Emma sangat marah dan malu dengan perbuatan Abyan padanya. Bukan hanya di dalam hatinya dia juga memaki Abyan secara terbuka dengan kata-kata yang membuat Baina terkekeh.
"Ngapain ketawa? Suka aku dipermalukan seperti itu? Setia kawan kamu dimana Bai," katanya terus ngedumel.
"Geli lihat ekspresi kamu tadi. Ya Allah Emma, seandainya kamu lihat wajah kamu waktu Abyan cium kamu...."
Baina tidak melanjutkan kalimatnya begitu wajah Emma seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Puas kamu!"
Dengan langkah kaki yang panjang, Emma meninggalkan Baina yang masih tertawa.
Berlari mengejar Emma, Baina berhasil menyusul Emma yang jalannya seperti dikejar kucing.
"Emma, tunggu!" panggil Baina.
"Aku minta maaf, tapi kau juga harus tahu kalau tadi itu benar-benar bikin speechless."
Emma tidak menjawab karena dari arah belakang dia mendengar suara motor yang melaju menuju arahnya.
Emma dan Baina menoleh untuk melihat siapa yang pengendara motor yang mengikutinya.
“Mau ngapain, Om? Mau kurang ajar lagi? Jangan khawatir aku sudah siap kalau Om mau kurang ajar padaku, lagi,” tantang Emma dengan wajah memerah.
Abyan yang sengaja belum memakai helm menghentikan motornya di samping Emma lalu turun dan berdiri si depan Emma.
“Aku minta maaf. Jujur aku sendiri tidak tahu mengapa aku melakukan hal tersebut padamu. Kalian pasti sudah mendengar perdebatan kami, jadi aku tidak perlu menjelaskan alasannya lagi pada kalian,” kata Abyan.
“Tapi bukan berarti Om bisa berbuat seenaknya,” sahut Emma ketus.
Sekali lagi aku minta maaf. Kau mau memaafkan aku, kan?”
“Ya sudah, aku maafkan. Anggap aja ini hari terburuk aku ketemu sama pencuri seperti, Om,” sahut Emma kembali berjalan.
Emma tidak tahu apakah alasannya meninggalkan Abyan karena dia terlalu marah atau karena wajahnya yang kembali memerah karena bayangan saat dia melihat bibir Abyan, tanpa bisa di cegah dia seperti dapat merasakan kembali sentuhan bibir Abyan di mulutnya.
Abyan bukan lelaki kemarin sore dan dia sudah cukup dewasa untuk mengerti dan memahami perubahan Emma sehingga dia lebih memilih pergi. Bagaimana pun dia sudah meminta maaf dan Emma pun terlihat baik-baik saja.
“Si-Om kalau diperhatikan dari deket ganteng banget, ya. Kau gak mau pacaran sama dia Em?” tanya Baina.
“Pacaran sama dia? Kamu gak lihat kalau dia lebih tua dari kita,” sahut Emma dengan mata melotot.
“Emang masalah. Kamu gak tahu kalau usia lelaki itu justru di sarankan untuk punya kekasih yang usianya jauh lebih muda,” sahut Baina tidak mau kalah.
Hanya cibiran dan suara omelan tidak jelas yang keluar dari mulut Emma karena mereka sudah tiba di tempat mobil Emma terparkir.
“Kamu mau aku anter atau gimana?” tanya Emma pada Baina.
“Aku ikut sampe halte depan aja. Soalnya aku mau ke bimbel dulu. Jadwal kamu, kapan?” kata Baina sambil bertanya.
“Oke. Jadwal aku Selasa dan Kamis,” jawab Emma sambil masuk ke dalam mobil.
Sementara itu, Abyan yang sudah berada di jalan menuju HSP. Hari ini adalah terakhir dia bekerja sebagai karyawan di Event Planner. Dua tahun adalah waktu yang diberikan oleh Sam sebelum dia menggantikan Tania yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk mengurus keponakannya.
Namun, perjalanan Abyan menuju HSP tidak berjalan lancar. Dia yang berkendara dengan hati-hati dan selalu memilih jalan yang selalu sama pada saat dia ke HSP tiba-tiba melihat seorang lelaki tua yang berhadapan dengan 3 orang lelaki berbadan kekar.
Abyan berpikir kalau lelaki tua itu adalah korban kejahatan yang sehingga Abyan memutuskan untuk berhenti dan berniat menolongnya.
“Apa yang kalian lakukan? Apakah kalian bertiga tidak malu mengancam seorang lelaki!” suara Abyan mengalihkan perhatian ke-empat orang tersebut.
Abyan melihat lelaki tua itu langsung minggir dan menjauh dari ketiga lelaki kekar dengan tampang jauh dari kata baik.
“Mau jadi pahlawan, heh!”
“Bukan jadi pahlawan. Aku hanya memberi muka pada kalian. Tubuh kekar muka penjahat tapi hanya berani pada seorang lelaki tua saja,” decak Abyan.
Dia bukan lelaki yang akan berlalu begitu saja setelah melihat ketidak adilan yang terjadi di depannya.
Tidak perlu waktu lama, Abyan dan ketiga lawannya terlibat dalam pertarungan yang jauh dari kata seimbang.
Ketiga lawannya bukan tandingan Abyan. Dia sudah terbiasa latihan bersama para anak buahnya sehingga ketiga orang tersebut dengan mudah dia lumpuhkan.
Sayang, Abyan melakukan kesalahan dengan berpikir kalau semua orang adalah baik sehingga dia terlambat membaca isyarat yang diberikan oleh seorang lelaki yang baru saja terjengkang karena tendangan yang dia berikan.
Baru saja dia berniat menoleh untuk melihat siapa yang diberikan isyarat oleh lawannya tepat sebuah tongkat kayu besi menimpa kepalanya.
Abyan tidak sempat memberikan perlawanan, dia hanya melihat lelaki tua yang sudah dia tolong mengayunkan tongkat kayu ke arahnya secara berulang-ulang hingga kesadaran meninggalkan dirinya.
“Kalian bodoh. Aku pikir kalian bertiga lelaki yang memiliki keahlian khusus, nyatanya melawan dia seorang saja tidak mampu!” kata lelaki tua tersebut dengan nada menghina.
“Seharusnya Pak Sigit katakana pada kami kalau dia adalah lelaki yang memiliki keahlian bela diri di atas rata-rata,” sesal salah satu lelaki yang bertarung dengan Abyan.
“Mau dia ahli bela diri atau tidak, kalian sudah memperlihatkan kalau kalian itu hanya tahu yang mudah di hancurkan hanya dengan remasan tangan,” ejek lelaki yang ternyata Sigit.
“Apa yang harus kami lakukan pada-nya?” tanya lelaki yang lain.
“Biarkan dia di sini. Aku yakin umurnya tidak lama lagi berakhir karena tidak buru-buru dapat pertolongan. Kalian! Bakar semua identitas yang ada padanya begitu juga dengan motornya. Jangan sampai ada yang tahu siapa dia,” ucap Sigit.
Dia tidak perlu mengetahui siapa Abyan karena dari Erwin dia sudah tahu siapa Abyan yang sebenarnya.
Tidak ada seorangpun yang tahu kalau Erwin sudah mengotak-atik data Abyan berdasarkan namanya. Dan dia sangat terkejut mengetahui siapa Abyan sebenarnya.
Kebenciannya sangat besar karena Abyan selama ini sudah menjadi mata-mata di kalangan karyawan terutama begitu dia menyadari kalau Abyan yang sudah melaporkan pertemuannya dengan Sigit.
Tidak perlu membuang waktu. Erwin langsung menghubungi Sigit begitu mengetahui kalau malam ini posisi Abyan akan diumumkan oleh pemilik HSP.
Dendam Sigit terhadap Sam sangat besar sehingga dia langsung menyusun rencana begitu dia tahu dari Erwin kalau Abyan selalu mengendari motor setiap kali ke HSP sementara hanya ada satu jalan yang bisa dilewati oleh pengendara motor apabila mereka ingin memotong jalan.
Cukup lama Sigit dan 3 orang bayarannya menunggu Abyan. Mereka beruntung karena Abyan peduli hingga mereka bisa menyerang dan membuat Abyan tidak berdaya.
Kini, di depannya Abyan terkapar tidak berdaya dengan luka di kepala yang terus mengeluarkan darah.
“Aku turut berduka atas kehilangan putra bungsu-mu, Sam. Aku tahu kau sangat menyayangi dirinya, sayangnya kebencianku lebih besar daripada kasih sayangmu padanya. Nikmati kesedihanmu karena dia tidak akan menjadi kebanggaanmu lagi,” ucap Sigit mengejek lalu tidak berapa lama kemudian suara tawanya terdengar kencang.
Sigit dan anak buahnya sudah pergi meninggalkan Abyan sendirian hingga sebuah mobil berhenti. Bukan karena penumpang tersebut melihat tubuh Abyan tetapi karena seekor kucing melintas hingga menghentikan laju mobil tersebut secara mendadak.
“Ada apa, Pak,” tanya Emma yang kebetulan berada di dalam mobil tersebut setelah kepalanya terantuk sandaran kursi yang ada di depannya.
“Ada kucing lewat, Neng,” beritahu Dian, sopirnya.
“Kucing? Aneh, di sini biasanya gak ada kucing lewat pak,” beritahu Emma dengan kening berkerut.
Matanya yang bening dan tajam mengikuti larinya kucing hingga dia menyadari ada yang aneh di bawah pohon.
“Itu apa-an, Pak,” tanya Emma pada sopirnya.
?Mana, Neng?” tanya Dian mengikuti jari tangan Emma yang menunjuk ke satu arah.
Emma dengan rasa ingin tahu yang sangat besar segera turun dari mobil dan melihat apa yang dia lihat.
Wajahnya begitu pucat karena melihat dairah nyaris menutupi wajahnya.
“Jangan pegang, Neng,” kata Dian melarang Emma menyentuh Abyan.
“Tapi saya kenal orang ini, Mang. Kita tidak mungkin membiarkan dia mati di sini. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit,” ucap Emma.
“Tapi kalau Neng di tuduh pelakunya gimana?” tanya Dian tidak setuju.
Emma terdiam. Dia tidak tahu apakah dia harus menolong Abyan atau tidak dan dia memutuskan tindakan yang sangat ceroboh dan membahayakan dirinya.
Dia langsung memutuskan membawa Abyan ke rumah sakit karena tidak tega harus menunggu polisi di TKP.