 1,8 tahun itu.  Sialnya, semua itu terjadi di depan rumah.  Bocah 1,8 tahun itu mulai terisak. Memanggil-manggil Bundanya, atau Ayahnya. Siapapun yang bisa membantunya pergi.  Prang!!  Prangg!!  Benda pecah belah berhamburan sesaat setelah membentur tembok. Hancur tak bersisa. Masih diiringi teriakan.  Kaki mungil bocah 1,8 tahun itu seakan tak dapat digerakkan. Terpaku layaknya patung, di tempatnya berdiri. Ia menangis terisak-isak. Menjerit ketakutan, hingga dua orang dewasa dari dalam rumah keluar karena mendengar jeritan bocah itu.  "Devan, sayang. Kenapa nak?" tanya wanita itu. Dia Dinda. Bundanya Devan.  Risyad pun ikut Rusuh menanyakan kenapa putranya itu menjerit. Mengecek siapa tau ada luka atau apa. Namun, pandangan mereka teralihkan kepada dua orang dewasa di depan rumah mereka yang masih saja adu mulut.  Risyad menyadari sesuatu.  Astaga. Mereka, dua orang dewasa itu bertengkar hebat di depan putranya? Sungguh tak bisa dibiarkan.  Dinda membawa putranya yang masih menjerit histeris itu kedalam gendongannya. Mencoba menenangkan putranya itu.  "Bunda. Bawa Devan kedalem." titah Risyad yang langsung diangguki oleh Dinda. Risyad mencoba melerai dua pasang suami istri yang tengah berkemelut hebat. Namun semua sia-sia saja. Mereka malah menyuruhnya untuk tidak turut campur dalam masalah mereka.  Risyad kehabisan kesabarannya. Suaranya berapi-api. "SAYA TIDAK PEDULI, DENGAN KALIAN YANG MAU BERCERAI ATAU APAPUN. SAYA TIDAK PEDULI. TAPI, APA KALIAN SADAR HAH? KALIAN TAK PUNYA MALU?? BERTENGKAR DI DEPAN RUMAH, APA KALIAN TAK PUNYA RASA MALU?? DAN APA KALIAN TAK SADAR, JIKA PUTRA SAYA MELIHAT PERTENGKARAN MENJIJIKAN KALIAN, HAH??" Pasangan itu diam. Namun dalam hati saling menyalahkan.  "KALAU SAMPAI TERJADI SESUATU PADA PUTRA SAYA, CAMKAN KATA KATA SAYA. JANGAN HARAP, HIDUP KALIAN AKAN TENANG." Setelahnya, Risyad kembali kerumahnya. Menetralkan emosi dan melihat bagaimana kondisi putranya itu. Tadinya, Risyad tengah berada di kamar mandi, sebab rasa lelah sepulang dari kantor. Sementara Dinda, ia tengah menyiapkan makanan, dan Devan? Tadinya dia tengah asik bermain di ruang tengah, namun entah bagaimana dia bisa keluar dan berdiri di teras rumah. Menyaksikan semuanya.  Risyad mendesah saat melihat putranya masih menangis kencang. Membuat hatinya terasa tercabik. Kali ini, ia mengambil alih putranya. Menggendongnya dan menenangkan putranya itu. Sampai akhirnya, Devan tertidur dalam buaiannya.  Selang dua hari setelah kejadian itu, Devan demam tinggi, bahkan sampai harus di opname di Rumah Sakit selama seminggu.  Dan sampailah pada sebuah pernyataan dari psikiater, jika kemungkinan besar, Devan mengalami trauma akan teriakan dan bentakan. Terlepas itu tertuju kepada dirinya, ataupun orang lain. Dan, Pernyataan itu benar adanya. Hingga sampai sekarang, putra kesayangannya itu, memiliki trauma kepada suara teriakan.  Maaf, Ayah lalai, batin Risyad.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD