Tidak seperti Emma yang masih berpikir, Tania langsung berlari cepat setelah mendengar keadaan Abyan yang kesakitan.
Tidak sabar melihat Emma yang kesulitan mengambil keputusan, Borya langsung membungkuk lalu memanggul tubuh Emma yang sangat mungil bila dibandingkan dengan tubuhnya yang jauh dari kata kecil.
"Eh, Mister, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri dan tidak terima dipermalukan seperti ini," Protes Emma berusaha agar Borya menurunkan tubuhnya.
"Aku akan menurunkan dirimu kalau kau berjanji langsung lari menuju kamar Abyan," kata Borya mengultimatum.
"Iya, aku janji!"
Sangat mudah bagi Borya mengangkat dan menurunkan tubuh mungil Emma dari pundaknya dan sesuai dengan janjinya, Emma langsung berlari menuju kamar Abyan hanya untuk mendapatkan wajah garang Sam dan Tania yang menatap wajah Emma.
"A...a...ada apa?" tanya Emma bergerak mundur.
Apakah kesalahannya sangat fatal hingga wajah kedua orang yang selama beberapa menit lalu sangat ramah berubah menyeramkan seolah ingin memakan dirinya.
"Kau sudah tahu alasannya dan kau masih bertanya? Kau pikir kami akan berdiam diri saja setelah semua yang kau lakukan pada putraku!"
Suara itu...kemana suara yang sebelumnya begitu lembut?
Tidak. Emma tidak yakin kalau dirinya harus bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi pada Abyan.
Sejak awal dia sudah menolak dengan tegas, tapi Sam tidak pernah menerima penolakannya.
Emma bergerak mundur namun tubuhnya membentur tubuh besar Borya hingga dia tidak bisa mundur lagi.
"Masuk dan katakan kalah kau tidak akan meninggalkan dirinya!"
Perintah yang sangat tegas dikeluarkan oleh Sam hingga Emma tidak memiliki alasan lain selain masuk kembali ke dalam kamar perawatan Abyan.
Di dalam dokter sudah memasang kembali peralatan medis yang Emma tidak tahu fungsi sebenarnya.
Namun, membayangkan Abyan harus mengalami perawatan seperti beberapa hari lalu...Emma sangat tidak tega.
"Kenapa? Kenapa dia harus memakai peralatan itu lagi?"
Pertanyaan bodoh. Bukankah Borya tadi sudah mengatakan kalau Abyan kesakitan.
Wajah Emma begitu pucat dan dia mendekati tempat tidur Abyan.
"Apa yang terjadi, Dok?"
Suara Emma sangat lirih hingga dia tidak yakin kalau dirinya baru saja bicara.
"Abyan baru saja sadar dan otaknya belum mampu menerima tekanan atau paksaan untuk berpikir keras hingga membuatnya kembali ke titik awal."
"Lalu?"
"Aku tidak tahu apakah kesadaran Abyan akan kembali lebih cepat atau harus menunggu waktu yang lebih lama lagi. Bagaimanapun kami tidak bisa memastikan apakah Amnesia yang diderita Abyan akan sementara atau selamanya," jawab Dokter Syarif.
"Ta...tapi, bukankah tadi dokter menjelaskan kalau amnesia yang diderita Om ganteng bisa di sembuhkan?" tanya Emma pelan.
"Amnesia yang dialami oleh Abyan bisa sementara bisa juga permanen. Seperti yang sudah aku jelaskan tadi, dia hanya akan mengingat kejadian sebelum mengalami pukulan atau benturan di kepalanya."
"Secara kebetulan yang dia ingat adalah saat dia bertemu denganmu di cafe dan kejadian di sana yang membuatnya tidak bisa melupakanmu."
Penjelasan yang diberikan oleh dokter membuat Emma berpikir cepat, apakah Sam yang sudah memaksa Abyan untuk mengingat siapa dirinya sementara Abyan sendiri belum bisa menerima informasi baru atau mendengarkan penjelasan yang dipaksakan untuk diingat oleh Abyan.
"Apakah bapak yang sudah memaksanya untuk mengingat keluarganya karena bapak gak rela hanya saya yang diingat?"
Tuduhan yang diberikan oleh Emma sama sekali tidak terduga dan Sam sama sekali tidak merubah pandangannya lebih lembut.
"Bocah kurang ajar. Lihat dengan siapa kamu bicara. Kau pikir aku akan membiarkan putraku hilang kesadaran lagi. Aku sudah katakan padamu agar kau bersedia merawatnya dan kau bahkan meninggalkan dirinya tidak peduli dia sudah memanggilmu berkali-kali."
Emma tidak tahu apakah dia pantas sudah berkata kasar pada orang tua Abyan, tetapi dirinya juga tidak rela kalau disalahkan akibat Abyan yang tidak sadarkan diri lagi.
Tubuhnya seperti tidak bertulang saat dia menatap iba pada wajah Abyan.
"Kalau Om sadar sekarang, aku janji akan membantu Om mengembalikan memori di otak Om, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Tapi, Om harus sadar agar aku bisa memenuhi janjiku," bisik Emma lirih.
Entah dengan alasan apa, air mata Emma tiba-tiba mengalir. Dia bukan gadis cengeng, bahkan seingatnya dia belum pernah menangis dengan alasan sepele.
Sentuhan lembut di kepalanya saat dia menunduk sesaat membuatnya marah karena berpikir Abyan sudah menjebaknya, tetapi saat dia sadar tangan Abyan masih berada di dalam genggamannya, Emma semakin menunduk dan kembali tanpa dia sadari suara isak pelan lolos dari mulutnya.
"Maafkan aku yang sudah membuatmu sedih. Tidak seharusnya kami melimpahkan kemarahan dan kesedihan kami padamu sementara kau adalah gadis yang sudah menolong putraku."
Belaian lembut di kepalanya membuat Emma semakin terisak.
Mengapa dia harus mengalami kejadian luar biasa pada saat orang tuanya keluar kota.
"Kami sudah memutuskan membawa Abyan berobat ke luar negeri. Kejadian seperti ini bisa saja terjadi lagi dan bisa tambah fatal bila tidak diobati dengan intensif. Kami tidak akan mengambil resiko cukup besar."
Sebuah pemberitahuan sudah didengar Emma dan dia hanya bisa mengangguk.
"Seandainya saja kau bisa menemani Abyan, kami pasti sangat bahagia. Setidaknya saat dia sadar, ada orang yang diingatnya."
Tania dan Indra yang baru datang sebelumnya mendengar kemarahan yang diucapkan oleh ayahnya, tetapi sekarang dia mendengar nada lembut seperti yang biasa dia dengar di rumah. Sebenarnya apa yang sudah terjadi antara Emma dan adiknya dan kejadian apa yang membuat Abyan hanya teringat pada Emma? Tidak mungkin Abyan di dasar hatinya masih mengenang pertemuan dengan Emma ketika di pesawat dulu.
Mereka sudah 2 tahun berpisah dan sudah banyak perubahan yang dialami keduanya, jadi?
"Maaf, Pak. Aku tidak bisa," jawab Emma lemah.
Walaupun dia kasihan pada Abyan, tetapi dia bukan siapa-siapa dan orang tuanya pasti akan melarangnya.
Dia adalah putri tunggal orang tuanya yang memerlukan usaha keras sampai dirinya lahir ke dunia sebagai anak mereka jadi tidak mungkin orang tuanya akan merelakan kepergiannya demi orang lain.
Akhirnya semua persiapan dilakukan. Sam sadar atas resiko besar yang akan dialami oleh Abyan, tetapi dia juga tidak akan membiarkan hanya mempercayakan pengobatan putranya hanya pada Dokter Syarif.
"Terima kasih karena kau sudah menolong dan menjaga putraku. Apabila ada yang kau butuhkan, hubungi kami. Aku yakin kau sudah mengenal Tania," ujar Sam sebelum dia menyusul mobil ambulans yang membawa Abyan yang di dampingi oleh Borya.
Emma menatap sedih ke arah mobil ambulans yang semakin jauh meninggalkan halaman klinik.
"Dia akan baik-baik saja. Yakinlah pada kekuasaan Sang Pencipta."
Suara lembut berasal dari Dokter Syarif yang berdiri di sampingnya cukup menghibur Emma.
"Aku pasti baik-baik saja karena aku yakin dengan keputusanku. Terima kasih sudah mengijinkan aku berada di sini, Dok," kata Emma.
"Sekarang pulanglah! Kembali lakukan tugasmu sebagai pelajar, ingat, kau sekarang sudah kelas 12 jadi buat orang tua-mu bangga."
"Pasti. Kalau begitu aku pulang dulu. Selamat siang, menjelang sore, Dok."
Setelah ucapannya tersebut Emma langsung meninggalkan rumah sakit. Dia memilih naik taxi yang kebetulan lewat tanpa harus memesan lewat aplikasi. Berharap semuanya menjadi lebih baik ke depannya. Semangat!